Share

Menembak Kakakmu!

Author: Aksara_Lizza
last update Last Updated: 2025-02-07 10:11:55

“Aku tidak akan segan-segan menghancurkan hidupmu jika berani mengusik rumah tanggaku dengan Emily.”

Kata-kata itu meluncur di bibir Felix ketika menemui Harland di kantornya. Ruangan itu menjadi cukup menegangkan setelah mendengar ucapan Felix tadi.

"Di mana anak kesayanganmu itu berada, Harland?" suara Felix merayap di udara seperti belati yang baru diasah, menusuk langsung ke dalam ketenangan malam yang sekarat.

Sorot matanya yang hitam menembus wajah Harland, mencabik-cabik keberaniannya yang sudah compang-camping.

"A—aku … aku tidak tahu, Felix. Bahkan sampai saat ini nomornya tidak bisa dihubungi. Mungkin dia masih bersembunyi entah di mana," ucap Harland dengan suara yang lebih mirip desisan angin sebelum badai.

Jari-jarinya yang gemetar meremas ujung jasnya, seolah mencari perlindungan dari hawa kematian yang menjalar dari tatapan Felix.

Wajah Felix kini adalah pahatan dari kebencian yang membara, sesuatu yang tidak pernah Harland lihat sebelumnya.

Sejak pernikahannya dengan Marsha kandas seperti kapal tua dihantam ombak, lelaki itu bukan lagi manusia—ia adalah iblis yang bangkit dari api penyesalan.

"Bawa dia ke hadapanku jika sudah ditemukan. Aku juga akan mencarinya dan membuatnya menyesal!" suara Felix meluncur seperti bisikan maut, dingin dan tajam, mencengkeram malam yang sudah penuh sesak oleh keputusasaan.

Harland menatapnya dengan mata yang diselimuti bayangan ketakutan. Ia tahu Felix bukan sekadar berbicara—ia bersumpah dalam nada suaranya, seperti kutukan yang tidak bisa dihapuskan.

"Emily sudah menggantikan posisi Marsha menjadi istrimu. Kenapa kau masih ingin balas dendam padanya?" tanya Harland, suaranya serak, hampir tak lebih dari desau angin yang pasrah pada takdir.

Felix mendekat, membuat jarak di antara mereka hanya selebar hela napas yang penuh racun. Matanya menyala seperti bara dalam kegelapan.

"Karena Emily anak tirimu, kau berani mengatakan itu padaku? Emily tidak berharga di hidupmu, hm?" nadanya mendesing tajam, seperti gelas kristal yang retak sebelum hancur berkeping.

Sejenak, hening mengambil alih. Udara di sekitar mereka seolah berubah menjadi beku, sementara keheningan menjerit tanpa suara.

"Atau kau memang sengaja membiarkan Marsha pergi dan Emily menjadi penggantinya?" tuduh Felix.

Harland menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak. Aku tidak pernah berpikir Emily harus menggantikan Marsha. Bahkan aku pun baru tahu jika Marsha memiliki kekasih," suaranya gemetar, meski ia berusaha terdengar meyakinkan.

Namun, bayangan ketidakpercayaan telah mengakar di mata Felix. Sorot matanya yang dingin menusuk seperti belati yang baru diasah, menggantung di atas kepala Harland, siap jatuh kapan saja.

"Aku akan memantaumu setiap detiknya. Kau pikir urusan kita sudah selesai, begitu kau menikahi anak tirimu denganku? Tidak akan, Harland!" Felix mengucapkannya dengan nada datar, tetapi setiap kata bagai palu yang menghantam batin.

Felix lalu berbalik, melangkah pergi dengan gerakan angkuh yang menggema di ruangan itu. Sepatu mahalnya beradu dengan lantai marmer, menciptakan irama yang seakan menjadi aba-aba bagi malapetaka yang akan datang.

Sosoknya tegap, penuh kharisma, namun di balik elegansi itu bersemayam bahaya yang siap meledak kapan saja.

Pria itu bukan sekadar pengusaha. Ia adalah badai dalam tubuh manusia—seorang mafia dengan tangan berlumuran darah, namun wajahnya dihiasi ketampanan yang menyesatkan.

