Malam itu, udara dalam rumah begitu sunyi. Matahari sudah tergantikkan oleh bulan, namun ketegangan telah merayap di setiap sudut ruangan. Zea melangkah perlahan menuju ruang makan, menemukan Adrian sudah duduk rapi dengan setelan kerjanya. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam.
“Duduk,” katanya singkat. Zea menurut, duduk dengan gugup di seberangnya. Tak ada sapa, tak ada basa-basi. Adrian menyisipkan secangkir kopi sebelum akhirnya berkata. "Hari ini kau tidak pulang tepat waktu.” Zea diam. Ia menunduk. “Aku tahu kau bertemu dengan Rayyan,” lanjut Adrian, suaranya tetap tenang, namun mulai terdengar tekanan di setiap katanya. “Aku pergi darimu karena aku berpikir kau butuh ruang. Tapi ini hanya sekali, Zea. Hanya sekali.” Zea mengangkat wajahnya, hatinya berdegup kencang. “Adrian, aku tidak melakukan apa-apa yang mempermalukanmu.” “Tidak mempermalukan di mata umum, ya. Tapi tahu apa yang bisa terjadi kalau seseorang melihat kalian?” Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit. Matanya dingin. “Aku tidak peduli siapa Rayyan. Aku tidak peduli apa yang pernah kau rasakan padanya. Sekarang kau adalah istriku. Dan aku tidak akan biarkan namaku hancur karena seseorang dari masa lalumu.” Zea mencoba menjawab, suaranya bergetar. “Aku hanya... butuh waktu. Aku belum bisa menghapus semuanya begitu saja.” “Waktu bukan alasan untuk kebodohan,” potong Adrian. “Kalau kau ingin mempertahankan sedikit pun kehormatan dalam pernikahan ini, maka kau harus memutuskan sesuatu. Dan cepat.” Ia meletakkan cangkir kopinya perlahan. “Aku tidak menuntut kau mencintaiku, Zea. Aku pun tidak mencintaimu. Tapi aku punya nama. Dan aku tidak akan biarkan siapa pun—termasuk kau—mengotori itu.” Zea memejamkan mata, perih dalam dadanya. Adrian tidak berteriak, tidak mencaci. Tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya lebih tajam dari amarah yang meledak. “Kau bebas berpikir apa pun tentang cinta,” lanjut Adrian. “Tapi selama kau memakai nama belakangku, tidak akan ada pria lain yang menjejakkan bayangan di dekatmu. Termasuk dia.” Zea menggigit bibirnya, menahan air mata yang menggantung. “Mulai hari ini,” ucap Adrian, bangkit berdiri, “kau tidak akan menemui Rayyan lagi. Di mana pun. Dengan alasan apa pun. Atau aku sendiri yang akan pastikan pernikahan ini berakhir dengan rasa malu yang akan ditanggung oleh kedua orang tuamu!" Adrian melangkah pergi, meninggalkan Zea sendirian di ruang makan yang sunyi. Tak ada suara keras—hanya suara langkahnya yang menjauh, seperti vonis yang menggantung di udara. Dan Zea tahu… pertemuan dirinya bersama dengan Rayyan, mungkin adalah yang terakhir. Langkah kakinya menuju ke kamar, mengambil bingkai foto dirinya dengan Rayyan, terlihat mereka begitu bahagia. Zea menatap ponselnya yang sudah berkali-kali menunjukkan pesan tak terbaca dari Rayyan. “Kamu baik-baik saja?” “Aku cuma ingin tahu kabarmu. Sekali ini saja.” “Zea... aku rindu.” Tapi tak satu pun dibalas. Zea hanya membaca, menahan napas, lalu menghapus setiap pesan setelah membacanya. Ia takut. Bukan karena Adrian mengancam dengan nada keras, tapi karena tatapan dingin suaminya jauh lebih menyesakkan. Ia tak punya tempat untuk mengadu. Keluarganya bangga, menganggap Zea sudah "berhasil" masuk dalam pernikahan yang mengangkat nama keluarga. Tak satu pun dari mereka tahu bahwa setiap senyum Zea adalah bentuk kebohongan yang dipaksa. Malam itu, Zea duduk di depan cermin. Matanya sembab. Cincin di