Share

Bab 4

Penulis: Affad DaffaMage
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-09 16:59:08

Tidak perlu alasan untuk berbuat baik.

“Makasih banyak atas bantuannya, Dekker,” ucapku kepada asisten yang satu tahun dibawahku secara akademis. Dekker menganggukkan kepalanya.

“Makasih juga lho mas. Dapat 150 ribu lagi dari UI UX. Emang berapa sih bayarannya mas seluruh aplikasi gitu?” tanya Dekker.

“400 ribu. Itu harga khusus,” jawabku datar. Dekker terkejut mendengarnya.

“Seriusan mas!? Biasanya sampean sampe 1 juta per proyek. Makanya anak-anak tekno takut pesan ke sampean kecuali emang mau ngambis,” balas Dekker terkejut. Ya, aku tahu semua aplikasi yang aku kembangkan selalu mendapat juara di teknopreneur, bahkan beberapa dilombakan oleh klien. Ah, yang penting aku dapat share.

“Yang minta kenalan, jadi aku diskon. Aslinya juga 1 koma 6 juta tetap kalau normal,” balasku. Dekker, serta beberapa asisten lainnya di ruangan itu, tersenyum ke arahku. Oke, ini mencurigakan.

“Ciwi kah mas?” tanya asisten paling tinggi di lab, Nicholas.

“Iya. Teman lama di komunitas. Gak akrab,” jawabku sekenanya. Sepertinya itu memantik Siegfried untuk memberikan pertanyaan lanjutan.

“Masa sih mas? Diskonnya lebih dari 50 persen lho mas. Itu gede untuk orang gak akrab,” tanya Siegfried. Dia sepertinya memang penasaran.

“Aku lagi gak terlalu butuh proyekan sekarang, apalagi setelah kemarin proyekan Pak Arrow. Tapi, lumayan cuan tetap cuan,” jawabku santai.

“Tapi ya sampean kan tetap garap proyeknya toh?” tanya Nicholas lagi.

“Sudah banyak komponen dari proyekan lama. Tinggal tancep. Itu makanya belajar Refactoring, Design Patterns, dan tetek bengeknya,” jawabku. Nicholas ber-oh ria.

“Tetap aja sih mas, gak standarnya mas gitu harganya. Sampean tahun kemarin masih 1 koma 1 juta ke atas per proyek,” komentar May. Ini anak-anak junior suka amat keroyokan.

“Iya Fa, lu ga bisa kasih diskon sampe harga dibawah 1 juta kalo soal aplikasi setau gue, sampe satu kampus tau lu anak mahal amat jasanya. Khusus yang serius kalo kata anak tekno,” sambung Yusuf angkatanku. Oke, mereka memang keroyokan.

“Semester ini juga gak ada yang minta kecuali dia. Dan standarnya gak full aku karena sebagian dikerjakan Dekker. Jadi menurutku 400 okelah. Aku juga males jual mahal saat ini,” komentarku. Ayolah, males minta lebih mahal kalau:

  1. Sudah kenal.

  2. Baru kemarin dapat cuan proyek gede sebesar 110 juta.

400 itu kasarnya buat bayar jam tidur aja yang keganggu dikit. Dan berkat komponennya sudah banyak siap dan gak dari nol, gak makan waktu lama. Toh ini garapnya tiga minggu sudah selesai.

“Anak semester ini banyak gak serius tekno kata dosen tekno saya dulu,” komentar May, “sampe orang-orang seperti kelompok saya yang teknonya sekarang lanjut disuruh ikutan kasih kuliah minggu ini.”

“Makanya sepi orderan,” komentarku sekenanya. Aku menyadari kejanggalannya, tapi ya tidak penting sih. Ini kampus biasanya tekno selalu berakhir ajang adu semua tim dari semua kelas, dan itu biasanya yang datang perusahaan-perusahaan besar.

