Home / Romansa / Hati yang Tak Pernah Siap / Hati yang Tak Pernah Diinginkan

Share

Hati yang Tak Pernah Diinginkan

Author: Faelelfa
last update Last Updated: 2025-06-16 14:59:57

Langit Jakarta sore itu cerah, seperti sengaja ikut merayakan pesta yang megah. Hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi bunga putih dan lilin kristal. Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan gemerisik gaun dan bisik-bisik tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.

Di tengah aula besar itu, Zea berdiri di balik pintu kayu ukiran yang akan segera terbuka menuju altar.

Gaun pengantinnya indah, renda halus menyelimuti kulitnya, kilau mutiara menari di sepanjang lengan, dan kerudung tipis menjuntai dari kepala hingga tumit. Semua sempurna. Semua sesuai rencana. Semua... kecuali hatinya.

“Zea,” suara lembut Bu Ratna menyentuh bahunya, “ini waktunya."

Zea menoleh. Ibunya tampak anggun dengan kebaya berwarna biru muda. Tapi mata itu menyimpan kegundahan yang disembunyikan oleh senyum tipis.

“Ayahmu menunggumu di depan,” lanjut Bu Ratna.

Zea mengangguk pelan. “Iya, Ma.”

Pintu terbuka perlahan. Musik berganti. Semua mata menoleh. Kilatan kamera mulai membanjir. Di ujung ruangan, Adrian berdiri tegak dalam jas abu-abu gelap, tersenyum tenang, memandangnya dengan tatapan penuh harap.

Zea melangkah maju. Di sampingnya, Pak Arman menggandeng erat lengannya. Wajah sang ayah keras tapi bangga seolah hari ini adalah puncak dari semua pengorbanan dan prinsip hidupnya.

Tapi di dalam dada Zea, hatinya berteriak.

Langkah demi langkah menuju altar bukan seperti mimpi kecil yang dulu ia bayangkan saat masih remaja. Tak ada debar bahagia. Hanya dingin, dan sunyi, dan bayang-bayang mata seseorang yang tak duduk di kursi mana pun hari itu.

Rayyan.

Ia tak diundang. Ia bahkan tak mungkin diundang. Tapi dalam hati Zea, pria itu hadir lebih nyata dari siapa pun di ruangan itu.

Saat Zea dan Adrian berdiri berhadapan, sang penghulu mulai membaca ijab kabul. Suara-suara saksi terdengar jelas. Semua berjalan lancar. Tidak ada keraguan.

Tapi ketika ijab kabul selesai dan tepuk tangan bergemuruh, Zea tahu—semua ini bukan awal yang ia dambakan. Ini akhir dari dirinya yang lama. Dan awal dari dirinya yang hanya akan menjalani… bukan memilih.

Adrian menggenggam tangannya. “Kamu siap?” bisiknya.

Zea menoleh, tersenyum samar. “Aku... mencoba.”

Dan di balik senyum yang tak sampai ke mata itu, janji Rayyan kembali bergema.

“Aku akan datang kembali ke sini dan akan membawamu pergi, walaupun saat itu kamu sudah menjadi istri dari orang lain.”

Zea memejamkan mata. Sejenak. Lalu membukanya kembali, siap memainkan peran dalam kehidupan yang bukan miliknya.

Tapi jauh di dasar hati, ada pintu yang belum sepenuhnya terkunci.

Acara pernikahan sudah berganti nuansa. Setelah ijab kabul yang berlangsung lancar, para tamu mulai menyantap hidangan. Musik lembut mengisi udara, dan Zea duduk di pelaminan bersama Adrian, senyum lelah tergantung di bibirnya.

Tapi dadanya berat. Langit Jakarta memang cerah, tapi hatinya mendung.

Hingga suara gaduh terdengar dari luar aula.

“Pak, nggak bisa masuk kalau—”

“GUE HARUS KETEMU ZEA!”

Semua kepala menoleh. Seorang pria menerobos masuk, langkahnya oleng, bajunya kusut, dan matanya merah menyala.

Rayyan.

Dengan botol kosong di tangan, ia berjalan sempoyongan di atas karpet merah, menghentikan musik dan percakapan.

“ZEA!” teriaknya, suaranya serak dan penuh amarah. “Kenapa lo lakuin ini ke gue, ha?!”

Adrian langsung berdiri, wajahnya tegang. Pak Arman melangkah maju dari kursi VIP, marah bukan main.