Tatapannya bisa membuat orang bergetar, seperti seekor serigala yang baru saja mengendus ketakutan mangsanya.

**

"Kau sudah pulang?"

Suara lembut Emily menyambut Felix begitu ia memasuki rumah. Wanita itu berdiri di ambang pintu ruang tengah.

Felix tidak langsung menjawab, hanya berjalan santai menuju sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan elegan.

"Aku ingin tahu hubunganmu dengan Marsha. Apakah kalian berhubungan baik?" tanyanya tiba-tiba, matanya mengunci gerakan Emily seperti elang yang mengawasi mangsanya.

Emily menelan salivanya dengan pelan, seolah sedang berusaha menelan ketakutan yang menggumpal di tenggorokannya. Ada sesuatu dalam cara Felix berbicara—sesuatu yang tak terucapkan, tapi begitu jelas terasa.

"Tidak terlalu. Kau pun tahu aku hanya adik tirinya yang dibawa oleh ibuku saat menikah dengan ayahnya," jawab Emily akhirnya, suaranya nyaris bergetar, meskipun ia berusaha tampak tenang.

Felix tidak segera menanggapi. Ia hanya menatapnya lama, dalam, seakan sedang mencari retakan di wajah cantik wanita itu. Kemudian, bibirnya melengkung tipis dalam senyum yang lebih menyerupai pisau tajam.

"Begitu rupanya," ucapnya, nadanya nyaris seperti bisikan. Matanya tetap terpaku pada Emily, penuh misteri dan ancaman yang samar.

Felix menyandarkan tubuhnya ke sofa, satu tangan terangkat, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran lengan kursi dengan ritme yang tidak tergesa.

"Kau tahu kan, aku sangat membenci penipu seperti Marsha," katanya lagi, lebih pelan, lebih dingin. "Maka dari itu, kau harus terlihat bahagia menikah denganku. Aku akan membuat Marsha menyesal karena telah menipuku."

Ada sesuatu di balik kalimat itu—sebuah sumpah beracun yang siap merayap ke dalam kehidupan siapa pun yang menentangnya.

Emily bisa merasakan udara di sekitarnya berubah menjadi lebih dingin, seolah malam itu menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Termasuk mengandung anakmu?" suara Emily terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang takut terdengar oleh takdir itu sendiri.

Felix tidak butuh waktu lama untuk menjawab. Ia mengangguk, matanya menatap Emily tanpa keraguan, penuh kepastian yang nyaris seperti perintah tak terbantahkan.

"Ya. Kau harus mengandung anakku."

Dunia seakan berhenti berputar bagi Emily. Udara di sekelilingnya mendadak terasa lebih berat, menekan dadanya hingga sulit bernapas.

Kata-kata itu bergema di kepalanya, berputar-putar seperti mantra terkutuk yang tak bisa dihapuskan.

Menjadi seorang ibu? Emily belum pernah membayangkannya, apalagi mengandung anak dari pria seperti Felix—seseorang yang lebih mirip badai ketimbang manusia.

Ada kebengisan dalam dirinya, sesuatu yang gelap dan menelan apa saja yang berani melawannya.

Namun, penolakan? Itu bukan pilihan. Felix tidak akan menerimanya. Tidak pernah.

Pria itu adalah penguasa yang tak mengenal batas, seorang raja tanpa belas kasih yang akan terus mendominasi, menekan, menghancurkan, hingga tak ada lagi celah bagi siapa pun untuk bernapas tanpa izinnya.

Keheningan merayap di antara mereka, menciptakan celah yang diisi oleh ketakutan Emily yang tak terucapkan.

"Kenapa diam? Kau ingin keluargamu bernasib malang, seperti yang kuucapkan dua hari yang lalu?" suara Felix memecah kebisuan, nadanya bagai cambuk yang mencabik kulit.

Emily tersentak, seperti boneka kayu yang ditarik talinya dengan kasar. Ia menggeleng cepat, jantungnya berdetak sekeras genderang perang.

"Aku … aku bersedia. Aku akan mengandung anakmu," kata-kata itu meluncur dari bibirnya dengan getir, seperti racun yang dipaksakan masuk ke dalam tenggorokannya sendiri.