Sebuah notifikasi masuk, dari suara yang aku dengar di ponselku. Aku terpaksa men-silent aplikasi media sosial di laptop supaya tidak berisik. Jadi, karena di ponsel, ini berarti aku langsung di tag atau chat pribadi yang masuk.

Aristy: Seriusan Fa. Itu aplikasi udah bagus banget. Temen-temen sampe tanya ke aku kok ini cuma 400 ribu.

“Ciwinya?” tanya Nicholas.

“Klien,” jawabku datar. Para asisten tertawa.

“Sudah Fa, mending lu coba deh jadiin pacar,” komentar Yusuf.

“Aku malas Suf. Kuliah aja belum kelar,” balasku datar.

“Wadaw, anti banget ternyata ya Mas Affa,” kekeh May.

Ada suara ketukan pintu menghentikan humor kami. Siegfried, yang paling dekat dengan pintu, membukakan pintu.

“Misi! Ada Legendaria kah?” tanya seorang laki-laki yang aku kenal dari angkatanku. Si super supel yang baru lulus praktikum pemograman pada tahun ke-4, Karim Hakim. Aku pun melihat ke arah pintu dan dia pun langsung menyelonong masuk.

“Karim!” tegurku. Dia pun berhenti.

“Ikuti aturan lab. Kalau kami belum persilahkan, jangan nyelonong masuk,” tegurku. Dia pun meminta maaf. Aku menyuruhnya mengisi buku tamu laboratorium, dan namaku sebagai asisten penanggung jawab.

“Fa! Fa! Bantuin dong!” ucapnya setelah selesai mengisi buku tamu.

“Apa lagi?” komentarku dengan nada sedikit kesal.

“Proyek besar. Pak Zaharian bilang kalau menurut bapaknya proyek kelompoknya kurang progressnya bakal dihangusin. Ini kelompokku kurang bagian aplikasinya. Plis bantuin dong,” pintanya panik. Oh, ini episode Pak Zaharian kalau sudah kesal di mata kuliah Proyek Besar. Semester kemarin, dan kemarinnya lagi, juga terjadi sih.

“Oke oke. Aku bisa setelah hari senin setidaknya. Kelas PB hari kamis kan?” tanyaku. Karim menganggukkan kepala.

“Makasih banyak lho Fa!” ucapnya senang. Jujur, meskipun sikapnya menjengkelkan, aku tidak sampai hati menolak anak ini. Entah, mungkin karena usahanya meski dia sangat tidak kompatibel.

“Aku balik dulu deh kalau gitu, maaf udah ganggu,” ucapnya lagi sebelum izin berpamitan. Setidaknya, dia tidak memaksakanku membantu dengan menampilkan laptopnya di depanku untuk meminta arahan sekarang.

Setelah Karim pergi, Yusuf menatapku heran.

“Kamu mau aja bantu kek dia,” komentar Yusuf. Aku hanya menghela nafas.

“Seenggaknya dia gak musuhin aku kek kalian waktu masih regenerasi. Aku tahu kok kalian dulu ngehina aku sama Rahima di belakang,” komentarku tajam. Yusuf terlihat bersalah mendengar kalimat itu, tapi memang perlu diingatkan kembali. Karim adalah anak yang berulang kali mencoba akrab denganku, meski aku dan Rahima risih dengan sikapnya kala itu. Dia yang berusaha sampai akhirnya angkatan terpaksa bermain keras pada hari itu. Taruhannya adalah satu angkatan tidak diakui oleh himpunan jika aku dan Rahima tidak datang hari itu.

Karena itu pula, hubungan kami berdua dengan angkatan sendiri menjadi sangat retak. Karim mungkin satu-satunya mediator yang membuat relasi itu pulih perlahan. Mungkin secara perlahan, Karim pula yang membuat anak-anak FTEI lainnya di angkatanku mengerti tentang diriku dan Rahima. Mungkin aku memang terlalu egois, ingin dimengerti, tapi enggan mengerti.

