“Keluarga kecilmu bisa dipersatukan satukan kembali, Naz. Saya akan melepaskan Rafi. Kalian bisa menikah kembali. Dan anak-anak tidak akan kehilangan ayah dan bundanya,” Ucap Renata berusaha meyakinkan.
Nazwa terdiam sejenak. Kemudian bertanya, “Ta, Rafi-kah yang memberitahu rencana pernikahan saya?”
Renata hanya memandang Nazwa dalam.
“Tolong, jujur pada saya, Ta!” ujar Nazwa lagi karena Renata tak menjawab.
Renata menghembuskan nafasnya sebelum berbicara. “Ya. Rafi yang memberitahuku. Dan dia juga bilang, bahwa ia tak pernah benar-benar ingin melepaskanmu. Kalau ada yang bisa ia lakukan untuk mendapatkanmu kembali, dia akan melakukan apa saja, walaupun mempertaruhkan nyawanya. Asalkan kalian bisa bersatu lagi,” Jawab Renata pada akhirnya.
“Aku sudah curiga. Karena saat dia tahu rencana ini, dia menyatakan keberatannya. Tapi ya, alasannya adalah anak-anak,” adu Nazwa berkeluh kesah.
“Rafi malu, Naz. Makanya ia tak jujur dengan perasaannya padamu,” Urai Renata.
“Renata, maaf. Tolong beritahu Rafi. Keputusan saya sudah bulat. Kafka, laki-laki yang hendak menikahi saya ini, telah berhasil menyembuhkan luka akibat perceraian dengan Rafi. Jujur, Ta. Tadinya saya sempat kecewa dan benci dengan kaum laki-laki. Tapi, Kafka, berhasil meyakinkan saya bahwa kehidupan memang tak selalu berjalan mulus. Dia mampu membuat batin saya merasa tenang, nyaman dan damai. Perasaan seperti itu yang sempat terenggut dari hati dan kehidupan saya. Tapi Kafka berhasil menghadirkannya kembali.” Nazwa tersenyum. Mengingat seorang Kafka, selalu membuatnya merasakan kedamaian dan ketenangan.
“Nazwa, tolong, bisakah kamu pertimbangkan lagi?” pinta Renata.
“Ta, aku heran. Mengapa kamu dan Rafi begitu ingin membatalkan rencana pernikahan saya? Tidakkah kalian mengerti, bahwa ini kehidupan saya?! Memang, saya tidak boleh egois karena adanya anak-anak. Tapi, sejujurnya, demi mereka juga saya mau kembali menikah,” tandas Nazwa.
“Naz ...,” sela Renata.
“Dan lagi, saya tidak pernah mengusik kehidupan kalian bukan? Bahkan saya tidak ditanyakan pendapat saat Rafi ingin menikahi kamu. Padahal, saya punya hak untuk itu! Karena saya akan menyerahkan anak-anak kepada orang lain. Dan kalian tidak melakukannya kan? Kenapa, karena takut saya marah? Atau kamu dan Rafi mengira bahwa saya tidak akan lagi mendapatkan seorang laki-laki yang hendak menikahi saya, begitu?!” sarkas Nazwa.
“Bukan Naz. Bukan begitu. Jangan dulu marah. Maksud kami tidak seperti itu. Sungguh, Naz. Bukan itu. Aku hanya ingin Rafi kembali bahagia.” Renata berusaha menjelaskan.
“Rafi, Rafi dan Rafi! Kenapa hanya Rafi yang kamu pertimbangkan, Renata?! Bagaimana dengan saya? Kamu sudah pernah tahu bagaimana sakitnya rasa kecewa saat ditinggalkan. Apa kamu pikir, hati saya terbuat dari baja, sehingga tak merasakan sakit, saat Rafi menceraikan saya tanpa memberitahu apa kesalahan saya? Tak sedetik pun ia memberikan penjelasan dan kesempatan kepada saya untuk membela diri. Ia bahkan menutup komunikasi di antara kami. Anak-anak selalu bertanya, “Mengapa Bunda dan Ayah harus berpisah? Tidak sayangkah kalian pada kami?” Nazwa menghela nafasnya sejenak.
Renata hanya terpaku mendengar ucapan Nazwa.