“Satpam!” serunya. “Keluarkan dia sekarang juga!”

Tapi Rayyan menepis tangan siapa pun yang mencoba menyentuhnya.

“Aku udah janji, ‘kan, Zea?” katanya, menatap Zea di pelaminan. Suaranya mulai pecah. “Aku bilang... aku bakal datang... walau kamu udah jadi istri orang lain!”

Zea berdiri perlahan, tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat.

“Yan… cukup. Jangan begini...”

“Jangan begini?” Rayyan tertawa pahit. “Lo nikah, Zea. Lo janji mau tunggu! Tapi lo nikah!”

Pak Arman mendekat, menggebrak meja di depan pelaminan. “Keluar sekarang juga, atau saya panggil polisi!”

Tapi Rayyan menatapnya tajam. “Lo menang, Pak. Lo pikir lo hebat? Lo bisa atur hidup anak lo kayak dagang saham? Tapi lo nggak bisa beli cinta!”

Satu tamu wanita menjerit kecil saat Rayyan melempar botol ke lantai. Kaca pecah. Suasana makin kacau. Satpam mulai bergerak cepat, kali ini dengan paksa.

Dua orang mencengkeram lengan Rayyan, menariknya keluar. Tapi Rayyan masih sempat berteriak sebelum didorong ke luar aula.

“Zea! Kamu tahu... kamu tahu kamu gak bahagia! Aku akan balik lagi! Aku gak akan berhenti!” Dan saat pintu ditutup rapat, Zea terdiam membeku.

Di tengah pesta yang harusnya jadi momen paling bahagia, Zea merasa seperti mayat hidup di dalam gaun pengantin.

Dan bisikan hati kecilnya menguat. "Mungkin Rayyan benar. Aku tidak bahagia."

Meskipun pesta pernikahan tetap dilanjutkan dengan upaya menutupi kegaduhan, para tamu pulang dengan satu cerita di kepala mereka: mempelai wanita disatroni mantan kekasihnya sendiri dalam keadaan mabuk.

Dan untuk Adrian, rasa malu itu membekas seperti luka bakar.

Adrian melempar jasnya ke sofa, lalu berdiri menatap Zea.

Pak Arman tiba-tiba masuk ke kamar, langkahnya ragu namun jelas bermaksud menyampaikan sesuatu.

"Ada keperluan apa Anda di sini, Pak Arman?" tanya Adrian dingin.

Pak Arman menghela napas, lalu menoleh pada putrinya. "Saya ingin berbicara sebentar dengan Zea. Ada hal penting yang harus saya sampaikan. Permisi."

Pak Arman mengajak Zea keluar ke teras rumah, menjauh dari kamar pengantin yang kini terasa dingin bukan karena udara, tapi karena jarak di hati.

Zea melipat tangan di depan dada, menatap ayahnya dengan campuran bingung dan letih. “Papa mau bicara apa lagi? Bukankah semuanya sudah cukup menyakitkan?”

Pak Arman terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. “Papa tahu, semua ini bukan pernikahan yang kamu harapkan. Papa juga tahu... kamu masih menyimpan perasaan untuk Rayyan.”

Zea menunduk. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu. Ia tak bisa menyangkalnya tidak di hadapan ayahnya, dan terlebih lagi, tidak di hadapan dirinya sendiri.

“Tapi, Zea...” lanjut Pak Arman, suaranya perlahan namun tegas. “Papa hanya ingin kamu tahu, kalau keputusan yang Papa ambil bukan karena Papa ingin menghukum kamu. Papa hanya ingin menyelamatkan kamu.”

“Menyelamatkan dari apa?” bisik Zea lirih, matanya berkaca-kaca. “Dari orang yang aku cintai?”

“Dari hidup yang tidak pasti,” jawab Pak Arman, tanpa ragu. “Rayyan mungkin mencintaimu, tapi dia tidak siap, Zea. Lihat apa yang dia lakukan tadi. Datang dalam keadaan mabuk, membuat keributan di hari pernikahanmu. Itu bukan cinta yang dewasa. Itu emosi yang meledak-ledak.”

Zea menggigit bibir bawahnya. Ia tidak bisa membela Rayyan, meski hatinya ingin. Apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Tapi tetap saja, luka itu tak bisa hilang begitu saja.

