“Kedatangan saya bukan atas kemauan Rafi. Ini kemauan saya sendiri. Saya ingin mengaku dosa kepadamu, karena telah menghancurkan hidupmu, Rafi dan anak-anak. Saya tak tenang, Naz. Apalagi sejak ayah meninggal. Saya merasa Rafi ... Rafi tak sungguh-sungguh ingin menghabiskan hidupnya bersama saya.” Renata tertunduk sesaat.
“Maksudnya?” tanya Nazwa tak mengerti.
“Sebagai seorang suami, Rafi adalah suami yang baik. Ia memberikan saya nafkah lahir yang lebih dari cukup. Tapi sebagai seorang laki-laki, ia bukan laki-laki pembohong. Ia tak bisa melenyapkan bayanganmu darinya. Dan itu yang membuat ia tak bisa menggenapkan nafkah batinnya kepada saya, Naz. Mungkin kamu tidak percaya, tapi saya berkata jujur.” Renata menatap mata Nazwa. “Sejak kami menikah, saya belum pernah disentuh Rafi,” lirih Renata pelan.
“Astaghfirullah alaziem,” ucap Nazwa dalam hati. Ditatapnya lekat-lekat mata Renata. Dan ia tidak menemukan kebohongan di sana. “Tega sekali Rafi,” batinnya lagi. Sebagai seorang wanita dewasa yang telah menikah, Nazwa bisa merasakan kegalauan Renata.
“Setiap kali saya tanyakan mengapa, Rafi bilang, bahwa ia tidak ingin menyakiti hati saya. Katanya, “Aku minta maaf, Ta. Tapi bukan aku sengaja. Aku hanya... aku tidak bisa melakukannya dengan membayangkan wanita lain saat aku melakukannya denganmu. Tepatnya, aku hanya bisa melakukannya dengan wanita yang aku cintai. Sekali lagi, maaf, Ta. Kamu pun tahu alasan sesungguhnya aku menikahimu. Mungkin aku terdengar sangat egois. Tapi, inilah aku.” Renata menunduk sesaat.
“Jujur, setiap kali Rafi bicara seperti itu, saya marah padamu, Naz. Saya cemburu. Kesal! Mengapa Rafi tak segera menutup cerita kalian setelah menikah dengan saya?!” suara Renata terdengar penuh emosi.
Nazwa tak mampu berkata. Ia hanya menatap Renata dan membiarkannya meluapkan perasaannya. Sungguh ia tak mengerti harus bagaimana menyikapi perasaan Renata.
“Dua puluh dua tahun saya memendam harapan padanya. Dua puluh dua tahun, Naz, kebersamaan kami. Tak sedetikpun saya melepaskan perasaan padanya. Saya selalu menunggu, saat ia mengutarakan perasaannya dan meminta saya menikah dengannya. Ia pernah berjanji pada orang tua saya bahwa sebelum ia mapan, ia tak akan menikahi wanita manapun. Dan itu memang ditepatinya.”
Nazwa tak menyangka bahwa Renata memendam rasa terhadap Rafi. Diduganya selama ini, semua perhatian dari Renata terhadap keluarga kecilnya adalah tulus perhatian seorang sahabat dan saudara. Karena yang Naz ketahui, Rafi telah tinggal bersama keluarga Renata bertahun-tahun dan telah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.
“Kamu tahu, Naz, ternyata orang tua saya pun menaruh harapan yang sama dengan saya. Mereka juga dengan sabar menanti kemapanan yang dirasa Rafi cukup untuk bekal mengajak saya menikah. Mereka menilai, Rafi adalah laki-laki yang bisa melindungi, menjaga dan menyayangi saya seperti yang selama ini ia perlihatkan. Rafi memang sangat care terhadap saya. Tapi ... “ Renata terdiam.
“Tapi apa?” tak urung Nazwa penasaran juga.
“Ternyata perasaan Rafi pada saya hanyalah sebatas persaudaraan. Saya mengetahuinya saat ia bercerita telah mengenal seorang wanita yang telah berhasil mencuri hatinya. Wanita itu membuat hidupnya tak tenang, karena ia tak tahu perasaan wanita itu terhadapnya. Dua tahun lamanya saya menekan perasaan cemburu dalam-dalam. Mendengarkan dongeng tentang wanita pujannya dengan hati pedih tersayat-sayat.
