Hujan turun perlahan di luar jendela cafe kecil di sudut kota. Tempat itu tenang, hampir kosong, hanya ada dua pria yang duduk saling berhadapan di meja paling pojok. Tak ada senyum. Tak ada sapa basa-basi.
Rayyan duduk lebih dulu, matanya menatap ke luar, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi bergolak. Ia tak mengira akan dihubungi oleh seseorang yang selama ini hanya hidup dalam bayangan, Adrian Mahendra. "Terima kasih sudah datang," ujar Adrian, duduk dengan tenang dan rapi. Suaranya rendah, namun membawa beban berat. Rayyan menatapnya. Wajah itu dingin, tak tersentuh emosi. Seolah segala rasa hanya gangguan bagi logika. "Aku tidak datang untuk basa-basi," jawab Rayyan, datar. "Kalau kau ingin bicara soal Zea, katakan langsung." Adrian mengangguk perlahan, lalu menyilangkan tangan. "Kau tahu posisimu, Rayyan. Dan aku rasa, kau cukup cerdas untuk memahami batas yang seharusnya tidak lagi kau lewati." Rayyan menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. "Kalau kau ingin mengatakan padaku untuk menjauh dari Zea, seharusnya dia sendiri yang bicara, bukan kamu." “Dia sudah berbicara,” potong Adrian. “Dalam bentuk janji dan tanggung jawab yang mungkin belum sepenuhnya ia pahami, tapi tetap berlaku.” Hening sejenak. Hanya suara rintik hujan yang memisahkan ego mereka. “Aku tahu dia masih mencintaiku,” Rayyan berkata tanpa ragu. “Dan kau tahu itu juga.” Adrian menatapnya tajam. “Dan justru karena aku tahu itulah, aku di sini.” Ia bersandar ke kursi, lalu menatap langsung ke mata Rayyan. “Aku tidak akan memintamu melupakan Zea. Itu urusan hatimu. Tapi aku memperingatkanmu jangan ganggu hidupnya lagi. Karena setiap pesan yang kau kirim, setiap pertemuan yang kau atur, hanya akan menyulitkan dia. Dan aku... akan tahu.” “Kau mengancam?” “Aku memperingatkan.” Adrian tersenyum kecil, tajam. “Aku tidak bermain dengan emosi. Aku bermain dengan fakta. Dan faktanya sekarang Zea istriku. Dia tinggal di rumahku. Di bawah namaku. Kau hanya masa lalunya.” Rayyan mengepalkan tangan di bawah meja. Tapi ia tetap duduk. Tetap menahan. Karena ia tahu Adrian tidak sekadar berbicara. Ia sudah memulai langkahnya. Sebelum pergi, Adrian menambahkan, “Aku tidak peduli siapa kau sebelumnya. Tapi jika kau masih mencoba merenggut bagian hidupku sekarang, maka aku akan pastikan kau kehilangan lebih dari sekadar wanita.” Ia bangkit, meninggalkan Rayyan dengan dada terbakar dan kepala penuh gejolak. Dan saat pintu cafe tertutup di belakang Adrian, Rayyan tahu permainan ini belum selesai. Tapi sekarang, ia harus memilih mundur demi keselamatan Zea, atau maju... dan menghadapi kehancuran yang mungkin tak hanya menimpa dirinya. Di rumah, Zea baru saja kembali dari kunjungan keluarga Adrian. Kepalanya berat, senyumnya lelah, dan hatinya... entah tertinggal di mana. Rumah itu seperti biasa hampa dan rapi. Tak ada tanda-tanda bahwa sesuatu baru saja terjadi. Hingga ia masuk ke kamar dan mendapati ponselnya bergetar pelan. Satu pesan dari Rayyan. “Dia sudah datang menemuiku.” “Adrian.” Zea terdiam. Jari-jarinya seketika dingin. “Dia tahu segalanya.” “Zea, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau biarkan dia mempermainkan kita seperti ini?” Darah di wajah Zea seakan mengalir turun. Napasnya tercekat. Dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Ia menjatuhkan ponsel ke tempat tidur, lalu duduk perlahan. Tangannya gemetar. Adrian. Ia mencoba mengingat setiap percakapan terakhir, setiap nada bicara suaminya—semuanya tenang. Terlalu tenang. Seolah menyembunyikan sesuatu. Dan kini ia tahu apa yang disembunyikan. Zea berdiri, membuka pintu kamarnya. Langkah kakinya membawa tubuhnya menuju ruang kerja Adrian. Ia dorong pintu itu tanpa mengetuk. Adrian sedang duduk membaca dokumen. Ia menoleh, tetap tenang, seperti sudah menunggu. "Kau menemuinya?" tanya Zea, suaranya pelan tapi tajam. "Rayyan?" Adrian menutup berkas perlahan. “Ya.” “Tanpa memberitahuku?” “Tak perlu.” Zea melangkah maju, matanya mulai berkaca. “Kenapa? Apa yang kau katakan padanya?” “Apa yang perlu dikatakan,” jawab Adrian datar. “Aku hanya mengingatkan posisinya. Dan menjelaskan apa akibatnya jika dia masih terus mengganggu kehidupan kita.” Zea menggigit bibirnya, mencoba