“Tolong, sekarang kamu yang mencoba untuk memposisikan diri di tempat saya. Bagaimana hancurnya saya saat itu. Di satu pihak menghadapi gugatan cerai dari Rafi yang tak masuk akal, sementara di pihak lain, harus memberikan pengertian kepada kedua anak saya, bahwa ini adalah jalan yang terbaik bagi kami semua. Mereka tak pernah mengerti, Renata. Karena mereka pun tahu, bahwa saya sendiri juga tidak mengerti, mengapa perceraian itu harus terjadi!” ucap Nazwa penuh emosi.
Renata tak lagi bisa bicara. Nazwa benar, tindakannya ini sangat egois. Ia betul-betul tak membayangkan sampai ke sana. Yang ada di kepalanya adalah hanya rasa bersalahnya dan kebahagiaan laki-laki yang dicintainya saja. Tak sedikitpun ia memikirkan bagaimana hati Nazwa yang retak. Mendadak ia menjadi gugup dan gelisah.
Nazwa memejamkan matanya. Berusaha menghalau emosi yang menyergapnya saat ini. Setelah ia merasa hatinya lebih tenang, baru ia membuka matanya kembali. Dipandangnya Renata yang terdiam terpaku. Wanita ayu di hadapannya ini memainkan ujung bajunya. Kelihatannya, ucapan dirinya tadi membuat Renata menjadi gugup seperti ini.
“Ta, Renata,” Panggil Nazwa menyadarkan Renata.
“Eh, ya?” Renata menjawab dengan gugup.
“Maaf ya, jika ucapan saya membuat kamu tidak nyaman seperti ini,” sesal Nazwa. “Tapi, saya juga ingin kamu bisa mengerti tentang perasaan saya tentang perceraian ini. Saya sudah sangat berjuang untuk bisa melanjutkan hidup saya setelah berpisah dari Rafi. Dan saya ingin kalian menghargai perjuangan saya,” Tegas Nazwa.
“Naz, bukan kamu yang seharusnya meminta maaf. Tapi justru saya dan Rafi. Kamu benar, selama ini kami tak memikirkan bagaimana perasaanmu. Kami memang egois sekali. Maaf ya, Naz,” Pinta Renata sungguh-sungguh.
Nazwa tersenyum. “Sudahlah, Ta. Kita saling melupakan dan memaafkan saja. Karena semua itu toh sudah berlalu. Saya tak ingin kembali ke masa menyedihkan itu. Saya hanya akan memandang ke masa depan yang akan saya rajut bersama Kafka. Dan saya ingin kamu dan Rafi juga begitu,” Harap Nazwa.
Renata tersenyum kecil mendengarnya. “Kamu yakin, Rafi akan bisa mencintai saya? Kamu kenal siapa Rafi kan, bagaimana ia bersikap untuk memperjuangkan keinginannya?” ujar Renata terdengar skeptis.
“Itu tugas kamu untuk bisa membuat Rafi jatuh cinta padamu,” Tekan Nazwa.
“Kamu pikir apa yang saya lakukan selama dua puluh tiga tahun ini, hah?” Renata mencoba terlihat kesal.
“Apa memang?” tanya Nazwa.
“Mencoba membuat mantan suami kamu itu jatuh cinta! Yang sayangnya belum berhasil!” sungut Renata. “Sudah habis waktu, tenaga dan masa muda saya!” keluh Renata lagi.
“Mau saya kasih tahu rahasianya?” pancing Nazwa.
“Mmh . . . Boleh juga. Apa rahasianya?” taut Renata.
“Rahas . . .,”
“Tunggu . . . tunggu!” Renata menghentikan ucapan Nazwa. “Kita ini aneh ya,” selorohnya.
“Aneh? Kenapa?” tanya Nazwa tak mengerti.
“Status kita berdua adalah mantan istri dan istri dari seorang laki-laki. Biasanya akan terjadi saling mencemohi, tapi kita malah mau saling berbagi rahasia, bagaimana mendapatkan hati laki-laki itu. Aneh kan?” Renata tertawa kecil.
Nazwa tertegun menyimak perkataan Renata sebelum akhirnya ikut tertawa. “Hahaha . . . Iya. Kamu benar, kita berdua perempuan yang aneh!” Nazwa menyetujui pikiran Renata.
“Senang berbicara denganmu, Naz,” Ucap Renata setelah letih tertawa.
“Senang juga berbicara denganmu, Renata,” Balas Nazwa.
“Aku sangat mengerti sekarang, apa yang membuat Rafi, Kafka atau mungkin laki-laki yang lain tergila-gila denganmu,” lontar Renata.
“Hm . . . Apa?” tanya Nazwa.
