Rafi mengepalkan tangannya dan menggigit bibirnya. Ia tak mampu menjawab pertanyaan istrinya. Hati dan pikirannya tengah berperang kini. Ucapan Renata tadi seperti menampar dirinya. Ia seperti dihadapkan ke sebuah kaca besar. Kaca yang memuat peristiwa yang terekam jelas dan lekat dalam memorinya. Ingatannya di masa kecil dulu. Saat papa dan mama bertengkar hebat. Saat mereka saling menyalahkan. Saling tuding. Karena kelalaian salah satu dari mereka yang menyebabkan kehadiran dirinya di rahim mama. Dan tak ada yang mau dipersalahkan. Tak ada yang mau mengakui jika itu adalah kesalahan mereka berdua. Yang lebih parahnya, tak ada yang mau merawat dan membawa dirinya. Ia ditinggalkan begitu saja di depan sebuah rumah yang tak ia kenal siapa pemiliknya. Rafi kecil menggigil kebingungan dan kedinginan saat itu. Ya, ia dikeluarkan dari mobil dengan paksa oleh papa. Dan mama hanya berdiam diri. Menoleh pun tidak, apalagi merespon tangisan dan teriakan minta tolongnya. Setelah itu, kendaraan
“Ya.” Angguk Nazwa. “Aku percaya, Kafka mampu membuat mereka bahagia.”Rafi tertawa sumbang. “Hufp. Kamu lupa, kalau aku adalah ayah kandung mereka? Bagaimana pun, ikatan batin mereka lebih kuat denganku dibanding dengan Kafka,” ejek Rafi.Nazwa tersenyum mendengarnya. “Kalau memang ikatan batinmu lebih kuat, lalu mengapa kamu tidak mengetahui rasa sakit yang ada di hati mereka saat kamu menceraikan aku?” tuntut Nazwa.Rafi terhenyak mendengarnya. Benarkah ia telah melewatkan hal ini? Perasaan Salsabila dan Hanif? Ya, ia memang melihat kesedihan di mata kedua anaknya itu saat meninggalkan rumah mereka. Tetapi mengapa ia abai saat itu. Ia hanya berpikir, wajarlah jika mereka bersedih berpisah dengan ayahnya. Tetapi rasa sakit, mengapa ia tak memikirkan hal tersebut?“Fi, tolong pikirkan lagi dampaknya jika kita menikah kembali. Kita tidak bisa menghapus rasa sakit yang ada di hati Salsabila dan Hanif. Kita tidak bisa mengubah yang telah terjadi, kan? Tapi kita bisa mengubah hal yang ak
“Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau
"Hanif?" Kali ke dua Rafi bertanya. Hanif masih saja terdiam. Matanya saja yang bergerak. Menatapi Rafi, Nazwa dan Renata bergantian. Terakir ia menatap Salsabila, kakaknya. "Ha-nif ... se-dih," ujarnya ringan. Salsabila meraih tangan Hanif dan menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Diberikannya senyum untuk meyakinkan kalau Hanif bisa berbicara mengutarakan isi hatinya. "Hanif ... Hanif sedih karena Ayah dan Bunda berpisah. Hanif selalu ditertawakan oleh teman-teman karena itu. Hanif tak tahu harus marah sama siapa. Pada Ayah atau Bunda?. Lalu Hanif melihat di malam hari Bunda menangis. Ternyata Bunda juga merasakan apa yang Hanif rasakan, dan Hanif marah sama Ayah. Hanif kesal pada Ayah!" Tanpa sadar Hanif memandang Rafi tajam melampiaskan kemarahannya. Rafi menelan ludahnya mendengar ucapan Hanif. Apa yang dikatakan Nazwa benar. Hati anak-anaknya sungguh terluka dengan keputusannya saat itu. "Hanif ... Ayah ...," Rafi berusaha untuk menjelaskan alasannya. "Tapi Bunda bilang,
