Share

Bunga Daisy

Jesatya sangat menantikan akhir pekannya minggu ini. Semua dikarenakan janjinya bersama Gia untuk makan siang bersama di Belle’s, tempat pertama kali mereka mulai menyandang status sebagai sepasang sekasih.

Salah satu faktor hambarnya hubungan ia dan Gia adalah kesibukan masing-masing yang menghambat waktu untuk menghabiskan waktu bersama. Jesatya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia mengajak Gia untuk pergi bersama di akhir pekan.

Menyadari bagaimana ia pun merasa semangat hari ini, Jesatya yakin bahwa perasaannya kepada Gia masih tersimpan di lubuk hatinya yang paling dalam. Perasaannya seperti dulu—yang selalu tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersama dengan Gia.

“Jadi juga lo pergi?”

Jesatya yang baru saja menuruni tangga di kediaman rumah Ardhias langsung disambut oleh Raga—si pemilik rumah yang sedang bersantai menikmati secangkir kopi hangat di ruang keluarga. Sadar dengan pertanyaan Raga yang sedikit sarkas, Jesatya tersenyum.

“Jadi. Semoga,” ujarnya sambil menilik rumah yang biasanya ramai, kini tampak sepi. “Kok sepi, sih? Adik-adik lo mana?”

“Ke Exhibition-nya Rena, Jes. Bukannya Rena udah ngasih tahu semalam?” balas Raga. “Regi ikut sama Rena bantuin untuk persiapan. Ntar lagi gue nyusul ke sana sama Rafka.”

“Astaga ... iya, ya. Gue lupa. Ntar deh habis makan siang gue nyusul bareng Gia, ya.”

Raga manggut-manggut, mencicipi kopinya dengan hati-hati seraya memandangi Jesatya yang menuangkan kopi untuknya sendiri. “Jadi, makan siang ini dalam rangka apa, Jes?”

We want to fix it,” jawab Jesatya setelah merasakan hangatnya kopi. Ia menghela napas dan tersenyum. “Walaupun gue enggak berharap tinggi, Ga ... tapi, enggak ada salahnya, ‘kan?”

Raga menyunggingkan senyum. Ia telah mengenal Jesatya sejak SMA dan sangat tahu bagaimana loyalnya Jesatya dalam menjalin suatu hubungan. Bahkan, Gia adalah pacarnya yang paling lama menjalin hubungan dengannya.

“Bagus, sih. Kali aja bisa balik kayak dulu, Jes. Who knows, ‘kan?”

I hope so, Jesatya membatin. Berharap yang ia harapkan dan Raga katakan bisa berjalan dengan baik. Lagi pula, mencari orang baru yang benar-benar pas untuknya di umur sekarang tidaklah mudah.

Jesatya pun mengeluarkan handphone-nya dan mengirimkan pesan untuk Gia, bermaksud untuk menjemput gadis itu di apartemennya. Tidak perlu waktu lama baginya untuk menunggu balasan dari Gia. Hanya saja, balasan yang Gia berikan untuknya justru sangat mengecewakan.

My Luthesa: Jesa, maaf banget. Aku mendadak ada kerjaan, disuruh Bu Clarissa ke kantor buat bantuin dia. Maaf banget ... nanti aku hubungi kalau udah kelar kerja.

“Enggak bakalan bisa kayaknya,” tutur Jesatya sambil meletakkan handphone-nya ke atas meja dengan kasar. Ia mengusap wajahnya pelan. “Gia mendadak ada urusan kantor. Selalu kayak gini, Ga. Ujung-ujungnya gue atau Gia yang bakalan kesel dan kita berantem lagi.”

Raga menatap temannya itu dalam diam. Jesatya terlihat sudah muak dengan kondisinya bersama pacarnya itu. Raga pun tahu, ke mana pesan itu akan berlanjut nantinya.

“Daripada lo galau kayak gini, ikut gue ke Exhibition-nya Rena aja mau enggak?”