"Dan sayatan itu semakin menganga lebar, saat dengan penuh binar ia berkata, “Ta, Renata. Dengar! Hidupku akan sempurna. Lengkap! Kamu tahu kenapa? Karena Nazwa telah bersedia menikah denganku! Kamu dengar? Nazwa bersedia menikah denganku!” setelah itu ia menari-nari dan bernyanyi seperti anak kecil mendapatkan permen.” Renata menghembuskan nafasnya sejenak.
“Sementara saya? Menatapnya dengan dipenuhi air mata. Saat Rafi merasa dunianya baru saja terbangun, saya merasakan dunia saya hancur. Saya tak sanggup menyampaikan berita ini kepada orang tua saya. Hati ini saja remuk redam, bagaimana nanti dengan hati orang tua saya? Tak tega rasanya menghancurkan impian mereka tentang saya, anak semata wayang yang telah mereka hidupi dengan perjuangan.” Renata berucap lirih.
“Maaf, Renata. Saya tidak tahu kalau ... “ Naz menyela cerita Renata.
“Tak perlu meminta maaf, Naz. Itu bukan salahmu,” tutur Renata lembut. Dengan tersenyum, ia melanjutkan, “Sesungguhnya, saya juga tidak mengerti kesalahan siapakah ini sebenarnya? Apa salah orang tua saya, yang menginginkan Rafi benar-benar menjadi anaknya dengan menikahi saya? Salah sayakah, yang bermimpi bisa bersanding dengan laki-laki sebaik Rafi? Atau salah Rafi yang sepertinya tidak menyadari akan harapan saya dan orang tua saya? Entahlah Naz. Saat itu saya betul-betul patah hati. Saya bahkan tahu rasanya perasaan orang yang ingin bunuh diri.”
“Sampai sebegitukah rasanya?” tanya Nazwa tak percaya.
Renata tersenyum. “Mungkin kedengarannya lemah dan cengeng sekali, Naz. Jujur, iya. Saya ingin segera minggat dari dunia ini. Apa lagi yang mau saya harapkan, jika seseorang yang saya inginkan melangkah bersama dalam hidup ini tak lagi bisa saya miliki. Tapi, Alhamdulillah. Allah masih sayang pada saya. Tak sampai saya mengambil langkah pengecut itu.”
“Kamu memang perempuan yang tegar. Seingat saya, kamu dulu menghadiri pernikahan kami,” Ujar Nazwa lembut.
“Ya. Saya harus datang. Saya ingin memperlihatkan pada Rafi bahwa cinta saya benar-benar tulus untuknya. Jika ia bahagia denganmu, maka saya pun akan bahagia. Walau kenyataannya berat sekali.” Renata kembali tertunduk. “Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa ayah dan ibu saya tak menghadiri pernikahan kalian?” tanya Renata kemudian.
“Awalnya iya. Tapi Rafi menjelaskan bahwa ayah dan ibumu sedang ada di luar kota karena bersamaan ada keluarga yang merayakan pernikahan juga. Kehadiranmu sudah cukup mewakili, begitu kata Rafi. Dan saya bisa mengerti.” Jawab Nazwa.
Renata kembali tersenyum. “Ya, kejadian itu memang benar. Orang tua saya menjadi saksi pernikahan keponakan saya. Tapi, kalau mereka tahu bahwa Rafi juga akan menikah di hari yang sama, pastilah mereka tidak akan mengiyakan permintaan itu. Sejujurnya, saya tidak mengabarkan hal itu karena saya tahu dampak yang akan terjadi pada mereka. Dan saya memang melarang Rafi untuk memberitahu rencana pernikahannya.”
“Tapi, Ta. Apapun itu, sepertinya tidak akan ada gunanya lagi. Toh, saya dan Rafi sudah berpisah. Kami punya kehidupan masing-masing sekarang. Rafi denganmu, dan saya ... Insha Allah, sedang menuju hal yang sama dengan apa yang kamu dan Rafi lakukan saat ini,” Gamblang Nazwa bertutur.
“Itulah maksud kedatangan saya, Naz. Saya ingin kamu mempertimbangkan kembali sebelum semuanya terlambat.” Renata berkata dengan hati-hati.
“Maksudmu?” tanya Nazwa tak mengerti.
“Keluarga kecilmu bisa dipersatukan kembali, Naz. Aku akan melepaskan Rafi. Kalian bisa menikah kembali. Dan anak-anak tidak akan kehilangan ayah dan bundanya,” Jawab Renata berusaha meyakinkan.