"Sebentar lagi ... Kalian akan mendapat seorang adik," ujar Rafi memberitahu. "Adik?" Hanif mengerutkan keningnya seraya berpandang dengan Salsabila, kakaknya. "Iya. Adik kecil. Hanif akan dipanggil Kakak. Tante Renata sedang mengandung saat ini." Rafi menjelaskan dengan sumringah. Salsabila dan Hanif kembali berpandangan. Tiiba-tiba Hanif berteriak mengagetkan. "YeaYeay ... Hanif akan punya adik ... Yeay ... Hanif mau punya adik laki-laki, ya Ayah. Biar bisa bantu Hanif kalau Kak Bila menyerang Hanif," ucapnya dengan wajah penuh harap. Semua yang hadir di situ tertawa mendengar permintaan Hanif. "Kakek dan Nenek bantu doakan ya, Hanif," ujar Bapak kepada Hanif. Hanif tertawa senang mendengar perkataan kakeknya itu. "Terima kasih, Kakek, Nenek. Tante Renata, tolong dijaga ya adikku. Makan yang banyak, jangan kecapean dan istirahat yang cukup." Seperti orang tua Hanif berpesan kepada Renata. Renata tersenyum geli dan menganggukkan kepalanya. "Oke, Kakak Hanif. Tante akan menjag
Cepat ia meraih lengan Nazwa sebelum mantan istrinya ini berjalan lebih jauh. “Maaf … Maaf, Naz,” pintanya dengan tulus. “Aku tidak bermaksud melecehkanmu,” ujarnya lagi.“Lalu apa maksud dari tertawamu yang terdengar bahagia di atas penderitaan orang lain itu?” ketus Nazwa mengerucutkan bibirnya.Rafi tersenyum sebelum menjawab. “Aku hanya senang melihat kebingungan di wajahmu. Sudah lama sejak aku melihat ekspresi di wajahmu hanya ekspresi serius saja. Tak ada ekspresi senang, bingung dan yang lainnya,” tukas Rafi.Nazwa menghela napasnya. “Kamu tahu sebabnya kan?” sindir Nazwa.“Ehem …,” Rafi mendehem mendengar ucapan Nazwa yang secara tidak langsung menyatakan kalau ialah penyebab ekpresi wajah Nazwa sekarang selalu datar. “Aku kirimkan lewat WA ya alamatnya,” ucap Rafi seraya mengeluarkan smartphonenya dari saku kemeja dan mengirimkan pesan ke smartphone Nazwa.“Rafii …,” terdengar suara Renata memanggil dari arah ruang makan.“Ya … Sebentar aku ke sana,” jawab Rafi dengan suara
Sudah seminggu ini Nazwa resah. Ia tak mengerti mengapa Rafi begitu keberatan dengan rencana pernikahannya dengan Kafka. Ia merasa ada yang Rafi inginkan darinya. Ia kenal tabiat Rafi. Nazwa masih saja termangu mengingat percakapannya dengan Rafi saat ia mengantar Salsabila dan Hanif ke rumahnya. Pekan ini adalah jatah Salsabila dan Hanif bersamanya, setelah beberapa pekan yang lalu mereka berada di rumah Rafi.“Benar apa yang dikatakan Bila, kalau Kafka ingin menikahimu?” tanpa pengantar apapun, Rafi bertanya pada Nazwa yang betul-betul tak menduga kalau Rafi akan membahas masalah pribadinya.“Mengarah ke sana. Sebetulnya kami sedang mempersiapkan segalanya,” urai Nazwa pelan.“Secepat itukah hati kamu berubah terhadapku, Naz?” tanya Rafi.“Maksudnya?” taut Nazwa tak mengerti.“Ya. Secepat itu kamu bersedia menjalani hubungan menuju pernikahan. Padahal kita resmi berpisah baru dua tahun sepuluh
Nazwa bergegas memasuki Kafe yang didirikannya setelah bercerai dengan Rafi. Hobinya memasak dan membuat kue-kue ternyata berguna bagi dirinya sekarang. Ia sangat bersyukur, mampu berdiri di kakinya sendiri dan membuktikan kepada Rafi bahwa ia baik-baik saja. Tunjangan yang didapat dari Rafi tak sedikitpun ia sentuh. Baik untuk anak-anak maupun dirinya sendiri. Bukan ia tidak menghargai, hanya saja rasa kecewanya yang begitu besar telah membuatnya berlaku seperti itu.Rasa kecewa yang berlipat karena tak pernah mengetahui alasan sebenarnya ia diceraikan. Kehidupan rumah tangga mereka selama ini baik-baik saja dan harmonis. Tentu saja itu membuat ia kaget dan shock karena harus menerima perceraian. Jujur, sampai kini pun ia masih bertanya-tanya alasannya. Dan itulah yang membuat ia mau bertemu dengan Renata.Nazwa mengenal Renata sebagai sahabat keluarga mereka dari pihak Rafi khususnya. Karena orang tua Renata adalah orang tua angkat Rafi. Walaupun belum pernah bertemu