Share

Di Antara

Tanpa ada pesan, pun telepon dari Gia sore itu, membuat Jesatya menghela napas saat ia melihat I*******m Story milik Gia bersama Ezra dan Danish. Tidak, Jesatya sama sekali tidak cemburu dan marah melihat kedua teman satu kantornya makan siang bersama kekasihnya. Yang ia sesalkan, harusnya Gia dapat mengabari ke mana ia akan pergi kesibukannya hari ini.

Jesatya meringis, membuka kacamata dan meletakkan benda itu ke atas meja di samping tempat tidur. Ia menatap lurus langit-langit kamarnya—di rumah Raga.

Seharusnya, Jesatya memikirkan Gia dan juga rencana mereka hari ini. Tapi anehnya, wajah yang terbayang sore itu bukan milik Gia, melainkan milih Daisi yang memberikannya senyuman kecil sesaat sebelum mereka berpisah siang tadi.

Dengan cepat, Jesatya menggeleng dan bangkit dari tidurnya. “Anjir, kenapa gue jadi mikirin dia? Udah sinting.”

Di saat yang bersamaan, handphone Jesatya berdering dan mengagetkannya. Jesatya langsung meraih benda itu dan melihat ibunya menelepon. Tanpa menunggu lagi, Jesatya langsung mengangkatnya.

“Ya, Ma?”

“Kamu di mana, Jes?”

“Di rumah Raga.” Jesatya menyengir, walau tahu ibunya tidak akan bisa melihat itu. Seperti yang sudah-sudah, ibunya langsung mengeluh.

“Di sana lagi. Kayak enggak punya rumah aja.”

Jesatya tertawa. Komentar ibunya itu persis sekali dengan komentar yang selalu Gia berikan setiap Jesatya menginap di rumah Raga.

“Kenapa, Ma?” tanya Jesatya, menanyakan alasan ibunya menelepon. Sebab, ibunya bukanlah orang yang suka menelepon. Wanita yang paling ia kasihi itu adalah tipe yang lebih senang bertanya lewat pesan saja.

“Kamu kapan pulang? Udah dua minggu kamu enggak ke sini.”

Jesatya menggaruk keningnya, sedang memikirkan jawaban yang dapat diterima oleh sang ibu. Pasalnya, Jesatya memang jarang pulang ke rumah karena menghindari pertanyaan seputar pernikahan dari orang tuanya.

Rumah orang tua Jesatya sebenarnya tidak jauh. Masih berada di Jakarta, seperti dirinya. Namun, untuk pulang ke rumah dengan kondisi hubungannya yang menggantung seperti ini, sepertinya akan sulit. Ucapan Raga hari itu di ruangan Haris tiba-tiba terlintas, membuat Jesatya merasa bahwa ini adalah peluang untuk menanyakan itu kepada ibunya.

“Ma, aku mau nanya.”

“Tanya apa?”

“Kenapa sih Mama dan Papa ngotot aku nikahnya harus sama Gia?”

“Loh? Kamu berantem sama Gia? Lagi?”

Lagi. Jesatya terdiam dan tidak bisa memberi komentar apa-apa terkait itu.

“Ma, gini, ya ... kalau ternyata aku dan Gia enggak berjodoh, apa mungkin harus dilanjutin? Aku enggak terima jawaban Mama seperti yang waktu itu.”

“Jesa ... Mama udah sayang sama Gia kayak anak Mama sendiri. Mama enggak tahu bisa nerima calon kamu selain Gia. Lagi pula, Papa juga merasakan itu, bukan cuma Mama. Kami juga udah kenal sama orang tua Gia, udah klop. Mencari besan yang sesuai itu juga enggak gampang loh, Jes. Kalau menikah itu, dua keluarga yang disatukan. Akur dengan calon keluarga baru itu juga mendukung kelancaran pernikahan kamu.”

“Buat apa akur sama calon keluarga kalau enggak bisa lagi akur sama calon istri, Ma?”

Kali ini, ibunya terdiam, bahkan cukup lama.

“Kamu sama Gia minggu depan harus ke rumah, ya. Kita makan bareng, sama orang tuanya Gia juga.”

“Ma—“

“Enggak ada tapi-tapi. Mama tutup.”

Ibu Jesatya langsung menutup teleponnya tanpa membiarkan Jesatya mengatakan apa pun lagi. Jesatya menghela napas dan melempar handphone-nya ke atas kasur dengan kasar. Sebenernya, yang nikah itu gue apa mereka, sih?! Ribet banget!

