Langit Jakarta sore itu cerah, seperti sengaja ikut merayakan pesta yang megah. Hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi bunga putih dan lilin kristal. Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan gemerisik gaun dan bisik-bisik tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.
Di tengah aula besar itu, Zea berdiri di balik pintu kayu ukiran yang akan segera terbuka menuju altar. Gaun pengantinnya indah, renda halus menyelimuti kulitnya, kilau mutiara menari di sepanjang lengan, dan kerudung tipis menjuntai dari kepala hingga tumit. Semua sempurna. Semua sesuai rencana. Semua... kecuali hatinya. “Zea,” suara lembut Bu Ratna menyentuh bahunya, “ini waktunya." Zea menoleh. Ibunya tampak anggun dengan kebaya berwarna biru muda. Tapi mata itu menyimpan kegundahan yang disembunyikan oleh senyum tipis. “Ayahmu menunggumu di depan,” lanjut Bu Ratna. Zea mengangguk pelan. “Iya, Ma.” Pintu terbuka perlahan. Musik berganti. Semua mata menoleh. Kilatan kamera mulai membanjir. Di ujung ruangan, Adrian berdiri tegak dalam jas abu-abu gelap, tersenyum tenang, memandangnya dengan tatapan penuh harap. Zea melangkah maju. Di sampingnya, Pak Arman menggandeng erat lengannya. Wajah sang ayah keras tapi bangga seolah hari ini adalah puncak dari semua pengorbanan dan prinsip hidupnya. Tapi di dalam dada Zea, hatinya berteriak. Langkah demi langkah menuju altar bukan seperti mimpi kecil yang dulu ia bayangkan saat masih remaja. Tak ada debar bahagia. Hanya dingin, dan sunyi, dan bayang-bayang mata seseorang yang tak duduk di kursi mana pun hari itu. Rayyan. Ia tak diundang. Ia bahkan tak mungkin diundang. Tapi dalam hati Zea, pria itu hadir lebih nyata dari siapa pun di ruangan itu. Saat Zea dan Adrian berdiri berhadapan, sang penghulu mulai membaca ijab kabul. Suara-suara saksi terdengar jelas. Semua berjalan lancar. Tidak ada keraguan. Tapi ketika ijab kabul selesai dan tepuk tangan bergemuruh, Zea tahu—semua ini bukan awal yang ia dambakan. Ini akhir dari dirinya yang lama. Dan awal dari dirinya yang hanya akan menjalani… bukan memilih. Adrian menggenggam tangannya. “Kamu siap?” bisiknya. Zea menoleh, tersenyum samar. “Aku... mencoba.” Dan di balik senyum yang tak sampai ke mata itu, janji Rayyan kembali bergema. “Aku akan datang kembali ke sini dan akan membawamu pergi, walaupun saat itu kamu sudah menjadi istri dari orang lain.” Zea memejamkan mata. Sejenak. Lalu membukanya kembali, siap memainkan peran dalam kehidupan yang bukan miliknya. Tapi jauh di dasar hati, ada pintu yang belum sepenuhnya terkunci. Acara pernikahan sudah berganti nuansa. Setelah ijab kabul yang berlangsung lancar, para tamu mulai menyantap hidangan. Musik lembut mengisi udara, dan Zea duduk di pelaminan bersama Adrian, senyum lelah tergantung di bibirnya. Tapi dadanya berat. Langit Jakarta memang cerah, tapi hatinya mendung. Hingga suara gaduh terdengar dari luar aula. “Pak, nggak bisa masuk kalau—” “GUE HARUS KETEMU ZEA!” Semua kepala menoleh. Seorang pria menerobos masuk, langkahnya oleng, bajunya kusut, dan matanya merah menyala. Rayyan. Dengan botol kosong di tangan, ia berjalan sempoyongan di atas karpet merah, menghentikan musik dan percakapan. “ZEA!” teriaknya, suaranya serak dan penuh amarah. “Kenapa lo lakuin ini ke gue, ha?!” Adrian langsung berdiri, wajahnya tegang. Pak Arman melangkah maju dari kursi VIP, marah bukan main. “Satpam!” serunya. “Keluarkan dia sekarang juga!” Tapi Rayyan menepis tangan siapa pun yang mencoba menyentuhnya. “Aku udah