“Ketulusan hatimu,” Ucap Renata sambil tersenyum.
Alis Nazwa terangkat tanda tak mengerti.
“Hatimu terlalu tulus, Naz. Sehingga apapun yang melukai hatimu, membuatmu marah dan kecewa, tetapi kamu akan tetap bisa memaafkan. Tetap yang kamu lihat pada seseorang yang kamu lihat adalah tindakannya, bukan orangnya. Dan tidak semua orang memiliki hal tersebut, Naz,” Puji Renata.
“Mmh,” Nazwa tersenyum mendengar ucapan Renata. “Aku hanya orang yang tidak ingin menyimpan dendam, Renata. Terlalu meletihkan untuk memelihara sebuah amarah di dalam dada.” Nazwa mengutarakan pendapatnya.
“Aku benar-benar ingin hal yang terbaik untukmu dan Rafi, Naz.” Renata memandang Nazwa dengan penuh harap.
Nazwa mengambil tangan Renata dan menggenggamnya. “Begitupun aku, Ta. Aku ingin yang terbaik untuk kalian berdua.” Nazwa tersenyum meyakinkan.
*******
Bersambung
“Iya, Naz. Aku baru sampai di Jakarta. Aku mau bertemu Rafi dahulu. Dia bilang sudah mendapatkan hasil dari laporan kesehatan Nayla.” Kafka memberi kabar tentang dirinya pada Nazwa begitu menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno Hatta.“Syukurlah,” terdengar hela napas lega Nazwa. “Dimana kalian mau bertemu?”“Rafi belum menentukan tempatnya. Aku sedang menunggu kabar dari Rafi.”“Kaf, aku … aku cemas akan hasilnya. Tapi aku sungguh penasaran.”“Tenanglah, Naz. Semua akan baik-baik saja.”“Tapi, bagaimana jika benar Nayla …,”“Nazwa Rengganis … Kamu percaya aku kan? Apapun hasilnya, aku tidak akan meninggalkan kamu. Rencana pernikahan kita akan tetap berjalan.”“Tapi keinginan Nayla …,”“Aku belum berbicara dengan Nayla langsung dan semuanya kita bisa bicarakan, Naz. Kamu tenang ya.”“Entahlah, Kaf. Aku …,”“Naz, aku butuh keyakinanmu, sayang. Please, jangan lagi menyerah dan berpikir semuanya kan terhenti di sini. Ingat Naz, ada Allah! Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku, jadi berpiki
“Bagaimana pertemuan kamu dengan Kafka, Naz?” Bapak bertanya setelah makan malam mereka selesai dan saat ini berkumpul di ruang keluarga.Nazwa yang sedang mengelus kepala Hanif yang bersandar di dadanya, menghentikan gerakannya. “Kafka … setuju untuk melanjutkan pernikahan kami, Pak. Tapi saat ini dia belum bisa kembali ke Jakarta karena baru saja alih jabatan dengan pejabat sebelumnya. Kafka menitip salam untuk Bapak dan Ibu. Dia bilang akan secepatnya mengatur waktu untuk datang ke sini dan membicarakan kelanjutan rencana pernikahan kami,” jawab Nazwa.Ia sengaja tidak memberitahu kejadian yang sebenarnya karena takut Bapak dan Ibu justru kembali tidak menyetujui pernikahan mereka. Nazwa tahu benar jika kali ini ia berspekulasi dengan kenyataan yang ada, tetapi bukankah di setiap ketidakmungkinan selalu ada kemungkinan itu sendiri. jadi, ia memilih untuk melihat kemungkinan yang ada.“Jadi, Om Kafka akan jadi ayah aku juga, Bun?” tanya Hanif.Nazwa tersenyum seraya menganggukkan ke
“Tidak ada orang yang ingin rumah tangganya berantakan, Kaf! Kamu pikir, aku senang menikah berkali-kali?!” ujar Ewi sengit.Kafka menaikkan kedua bahunya tanda seolah tak mengerti atau bahkan tak peduli.“Jahat sekali pikiran kamu!” desis Ewi lagi.“Lalu, tindakan kamu meninggalkanku saat terpuruk dan menikah dengan lelaki lain, itu tidak jahat? Begitu?” cemoh Kafka.“Bisakah kamu melupakan hal yang sudah lalu?” ucap Ewi merendahkan nada suaranya.“Aku ingin sekali bisa melupakan peristiwa itu, Wi. Tapi sekeras apapun aku berusaha, ingatan itu tidak pernah hilang!” tekan Kafka. ‘Kamu tidak tahu aku sampai harus mengikuti terapi untuk bisa kembali waras’ lanjut Kafka dalam hatinya.“Jangan cengeng, Kaf! Kamu laki-laki!” cela Ewi.“Aku laki-laki yang punya hati, Wi! Punya perasaan! Tidak seperti kamu! Seorang perempuan yang justru bisa begitu tega, tak berperasaan!”“Kafka!” sentak Ewi tak suka dengan ucapan Kafka.“Apa? Mau bilang kalau kamu hanya berpikir rasional? Karena aku bangkru
