หน้าหลัก / Romansa / Hati yang Tak Pernah Siap / Hari Pertama Sebagai Istri Adrian

แชร์

Hari Pertama Sebagai Istri Adrian

ผู้เขียน: Faelelfa
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-16 15:01:56

Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Zea terbangun di kamar yang asing namun kini menjadi miliknya.

Dinding-dindingnya berwarna abu-abu dingin, sama seperti pria yang kini sah menjadi suaminya. Adrian tidak ada di kamar. Hanya sisa aroma parfum maskulinnya yang samar-samar tertinggal di udara, menandakan ia sudah pergi entah sejak kapan.

Zea duduk di ranjang besar itu, menatap kosong ke arah jendela. Dalam kesunyian itu, kenangan tentang Rayam datang tanpa diundang.

Senyum hangatnya, cara dia memanggil namanya dengan penuh sayang, hingga janji-janji yang kini tak punya arti. Semua itu berputar dalam pikirannya, menciptakan luka yang belum sempat sembuh.

"Aku akan selalu lindungi kamu, Zea. Apapun yang terjadi."

Ucapan Rayam bergema jelas dalam benaknya, menghantam kenyataan bahwa kini ia bukan milik Rayam lagi. Ia telah memilih atau lebih tepatnya, dipaksa memilih jalan yang berbeda.

Jalan yang membuatnya berdiri di sisi pria yang bahkan tak pernah menatapnya dengan kelembutan.

Zea menahan air mata yang menggenang. Ia tidak bisa terlihat lemah. Tidak di rumah ini. Tidak di hadapan Adrian.

Hari itu, ia turun ke lantai bawah dengan langkah pelan. Ia mencoba menenangkan diri dengan kembali pada kebiasaannya menyiapkan sarapan.

Tapi sebelum tangannya menyentuh lemari es, suara berat Adrian menghentikannya.

"Kamu nggak perlu melakukan itu," katanya dari ambang pintu. Mengenakan setelan kerja, Adrian terlihat rapi seperti biasa, namun sorot matanya tetap menusuk.

Zea menoleh, mencoba menjaga ekspresinya tetap datar. "Aku cuma mau bantu..."

"Aku tidak butuh bantuanmu," ucap Adrian dingin. "Tapi kalau kamu ingin tinggal di sini dengan tenang, patuhi aturan rumah ini. Jangan ikut campur urusan yang bukan milikmu."

Ucapan itu seperti tamparan. Zea diam, namun hatinya bergetar. Bukan hanya karena kata-kata Adrian, tetapi karena perbandingan di kepalanya Rayam tidak akan pernah berkata seperti itu padanya. Tapi Rayam juga tidak di sini sekarang. Yang ada hanya Zea dan kenyataan baru yang keras.

Ia menatap punggung Adrian yang berbalik meninggalkannya. Ada luka yang menganga di dadanya.

Bukan hanya karena Rayam, tapi karena ia tahu, sejak hari ini ia harus belajar mengubur masa lalunya... meskipun itu berarti mengubur hatinya sendiri.

Zea baru saja menyelesaikan secangkir teh ketika ponselnya berdering. Layar menampilkan nama yang kini terus membuat jantungnya berdebar bukan karena cinta, tapi karena tekanan Adrian.

Ia mengangkat pelan. "Halo?"

"Di meja kerjaku, ada map cokelat berisi dokumen kontrak yang harus ditandatangani hari ini," suara Adrian terdengar datar seperti biasa. "Bawa ke kantorku. Sekarang."

Zea terdiam sejenak, ragu. Ia tak terbiasa dengan nada memerintah seperti itu, apalagi dari seseorang yang belum sepenuhnya ia kenal, meski kini berstatus suaminya.

"Baik," jawabnya singkat sebelum sambungan telepon terputus sepihak.

Tak lama, Zea sudah berada di dalam mobil yang disediakan Adrian. Sopir keluarga mengantarnya ke sebuah gedung tinggi bercermin kaca di pusat kota.

Ini kali pertama ia memasuki dunia Adrian dunia yang penuh formalitas, dingin, dan jauh dari kehidupan sederhana yang pernah ia impikan bersama Rayan.