***

Kesal? Tentu saja. Jesatya kesal karena hanya ia yang terlihat menantikan menghabiskan akhir pekan bersama Gia. Walau begitu, Jesatya tidak bisa menyalahkan Gia. Jesatya tahu bagaimana menyebalkannya Clarissa—CEO perusahaan tempat Gia bekerja.

“Kan yang ngeliput Clarissa, si Ezra, Jes.” sahut Raga.

Jesatya yang sedang menyetir menoleh sekilas kepada Raga lalu kembali menatap lurus jalanan. “Oh iya? Kok gue enggak tahu, sih.”

“Lo kapan tahunya,” ejek Raga dan Jesatya menanggapi dengan kekehan kecil.

“Rafka, jangan main game mulu. Nanti kamu pusing.” tegur Raga tiba-tiba kepada adik paling kecilnya yang duduk di belakang.

“Hmmm,” Rafka si anak bungsu itu hanya berdeham malas.

Karena sudah terlanjur berpakaian bagus di hari Sabtu, Jesatya langsung setuju untuk ikut dengan Raga ke Photography Exhibition Rena.

***

Pameran foto tersebut cukup ramai. Setelah Jesatya melihat hasil potret milik Rena, Jesatya memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri mengelilingi pameran itu.

Dari pamflet yang ia pegang, Jesatya merasa takjub sendiri dengan hasil potret yang sedang dipamerkan di sana. Senyum kecil tampak menghiasi wajahnya, sudah lama juga ia tidak datang ke tempat seperti ini.

Langkah Jesatya terhenti tepat di depan sebuah gambar bunga Daisy dengan sinar matahari hampir terbenam. Jesatya termangu menatapnya.

Indah. Gambar itu benar-benar indah—hingga membuat Jesatya tidak dapat mengatakan apa pun. Jesatya mendekat, membaca nama yang tertera di bawah bingkainya.

Daisila Alma Meisie—“Aku pun, ingin seperti bunga Daisy”. Tulisnya di sana.

Jesatya tanpa sadar tersenyum lagi. “Even namanya juga indah banget. Keren.”

“Gambarnya Daisi emang keren. Bete.”

Jesatya menoleh ke sampingnya, Rena berdiri di sana sembari memandangi foto milik Daisi.

“Lo kenal, Ren?”

Rena mengangguk. “Kenal. Pernah satu komunitas. Bisa dibilang rival gue, sih.”

Jesatya menatapnya tidak percaya. “Masa, sih?”

“Ih, beneran, Kak! Kalau kata guru gue sih gitu.”

Jesatya terbahak, mau tak mau mengiyakan perkataan Rena dan mengacak pelan rambut perempuan yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.

“Tapi, Daisi tuh enggak kayak namanya sih, Kak.” cetus Rena seraya merapikan rambutnya sendiri.

“Maksudnya?”

“Dia bilang, dia enggak suka namanya karena suka dibandingin sama bunga Daisy. Padahal ... namanya cantik. Iya, ‘kan?”

Jesatya kembali memandangi foto itu dan tersenyum kecil. “Bener. Namanya cantik.”

“Nah, panjang umur. Orangnya datang. Daisi!”

Jesatya langsung saja menolehkan kepala ke arah Rena melihat—memanggil Daisi yang sepertinya sedang berjalan ke arah mereka.

Senyum yang terpatri di wajah Jesatya karena tak sabar bertemu dengan si pemotret pemandangan indah itu pudar, saat ia mengenali wajah Daisi yang semakin mendekat dengannya.

Itu ... dia, perempuan yang hampir ia tabrak beberapa hari yang lalu. Perempuan yang hampir tetabrak karena menyelamatkan kucing. Perempuan yang Jesatya kira adalah makhluk tak berwujud.

Ternyata, namanya Daisi. Perempuan yang seindah namanya.

***

Jesatya memandangi Daisi—si pemilik gambar bunga Daisy di bawah matahari hampir terbenam lekat.

Saat bertemu dengan Daisi di bawah gelapnya malam, Jesatya tidak begitu memperhatikan selain rambut hitam legamnya yang malam itu ia biarkan terurai. Selain itu, Daisi juga menggunakan kacamata.