“Papa tahu kamu marah. Kecewa. Tapi lihatlah Adrian,” kata Pak Arman lagi, menatap Zea dalam-dalam. “Dia tetap berdiri di sampingmu meski dia tahu semuanya. Meski hatinya mungkin hancur, dia memilih untuk tetap menikahimu. Itu bukan hal yang mudah dilakukan oleh seorang pria.”

Zea terdiam. Kata-kata ayahnya menembus pertahanannya, membuatnya goyah.

“Papa cuma minta satu hal,” ucap Pak Arman pelan. “Berilah dirimu dan Adrian kesempatan. Jangan biarkan bayang-bayang masa lalu menghancurkan masa depan yang mungkin bisa kamu bangun.”

Zea menatap langit malam yang kelam. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga melati dari taman kecil di sisi rumah. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan.

“Aku... akan mencoba, Pa,” katanya akhirnya, suaranya serak. “Tapi jangan paksa aku untuk melupakan semuanya begitu saja.”

Pak Arman mengangguk pelan. “Papa nggak akan memaksamu. Tapi Papa percaya, kamu cukup kuat untuk memilih dengan hati yang jernih.”

Ia menepuk bahu putrinya lembut, lalu berbalik meninggalkannya dalam diam. Zea berdiri di teras, tubuhnya diam tapi pikirannya bergejolak. Ia tahu, malam ini bukan akhir dari segalanya. Justru ini adalah awal dari sesuatu yang baru entah itu luka... atau penyembuhan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Luka yang Harus di Sembunyikan

    Siang itu rumah terasa lebih hening dari biasanya. Zea duduk di kursi ruang tamu, matanya kosong menatap jendela yang tertutup tirai tipis. Bayangan kejadian di lobi hotel terus menari-nari di kepalanya, membuat dadanya sesak.Ia memegang perutnya yang membuncit, mencoba mengalihkan pikiran dengan membelai pelan janin yang tengah tumbuh di rahimnya. Namun rasa panas di hatinya tak kunjung mereda.Baru saja ia bernapas lebih lega, langkah kaki Adrian terdengar dari arah kamar. Lelaki itu keluar dengan wajah serius, kemeja kerja sudah rapi menempel di tubuhnya. Zea segera tahu, sebentar lagi Adrian akan berangkat ke kantor.“Zea,” suara Adrian terdengar berat, tapi bukan nada lembut yang biasa ia harapkan. Lelaki itu berdiri di depannya, satu tangannya memasukkan ponsel ke saku celana, sementara satu lagi menggenggam map kerja. “Hari ini aku mungkin pulang agak larut. Jadi… aku titip Tiara sama kamu, ya.”Zea mendongak, matanya langsung membesar. “Titip… Tiara?” suaranya serak, hampir t

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Bayangan di Pelukkan

    Jam dinding di lobi hotel sudah menunjukkan pukul 11.50 siang. Suasana hotel perlahan ramai dengan tamu-tamu yang juga bersiap untuk check out. Suara koper beroda berderit di lantai marmer yang licin, bercampur dengan percakapan pelan dan sapaan ramah dari staf hotel yang berdiri di dekat meja resepsionis.Zea duduk di sofa panjang lobi, tangannya mengelus perutnya yang kian membesar. Sesekali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang sejak pagi masih terasa berat setelah kejadian semalam di area permandian air panas. Senyum samar Tiara masih membayang jelas di kepalanya, seperti bayangan hitam yang sulit diusir.Kevin sibuk memainkan mainan kecil yang dibelikan kakeknya pagi tadi. Anak itu tertawa kecil, polos, tak mengerti betapa tegangnya hawa di antara orang dewasa yang ada di sekitarnya.Zea memandang sekeliling, mencari sosok Adrian yang tadi pergi ke kamar Tiara. Kata suaminya, ia hanya akan membantu membawakan barang bawaan karena Tiara katanya masih merasa ke