Felix tersenyum tipis—bukan senyum hangat seorang kekasih, melainkan seringai seorang pemenang yang baru saja menancapkan cakar terakhirnya ke dalam tubuh mangsanya.

Beban di pundak Emily terasa semakin berat, lebih dari yang pernah ia bayangkan. Ia bukan hanya istri Felix. Ia adalah tawanan dalam sangkar emas yang kuncinya telah dibuang jauh ke dalam lautan dendam.

Felix berdiri, tubuhnya menjulang seperti bayangan gelap yang tak bisa dihindari.

"Kalau begitu, persiapkan dirimu dan kita pergi bulan madu," ucapnya, nada suaranya santai, seolah ia baru saja membicarakan liburan biasa, bukan pengasingan yang dirancangnya sendiri.

"Aku ingin menghabiskan waktu denganmu agar otakku tidak terus-menerus memikirkan di bagian tubuh mana yang harus kutembak.”

“Menembak … siapa?” tanya Emily pelan, penuh dengan ketakutan.

Felix menoleh menatap Emily dengan tatapannya yang begitu tajam. “Kakak tirimu!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Mengancam Regina

    Felix melangkah cepat memasuki gedung tinggi bertuliskan "Regina Corp" di pintu kaca depannya. Wajahnya tampak gelap, rahangnya mengeras, sorot matanya tajam seperti bilah pisau.Tanpa memperdulikan sapaan resepsionis, ia langsung menuju lift dan menekan lantai tertinggi.Begitu sampai, ia berjalan lurus ke arah pintu besar bertuliskan "CEO Office" tanpa mengetuk. Dengan satu dorongan kuat, pintu terbuka, membentur dinding dan membuat suara keras bergema.Di dalam, Regina yang sedang duduk di balik meja kerjanya mengangkat wajah, lalu tersenyum lebar begitu melihat siapa yang datang."Felix!" serunya riang, berdiri dari kursinya dan melangkah mendekat, seolah-olah Felix datang untuknya dengan niat baik.Namun, sambutan itu langsung dibalas dengan tatapan dingin membunuh dari Felix. Ia berdiri tegak di hadapan Regina, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan amarah yang hampir meluap."Beraninya kau," geram Felix, suaranya rendah dan bergetar menahan emosi, "mengganggu istrik

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Hanya Mantan Kekasih Felix

    “Kekasih?” ulang Felix, suaranya terdengar serak, antara marah dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Emily menganggukkan kepalanya pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Felix. “Apa kau memiliki kekasih selama ini, Felix?” tanyanya lagi, suaranya bergetar, penuh dengan harap dan ketakutan.“Tidak!” jawab Felix tegas, menatap langsung ke dalam mata istrinya. Tatapan itu tajam, penuh keyakinan, seolah ingin menegaskan bahwa tak ada kebohongan dalam kata-katanya.Namun Emily tetap ragu. “Tapi... wanita itu bilang bahwa kau adalah kekasihnya. Dia bahkan berucap dengan sangat percaya diri,” katanya lirih, seolah-olah hatinya mulai condong mempercayai ucapan wanita asing itu.Melihat Emily yang seperti itu, Felix semakin geram. Rahangnya mengeras, dadanya naik-turun cepat menahan amarah.Tanpa berkata apa-apa, ia membalikkan badan dan melangkah menuju walk-in closet, meninggalkan Emily yang berdiri terpaku di tempatnya.Emily, yang tidak ingin kehilangan jawaban, sege

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Apakah yang Dikatakannya Benar?