Saat Jesatya sedang tidak mood untuk melakukan apa pun, sebuah ketukan kecil di pintu kamarnya terdengar sebanyak dua kali. Pria itu menoleh, membiarkan Rena mendorong pintu kamarnya dan berdiri di muka pintu.

Sorry ... gue ganggu, ya?”

Jesatya menggeleng, meminta Rena menghampiri dengan tangannya tanpa bersuara. Perempuan berambut panjang ikal itu menyunggingkan senyum dan duduk di tepi tempat tidur.

“Kak, ntar malem gue sama Regi mau ngopi. Kak Jesa mau ikut?”

Jesatya menggeleng lagi. Wajahnya tampak lelah. “Enggak deh, Ren. Gue mau tidur aja. Capek.”

Rena mengangguk, memandangi Jesatya dengan lekat. Jesatya itu biasanya akan selalu menjahili dirinya dan Rafka jika sedang menginap di rumah. Tapi, mendengar hubungan Jesatya seperti di ambang-ambang dengan Gia, membuat pria itu menjadi tidak bersemangat melakukan apa pun.

“Maaf, tadi gue sedikit denger lo lagi teleponan sama Tante Lucy.” ujar Rena, menyebutkan nama ibunya Jesatya. “Kak Jesa beneran mau putus sama Kak Gia, ya?”

Jesatya menarik napas panjang dan menghelakannya. “Gue enggak tahu, Ren. Gue bingung, takut nyesel kalau ngeiyain apa yang Gia minta.”

“Kak Gia yang minta?”

“Iya, dia yang pengin putus. Alasannya masih selalu sama. Sparks-nya udah enggak ada.”

“Hmmm ... tapi, kalau gue lihat pas lo teleponan sama Kak Gia tadi malem, masih ada kok, dikit. Jadi ... masih bisa diselamatin, kalau lo dan Kak Gia mau.”

“Menurut lo begitu?”

Rena mengangguk. “Iya. Tergantung kemauan lo dan Kak Gia. Kalau lo berdua enggak niat, enggak bakalan bisa. Semua tergantung dari niat, Kak. Dicoba dulu, hasilnya gimana, itu urusan nanti.”

Jesatya termangu, perlahan menipiskan senyum dan terkekeh pelan. Ia mengangguk, mengiyakan ucapan Rena yang ada benarnya juga. “Thanks, Rena.”

“Jadi, gimana? Mau ikut?” tanya Rena lagi.

“Raga sama Rafka?”

“Enggak. Kak Raga males dan Rafka apa lagi.”

Jesatya bergumam, tampak berpikir. Melihat lamanya lelaki itu berpikir, Rena mengernyit dan menarik-narik tangan Jesatya.

“Ayolah, Kak! Kapan lagi gabung sama anak-anak muda?!” gurau Rena.

“Anak muda apaan sih! Cuma beda empat tahun doang, Ren!”

“Yang penting belum mau ke tiga puluh!” balas Rena tak mau kalah.

Jesatya tertawa lalu menganggukkan kepalanya beberapa kali agar Rena berhenti menarik-narik tangannya. Jesatya tahu, Rena melakukan itu supaya ia terhibur dan tidak terlalu memikirkan permasalahannya bersama Gia.

“Oke, oke. Gue ikut.” ujar Jesatya akhirnya. “Raga beneran enggak mau ikut dia? Lo harusnya cariin abang lo itu cewek, Ren.”

“Ih, itu mah pilihannya Kak Raga. Gue enggak mau ikut campur.” kata Rena. Ia kemudian melebarkan senyumnya. “Jam tujuh, ya!” serunya sambil berjalan meninggalkan kamar Jesatya.

Jesatya menghela napasnya. Yah ... tidak ada salahnya juga sesekali ia duduk bersama Rena dan Regi.

***

Jesatya mengerlingkan pandangannya pada sebuah kedai kopi minimalis yang didesain dengan sangat cantik dan kekinian, tidak jauh berbeda dari kedai-kedai kopi modern lainnya. Yang Jesatya tahu, kedai kopi ini milik sahabat baiknya Rena dan Regi dan mereka memang sering menghabiskan waktu di sini, apalagi di malam minggu.

Jesatya pernah datang ke tempat ini beberapa kali. Jadi, ia cukup mengenal si pemilik kedai kopi yang bernama Hazel itu.