“Hai, Ren,” sapa Daisi kepada Rena, menyunggingkan senyum kecilnya. “Gimana?”

“Apanya? Foto lo? Mau gue puji kayak gimana lagi, Si?”

Daisi terkekeh pelan hingga netranya menangkap sosok Jesatya yang berdiri di dekat Rena.

“Cowok lo ya, Ren?” tanya Daisi yang dengan cepat langsung disanggah oleh Rena.

“Enak aja, enggak!”

“Kok lo kayak enggak terima gitu sih, Ren?!” Jesatya pun menyahut, tersinggung dengan ucapan Rena.

Rena memutar bola matanya, mengabaikan ucapan Jesatya. “Ini temennya Kak Raga, Si, bukan cowok gue.”

Daisi lalu menoleh, menatap Jesatya lagi. Cukup lama keduanya saling menatap, hingga Daisi terkesiap saat ia mengenali wajah Jesatya.

“Eh ... Mas ini bukannya yang malam itu hampir nabrak kucing, ya?”

Rena, yang sejak tadi hanya memperhatikan keduanya langsung mengernyitkan dahi kepada Jesatya. “Kok nyetir enggak hati-hati sih, Kak?!”

“Ngelihat kucingnya aja enggak, Ren. Duh, bawel amat sih lo,” balas Jesatya.

Rena menggelengkan kepalanya. Lalu, seseorang dari arah tempat fotonya dipamerkan memanggil. Maka Rena pun pamit kepada Daisi dan Jesatya, meninggalkan keduanya dalam kecanggungan.

“Ngomong-ngomong, gue bukannya hampir nabrak kucing tapi hampir nabrak lo.” Suara Jesatya mengudara lebih dulu.

Daisi tertawa. “Maaf ya, Mas, soalnya kalau gue teriak juga kayaknya lo enggak denger.”

“Jesatya aja, enggak usah Mas.”

“Eh ... emang umurnya berapa? Gue enggak suka manggil orang yang lebih tua enggak pakai embel-embel. Panggil Kakak aja gimana?”

Mendengar itu, entah kenapa, Jesatya langsung menyunggingkan senyum. “Boleh juga.”

Daisi ikut tersenyum lalu memandangi hasil potretnya sendiri. Ia pun ikut merasa puas dengan hasil karyanya.

“Foto lo bagus banget. Ambil di mana?”

“London,” jawab Daisi. “Kebetulan waktu itu lagi liburan. Terus, enggak sengaja lewat taman yang banyak Daisy-nya. Jadi, gue jepret aja. Enggak nyangka juga hasilnya bagus.”

It’s beautiful.” puji Jesatya tulus. Bagi Jesatya pun, melihat foto itu menenangkan hatinya—entah karena apa. Hanya saja, saat ia melihat itu, perasaan kesalnya terhadap Gia pun hilang.

Daisi menoleh, tersenyum kepada Jesatya. “Senang dengernya kalau banyak yang suka.”

Jesatya meliriknya sekilas dan kembali memperhatikan foto milik Daisi. Tulisan yang Daisi buat tepat di bawah foto itu tiba-tiba membuat Jesatya bertanya.

“Kenapa lo pengen kayak bunga Daisy?”

Daisi termangu, mengulum senyum dan hanya menatap Jesatya. Tampak sangat jelas dari raut wajah gadis itu bahwa ia tidak ingin membahasnya dan berharap kalimat itu bisa tetap menjadi teka-teki dan membiarkan orang untuk menebaknya. Walau Daisi rasa, semua orang yang mengenalnya tahu tentang hal itu.

“Menurut lo kenapa?”

Jesatya mengulum senyum, merasa lucu dengan pertanyaan yang Daisi berikan kembali untuknya. Jesatya malah bergumam cukup panjang. “Kayaknya enggak etis kalau gue nebak itu di hari pertama kita ketemu ya.”

“Itu lo tahu jawabannya.” balas Daisi lalu berlalu pergi meninggalkan Jesatya.