Setelah menyebutkan nama Adrian kepada resepsionis, Zea dipersilakan naik ke lantai atas dengan lift pribadi.

Jantungnya berdebar ketika pintu lift terbuka langsung ke ruang kerja suaminya. Ruangan itu luas, elegan, dan minim warna. Sama seperti kepribadian pemiliknya.

Adrian sedang berdiri di dekat jendela, ponsel di telinga, matanya menatap keluar. Begitu melihat Zea datang, ia menurunkan ponselnya dan mengulurkan tangan tanpa kata.

Zea menyerahkan map dokumen itu dengan hati-hati. Tapi ketika jemari mereka bersentuhan sesaat, tubuhnya sedikit menegang.

Ada sesuatu dari tatapan Adrian saat itu bukan kemarahan, bukan juga kehangatan, tapi seolah ia sedang menilai... atau menguji.

"Terima kasih," ucap Adrian singkat. "Tunggu sebentar, kamu ikut aku ke ruang rapat."

Zea mengernyit. "Aku?"

"Ya. Kamu sekarang istri seorang CEO, Zea. Saat aku bilang ikut, kamu ikut. Dan mulai sekarang, kamu harus terbiasa dengan tatapan orang yang bertanya-tanya kenapa kamu bisa berada di sisiku."

Ada sindiran di balik kata-katanya, tapi Zea tak membalas. Ia hanya mengangguk kecil, mengikuti Adrian yang melangkah ke luar ruangan dengan percaya diri.

Di belakangnya, Zea menghela napas. Dunia ini benar-benar asing. Tapi ia sadar, jika ingin bertahan, ia harus belajar lebih dari sekadar menjadi istri. Ia harus belajar bertahan hidup... di dunia milik Adrian.

Dengan tenang tapi gugup, Zea mengikuti langkah cepat Adrian di lorong yang sepi dan dingin.

Setiap ketukan sepatu Adrian terdengar tegas, menegaskan posisinya sebagai sosok yang ditakuti dan dihormati.

Pintu ruang rapat terbuka otomatis ketika mereka mendekat. Di dalamnya, beberapa pria dan wanita berpakaian formal telah duduk rapi, beberapa membalik-balik dokumen, yang lain menatap layar laptop mereka.

Semua menoleh saat Adrian masuk—dan lebih terkejut saat melihat Zea di belakangnya.

Tatapan mereka menusuk. Penuh tanda tanya, penilaian, dan Zea bisa merasakannya keraguan.

“Ini Zea, istri saya,” ucap Adrian tanpa basa-basi, memperkenalkannya seperti memperkenalkan aset perusahaan. “Dia akan duduk di rapat hari ini. Lanjutkan.”

Tak ada yang berani membantah. Semua kembali fokus, meski Zea tahu pandangan mencuri-curi ke arahnya belum berhenti.

Ia duduk di sebelah Adrian, mencoba menenangkan degup jantungnya.

Diskusi dimulai. Kata-kata seperti investasi, saham, ekspansi regional dan strategi tahun ketiga berputar di udara.

Zea mendengarkan, berusaha memahami meski jelas bukan dunianya. Sesekali ia mencatat, meskipun Adrian tidak menyuruhnya.

Lalu, seorang wanita dengan penampilan elegan dan tatapan tajam menoleh ke arah Zea.

“Maaf, Pak Adrian,” katanya dengan nada tenang, namun menusuk, “saya hanya ingin tahu... apa peran istri Anda dalam rapat strategi hari ini?”

Zea menegang. Ia menunduk sebentar, tapi sebelum sempat menjawab, Adrian angkat bicara.

“Dia tidak punya peran di sini. Tapi dia akan belajar. Dan selama saya yang memimpin, tidak seorang pun mempertanyakan siapa yang saya bawa ke dalam ruangan ini.”

Ruangan mendadak senyap. Kalimat Adrian seperti palu godam. Tegas. Tidak bisa dibantah.

Zea menoleh sekilas ke arah suaminya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sikap protektif dari pria yang selama ini hanya menampilkan wajah dingin. Namun, ia juga tahu, sikap itu bukan karena kasih itu karena kontrol.