“Hai, Bang Jesa!” Hazel langsung menyapanya ketika melihat Jesatya datang bersama Rena dan Regi. Ia berjalan menghampiri Jesatya dan mengangkat tangan kanannya untuk menyalami Jesatya. “Apa kabar?”

“Baik, Zel. Lo apa kabar? Makin ramai aja nih, kedai lo.”

Hazel terkekeh dan mengangguk mengiyakan. “Iya, nih. Alhamdulillah. Mau pesen apa, Bang? Yang biasa?”

Jesatya menganggukkan kepalanya kepada Rena. “Tanya Rena aja ya, Zel. Gue mau ke toilet dulu nih.”

“Siap,” balas Hazel yang kemudian mengobrol bersama Rena dan Regi di tempat mereka biasa duduk.

Jesatya tersenyum dan berjalan menuju toilet yang terletak di dekat tangga menuju lantai dua. Toilet itu harus melewati taman belakang Haz—nama coffee shop milik Hazel itu. Terakhir datang kemari, Jesatya masih memuji interior tempat itu dan sekarang pun rasanya masih sama.

Setelah Jesatya selesai di toilet dan mencuci kedua tangannya, pria itu keluar dari toilet dan bermaksud untuk menghampiri Rena dan Regi. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang perempuan yang tidak asing sedang berjongkok di dekat kolam ikan sembari memberi makan kucing-kucing liar dengan botol makanan di tangannya.

Seulas senyum kemudian terpatri di wajah Jesatya, tidak menduga bahwa ia akan bertemu lagi dengan Daisi di tempat ini.

“Daisi?”

Daisi mendongak, mengerjap beberapa kali karena kebingungan melihat Jesatya di sana. Gadis itu berdiri dan ikut menyunggingkan senyumnya. “Kak Jesa?”

Jesatya terkekeh. “Ketemu lagi.”

“Iya, nih. Datang sama Rena dan Regi, ya?”

Jesatya refleks menoleh untuk menatap Rena dan Regi yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Tak lama, ia kembali menatap Daisi. “Gitu deh. Dipaksa sih sama Rena.”

“Rena sama Regi enggak pernah absen malam minggu ke sini. Mau tahu kenapa?”

“Kenapa?”

Daisi mengulum senyum yang menarik dan menoleh ke arah coffee bar dan menunjuk Hazel yang sedang sibuk. “Itu Kak Hazel. Kakak sepupu gue.”

Jesatya tampak terkejut. “Lo sepupuan sama Hazel?”

“Loh, kenal?”

Jesatya mengiyakan. “Emang enggak sesering Rena dan Regi, tapi gue beberapa kali ke sini kok, bahkan tanpa si kembar itu. Kadang sama Raga.”

Daisi mengangguk paham. “Sampai mana tadi?”

“Sampai lo sepupuan sama Hazel.”

“Oh iya,” ujar Daisi membuat Jesatya menyengir. “Kak Hazel itu ... adalah salah satu alasan kenapa Rena sering mampir ke sini. Dia naksir.”

“Oh wow,” balas Jesatya. “Berita yang sangat menarik sekali untuk gue ketahui, thanks, Daisi.”

Daisi terkekeh. “You’re welcome.”

“Terus, kalau buat Regi?” tanya Jesatya lagi. Informasi-informasi ini tentu sangat menarik baginya.

Daisi kembali menoleh ke coffee bar, mencari-cari sosok perempuan berambut pendek yang tidak terlihat di sana. Daisi bergumam, mengernyitkan dahi. “Kok enggak ada, sih?”

Tiba-tiba, pintu toilet wanita terbuka, menampilkan sosok perempuan yang Daisi cari sejak tadi. Perempuan itu tersenyum kepada Daisi sebelum akhirnya kembali ke coffee bar.

“Itu,” kata Daisi. “Namanya Jovanka, cewek dingin yang enggak pedulian. And yes, Regi suka tapi masih ditolak mulu sama Jo.”

Jesatya mengangguk sembari mengusap dagu, tampak serius mendengarkan cerita Daisi. “Menarik banget loh, Si. Bisa gue gunakan kalau Si kembar enggak nurut, nih.”

Daisi terkesiap dan langsung menoleh kepada Jesatya. “Jangan kasih tahu kalau gue yang bilang, ya!”

Jesatya menyipitkan matanya dan menganggukkan kepala. “Aman.”

Daisi tersenyum. “Kayaknya lo deket banget sama keluarga Rena.”