menahan gejolak yang menggelegak di dada. “Kehidupan kita?” Ia tertawa lirih. “Ini bukan kehidupan, Adrian. Ini... penjara.” “Penjara yang kau masuki sendiri,” balas Adrian tanpa ragu. “Kau tahu perjanjian keluarga kita. Dan kau tahu apa yang sedang kau pertaruhkan hanya demi satu hal yang kau sebut cinta.” Zea memalingkan wajahnya, tak tahan melihat sorot matanya. “Kau tidak berhak mencampuri hatiku.” “Tapi aku berhak menjaga nama baikku. Dan kalau itu berarti menjauhkan Rayyan dari hidupmu, maka aku akan lakukan, sekeras apa pun caranya.” Zea menatapnya tajam, penuh luka. “Apa kau akan mengurungku? Memata-mataiku? Sampai aku jadi boneka yang tak lagi bisa merasa?” Adrian berdiri. Wajahnya mendekat. Tidak mengancam. Tapi suaranya dingin dan jelas: “Aku tidak butuh istri yang setia secara hati. Aku butuh istri yang tahu batas. Dan mulai hari ini, batasmu adalah tidak lagi menyebut nama Rayyan bahkan di dalam pikiranmu sendiri.” Zea menahan napas. Di matanya, air mata menggantung, tapi tak dibiarkan jatuh. Ia tahu: inilah titik di mana semuanya akan berubah. Tapi belum tahu ke arah mana. Zea menatap Adrian dengan mata yang mulai memerah. “Kau bisa mengendalikan segalanya, Adrian. Uang, kekuasaan, bahkan keluargaku. Tapi tidak hatiku.” Adrian menghela napas panjang, lalu menatap Zea dengan tajam. “Hati tidak akan menyelamatkanmu, Zea. Tapi reputasi bisa. Dan selama kau masih memakai nama keluargaku, maka kau harus bertindak sepadan.” “Kau tidak peduli sedikit pun padaku, kan?” suara Zea bergetar. “Kau hanya peduli pada nama baikmu.” Adrian tak menjawab langsung. Ia hanya berjalan mendekat, langkahnya mantap, penuh tekanan tak terlihat. “Aku tidak pernah menyembunyikannya darimu. Aku tidak mencintaimu. Dan aku tidak butuh cinta dalam pernikahan ini. Yang kubutuhkan adalah ketertiban, kehormatan... dan batas.” Zea menahan air matanya yang nyaris pecah. “Lalu apa aku hanya alat? Barang dagangan dalam perjanjian bisnis?” “Jangan berpura-pura baru menyadarinya sekarang,” jawab Adrian pelan, menusuk. “Kau menyetujuinya. Dan sekarang kau terikat. Tidak ada ruang untuk masa lalu, Zea. Tidak lagi.” DING DONG. Suara bel pintu tiba-tiba memecah udara. Keduanya terdiam. Seketika. Adrian menoleh pelan. Zea membeku di tempat. Nafas mereka masih berat, namun tubuhnya langsung menyusun sikap. Seolah tak terjadi apa-apa. 'Apakah itu Rayyan?' batin Zea.Hujan turun perlahan di luar jendela cafe kecil di sudut kota. Tempat itu tenang, hampir kosong, hanya ada dua pria yang duduk saling berhadapan di meja paling pojok. Tak ada senyum. Tak ada sapa basa-basi.Rayyan duduk lebih dulu, matanya menatap ke luar, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi bergolak. Ia tak mengira akan dihubungi oleh seseorang yang selama ini hanya hidup dalam bayangan, Adrian Mahendra."Terima kasih sudah datang," ujar Adrian, duduk dengan tenang dan rapi. Suaranya rendah, namun membawa beban berat.Rayyan menatapnya. Wajah itu dingin, tak tersentuh emosi. Seolah segala rasa hanya gangguan bagi logika."Aku tidak datang untuk basa-basi," jawab Rayyan, datar. "Kalau kau ingin bicara soal Zea, katakan langsung."Adrian mengangguk perlahan, lalu menyilangkan tangan. "Kau tahu posisimu, Rayyan. Dan aku rasa, kau cukup cerdas untuk memahami batas yang seharusnya tidak lagi kau lewati."Rayyan menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. "Kalau kau ingin men
Malam itu, udara dalam rumah begitu sunyi. Matahari sudah tergantikkan oleh bulan, namun ketegangan telah merayap di setiap sudut ruangan. Zea melangkah perlahan menuju ruang makan, menemukan Adrian sudah duduk rapi dengan setelan kerjanya. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam. “Duduk,” katanya singkat. Zea menurut, duduk dengan gugup di seberangnya. Tak ada sapa, tak ada basa-basi. Adrian menyisipkan secangkir kopi sebelum akhirnya berkata. "Hari ini kau tidak pulang tepat waktu.” Zea diam. Ia menunduk. “Aku tahu kau bertemu dengan Rayyan,” lanjut Adrian, suaranya tetap tenang, namun mulai terdengar tekanan di setiap katanya. “Aku pergi darimu karena aku berpikir kau butuh ruang. Tapi ini hanya sekali, Zea. Hanya sekali.” Zea mengangkat wajahnya, hatinya berdegup kencang. “Adrian, aku tidak melakukan apa-apa yang mempermalukanmu.” “Tidak mempermalukan di mata umum, ya. Tapi tahu apa yang bisa terjadi kalau seseorang melihat kalian?” Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit. Mata