***********
Bersambung
“Keluarga kecilmu bisa dipersatukan satukan kembali, Naz. Saya akan melepaskan Rafi. Kalian bisa menikah kembali. Dan anak-anak tidak akan kehilangan ayah dan bundanya,” Ucap Renata berusaha meyakinkan.Nazwa terdiam sejenak. Kemudian bertanya, “Ta, Rafi-kah yang memberitahu rencana pernikahan saya?”Renata hanya memandang Nazwa dalam.“Tolong, jujur pada saya, Ta!” ujar Nazwa lagi karena Renata tak menjawab.Renata menghembuskan nafasnya sebelum berbicara. “Ya. Rafi yang memberitahuku. Dan dia juga bilang, bahwa ia tak pernah benar-benar ingin melepaskanmu. Kalau ada yang bisa ia lakukan untuk mendapatkanmu kembali, dia akan melakukan apa saja, walaupun mempertaruhkan nyawanya. Asalkan kalian bisa bersatu lagi,” Jawab Renata pada akhirnya.“Aku sudah curiga. Karena saat dia tahu rencana ini, dia menyatakan keberatannya. Tapi ya, alasannya adalah anak-anak,” adu Nazwa berkeluh kesah.
“Assalamu’alaikum. Rafi, aku ingin bertemu. Bisa kamu datang ke Kafe Wien jam tiga nanti?” Nazwa berbicara cepat saat suara di seberang telinganya berkata halo.“Nazwa? Ada apa? Salsa dan Hanif ada masalah?” tanya Rafi kaget.“Mereka baik. Hanya ada yang aku mau bicarakan! Aku tunggu di sana ya.” Nazwa langsung menutup panggilannya. Ia tak ingin berbasa-basi dengan Rafi. Sesungguhnya ia enggan untuk membicarakan hal ini, tapi tak bisa dibiarkannya tindakan Rafi yang menurutnya sudah sangat menyebalkan.“Mama, bicara dengan siapa?” Pertanyaan Salsabila, putri pertamanya, mengagetkan Nazwa yang sempat melamun setelah menelpon Rafi tadi. “Astaghfirullah, Kakak. Kaget Mama, Nak,” Nazwa mengusap dadanya. “Mama kenapa sih? Sudah seminggu ini Salsa melihat Mama sering melamun,” Salsa kembali bertanya. Nazwa tersenyum. Diulurkan tanga
Rafi menunduk sejenak. Kemudian ditatapnya Nazwa. “Maafkan aku, Naz. Aku memang terlalu pengecut untuk berkata jujur. Renata pastinya sudah bercerita kepadamu kejadiannya. Jujur, Naz. Aku tak pernah ingin berada dalam situasi seperti ini. Kalau aku bisa mengulang kembali cerita hidupku, ingin rasanya aku tak berhutang budi kepada orang tua Renata. Sehingga aku tak harus memenuhi permintaan ayah angkatku untuk menikahi Renata,” Keluh Rafi.“Aku tak meminta pembelaan dirimu, Fi. Yang terjadi pastilah yang harus terjadi. Aku hanya ingin kamu tidak berbohong padaku dan anak-anak! Kamu sendiri yang bilang, bahwa apapun yang akan kita lakukan itu berkaitan dengan anak-anak dan mereka mempunyai hak yang harus kita pertimbangkan dengan langkah yang akan kita ambil. Ingat, saat kamu mengetahui Kafka ingin menikahiku? Kamu kesal karena aku tak menanyakan pendapat anak-anak tentang itu. Bagaimana dengan kamu sendiri? Satu tahun bukan waktu yang sebentar, Fi!” tan
Golden Tower “Maaf menunggu lama, Naz.” Ujar Kafka begitu masuk ke ruang rapat tempat Nazwa menunggunya. “Ada apa, Naz. Tiba-tiba datang ke sini. Ada hal penting sampai tak bisa menunggu aku datang ke rumahmu, Mmh? Besar sekalikah desakan kerinduanmu untukku?” goda Kafka. “Sepertinya hari ini cuaca hatimu sedang cerah ya?” Nazwa menyunggingkan senyum sinis. “Mmh ... ya. Aku berhasil memenangkan tender, Naz. Itu tender besar. Jelas aku excited sekali,” Jelas Kafka dengan senyum mengembang. “Oh ya? Bukan karena telah berhasil mendapatkan rival untuk memperlihatkan seberapa besar kekuatan kamu memikat wanita?” sin