“Iya. Gue sama Raga udah temenan dari SMA, sih. Jadi udah kenal lama banget. Bahkan lebih sering tinggal di rumah Raga daripada apartemen sendiri.” Jesatya tersenyum, menatap Si Kembar yang sedang asik. “Di rumah mereka lebih ramai daripada apartemen gue yang sepi.”

I can relate that,” balas Daisi. “Gue pernah beberapa kali ke rumah Rena dan yah ... lo bener. Emang ramai banget and it’s fun.”

Jesatya balas tersenyum lalu mengajak Daisi untuk masuk ke dalam. “Ngomong-ngomong, waktu gue ke sini, kenapa enggak pernah lihat lo, ya?”

“Karena emang baru sekarang aja part time di sini. Sebelumnya enggak kok.”

Jesatya mengangguk paham. Pantas saja, ia tidak pernah melihat Daisi sebelumnya ketika ia datang ke Haz sendirian, bersama Si Kembar, atau pun Raga.

“Gue masuk dulu ya, Kak. Kalau bolos ntar dimarahin Kak Hazel.” Daisi menyengir lalu berjalan masuk lewat pintu belakang menuju dapur Haz.

“Kak Jesa!” seru Rena dari tempatnya.

“Iya!” balas Jesatya, menghampiri Si Kembar di tempat mereka duduk. Dan sesekali, melirik ke arah dapur, walau Daisi tak terlihat lagi di sana.

***

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, di mana Gia kembali duduk di mobil Ezra dan diantar pulang oleh pria itu.

“Lo jadi ngantarin gue pulang lagi deh,” ujar Gia.

Ezra yang tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan seketika tersenyum mendengar komentar Gia tersebut. Padahal, Ezra sama sekali tidak keberatan melakukan itu. Lagi pula, Ezra tidak mungkin juga meninggalkan teman sekaligus pacar temannya sendirian setelah mereka makan-makan tadi bersama Danish.

“Emang tadi lo pergi sama Danish ya, Zra?” tanya Gia, mengingat Danish yang tidak ikut pulang bersama mereka.

“Waktu pergi tadi iya, Gi. Bareng dari kantor. Biasalah, Danish mah anak nongkrong.”

“Anak nongkrong banget emang. Temen-temen gue aja sampai kenal sama Danish.”

“Gimana sama Jesa, Gi? Udah ada ngehubungin lo?”

Raut wajah Gia mendadak kesal ketika Ezra membahas tentang pacarnya itu. Sebab pria itu memang belum ada menghubunginya. Entah menunggu Gia menghubungi duluan atau malah sama sekali tidak berniat mengubungi karena ia sudah asik duluan di luar sana.

“Ah, elo mah, Zra ... ngapain sih bahas-bahas dia. Gue udah lupa padahal.” kata Gia sebal.

“Bukan gitu, Gi ... yang namanya masalah itu ya harus segera diselesaikan. Masalah kalau didiemin ntar makin gede terus makin susah buat diselesaiin.”

Gia terdiam, melempar pandangannya ke luar jendela. Bukannya ia tak sadar dengan itu, tentu saja ia sangat paham dan bahkan telah melewati masa-masa itu lebih dari sekali bersama Jesatya. Akan tetapi malam ini, Gia hanya tidak ingin memikirkan soal itu.

“Ya udah, Gi. Jangan bete dong.” ujar Ezra. “Udah nyampe nih.”

Gia menengok, tidak sadar bahwa sejak tadi Ezra telah memasuki area gedung apartemen tempat dia tinggal. Gia menghela napas, entah mengapa merasa sedikit kecewa karena telah sampai di apartemennya. Padahal, ia ingin bercerita lebih banyak dengan Ezra.

 “Thanks lagi ya, Zra. Bukan cuma soal tumpangan tapi buat wejangan-wejangannya juga.” kata Gia setelah menutup pintu mobil Ezra.

“Wejangan apaan, sih? Ngejek lu.” balas Ezra membuat Gia tertawa.

Setelah meredakan tawanya, Gia mengulum senyum dan membalikkan tubuh, bermaksud untuk meninggalkan Ezra dan membiarkan pria itu pulang.

“Gia,” panggil Ezra.

Gia menghentikan langkah, memutar tubuhnya dan menatap Ezra.

Good night.” Ezra tersenyum sebelum melajukan mobilnya meninggalkan area gedung apartemen.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status