Satu jam kemudian, rapat selesai. Para peserta bergegas keluar, tapi beberapa masih sempat melirik Zea, kali ini dengan rasa penasaran yang lebih dalam.

Di dalam ruang yang kini kosong, Zea memberanikan diri bertanya, “Kenapa kamu bawa aku ke sini?”

Di dalam ruang yang kini kosong, Zea memberanikan diri bertanya, “Kenapa kamu bawa aku ke sini?”

Adrian menatapnya sejenak. “Karena kamu perlu tahu seperti apa dunia tempat kamu sekarang berdiri. Dan karena mulai sekarang, kamu bukan hanya istri Adrian Mahendra. Kamu adalah bagian dari citraku. Aku tidak butuh kamu pintar, Zea. Aku butuh kamu kuat.”

Zea terdiam. Hatinya nyeri mendengar kata-kata itu. Tapi di balik semua rasa sakit dan kebingungan, ada satu hal yang ia tahu dengan pasti ia tak akan membiarkan dirinya hancur di dalam dunia pria ini.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Luka yang Harus di Sembunyikan

    Siang itu rumah terasa lebih hening dari biasanya. Zea duduk di kursi ruang tamu, matanya kosong menatap jendela yang tertutup tirai tipis. Bayangan kejadian di lobi hotel terus menari-nari di kepalanya, membuat dadanya sesak.Ia memegang perutnya yang membuncit, mencoba mengalihkan pikiran dengan membelai pelan janin yang tengah tumbuh di rahimnya. Namun rasa panas di hatinya tak kunjung mereda.Baru saja ia bernapas lebih lega, langkah kaki Adrian terdengar dari arah kamar. Lelaki itu keluar dengan wajah serius, kemeja kerja sudah rapi menempel di tubuhnya. Zea segera tahu, sebentar lagi Adrian akan berangkat ke kantor.“Zea,” suara Adrian terdengar berat, tapi bukan nada lembut yang biasa ia harapkan. Lelaki itu berdiri di depannya, satu tangannya memasukkan ponsel ke saku celana, sementara satu lagi menggenggam map kerja. “Hari ini aku mungkin pulang agak larut. Jadi… aku titip Tiara sama kamu, ya.”Zea mendongak, matanya langsung membesar. “Titip… Tiara?” suaranya serak, hampir t

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Bayangan di Pelukkan

    Jam dinding di lobi hotel sudah menunjukkan pukul 11.50 siang. Suasana hotel perlahan ramai dengan tamu-tamu yang juga bersiap untuk check out. Suara koper beroda berderit di lantai marmer yang licin, bercampur dengan percakapan pelan dan sapaan ramah dari staf hotel yang berdiri di dekat meja resepsionis.Zea duduk di sofa panjang lobi, tangannya mengelus perutnya yang kian membesar. Sesekali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang sejak pagi masih terasa berat setelah kejadian semalam di area permandian air panas. Senyum samar Tiara masih membayang jelas di kepalanya, seperti bayangan hitam yang sulit diusir.Kevin sibuk memainkan mainan kecil yang dibelikan kakeknya pagi tadi. Anak itu tertawa kecil, polos, tak mengerti betapa tegangnya hawa di antara orang dewasa yang ada di sekitarnya.Zea memandang sekeliling, mencari sosok Adrian yang tadi pergi ke kamar Tiara. Kata suaminya, ia hanya akan membantu membawakan barang bawaan karena Tiara katanya masih merasa ke

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Kelicikan Tiara

    Udara sore di area permandian air panas hotel terasa berbeda, kali ini lebih lembap, menenangkan, dengan aroma belerang yang samar-samar berpadu dengan wangi bunga kamboja dari taman kecil di sekitarnya.Kolam air panas itu terbagi dalam beberapa bagian. Kolam utama yang luas dengan pancuran air terjun buatan dan kolam kecil di sisi kiri yang lebih privat untuk keluarga.Langit perlahan berwarna jingga, burung-burung berterbangan pulang ke sarang, sementara lampu-lampu taman mulai menyala satu per satu. Uap putih tipis naik dari permukaan air, melayang di udara, membuat suasana semakin syahdu.Adrian tampak tenang dengan handuk melilit pinggang, duduk di pinggir kolam sambil sesekali memperhatikan Kevin yang riang bermain air. Kevin tertawa kecil, cipratan airnya mengenai wajah Adrian, dan lelaki itu membalas dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan pada orang lain.Zea, dengan hati-hati, menuruni anak tangga kolam sambil memegang perutnya. Ia memilih duduk di sisi kolam, merendam