Zea baru saja keluar dari ruang rapat saat udara di luar ruangan menyeruak ke wajahnya, seolah ikut melepaskan ketegangan yang menumpuk di dalam. Ia berjalan di lorong sendirian, hendak kembali ke ruang kerja Adrian untuk mengambil tasnya. Langkah-langkah di sekitarnya terdengar jauh, samar… sampai sebuah suara menghentikannya.“Zea?”Mereka saling diam beberapa detik. Dunia di sekitar seperti kehilangan suara. Hanya tatapan mereka yang berbicara. Tatapan yang penuh luka, tanya… dan rindu.“Aku dengar Adrian lagi rapat hari ini,” kata Rayan pelan, langkahnya mendekat, “jadi... aku datang bukan sebagai konsultan. Aku datang untuk kamu, Zea.”Zea berdiri dengan gugup, mencoba menata napasnya. “Rayan, ini bukan tempat—”“Aku gak peduli tempatnya di mana,” potong Rayan, suaranya terdengar lelah namun tulus. “Aku cuma pengen lihat kamu. Langsung. Bukan dari kejauhan. Bukan dari laporan orang lain. Aku... cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Zea menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Ia in
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Zea terbangun di kamar yang asing namun kini menjadi miliknya. Dinding-dindingnya berwarna abu-abu dingin, sama seperti pria yang kini sah menjadi suaminya. Adrian tidak ada di kamar. Hanya sisa aroma parfum maskulinnya yang samar-samar tertinggal di udara, menandakan ia sudah pergi entah sejak kapan. Zea duduk di ranjang besar itu, menatap kosong ke arah jendela. Dalam kesunyian itu, kenangan tentang Rayam datang tanpa diundang. Senyum hangatnya, cara dia memanggil namanya dengan penuh sayang, hingga janji-janji yang kini tak punya arti. Semua itu berputar dalam pikirannya, menciptakan luka yang belum sempat sembuh. "Aku akan selalu lindungi kamu, Zea. Apapun yang terjadi." Ucapan Rayam bergema jelas dalam benaknya, menghantam kenyataan bahwa kini ia bukan milik Rayam lagi. Ia telah memilih atau lebih tepatnya, dipaksa memilih jalan yang berbeda. Jalan yang membuatnya berdiri di sisi pria yang bahkan tak pernah menatapnya dengan
Langit Jakarta sore itu cerah, seperti sengaja ikut merayakan pesta yang megah. Hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi bunga putih dan lilin kristal. Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan gemerisik gaun dan bisik-bisik tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.Di tengah aula besar itu, Zea berdiri di balik pintu kayu ukiran yang akan segera terbuka menuju altar.Gaun pengantinnya indah, renda halus menyelimuti kulitnya, kilau mutiara menari di sepanjang lengan, dan kerudung tipis menjuntai dari kepala hingga tumit. Semua sempurna. Semua sesuai rencana. Semua... kecuali hatinya.“Zea,” suara lembut Bu Ratna menyentuh bahunya, “ini waktunya."Zea menoleh. Ibunya tampak anggun dengan kebaya berwarna biru muda. Tapi mata itu menyimpan kegundahan yang disembunyikan oleh senyum tipis.“Ayahmu menunggumu di depan,” lanjut Bu Ratna.Zea mengangguk pelan. “Iya, Ma.”Pintu terbuka perlahan. Musik berganti. Semua mata menoleh. Kilatan kamera mulai membanjir. Di ujung ruangan
Pagi itu, matahari belum tinggi. Udara Jakarta masih dingin dan basah sisa gerimis malam. Zea duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya polos, tanpa riasan. Tapi sorot matanya tegas. Siap menghadapi apapun.Ia menunggu.Jam berdetak. Detik demi detik seperti tikaman ke dada. Ia tak tahu apakah Rayyan benar-benar akan datang... atau apakah keputusannya tadi malam hanyalah sebuah harapan yang terlalu tinggi untuk dijangkau.Lalu—bel pintu berbunyi.Zea langsung berdiri. Jantungnya melonjak. Langkah-langkahnya cepat menuju pintu. Dan saat daun pintu dibuka, bukan Rayyan yang berdiri di sana melainkan... Ibunya.Wajah Bu Ratna tampak letih. Rambutnya disanggul rapi, tapi ada getar di ujung bibirnya. “Mama dengar semuanya semalam,” katanya pelan.Zea menunduk. “Mama mau marah?”Zea menutup pintu perlahan, lalu mengikuti ibunya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa yang sama, tapi terasa seperti dipisahkan oleh jarak ber