“Sudah, gak perlu dibahas, sudah berlalu toh?” tanya Zul mencoba memotong topik itu. Aku menganggukkan kepala. Ya. Sudah berlalu. Hanya sebagai kenangan buruk saja.

Sebuah pesan masuk ponselku. Aku melihat tulisan Arrow di sana.

Arrow: Kalau ada di tempatmu mau kerja praktik akhir semester nanti, aku buka slot kali ini. Khusus buat kampusmu aja dulu slotnya. Cabangnya Mixed Reality, Kecerdasan Buatan, Sistem Tertanam, Teknologi Game, dan Keamanan Sistem. Ini info detailnya [Foto]

Aku segera membalas pesan itu.

Affa: Apa harus secerdas Rahima, Mas?

Arrow: Tidak.

“Siapa?” tanya Yusuf lagi. Apakah ini kembali ke topik Aristy?

“Mas Arrow,” jawabku sekenanya.

“Jujur aja, dengar Mas Affa manggil Pak Arrow yang terkenal pakai ‘mas’ itu aneh ditelingaku,” komentar May. Aku justru heran kalian panggil mereka Pak. Mungkin wajar, mengingat aku kenal Mas Arrow dari lama.

Arrow: Ini sifatnya bukan seperti Rahima yang langsung proyek major. Aku bakal assign mereka ke hal-hal yang lebih sederhana. Oh ya, nanti Rahima yang arahin mereka, meski yang supervisor untuk administrasi bukan dia.

Affa: Saya rasa saya ada beberapa nama di benak. Akan saya informasikan.

“Tentang apa Mas?” tanya May lagi.

“KP di X Solutions kah?” tanya Dekker, berharap.

“Benar. Mas Arrow buka KP lagi,” jawabku kepada mereka. Mungkin ini caraku berkontribusi kepada teman-temanku sendiri, yang sebagian masih belum melaksanakan kewajiban ini. Aku membuka grup lintas angkatan.

Affa: Pengumuman kepada Mas, Mba, dan Adik semua. Ini informasi dari Pak Arrow. Untuk kerja praktik dibuka di Arrow X Solutions. Persyaratannya ada di gambar berikut. Jika ada yang berminat, harap diperhatikan bahwa untuk pembimbing disyaratkan Prof Murfid atau Prof Hari. Topik yang tersedia meliputi Mixed Reality, Kecerdasan Buatan, Sistem Tertanam, Teknologi Game, dan Keamanan Sistem. Persyaratannya tidak seberat waktu saudari Rahima melakukan KP pertama di sana, jadi silahkan Mas Mba dan Adik-Adik mengambil KP.

Affa: [Mengirim Foto]

Mungkin aku tidak perlu sebutkan bahwa pembimbing lapangannya adalah Rahima.

Makasih, Karim, Mas Arrow, mereka lupa soal 400 ribu dan Aristy.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hati Biru Affa   Epilog

    Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara

  • Hati Biru Affa   Bab 25

    “Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se

  • Hati Biru Affa   Bab 24

    “Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.“Good job, jammer,” keluhku.Mutia: Say?Mutia:

  • Hati Biru Affa   Bab 23

    “Tanpa hati, semuanya akan menjadi berat.”“SERIUSAN!?” teriakan itu dilontarkan oleh May kala anak-anak lab menghubungi asisten yang sedang lomba itu. Aku melihat asisten lainnya hanya menganggukkan kepala. Jam menunjukkan angka 7 malam.“Heh. Ada yang video gak eh!?” tanyanya lagi. Yusuf langsung memberikan jawaban.“Sudah aku rekam,” jawab Yusuf setegar mungkin. Ayolah Suf. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kamu patah hati.“Widih. Mas Yusuf gapapa tuh?” sindir May langsung. Anak itu memang sangat frontal ya.“Tangguh dong,” balas Zul membantu Yusuf. Yusuf langsung memberikan tos kepada rekannya itu, yang dibalas dengan cepat oleh Zul.&