    Dering nyaring dari ponsel yang tergeletak di atas nakas membuat Emily menggeliat kecil dalam tidurnya.Matanya mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan cahaya remang kamar, sebelum akhirnya memfokuskan pandangannya pada sumber suara.Dengan alis bertaut, ia mengulurkan tangan dan mengambil ponsel itu. Layar ponsel menunjukkan sebuah nomor tak dikenal yang sedang berusaha menghubungi.“Nomor siapa ini?” ucapnya dengan pelan. Nomornya asing, tanpa nama, tanpa identitas yang tersimpan.Emily mengerutkan kening. Ia menoleh ke kanan, lalu ke kiri, mencari sosok suaminya, Felix. “Ke mana Felix? Sudah pergi? Tapi, tidak mungkin dia meninggalkan ponselnya jika sudah pergi.”Namun, ranjang di sebelahnya kosong dan dingin. Ia mengangkat sedikit tubuhnya, mendengarkan lebih seksama.Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, menandakan Felix sedang mandi. Emily menghela napas lega sesaat, tapi tatapannya kembali tertarik pada ponsel di tangannya yang kembali bergetar, layar kembali menyal

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Memegang Janjinya

    Felix menatap Emily dengan tatapan panas, matanya tak beralih sedetik pun darinya. Dalam satu gerakan cepat dan mantap, ia membungkuk dan mengangkat tubuh mungil Emily dengan gaya bridal—membuat gadis itu terkesiap kecil.Lengan kekarnya terasa kuat dan hangat membungkus tubuh Emily, membuat jantungnya berdebar tak karuan.Dengan langkah mantap, Felix membawa Emily melewati lorong dan masuk ke kamar mereka.Tanpa meletakkannya, ia menutup pintu kamar dengan kakinya, menciptakan bunyi klik lembut yang membuat suasana di antara mereka mengental dengan ketegangan.Felix menundukkan wajahnya, membisik di telinga Emily dengan suara serak penuh gairah,"Jangan pura-pura tidak tahu, Emily... Kita sudah lama tidak bercinta."Emily menelan ludahnya dengan gugup, merasakan panas menyebar dari telinga hingga ke pipinya. Suara Felix begitu berat, dalam, dan sangat berbahaya bagi pertahanannya yang mulai runtuh.Dengan suara bergetar namun mencoba terdengar tenang, Emily mengangkat wajahnya dan be

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Ingin Menua Bersamamu

    “Aku membawakan makanan kesukaanmu.” Suara Felix terdengar lembut dan tenang saat ia melangkah masuk ke ruang tengah, membawa sebuah mini box mungil berwarna merah muda di tangannya.Cahaya sore yang masuk dari jendela memantul di permukaan kotak itu, membuatnya tampak seperti hadiah kecil yang istimewa.Emily sedang duduk santai di sofa, bersandar dengan nyaman sambil menonton acara televisi favoritnya.Suara TV terdengar samar di latar belakang, namun seketika perhatiannya teralih saat Felix meletakkan kotak tersebut di meja di hadapannya.“Kesukaanku? Apa itu?” tanyanya dengan nada penasaran, matanya membulat penuh rasa ingin tahu. Ia langsung meraih kotak itu dan membukanya perlahan.Begitu tutupnya terbuka, aroma manis langsung tercium. Warna-warni pastel dari deretan macaron yang tertata rapi membuat matanya berbinar. Emily menoleh cepat ke arah Felix, matanya membesar karena terkejut.“Macaron? Kau tahu aku sangat menyukai macaron?” ucapnya dengan nada yang penuh kejutan sekali

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Rasa Panik Marsha

    “Pa. Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Suara Marsha terdengar pelan namun serius saat ia melangkah pelan mendekati sang ayah yang sedang duduk santai di sofa ruang tengah.Di tangannya, Harland memegang majalah edisi terbaru, matanya sibuk mengikuti tiap baris kata di halaman yang terbuka.“Katakan saja. Aku akan mendengarnya,” jawab Harland datar, tanpa sedikit pun menoleh ke arah anak perempuannya. Nada suaranya tenang, nyaris seperti sedang membicarakan cuaca.Marsha berdiri sejenak, menatap wajah ayahnya yang tak bergeming, lalu menarik napas panjang sebelum duduk perlahan di sofa seberang.Matanya memandangi Harland lekat-lekat, mencoba mencari celah untuk memahami isi kepala pria paruh baya itu.“Kau serius ingin membuat Felix dan Emily berpisah? Dengan cara apa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi, menyimpan keheranan sekaligus kekhawatiran dalam nada suaranya.Mendengar pertanyaan itu, Harland akhirnya menghentikan aktivitas membacanya. Ia menutup majalah dengan satu geraka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status