jarinya masih berkilau, tapi tak membawa arti. Tiba-tiba ponselnya kembali menyala. Kali ini Rayyan menelepon. Jantung Zea berdegup cepat, tapi jari-jarinya tidak bergerak. Ia hanya menatap layar itu bergetar dalam senyap, sampai panggilan itu terputus sendiri. “Zea.” Suara itu terdengar dari balik pintu. Adrian. Ia berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kemeja putih yang baru pulang dari pertemuan bisnis. Wajahnya tetap seperti biasa—datar, terkontrol. Tapi Zea tahu, Adrian tidak pernah muncul tanpa maksud. “Kau terlihat tidak tenang,” ujarnya sambil melangkah masuk. Zea mencoba menyembunyikan ponsel di balik bantal. “Aku baik-baik saja.” Adrian menatapnya lurus. “Dia masih menghubungimu, bukan?” Zea terdiam. “Aku tidak butuh pengakuan. Aku tahu.” Adrian menyandarkan diri di meja rias. “Kau tahu, Zea... aku bukan pria yang menginginkan banyak. Aku tidak mencintaimu. Kita menikah karena alasan yang sama, keluarga dan kepentingan.” Ia menunduk sebentar, lalu melanjutkan, “Tapi jika kau tidak bisa menjaga peranmu sebagai istriku, maka jangan harap aku melindungimu saat konsekuensi datang.” Zea menatap bayangan mereka di cermin—dua orang yang tinggal di atap yang sama, tapi dunianya bertolak belakang. “Aku hanya ingin jujur pada perasaanku...” gumam Zea. “Jujur?” Adrian tersenyum sinis. “Kalau semua orang hidup berdasarkan perasaan, dunia sudah lama runtuh.” Zea menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata. “Mulai besok,” lanjut Adrian dingin, “aku akan minta asisten memastikan semua jadwal dan pergerakanmu tercatat. Jika kau butuh ruang, kau bisa memilikinya. Tapi bukan untuk bertemu dia.” Adrian berbalik, hendak keluar. Tapi sebelum langkahnya benar-benar menjauh, ia menoleh sebentar. “Kau bisa memilih, Zea. Jadi istri Adrian Mahendra dengan nama yang terhormat dan tentu saja kedua orang tuamu juga aman, atau kembali menjadi bayangan masa lalu seorang Rayyan yang tidak bisa memberikanmu apa-apa.” Pintu kamar menutup pelan. Tapi gema kata-katanya menghantam lebih keras dari pintu yang dibanting. Zea menunduk. Dalam dirinya kini hanya ada dua jalan memeluk tanggung jawab dan kehilangan cinta, atau menghancurkan segalanya demi cinta yang belum tentu menyelamatkannya. Malam menjelang dengan hening yang menyesakkan. Zea berdiri di balkon kamarnya, memandangi lampu-lampu kota yang berkerlap-kerlip seperti harapan yang menggoda namun jauh dari jangkauan. Angin malam menyapu rambutnya, tapi tak mampu mendinginkan kegelisahan di dadanya. Tangannya menggenggam ponsel yang tadi nyaris ia matikan. Namun jemarinya justru membuka pesan terakhir dari Rayyan yang sudah ia baca berulang kali. “Jika kamu masih mencintaiku, katakan saja. Aku tidak akan memaksamu memilih. Aku hanya ingin tahu... aku masih hidup di hatimu atau tidak.” Zea memejamkan mata. Dadanya berdesir sakit. Ia ingin menjawab. Ia ingin berkata: “Ya, aku masih mencintaimu.” Tapi dunia yang kini ia tinggali tidak memberi ruang untuk itu. Ia milik orang lain. Secara sah. Secara duniawi. Namun dalam batinnya, Zea tak bisa menipu. Ia tidak ingin berpisah dari Rayyan. Bukan karena Rayyan sempurna, tapi karena hanya dengan lelaki itulah hatinya merasa utuh. Rayyan adalah satu-satunya tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri, bukan sekadar istri dari seorang pria yang tidak mencintainya, bukan pion dalam permainan bisnis. Di sudut hatinya yang paling dalam, Zea berbisik dalam diam. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Rayyan... setidaknya belum.” Dengan tangan gemetar, ia mulai mengetik: Aku masih mencintaimu. Tapi aku tidak bisa sembarangan lagi. Aku akan tetap menghubungimu... diam-diam. Aku tidak tahu sampai kapan. Tapi, Rayyan yolong, jangan pergi. Pesan itu akhirnya terkirim. Satu detik kemudian, Zea menghapus seluruh riwayat percakapan, memastikan tak ada jejak yang tersisa. Seolah pesan itu tak pernah ada. Seolah cintanya bisa disembunyikan semudah itu. Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu: ini bukan akhir dari segalanya. Ini awal dari pelarian yang lebih dalam, lebih sunyi dan lebih berbahaya. Karena cinta tak selalu berarti memiliki. Kadang, cinta adalah perlawanan diam terhadap nasib. Dan di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, tak disadari oleh Zea, Adrian berdiri di lorong. Diam, mendengar, menunggu.Hujan turun perlahan di luar jendela cafe kecil di sudut kota. Tempat itu tenang, hampir kosong, hanya ada dua pria yang duduk saling berhadapan di meja paling pojok. Tak ada senyum. Tak ada sapa basa-basi.Rayyan duduk lebih dulu, matanya menatap ke luar, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi bergolak. Ia tak mengira akan dihubungi oleh seseorang yang selama ini hanya hidup dalam bayangan, Adrian Mahendra."Terima kasih sudah datang," ujar Adrian, duduk dengan tenang dan rapi. Suaranya rendah, namun membawa beban berat.Rayyan menatapnya. Wajah itu dingin, tak tersentuh emosi. Seolah segala rasa hanya gangguan bagi logika."Aku tidak datang untuk basa-basi," jawab Rayyan, datar. "Kalau kau ingin bicara soal Zea, katakan langsung."Adrian mengangguk perlahan, lalu menyilangkan tangan. "Kau tahu posisimu, Rayyan. Dan aku rasa, kau cukup cerdas untuk memahami batas yang seharusnya tidak lagi kau lewati."Rayyan menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. "Kalau kau ingin men
Malam itu, udara dalam rumah begitu sunyi. Matahari sudah tergantikkan oleh bulan, namun ketegangan telah merayap di setiap sudut ruangan. Zea melangkah perlahan menuju ruang makan, menemukan Adrian sudah duduk rapi dengan setelan kerjanya. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam. “Duduk,” katanya singkat. Zea menurut, duduk dengan gugup di seberangnya. Tak ada sapa, tak ada basa-basi. Adrian menyisipkan secangkir kopi sebelum akhirnya berkata. "Hari ini kau tidak pulang tepat waktu.” Zea diam. Ia menunduk. “Aku tahu kau bertemu dengan Rayyan,” lanjut Adrian, suaranya tetap tenang, namun mulai terdengar tekanan di setiap katanya. “Aku pergi darimu karena aku berpikir kau butuh ruang. Tapi ini hanya sekali, Zea. Hanya sekali.” Zea mengangkat wajahnya, hatinya berdegup kencang. “Adrian, aku tidak melakukan apa-apa yang mempermalukanmu.” “Tidak mempermalukan di mata umum, ya. Tapi tahu apa yang bisa terjadi kalau seseorang melihat kalian?” Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit. Mata
Zea baru saja keluar dari ruang rapat saat udara di luar ruangan menyeruak ke wajahnya, seolah ikut melepaskan ketegangan yang menumpuk di dalam. Ia berjalan di lorong sendirian, hendak kembali ke ruang kerja Adrian untuk mengambil tasnya. Langkah-langkah di sekitarnya terdengar jauh, samar… sampai sebuah suara menghentikannya.“Zea?”Mereka saling diam beberapa detik. Dunia di sekitar seperti kehilangan suara. Hanya tatapan mereka yang berbicara. Tatapan yang penuh luka, tanya… dan rindu.“Aku dengar Adrian lagi rapat hari ini,” kata Rayan pelan, langkahnya mendekat, “jadi... aku datang bukan sebagai konsultan. Aku datang untuk kamu, Zea.”Zea berdiri dengan gugup, mencoba menata napasnya. “Rayan, ini bukan tempat—”“Aku gak peduli tempatnya di mana,” potong Rayan, suaranya terdengar lelah namun tulus. “Aku cuma pengen lihat kamu. Langsung. Bukan dari kejauhan. Bukan dari laporan orang lain. Aku... cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Zea menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Ia in