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Sarapan yang Penuh Ketegangan

    Pagi di hotel bintang lima itu terasa berbeda. Cahaya matahari menerobos lembut dari jendela kaca besar restoran yang menghadap kolam renang. Suara dentingan sendok dan garpu berpadu dengan alunan musik jazz lembut yang dimainkan dari pengeras suara. Para tamu hotel lalu-lalang dengan pakaian santai, sebagian besar keluarga kecil atau pasangan muda yang terlihat bahagia menikmati akhir pekan mereka.Zea duduk di kursi dekat jendela, bersebelahan dengan Ibu Adrian. Ia mencoba tersenyum, meski perasaannya masih terguncang sejak malam sebelumnya.Malam di mana Kevin menangis histeris dan menolak tidur bersama ibunya. Malam di mana tatapan tajam bocah kecil itu terus menghantuinya hingga kini.Di meja itu sudah tersedia aneka hidangan sarapan prasmanan, roti panggang, selai, omelet, sup hangat, sereal, buah segar, hingga kopi dan teh. Semua tampak lengkap, menggugah selera, namun bagi Zea, rasa lapar seperti sudah menguap.Ibu Adrian menoleh padanya dengan senyum hangat. “Zea, bagaimana

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Malam di Balik Dinding Hotel

    Suasana lobi hotel bintang lima di Jakarta terasa megah. Lampu gantung kristal menjuntai di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke lantai marmer putih yang licin.Aroma wangi bunga segar dari vas raksasa di tengah ruangan membuat suasana semakin terasa mewah.Keluarga Adrian berdiri di depan meja resepsionis, menunggu proses check-in. Zea meremas ujung tasnya dengan gugup, sementara matanya sesekali melirik ke arah Kevin yang tampak menempel di sisi Adrian. Anak itu terus menarik-narik tangan ayahnya, seakan tak ingin dipisahkan walau sebentar.“Untuk kamarnya bagaimana, Bu?” tanya resepsionis dengan senyum ramah.Ibu Adrian menoleh ke arah suaminya sebentar sebelum menjawab, “Kita pesan tiga kamar. Satu untuk kami berdua, satu untuk Adrian dan Zea, lalu satu lagi untuk Tiara dan Kevin.”Kevin sontak menoleh cepat. Bola matanya membesar, bibir mungilnya mulai bergetar. “Aku nggak mau Papa tidur bersama dengan Tante Zea,” ucapnya pelan tapi jelas, membuat semua orang menoleh.Tia

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Pagi yang Penuh Sandiwara

    Matahari pagi merayap pelan di balik tirai jendela kamar Zea. Aroma teh manis dan roti panggang mengalun dari dapur, membangkitkan rasa hangat yang hanya bisa ia temukan di rumah ibunya. Meski begitu, ada kegelisahan yang tak bisa ia enyahkan sejak membuka mata.Suara deru mobil berhenti di depan rumah membuatnya menoleh ke arah jendela. Tidak butuh waktu lama untuk mengenali siapa yang datang, mobil hitam milik orang tua Adrian.Zea menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba memacu. “Kenapa mereka ke sini pagi-pagi?” pikirnya. Perasaannya bercampur, ada rasa kaget, cemas, dan sedikit takut.Ketukan pintu terdengar, dan suara ramah ibunya menyambut, “Oh, Pak, Bu… silakan masuk.”Zea segera merapikan rambutnya, menepuk-nepuk pipinya agar tak terlihat sembab, lalu melangkah keluar kamar.“Zea… Sayang.” Suara lembut Ibu Adrian memanggilnya. Wanita itu bangkit dari sofa dan langsung meraih tangannya, menggenggam erat. “Nak, kami dengar kamu pergi dari

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status