Jesatya memandangi punggung Daisi yang berjalan menjauhi dirinya sembari menyapa beberapa orang yang menyapanya. Ia menggeleng, kembali memandangi hasil jepretan Daisi yang sepertinya tidak akan bosan ia pandangi sampai kapan pun.

***

Gia menggeram kesal saat ia diperintahkan Clarissa secara mendadak untuk datang ke kantor di akhir pekan. Sungguh, jika saja Clarissa bukan bosnya, ia tidak akan repot-repot mematuhi ucapan wanita berusia empat puluh itu.

Clarissa bilang, untuk interview khususnya hari ini, ia membutuhkan kehadiran Product Designer untuk hadir di kantor. Katanya, agar Gia juga bisa turut serta menjelaskan tentang Product perusahaan dan dari banyaknya Product Designer di kantor itu, Gia lah yang terpilih.

Setelah interview-nya selesai, Gia buru-buru pergi meninggalkan ruangan Clarissa dan berjalan menuju balkon. Ia langsung membuka handphone-nya dan memeriksa chat dari Jesatya. Namun nyatanya, ia tak melihat balasan atau pertanyaan apa pun lagi dari Jesatya. Gia menghela napas, mendongakkan kepalanya dan menatap langit sore hari itu.

Sebuah kaleng soft drink dingin tiba-tiba terasa di pipi kirinya. Gia terkesiap dan langsung menoleh, untuk melihat Ezra yang sedang memamerkan gigi putih bersihnya.

“Zra ... bisa enggak sih, jangan ngagetin gue.”

Ezra terkekeh dan menyerahkan satu kaleng soft drink untuk Gia. “Kenapa sih? Jelek banget itu muka.”

“Menurut lo aja!” keluh Gia. “Gue disuruh tiba-tiba datang pas weekend, Zra, weekend!” Gia menggelengkan kepalanya. “Gue harusnya lagi makan siang di Belle’s sama Jesa. Lagi ngenang masa-masa dulu. Bukannya di sini ... kejebak sama bos yang nyebelin. Udah gitu, Jesa kayaknya marah banget, sampai enggak bales chat gue lagi.”

“Bang Jesa kayaknya lagi di Exhibition-nya Rena tuh. Gue lihat I* Story-nya Rena tadi.” ujar Ezra, meneguk minuman dinginnya. “Mungkin karena lagi ramai, dia enggak sempat lihat handphone, Gi.”

Gia manggut-manggut, berharap apa yang Ezra katakan itu benar. “Mungkin aja ya, Zra. Gue kayaknya udah ngecewain dia, sih.”

“Dia pasti kesel, Gi. Tapi ... gue rasa dia bisa ngerti, kok.”

Gia menoleh, menatap Ezra lekat-lekat. “Zra ... lo tuh, kenapa baik banget, sih?!” serunya sembari menggoncang tubuh Ezra beberapa kali.

“Iya, iya, udah, Gi, udah.”

Gia tertawa. “Eh, ngomong-ngomong, bukannya lo datang sama Danish? Mana anaknya?”

Ezra membalikkan tubuhnya, memandangi Danish—si Fotografer—yang datang bersamanya hari ini. Pria itu baru saja datang menghampiri Ezra sembari menenteng ranselnya yang berat.

“Zra!” Danish berteriak, membuat atensi Gia pun teralih padanya. “Bisa-bisanya ninggalin gue.”

Sorry, sorry.” kata Ezra.

Danish yang akhirnya berhasil menghampiri Ezra dan Gia menghelaka napas sambil dan meletakkan ranselnya di bawah. “Berat banget. Capek. Besok gue bakalan tidur seharian!”

“Capek ya, Nish?” tanya Gia. “Makan, yuk!”

Danish mengangguk-angguk. “Boleh banget tuh, Gi. Tapi, bentar lagi ya. Gue masih capek banget ini.”

“Aman! Iya kan, Zra?” kata Gia.

Ezra menyunggingkan senyum, menatap Gia dan mengangguk. Seketika, Gia melupakan masalahnya bersama Jesatya dan memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri, hanya untuk hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status