janji, ‘kan, Zea?” katanya, menatap Zea di pelaminan. Suaranya mulai pecah. “Aku bilang... aku bakal datang... walau kamu udah jadi istri orang lain!” Zea berdiri perlahan, tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat. “Yan… cukup. Jangan begini...” “Jangan begini?” Rayyan tertawa pahit. “Lo nikah, Zea. Lo janji mau tunggu! Tapi lo nikah!” Pak Arman mendekat, menggebrak meja di depan pelaminan. “Keluar sekarang juga, atau saya panggil polisi!” Tapi Rayyan menatapnya tajam. “Lo menang, Pak. Lo pikir lo hebat? Lo bisa atur hidup anak lo kayak dagang saham? Tapi lo nggak bisa beli cinta!” Satu tamu wanita menjerit kecil saat Rayyan melempar botol ke lantai. Kaca pecah. Suasana makin kacau. Satpam mulai bergerak cepat, kali ini dengan paksa. Dua orang mencengkeram lengan Rayyan, menariknya keluar. Tapi Rayyan masih sempat berteriak sebelum didorong ke luar aula. “Zea! Kamu tahu... kamu tahu kamu gak bahagia! Aku akan balik lagi! Aku gak akan berhenti!” Dan saat pintu ditutup rapat, Zea terdiam membeku. Di tengah pesta yang harusnya jadi momen paling bahagia, Zea merasa seperti mayat hidup di dalam gaun pengantin. Dan bisikan hati kecilnya menguat. "Mungkin Rayyan benar. Aku tidak bahagia." Meskipun pesta pernikahan tetap dilanjutkan dengan upaya menutupi kegaduhan, para tamu pulang dengan satu cerita di kepala mereka: mempelai wanita disatroni mantan kekasihnya sendiri dalam keadaan mabuk. Dan untuk Adrian, rasa malu itu membekas seperti luka bakar. Adrian melempar jasnya ke sofa, lalu berdiri menatap Zea. Pak Arman tiba-tiba masuk ke kamar, langkahnya ragu namun jelas bermaksud menyampaikan sesuatu. "Ada keperluan apa Anda di sini, Pak Arman?" tanya Adrian dingin. Pak Arman menghela napas, lalu menoleh pada putrinya. "Saya ingin berbicara sebentar dengan Zea. Ada hal penting yang harus saya sampaikan. Permisi." Pak Arman mengajak Zea keluar ke teras rumah, menjauh dari kamar pengantin yang kini terasa dingin bukan karena udara, tapi karena jarak di hati. Zea melipat tangan di depan dada, menatap ayahnya dengan campuran bingung dan letih. “Papa mau bicara apa lagi? Bukankah semuanya sudah cukup menyakitkan?” Pak Arman terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. “Papa tahu, semua ini bukan pernikahan yang kamu harapkan. Papa juga tahu... kamu masih menyimpan perasaan untuk Rayyan.” Zea menunduk. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu. Ia tak bisa menyangkalnya tidak di hadapan ayahnya, dan terlebih lagi, tidak di hadapan dirinya sendiri. “Tapi, Zea...” lanjut Pak Arman, suaranya perlahan namun tegas. “Papa hanya ingin kamu tahu, kalau keputusan yang Papa ambil bukan karena Papa ingin menghukum kamu. Papa hanya ingin menyelamatkan kamu.” “Menyelamatkan dari apa?” bisik Zea lirih, matanya berkaca-kaca. “Dari orang yang aku cintai?” “Dari hidup yang tidak pasti,” jawab Pak Arman, tanpa ragu. “Rayyan mungkin mencintaimu, tapi dia tidak siap, Zea. Lihat apa yang dia lakukan tadi. Datang dalam keadaan mabuk, membuat keributan di hari pernikahanmu. Itu bukan cinta yang dewasa. Itu emosi yang meledak-ledak.” Zea menggigit bibir bawahnya. Ia tidak bisa membela Rayyan, meski hatinya ingin. Apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Tapi tetap saja, luka itu tak bisa hilang begitu saja. “Papa tahu kamu marah. Kecewa. Tapi lihatlah Adrian,” kata Pak Arman lagi, menatap Zea dalam-dalam. “Dia tetap berdiri di sampingmu meski dia tahu semuanya. Meski hatinya mungkin hancur, dia memilih untuk tetap menikahimu. Itu bukan hal yang mudah dilakukan oleh seorang pria.” Zea terdiam. Kata-kata ayahnya menembus pertahanannya, membuatnya goyah. “Papa cuma minta satu hal,” ucap Pak Arman pelan. “Berilah dirimu dan Adrian kesempatan. Jangan biarkan bayang-bayang masa lalu menghancurkan masa depan yang mungkin bisa kamu bangun.” Zea menatap langit malam yang kelam. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga melati dari taman kecil di sisi rumah. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan. “Aku... akan mencoba, Pa,” katanya akhirnya, suaranya serak. “Tapi jangan paksa aku untuk melupakan semuanya begitu saja.” Pak Arman mengangguk pelan. “Papa nggak akan memaksamu. Tapi Papa percaya, kamu cukup kuat untuk memilih dengan hati yang jernih.” Ia menepuk bahu putrinya lembut, lalu berbalik meninggalkannya dalam diam. Zea berdiri di teras, tubuhnya diam tapi pikirannya bergejolak. Ia tahu, malam ini bukan akhir dari segalanya. Justru ini adalah awal dari sesuatu yang baru entah itu luka... atau penyembuhan.Hujan turun perlahan di luar jendela cafe kecil di sudut kota. Tempat itu tenang, hampir kosong, hanya ada dua pria yang duduk saling berhadapan di meja paling pojok. Tak ada senyum. Tak ada sapa basa-basi.Rayyan duduk lebih dulu, matanya menatap ke luar, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi bergolak. Ia tak mengira akan dihubungi oleh seseorang yang selama ini hanya hidup dalam bayangan, Adrian Mahendra."Terima kasih sudah datang," ujar Adrian, duduk dengan tenang dan rapi. Suaranya rendah, namun membawa beban berat.Rayyan menatapnya. Wajah itu dingin, tak tersentuh emosi. Seolah segala rasa hanya gangguan bagi logika."Aku tidak datang untuk basa-basi," jawab Rayyan, datar. "Kalau kau ingin bicara soal Zea, katakan langsung."Adrian mengangguk perlahan, lalu menyilangkan tangan. "Kau tahu posisimu, Rayyan. Dan aku rasa, kau cukup cerdas untuk memahami batas yang seharusnya tidak lagi kau lewati."Rayyan menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. "Kalau kau ingin men
Malam itu, udara dalam rumah begitu sunyi. Matahari sudah tergantikkan oleh bulan, namun ketegangan telah merayap di setiap sudut ruangan. Zea melangkah perlahan menuju ruang makan, menemukan Adrian sudah duduk rapi dengan setelan kerjanya. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam. “Duduk,” katanya singkat. Zea menurut, duduk dengan gugup di seberangnya. Tak ada sapa, tak ada basa-basi. Adrian menyisipkan secangkir kopi sebelum akhirnya berkata. "Hari ini kau tidak pulang tepat waktu.” Zea diam. Ia menunduk. “Aku tahu kau bertemu dengan Rayyan,” lanjut Adrian, suaranya tetap tenang, namun mulai terdengar tekanan di setiap katanya. “Aku pergi darimu karena aku berpikir kau butuh ruang. Tapi ini hanya sekali, Zea. Hanya sekali.” Zea mengangkat wajahnya, hatinya berdegup kencang. “Adrian, aku tidak melakukan apa-apa yang mempermalukanmu.” “Tidak mempermalukan di mata umum, ya. Tapi tahu apa yang bisa terjadi kalau seseorang melihat kalian?” Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit. Mata