“Maksudmu?” tanya Kafka tak mengerti.“Sebetulnya karyawan di perusahaanku sebulan lalu baru saja menjalani medical check up di rumah sakit yang sama di mana anakmu menjalani tes. Dan baru beberapa hari yang lalu, kami menerima hasilnya. Logo rumah sakit itu sedikit berbeda aku rasa. Entahlah. Tapi aku sungguh penasaran ingin mengecek kebenarannya,” terang Rafi.“Maksudmu, hasil test kesehatan itu palsu?” tanya Kafka lagi.“Aku belum bisa memastikan, sampai kita mengeceknya langsung bukan?” Rafi balik bertanya.“Tapi aku belum bisa balik ke Indonesia dalam waktu dekat ini,” keluh Kafka terdengar putus asa.“Tenang saja. Aku akan membantumu. Aku yang akan mengecek langsung. Masalahnya, aku harus punya salinan hasil tes kesehatan itu, Kaf,” ujar Rafi.Kafka paham sekarang mengapa Rafi menyuruhnya menemui Ewi, mantan istrinya itu alih-alih mengantarkan Nazwa kembali ke hotel.“Aku yang akan mengantarkan Nazwa kembali ke hotel. Kalian bisa berbicara nanti setelah kamu berhasil dengan misi
Pupil mata Kafka melebar mendapati sosok yang sedang merangkul Nazwa-nya. Ya, perempuan yang sedang merebahkan kepalanya di dada laki-laki itu adalah Nazwa, calon istrinya. Ia sudah akan mengiyakan permintaan Nazwa untuk kembali melanjutkan pernikahan mereka. Tidak salah bukan, jika sejak saat itu Nazwa kembali menjadi miliknya. Walau jawabannya itu belum sempat didengar oleh Nazwa, karena kedatangan dan interupsi Ewi, mantan istrinya.“Nazwa!” tegur Kafka. Terdengar jelas nada tidak suka dari suaranya.Nazwa bergeming. Tubuhnya seperti kaku mendengar suara dari arah belakangnya itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi direbahkannya di dada Razky. Ditatapnya Razky sebelum ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.“Kaf … ka?” lirihnya dengan nada terkejut.“Apa yang sedang kamu lakukan? Belum satu jam yang lalu kami memintaku untuk melanjutkan pernikahan kita. Lalu mengapa sekarang kamu bersandar pada dia!” tunjuk Kafka pada Razky penuh emosi.“Aku … aku hanya … me …,”“Apa kamu sedang m
Nazwa mengerjapkan mata untuk meraih kesadarannya. Netranya menangkap siluet wajah seorang lelaki gagah yang terkejut melihat kehadirannya.“Razky?” tanyanya juga dengan tak percaya.Lelaki gagah yang bernama Razky itu tersenyum dengan sangat manis mendapati Nazwa menyebutkan namanya.“Kamu sedang apa di sini, Angel?” Razky mengulang pertanyaannya yang memang belum terjawab oleh Nazwa tadi.“Aku … Aku …,” tiba-tiba Nazwa tergugu saat menjawab pertanyaan Razky. Sontak ia menoleh ke arah belakang, ke tempat di mana ia bertemu dengan Kafka, Rafi dan Ewi. Nazwa menunjukkan telunjuknya ke arah Café Seroja.Razky paham dengan gerakan Nazwa. “Oke … Kamu dari Café itu?” tunjuknya.Nazwa menganggukkan kepalanya.“Bertemu siapa? Kamu ada urusan bisnis di sini?” tanya Razky menggali informasi.Nazwa menggelengkan kepalanya.Razky mengernyitkan keningnya. Perempuan di hadapannya saat ini bukanlah Nazwa yang ia kenal. Setahunya, Nazwa adalah perempuan yang tidak mudah terguncang oleh suatu peristi