  • Hati Biru Affa   Bab 22

    “Semua pilihan yang kita ciptakan, akan memiliki konsekuensi. Kita yang melarikan diri dari kenyataan pun, sadar akan hal ini.”“Maaf... saya telat,” ucapku dengan nada rendah kala aku tiba di laboratorium. Kesulitan tidur tadi malam karena kaset memori peristiwa hari sabtu kemarin masih berputar di otakku.“Tidak apa, Fa,” ucap Mutia, mewakili kelompoknya. Aku melihat praktikan lainnya tampak berbisik kecil ke diri mereka masing-masing. Antara hinaan, ejekan, atau apalah itu, aku tidak peduli opini mereka.“Langsung masuk saja. Asistensinya di ruangan lab,” komentarku kepada mereka seraya membuka pintu laboratorium.“Assalamu’alaikum,” sapaku kala memasuki laboratorium. Balas

  • Hati Biru Affa   Bab 21

    Jangan lupa untuk selalu memakai wajah poker, seperti seorang Kaito Kid.“Hei Affa!” suara tinggi itu mengejutkanku, membuatku menghentikan langkah dan membalikkan wajah, untuk dihadiahi dengan sebuah bogem mentah di wajah.“Apaan sih, Aristy!?” tanyaku ketus. Aristy mencoba mengoreksi tangannya yang baru saja membogem mentah wajahku.“Egois sekali,” jawabnya dingin.“Apa yang egois? Toh benar saja toh?” tanyaku datar. Aristy menatapku tajam.“Egois bangke! Lu gak sadar kalau tuh cewek mewek gara-gara lu bangke!” balasnya ketus. Terus, masalahnya apa dengan itu?“Lalu?”“Kamu takut kehilangan kan? Sikapmu i

  • Hati Biru Affa   Bab 20

    Kala kita meyakini bahwa semua beban kita bisa diselesaikan, kala itu kita mulai mencari jalan keluar dari beban itu dengan kepala dingin.Aristy: [Lihat Status] Takut kehilangan ya?Affa: Iya.Aristy: Kenapa?Affa: Hmmm....Aristy: Ya sudah. Gak ada yang maksa kok.Aku menutup percakapan itu dan menghembuskan nafas berat. Mungkin tidak ada salahnya menjelaskan sedikit. Setidaknya, beban di benakku bisa ku lepas.Affa: Aku kehilangan orang berharga dalam hidupku dulu.Aristy: Turut berduka.

  • Hati Biru Affa   Bab 19

    Ada harapan yang tidak tertulis, selain dalam hati.Aristy: Semua ada di chat kemarin.Affa: Aku sudah baca semua itu.Aristy: Apa kurang? Aku sudah memberikan percakapan intinya.Affa: Rasanya masih ada yang kurang.Aristy: Saat kamu bilang di grup dulu kamu menyukai seniormu, dia nangis kejer di chat denganku. Aku aja sampai harus tenangin tuh anak.Affa: Oh, 3 tahun lalu.Aristy: 2 tahun lalu dia mulai mencoba move on, tapi tidak bisa.Affa: Kenapa?

  • Hati Biru Affa   Bab 18

    Hati itu unik. Dia tidak mengikuti akal yang dimiliki manusia.Affa: Oh ya. Aku mulai kepikiran. Kamu akrab sama Aini?Aristy: Kenapa memangnya?Affa: Mau tanya. Aku jengkel soalnya.Aristy: Keknya kamu yang gak peka.Affa: Apa maksudmu?Aku merasa tersinggung dengan kalimat itu entah kenapa. Ini seperti Rahima mengejekku dengan kata ‘tidak peka’. Bedanya, ini adalah seorang perempuan yang tidak pernah bertemu denganku. Orang asing. Dia berani mengejekku.Aristy: Darimana aku harus mulai menjelaskan ya?

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status