Share

Bab 5

“Assalamu’alaikum. Rafi, aku ingin bertemu. Bisa kamu datang ke Kafe Wien jam tiga nanti?” Nazwa berbicara cepat saat suara di seberang telinganya berkata halo.

“Nazwa? Ada apa? Salsa dan Hanif ada masalah?” tanya Rafi kaget.

 “Mereka baik. Hanya ada yang aku mau bicarakan! Aku tunggu di sana ya.” Nazwa langsung menutup panggilannya. Ia tak ingin berbasa-basi dengan Rafi. Sesungguhnya ia enggan untuk membicarakan hal ini, tapi tak bisa dibiarkannya tindakan Rafi yang menurutnya sudah sangat menyebalkan.

 “Mama, bicara dengan siapa?” Pertanyaan Salsabila, putri pertamanya, mengagetkan Nazwa yang sempat melamun setelah menelpon Rafi tadi.

  “Astaghfirullah, Kakak. Kaget Mama, Nak,” Nazwa mengusap dadanya.

   “Mama kenapa sih? Sudah seminggu ini Salsa melihat Mama sering melamun,” Salsa kembali bertanya.

  Nazwa tersenyum. Diulurkan tangannya sebagai isyarat agar Salsa mendekatinya. “Sini dekat Mama, Kak.”

 Salsa mendekati Nazwa dan duduk di sebelah mamanya ini. “Ada apa, Ma?” Ia kembali bertanya.

 “Adik Hanif kemana?” Nazwa belum mau menjawab pertanyaan anak pertamanya.

 “Ada di kamar,” Jawab Salsa.

 “Bisa tolong dipanggilkan? Ada yang mau Mama bicarakan dengan kalian.”

  Salsa beranjak menuju kamar Hanif, adiknya. Tak lama mereka datang dan mengambil tempat di sebelah mamanya.

  “Salsa, Hanif. Ada yang mau Mama tanyakan kepada kalian,” Nazwa memulai percakapan.

  “Ada apa, Ma?” tanya Salsa dan Hanif berbarengan.

  “Kalian tahu, Mama sangat bangga kepada kalian. Walaupun umur kalian belum dewasa, tetapi kalian sudah sangat dewasa dalam berfikir. Perpisahan Mama dan Papa adalah buktinya,” Nazwa terdiam sejenak. “Sekarang, kalian juga tahu, Mama saat ini dekat dengan Om Kafka. Sesungguhnya Om Kafka sudah meminta ijin untuk menikahi Mama. Sekarang Mama dan Om Kafka sedang menjalani  proses untuk melangkah ke pernikahan. Mama ingin bertanya, bagaimana menurut kalian, Om Kafka itu? Apa kalian setuju, jika Mama menikah dengan Om Kafka?” tanya Nazwa lembut.

Salsa dan Hanif saling pandang. Mereka tahu bahwa suatu saat Mama mereka akan menanyakan hal ini. Dan sekaranglah saatnya. Sebetulnya, mereka sudah lebih dulu tahu rencana ini dari Om Kafka sendiri. Dan Om Kafka pun juga sudah menanyakan pendapat mereka. Waktu itu mereka menjawab bahwa, mereka sangat menyenangi Om Kafka dan tidak keberatan jika Om Kafka menikahi Mama. Tetapi jika ada pilihan di mana Mama dan Papanya bisa bersatu kembali, mereka ingin Mama dan Papanya menikah kembali.

 “Ma, Salsa dan Hanif sangat sayang pada Mama. Kami begitu sedih waktu melihat Mama berpisah dengan Papa. Mama seperti orang lain yang kami tidak kenal. Dan kami tahu, Om Kafka yang telah mengembalikan Mama kami seperti semula. Om Kafka baik dan sepertinya sangat sayang pada Mama, juga Salsa dan Hanif. Tapi Ma ...,” Salsa menghentikan bicaranya.

“Iya sayang? Ada apa? Teruskan saja. Mama tidak akan marah kok,” tanggap Nazwa lembut.

 “Sebelumnya kami minta maaf, karena kami menyembunyikan pernikahan Papa dan Tante Renata. Kami takut Mama sedih lagi,” Salsa berucap hati-hati.

 Nazwa termangu mendengar pengakuan anaknya. Betapa mereka anak yang sangat baik dan dewasa. “Terima kasih, sayang. Tapi Mama tidak apa-apa. Kalian tahu darimana pernikahan Papa dan Tante Renata?” selidik Nazwa.