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Kelicikan Tiara

    Udara sore di area permandian air panas hotel terasa berbeda, kali ini lebih lembap, menenangkan, dengan aroma belerang yang samar-samar berpadu dengan wangi bunga kamboja dari taman kecil di sekitarnya.Kolam air panas itu terbagi dalam beberapa bagian. Kolam utama yang luas dengan pancuran air terjun buatan dan kolam kecil di sisi kiri yang lebih privat untuk keluarga.Langit perlahan berwarna jingga, burung-burung berterbangan pulang ke sarang, sementara lampu-lampu taman mulai menyala satu per satu. Uap putih tipis naik dari permukaan air, melayang di udara, membuat suasana semakin syahdu.Adrian tampak tenang dengan handuk melilit pinggang, duduk di pinggir kolam sambil sesekali memperhatikan Kevin yang riang bermain air. Kevin tertawa kecil, cipratan airnya mengenai wajah Adrian, dan lelaki itu membalas dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan pada orang lain.Zea, dengan hati-hati, menuruni anak tangga kolam sambil memegang perutnya. Ia memilih duduk di sisi kolam, merendam

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Sarapan yang Penuh Ketegangan

    Pagi di hotel bintang lima itu terasa berbeda. Cahaya matahari menerobos lembut dari jendela kaca besar restoran yang menghadap kolam renang. Suara dentingan sendok dan garpu berpadu dengan alunan musik jazz lembut yang dimainkan dari pengeras suara. Para tamu hotel lalu-lalang dengan pakaian santai, sebagian besar keluarga kecil atau pasangan muda yang terlihat bahagia menikmati akhir pekan mereka.Zea duduk di kursi dekat jendela, bersebelahan dengan Ibu Adrian. Ia mencoba tersenyum, meski perasaannya masih terguncang sejak malam sebelumnya.Malam di mana Kevin menangis histeris dan menolak tidur bersama ibunya. Malam di mana tatapan tajam bocah kecil itu terus menghantuinya hingga kini.Di meja itu sudah tersedia aneka hidangan sarapan prasmanan, roti panggang, selai, omelet, sup hangat, sereal, buah segar, hingga kopi dan teh. Semua tampak lengkap, menggugah selera, namun bagi Zea, rasa lapar seperti sudah menguap.Ibu Adrian menoleh padanya dengan senyum hangat. “Zea, bagaimana

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Malam di Balik Dinding Hotel

    Suasana lobi hotel bintang lima di Jakarta terasa megah. Lampu gantung kristal menjuntai di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke lantai marmer putih yang licin.Aroma wangi bunga segar dari vas raksasa di tengah ruangan membuat suasana semakin terasa mewah.Keluarga Adrian berdiri di depan meja resepsionis, menunggu proses check-in. Zea meremas ujung tasnya dengan gugup, sementara matanya sesekali melirik ke arah Kevin yang tampak menempel di sisi Adrian. Anak itu terus menarik-narik tangan ayahnya, seakan tak ingin dipisahkan walau sebentar.“Untuk kamarnya bagaimana, Bu?” tanya resepsionis dengan senyum ramah.Ibu Adrian menoleh ke arah suaminya sebentar sebelum menjawab, “Kita pesan tiga kamar. Satu untuk kami berdua, satu untuk Adrian dan Zea, lalu satu lagi untuk Tiara dan Kevin.”Kevin sontak menoleh cepat. Bola matanya membesar, bibir mungilnya mulai bergetar. “Aku nggak mau Papa tidur bersama dengan Tante Zea,” ucapnya pelan tapi jelas, membuat semua orang menoleh.Tia

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Pagi yang Penuh Sandiwara

    Matahari pagi merayap pelan di balik tirai jendela kamar Zea. Aroma teh manis dan roti panggang mengalun dari dapur, membangkitkan rasa hangat yang hanya bisa ia temukan di rumah ibunya. Meski begitu, ada kegelisahan yang tak bisa ia enyahkan sejak membuka mata.Suara deru mobil berhenti di depan rumah membuatnya menoleh ke arah jendela. Tidak butuh waktu lama untuk mengenali siapa yang datang, mobil hitam milik orang tua Adrian.Zea menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba memacu. “Kenapa mereka ke sini pagi-pagi?” pikirnya. Perasaannya bercampur, ada rasa kaget, cemas, dan sedikit takut.Ketukan pintu terdengar, dan suara ramah ibunya menyambut, “Oh, Pak, Bu… silakan masuk.”Zea segera merapikan rambutnya, menepuk-nepuk pipinya agar tak terlihat sembab, lalu melangkah keluar kamar.“Zea… Sayang.” Suara lembut Ibu Adrian memanggilnya. Wanita itu bangkit dari sofa dan langsung meraih tangannya, menggenggam erat. “Nak, kami dengar kamu pergi dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status