Zea baru saja keluar dari ruang rapat saat udara di luar ruangan menyeruak ke wajahnya, seolah ikut melepaskan ketegangan yang menumpuk di dalam. Ia berjalan di lorong sendirian, hendak kembali ke ruang kerja Adrian untuk mengambil tasnya. Langkah-langkah di sekitarnya terdengar jauh, samar… sampai sebuah suara menghentikannya.“Zea?”Mereka saling diam beberapa detik. Dunia di sekitar seperti kehilangan suara. Hanya tatapan mereka yang berbicara. Tatapan yang penuh luka, tanya… dan rindu.“Aku dengar Adrian lagi rapat hari ini,” kata Rayan pelan, langkahnya mendekat, “jadi... aku datang bukan sebagai konsultan. Aku datang untuk kamu, Zea.”Zea berdiri dengan gugup, mencoba menata napasnya. “Rayan, ini bukan tempat—”“Aku gak peduli tempatnya di mana,” potong Rayan, suaranya terdengar lelah namun tulus. “Aku cuma pengen lihat kamu. Langsung. Bukan dari kejauhan. Bukan dari laporan orang lain. Aku... cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Zea menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Ia in
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Zea terbangun di kamar yang asing namun kini menjadi miliknya. Dinding-dindingnya berwarna abu-abu dingin, sama seperti pria yang kini sah menjadi suaminya. Adrian tidak ada di kamar. Hanya sisa aroma parfum maskulinnya yang samar-samar tertinggal di udara, menandakan ia sudah pergi entah sejak kapan. Zea duduk di ranjang besar itu, menatap kosong ke arah jendela. Dalam kesunyian itu, kenangan tentang Rayam datang tanpa diundang. Senyum hangatnya, cara dia memanggil namanya dengan penuh sayang, hingga janji-janji yang kini tak punya arti. Semua itu berputar dalam pikirannya, menciptakan luka yang belum sempat sembuh. "Aku akan selalu lindungi kamu, Zea. Apapun yang terjadi." Ucapan Rayam bergema jelas dalam benaknya, menghantam kenyataan bahwa kini ia bukan milik Rayam lagi. Ia telah memilih atau lebih tepatnya, dipaksa memilih jalan yang berbeda. Jalan yang membuatnya berdiri di sisi pria yang bahkan tak pernah menatapnya dengan
Langit Jakarta sore itu cerah, seperti sengaja ikut merayakan pesta yang megah. Hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi bunga putih dan lilin kristal. Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan gemerisik gaun dan bisik-bisik tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.Di tengah aula besar itu, Zea berdiri di balik pintu kayu ukiran yang akan segera terbuka menuju altar.Gaun pengantinnya indah, renda halus menyelimuti kulitnya, kilau mutiara menari di sepanjang lengan, dan kerudung tipis menjuntai dari kepala hingga tumit. Semua sempurna. Semua sesuai rencana. Semua... kecuali hatinya.“Zea,” suara lembut Bu Ratna menyentuh bahunya, “ini waktunya."Zea menoleh. Ibunya tampak anggun dengan kebaya berwarna biru muda. Tapi mata itu menyimpan kegundahan yang disembunyikan oleh senyum tipis.“Ayahmu menunggumu di depan,” lanjut Bu Ratna.Zea mengangguk pelan. “Iya, Ma.”Pintu terbuka perlahan. Musik berganti. Semua mata menoleh. Kilatan kamera mulai membanjir. Di ujung ruangan
Pagi itu, matahari belum tinggi. Udara Jakarta masih dingin dan basah sisa gerimis malam. Zea duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya polos, tanpa riasan. Tapi sorot matanya tegas. Siap menghadapi apapun.Ia menunggu.Jam berdetak. Detik demi detik seperti tikaman ke dada. Ia tak tahu apakah Rayyan benar-benar akan datang... atau apakah keputusannya tadi malam hanyalah sebuah harapan yang terlalu tinggi untuk dijangkau.Lalu—bel pintu berbunyi.Zea langsung berdiri. Jantungnya melonjak. Langkah-langkahnya cepat menuju pintu. Dan saat daun pintu dibuka, bukan Rayyan yang berdiri di sana melainkan... Ibunya.Wajah Bu Ratna tampak letih. Rambutnya disanggul rapi, tapi ada getar di ujung bibirnya. “Mama dengar semuanya semalam,” katanya pelan.Zea menunduk. “Mama mau marah?”Zea menutup pintu perlahan, lalu mengikuti ibunya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa yang sama, tapi terasa seperti dipisahkan oleh jarak ber