 “Kami melihat foto pernikahan Papa dan Tante Renata. Sewaktu kami tanya Tante Renata, katanya itu semua betul. Dan Tante juga bilang, bukan karena Tante yang menyebabkan Mama dan Papa berpisah. Tapi karena suatu keadaan yang membuat Papa harus berpisah dari Mama. Tante Renata juga bilang, bukan berarti Papa jahat. Papa hanya harus melunasi janjinya pada kakek untuk menjaga Tante Renata,” Dengan gamblang Salsa menjelaskan semuanya.

“Ma, Salsa dan Hanif sayang sama Papa dan Mama. Menurut kami, apa yang Papa dan Mama lakukan sudah yang terbaik. Bukankah Mama pernah bilang, bahwa semua yang terjadi di dunia ini, baik dan buruknya sudah diatur oleh Allah? Kita hanya bisa menerima dan menjalaninya dengan sabar. Jadi, kami ingin menjadi anak yang bisa membuat bangga, seperti kami bangga pada Mama. Kalau memang Om Kafka bisa membuat Mama bahagia, Salsa dan Hanif juga akan bahagia. Iya kan, Nif?” kerling Salsa pada Hanif.

“Iya, Ma. Tapi, kalau Mama ingin menikah lagi dengan Papa, kami juga akan senang kok,” ujar Hanif pelan.

 Nazwa kembali tertegun mendengar perkataan Salsa dan Hanif. Salsa memang sudah lebih besar, sehingga sudah mengerti situasinya. Tapi Hanif, anak yang berusia sembilan tahun itu pasti belum mengerti. Dan Nazwa tahu, dari perkataan Hanif terakhir, anak itu berharap ia kembali pada Rafi.

Dipeluknya ke dua belahan jiwanya itu. “Terima kasih, sayang,”  ucapnya sambil mengecup kening Salsa dan Hanif bergantian. “Kalian tahu, kalian selalu membuat Mama bangga. Kalian tak akan pernah membuat Mama kecewa. Mengapa? Karena kehadiran kalian merupakan anugerah dan kebanggaan buat Mama. Selamanya,” Isak Nazwa menahan haru sambil memeluk kembali Salsa dan Hanif.

 Salsa dan Hanif balas memeluk Mamanya dengan hangat. Mereka juga sangat sayang dan bangga kepada Mamanya. Mereka ingin selalu melihat Mamanya bahagia. Mereka tak ingin lagi melihat Mamanya terpuruk dalam kesedihan seperti saat berpisah dengan Papa mereka dulu.

***********

Kafe Wien.

Nazwa duduk dengan gelisah menunggu kedatangan Rafi. Beberapa kali dilihatnya pintu masuk setiap bunyi bel berdenting, menandakan tamu yang masuk ke Kafe miliknya ini. Ia meraih handphone-nya bermaksud untuk menanyakan keberadaan Rafi. Ia mencari nama Rafi dan bermaksud untuk melakukan panggilan, sampai sebuah suara menghentikannya.

“Assalamu’alaikum, Nazwa.” Rafi mengucapkan salam.

 “Wa’alaikumsalam. Rafi, jelaskan padaku. Apa maksud kamu mengirim Renata ke Kafe ini?” Nazwa langsung  bertanya tanpa memberi Rafi kesempatan untuk duduk terlebih dahulu.

 “Astaghfirullah, Nazwa. Aku baru saja sampai! Setidaknya biarkan aku minum terlebih dahulu!” keluhnya.  Ia meraih kursi di hadapan Nazwa dan mendudukinya. Ia meminum es jeruk yang tersedia di meja dan kemudian mencari posisi yang nyaman, menatap Nazwa dan berkata, “Tadi kamu bertanya apa?”

 “Apa maksud kamu mengirim Renata ke sini?” ulang Nazwa dengan sedikit emosi.

 “Renata? Maksudmu?” Rafi balik bertanya tak mengerti.

  Hh! Nazwa menghela nafas. Ia mengatur nada suaranya agar emosi di dadanya tak terlihat. 

“Fi, kenapa kamu menyembunyikan pernikahanmu dengan Renata? Bukan hanya kepadaku, tetapi juga anak-anak?! Selama ini mereka selalu bercerita bahwa setiap kali ada di tempatmu, selalu ada Tante Renata. Aku tak pernah curiga. Ku pikir, Renata memang ingin bermain bersama anak-anak. Karena sebelum kita bercerai pun, terkadang kita berjumpa dengan Renata. Tapi ternyata kalian sudah menikah. Kenapa kamu berbohong, Fi? Satu tahun. Bisa-bisanya kamu!” ujar Nazwa dengan geram.

           

*********

Bersambung

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status