Share

Bab 3

“Kedatangan saya bukan atas kemauan Rafi. Ini kemauan saya sendiri. Saya ingin mengaku dosa kepadamu, karena telah menghancurkan hidupmu, Rafi dan anak-anak. Saya tak tenang, Naz. Apalagi sejak ayah meninggal. Saya merasa Rafi ... Rafi tak sungguh-sungguh ingin menghabiskan hidupnya bersama saya.” Renata tertunduk sesaat.

“Maksudnya?” tanya Nazwa tak mengerti.

“Sebagai seorang suami, Rafi adalah suami yang baik. Ia memberikan saya nafkah lahir yang lebih dari cukup. Tapi sebagai seorang laki-laki, ia bukan laki-laki pembohong. Ia tak bisa melenyapkan bayanganmu darinya. Dan itu yang membuat ia tak bisa menggenapkan nafkah batinnya kepada saya, Naz. Mungkin kamu tidak percaya, tapi saya berkata jujur.” Renata menatap mata Nazwa. “Sejak kami menikah, saya belum pernah disentuh Rafi,” lirih Renata pelan.

“Astaghfirullah alaziem,” ucap Nazwa dalam hati. Ditatapnya lekat-lekat mata Renata. Dan ia tidak menemukan kebohongan di sana. “Tega sekali Rafi,” batinnya lagi. Sebagai seorang wanita dewasa yang telah menikah, Nazwa bisa merasakan kegalauan Renata.

“Setiap kali saya tanyakan mengapa, Rafi bilang, bahwa ia tidak ingin menyakiti hati saya. Katanya, “Aku minta maaf, Ta. Tapi bukan aku sengaja. Aku hanya... aku tidak  bisa melakukannya dengan membayangkan wanita lain saat aku melakukannya denganmu. Tepatnya, aku hanya bisa melakukannya dengan wanita yang aku cintai. Sekali lagi, maaf, Ta. Kamu pun tahu alasan sesungguhnya aku menikahimu. Mungkin aku terdengar sangat egois. Tapi, inilah aku.” Renata menunduk sesaat.

“Jujur, setiap kali Rafi bicara seperti itu, saya marah padamu, Naz. Saya cemburu. Kesal! Mengapa Rafi tak segera menutup cerita kalian setelah menikah dengan saya?!” suara Renata terdengar penuh emosi.

Nazwa tak mampu berkata. Ia hanya menatap Renata dan membiarkannya meluapkan perasaannya. Sungguh ia tak mengerti harus bagaimana menyikapi perasaan Renata.

“Dua puluh dua tahun saya memendam harapan padanya. Dua puluh  dua tahun, Naz, kebersamaan kami. Tak sedetikpun saya melepaskan perasaan padanya. Saya selalu menunggu, saat ia mengutarakan perasaannya dan meminta saya  menikah dengannya. Ia pernah berjanji pada orang tua saya bahwa sebelum ia mapan, ia tak akan menikahi wanita manapun. Dan itu memang ditepatinya.”

Nazwa tak menyangka bahwa Renata memendam rasa terhadap Rafi. Diduganya selama ini, semua perhatian dari Renata terhadap keluarga kecilnya adalah tulus perhatian seorang sahabat dan saudara. Karena yang Naz ketahui, Rafi telah tinggal bersama keluarga Renata bertahun-tahun dan telah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.

“Kamu tahu, Naz, ternyata orang tua saya pun menaruh harapan yang sama dengan saya. Mereka juga dengan sabar menanti kemapanan yang dirasa Rafi cukup untuk bekal mengajak saya menikah. Mereka menilai, Rafi adalah laki-laki yang bisa melindungi, menjaga dan menyayangi saya seperti yang selama ini ia perlihatkan. Rafi memang sangat care terhadap saya. Tapi ... “ Renata terdiam.

“Tapi apa?” tak urung Nazwa penasaran juga.

“Ternyata perasaan Rafi pada saya hanyalah sebatas persaudaraan. Saya mengetahuinya saat ia bercerita telah mengenal seorang wanita yang telah berhasil mencuri hatinya. Wanita itu   membuat hidupnya tak tenang, karena ia tak tahu perasaan wanita itu terhadapnya. Dua tahun lamanya saya menekan perasaan cemburu dalam-dalam. Mendengarkan dongeng tentang wanita pujannya dengan hati pedih tersayat-sayat.