Rafi cukup terkejut dengan cerita yang dialami Kafka. “Tapi aku memaafkannya, Fi. Mengingat anak kami masih kecil. Saya minta Ewi untuk bersabar menunggu saya kembali memulihkan kondisi ekonomi kami. Tetapi bisnis saya tak mengalami kemajuan, dan saat bisnis saya benar-benar hancur, Ewi tidak terima. Ia memilih laki-laki lain yang bisa memuaskannya secara materi. Ia lebih memilih untuk menikahi seorang duda yang usianya di atas usia ayahnya sendiri. Sekarang anaknya menjadi lima orang. Satu anak kami dan empat orang anak duda itu. Ewi bilang itu bukan masalah, asal secara materi ia berkecukupan. Ya jelas saja, duda itu seorang direktur di salah satu bank swasta terkemuka. Cerita yang klise bukan, Fi? Tapi ya itu yang terjadi,” Hela Kafka. “Hidup memang terkadang kejam, Kaf. Kadang juga seperti mempermainkan kita,” s
Setelah merasakan kekuatan yang tiba-tiba merasuk ke hatinya setelah kepasrahan dan permohonan yang ia panjatkan. Nazwa membuka matanya dan menatap dalam kedua mata Kafka. Mata teduh dan kelam itu begitu menentramkan hatinya acapkali dipandang. Jujur, pesona itu merebut hatinya untuk mau melabuhkan hatinya. Kafka memberikannya kedamaian, ketenangan juga perlindungan saat berada di dekatnya. Laki-laki sejati yang ia cari. Laki-laki tegar yang ia perlukan. Dan ia telah tahu ketegaran seorang Kafka saat ia ditinggalkan kekasih hatinya. tapi, Nazwa juga harus jujur pada dirinya sendiri saat ini. “Kafka, tolong. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri saat ini. Setelah semuanya, aku betul-betul butuh berbicara dengan hati dan pikiranku. Kamu tahu kan, kita sudah pernah mengalami hal yang sangat menyakitkan dalam kehidupan kita masing-masing. Dan aku tidak in
Belum lagi Salsa menjawab, hp Nazwa kembali berdering kencang. Rafi calling. Nazwa hanya meliriknya sebentar dan mengacuhkan panggilan itu.Kembali Nazwa mengulangi pertanyaannya. “Hanif kemana, Sa? Masih di kamar?”“Tadi pamit main sepeda sama Rio ke lapangan.”“Kok ngga pamit Mama?”“Tadi Mama sedang di kamar mandi, jadi pamitnya ke aku,” terang Salsa.“Oh begitu.” Nazwa menganggukan kepalanya. Tak lama ia membawa sebuah baki yang berisikan dua buah piring macaroni schotel dan dua buah gelas yang satu berisi coklat hangat untuk Salsa dan lemon tea hangat untuk dirinya sendiri.“Mmh . . . It’s look yummy,” Salsa menggesekkan kedua telapak tangannya sambil bergumam melihat makanan dan minuman yang dipindahkan oleh Nazwa dari baki ke atas meja.Nazwa tersenyum melihat reaksi Salsa. Inilah alasannya mengapa ia se
“Haruskah sejelas itu?” tanya Kafka masih dengan suara yang terdengar lirih. Nazwa balik menatap Kafka lekat. Ia pun tak mengerti. Hatinya dan pikirannya saat ini betul-betul tak seirama. Yang satu tak terima dengan perbuatan mereka, yang satunya bisa memakluminya. Tapi, ia tak ingin terlihat lemah. “Kamu tahu siapa aku kan, Kaf,” jawabnya pelan. “Naz, cobalah memandang masalah ini dari sudut pandang lain,” Kafka menyarankan. “Sudut pandang yang bagaimana? Sudut pandang siapa? Kamu atau Rafi?” sinis Nazwa berkata. “Jika aku harus memandang masalah ini dari sudut pandang kalian, mengapa kalian tidak melakukan hal yang sama? Memandang dari sudut pandang seorang Nazwa Rengganis! Perempuan yang baru saja berhasil menyembuhkan lukanya karena cinta, dan di saat ia memberanikan dirinya untuk kembali mencintai, kalian melecehkannya!” tandas Nazwa dingin. Kafka menghelakan nafasnya mendengar ucapan Nazwa. ‘Ya Tuhan, hati perempuan ini benar-benar terluka