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Zea terbangun di kamar yang asing namun kini menjadi miliknya. Dinding-dindingnya berwarna abu-abu dingin, sama seperti pria yang kini sah menjadi suaminya. Adrian tidak ada di kamar. Hanya sisa aroma parfum maskulinnya yang samar-samar tertinggal di udara, menandakan ia sudah pergi entah sejak kapan. Zea duduk di ranjang besar itu, menatap kosong ke arah jendela. Dalam kesunyian itu, kenangan tentang Rayam datang tanpa diundang. Senyum hangatnya, cara dia memanggil namanya dengan penuh sayang, hingga janji-janji yang kini tak punya arti. Semua itu berputar dalam pikirannya, menciptakan luka yang belum sempat sembuh. "Aku akan selalu lindungi kamu, Zea. Apapun yang terjadi." Ucapan Rayam bergema jelas dalam benaknya, menghantam kenyataan bahwa kini ia bukan milik Rayam lagi. Ia telah memilih atau lebih tepatnya, dipaksa memilih jalan yang berbeda. Jalan yang membuatnya berdiri di sisi pria yang bahkan tak pernah menatapnya dengan
Langit Jakarta sore itu cerah, seperti sengaja ikut merayakan pesta yang megah. Hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi bunga putih dan lilin kristal. Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan gemerisik gaun dan bisik-bisik tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.Di tengah aula besar itu, Zea berdiri di balik pintu kayu ukiran yang akan segera terbuka menuju altar.Gaun pengantinnya indah, renda halus menyelimuti kulitnya, kilau mutiara menari di sepanjang lengan, dan kerudung tipis menjuntai dari kepala hingga tumit. Semua sempurna. Semua sesuai rencana. Semua... kecuali hatinya.“Zea,” suara lembut Bu Ratna menyentuh bahunya, “ini waktunya."Zea menoleh. Ibunya tampak anggun dengan kebaya berwarna biru muda. Tapi mata itu menyimpan kegundahan yang disembunyikan oleh senyum tipis.“Ayahmu menunggumu di depan,” lanjut Bu Ratna.Zea mengangguk pelan. “Iya, Ma.”Pintu terbuka perlahan. Musik berganti. Semua mata menoleh. Kilatan kamera mulai membanjir. Di ujung ruangan
Pagi itu, matahari belum tinggi. Udara Jakarta masih dingin dan basah sisa gerimis malam. Zea duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya polos, tanpa riasan. Tapi sorot matanya tegas. Siap menghadapi apapun.Ia menunggu.Jam berdetak. Detik demi detik seperti tikaman ke dada. Ia tak tahu apakah Rayyan benar-benar akan datang... atau apakah keputusannya tadi malam hanyalah sebuah harapan yang terlalu tinggi untuk dijangkau.Lalu—bel pintu berbunyi.Zea langsung berdiri. Jantungnya melonjak. Langkah-langkahnya cepat menuju pintu. Dan saat daun pintu dibuka, bukan Rayyan yang berdiri di sana melainkan... Ibunya.Wajah Bu Ratna tampak letih. Rambutnya disanggul rapi, tapi ada getar di ujung bibirnya. “Mama dengar semuanya semalam,” katanya pelan.Zea menunduk. “Mama mau marah?”Zea menutup pintu perlahan, lalu mengikuti ibunya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa yang sama, tapi terasa seperti dipisahkan oleh jarak ber