"Dan sayatan itu semakin menganga lebar, saat dengan penuh binar ia berkata, “Ta, Renata. Dengar! Hidupku akan sempurna. Lengkap! Kamu tahu kenapa? Karena Nazwa telah bersedia menikah denganku! Kamu dengar? Nazwa bersedia menikah denganku!” setelah itu ia menari-nari dan bernyanyi seperti anak kecil mendapatkan permen.” Renata menghembuskan nafasnya sejenak.

“Sementara saya? Menatapnya dengan dipenuhi air mata. Saat Rafi merasa dunianya baru saja terbangun, saya merasakan dunia saya hancur. Saya tak sanggup menyampaikan berita ini kepada orang tua saya. Hati ini saja remuk redam, bagaimana nanti dengan hati orang tua saya? Tak tega rasanya menghancurkan impian mereka tentang saya, anak semata wayang yang telah mereka hidupi dengan perjuangan.” Renata berucap lirih.

“Maaf, Renata. Saya  tidak tahu kalau ... “ Naz menyela cerita Renata.

“Tak perlu meminta maaf, Naz. Itu bukan salahmu,” tutur Renata lembut. Dengan tersenyum, ia melanjutkan, “Sesungguhnya, saya juga tidak mengerti kesalahan siapakah ini sebenarnya? Apa salah orang tua saya, yang menginginkan Rafi benar-benar menjadi anaknya dengan menikahi saya? Salah sayakah, yang bermimpi bisa bersanding dengan laki-laki sebaik Rafi? Atau salah Rafi yang sepertinya tidak menyadari akan harapan saya dan orang tua saya? Entahlah Naz. Saat itu saya betul-betul patah hati. Saya bahkan tahu rasanya perasaan orang yang ingin bunuh diri.”

“Sampai sebegitukah rasanya?” tanya Nazwa tak percaya.

Renata tersenyum. “Mungkin kedengarannya lemah dan cengeng sekali, Naz. Jujur, iya. Saya ingin segera minggat dari dunia ini. Apa lagi yang mau saya harapkan, jika seseorang yang saya inginkan melangkah bersama dalam hidup ini tak lagi bisa saya miliki. Tapi, Alhamdulillah. Allah masih sayang pada saya. Tak sampai saya mengambil langkah pengecut itu.”

“Kamu memang perempuan yang tegar. Seingat saya, kamu dulu menghadiri pernikahan kami,” Ujar Nazwa lembut.

“Ya. Saya harus datang. Saya ingin memperlihatkan pada Rafi bahwa cinta saya benar-benar tulus untuknya. Jika ia bahagia denganmu, maka saya pun akan bahagia. Walau kenyataannya berat sekali.” Renata kembali tertunduk. “Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa ayah dan ibu saya tak menghadiri pernikahan kalian?” tanya Renata kemudian.

“Awalnya iya. Tapi Rafi menjelaskan bahwa ayah dan ibumu sedang ada di luar kota karena bersamaan ada keluarga yang merayakan pernikahan juga. Kehadiranmu sudah cukup mewakili, begitu kata Rafi. Dan saya bisa mengerti.” Jawab Nazwa.

Renata kembali tersenyum. “Ya, kejadian itu memang benar. Orang tua saya menjadi saksi pernikahan keponakan saya. Tapi, kalau mereka tahu bahwa Rafi juga akan menikah di hari yang sama, pastilah mereka tidak akan mengiyakan permintaan itu. Sejujurnya, saya tidak mengabarkan hal itu karena saya tahu dampak yang akan terjadi pada mereka. Dan saya memang melarang Rafi untuk memberitahu rencana pernikahannya.”

“Tapi, Ta. Apapun itu, sepertinya tidak akan ada gunanya lagi. Toh, saya dan Rafi sudah berpisah. Kami punya kehidupan masing-masing sekarang. Rafi denganmu, dan saya ... Insha Allah, sedang menuju hal yang sama dengan apa yang kamu dan Rafi lakukan saat ini,” Gamblang Nazwa bertutur.

“Itulah maksud kedatangan saya, Naz. Saya ingin kamu mempertimbangkan kembali sebelum semuanya terlambat.” Renata berkata dengan hati-hati.

“Maksudmu?” tanya Nazwa tak mengerti.

“Keluarga kecilmu bisa dipersatukan kembali, Naz. Aku akan melepaskan Rafi. Kalian bisa menikah kembali. Dan anak-anak tidak akan kehilangan ayah dan bundanya,” Jawab Renata berusaha meyakinkan.

***********

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status