Semua dimulai dengan sederhana, saat Julian melihat Silvi berdiri di aula, menerima pujian dari guru karena baru saja memenangkan olimpiade. Teman-temannya bersorak dan gadis itu menerima piala dengan senyuman mengembang di wajahnya.Setelahnya, ada begitu banyak orang berkerumun di kelasnya. Beberapa siswa dari kelas lain muncul di ambang pintu, sebagian hanya melihat gadis itu sedangkan sebagian lainnya datang untuk memberikannya hadiah.Seperti biasa, meja Silvi dipenuhi begitu banyak barang, bunga, cokelat, barang-barang mahal yang dibungkus pita dan kertas berkilau. Ini bukan pertama kalinya Silvi mendapatkan perlakuan seperti ini. Tapi hari itu adalah pertama kalinya Julian ikut memberikan hadiah untuknya.Tangannya menggenggam buket mawar biru yang ia pesan sehari sebelumnya, warna kesukaan Silvi, jika informasi dari teman sekelasnya tidak salah. Di tangan sebelahnya, Julian memegang sebuah kotak kecil berisi jam tangan yang sederhana dan elegan. Julian memilihnya sendiri, men
Saat akhirnya Julian tiba di rumah orang tuanya, suasana di dalam rumah seperti sudah diatur untuk sebuah penghakiman. Semua orang telah duduk menunggu di ruang keluarga. Ayah dan ibunya sama-sama memasang wajah dingin, sementara di ujung ruangan, Celine duduk dengan punggung tegak, matanya menunjukkan perasaan tidak nyaman.Langkah kaki Julian menggema keras di lantai marmer, setiap hentakannya terdengar seperti tantangan. Ia tidak berbasa-basi. Tidak menyapa. Hanya menatap tajam ke arah orang-orang yang selama ini menyebut dirinya keluarga.“Berita soal perselingkuhan itu,” suara ibunya terdengar lebih sinis daripada penasaran, “kamu sengaja menyebarkannya?”“Iya.”“Kenapa?”Julian tidak ragu, “Agar kalian berhenti bertingkah bodoh.”Ayahnya menghela napas berat. “Dan kamu pikir itu solusi dewasa?”“Lebih baik daripada terus membiarkan kalian mengatur hidupku seperti proyek gagal yang perlu diperbaiki,” sahut Julian datar.“Apa kamu tidak bisa bertingkah normal sekali sekali saja?!”
Silvi memandangi pintu ruang kerja Julian dengan gelisah. Sejak tadi tidak ada teriakan, tidak ada suara barang-barang yang pecah, tapi udara di sekelilingnya berubah menjadi mencekam sejak Julian masuk ke dalamnya.Silvi mengenal Julian dan Julian, setenang apapun dirinya saat menghadapi masalah, bukanlah orang yang bisa mengambil keputusan tanpa menghancurkan sesuatu yang lainnya. Dan seegois apapun kedengarannya, Silvi takut yang dihancurkan adalah dirinya.Silvi mengangkat tangannya, mengetuk pintu di hadapannya dua kali. Tapi hening. Tidak ada jawaban apapun. Ia akhirnya memutuskan untuk membukanya perlahan. Julian sedang berada di balik mejanya, tangan kirinya mengepal erat di atas meja, sementara tangan kanannya sibuk dengan komputer di hadapannya.“Julian…” Silvi memanggilnya pelan dari ambang pintu, tapi butuh beberapa saat hingga akhirnya pria itu mengangkat kepalanya, memandang Silvi. Tidak ada jawaban.Silvi melangkah mendekat untuk berdiri di samping Julian yang masih ter
Sudah beberapa hari sejak berita itu muncul, dengan cara yang tidak semestinya bisa menembus sistem yang Julian bangun rapat-rapat.Sejak malam itu, Julian menjadi berbeda. Tidak sepenuhnya. Ia masih mencium Silvi dengan lembut. Masih menggenggam tangannya setiap malam. Masih tersenyum saat menatapnya.Tapi tatapannya… terasa jauh sekali. Ia tidak pernah fokus terlalu lama saat Silvi bicara. Pikirannya seperti menolak untuk tinggal. Bahkan tidak sadar ketika Silvi sengaja diam hingga Silvi menyadarkannya. Kadang tangannya terasa dingin. Dan yang paling mencolok, ia tidak pernah benar-benar menatap mata Silvi terlalu lama seperti dulu. Seolah takut Silvi tahu sesuatu jika dia menatap terlalu lama.Silvi merasakannya. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menarik napas panjang dan membiarkan semuanya
Mata Julian terpaku pada layar ponsel.Namanya muncul dalam sebuah artikel yang terlihat baru diunggah pagi itu, artikel yang membahas tentang pernikahan Celine dan dirinya yang disebut-sebut akan segera berlangsung. Bahkan ada hitung mundur yang muncul di bagian bawah halaman, seolah acara itu sudah pasti terjadi. Apanya yang semakin dekat? Bukankah ia sudah membatalkannya?Julian menatap layar itu cukup lama. Tangannya mencengkram ponselnya dengan kuat, rahangnya mengeras, tatapannya penuh kemarahan. Ia tahu ini bukan kesalahan media. Ini bukan berita yang tiba-tiba muncul dari udara. Ini jelas disusun dengan begitu baik. Ini bagian dari permainan orang tuanya.Dan dari setiap waktu yang ada, mereka memilih waktu di mana ia baru saja mendapatkan kepercayaan Silvi secara penuh.
Silvi tidak tahu bagaimana semuanya mulai berubah.Mungkin ketika Julian menunduk untuk mencium keningnya, bukan bibirnya, bukan tubuhnya, tapi keningnya. Dengan lembut, dengan sabar. Seolah bagian itu adalah hal yang paling sakral.Atau mungkin saat tangan Julian mendorong tubuhnya pelan untuk berbaring, sebelum bergerak pelan untuk menggenggam tangannya di atas tempat tidur. Erat, tapi masih berusaha memberinya ruang sehingga tidak merasa ada paksaan.Di bawah sinar lampu kamar yang redup dan waktu yang terasa melambat, Julian menyentuhnya lebih dalam dari biasanya. Tidak ada hasrat yang meledak. Tidak ada gerakan yang terburu-buru. Hanya dua manusia yang perlahan-lahan belajar membuka lapisan paling dalam dari diri mereka.