Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Zea terbangun di kamar yang asing namun kini menjadi miliknya.
Dinding-dindingnya berwarna abu-abu dingin, sama seperti pria yang kini sah menjadi suaminya. Adrian tidak ada di kamar. Hanya sisa aroma parfum maskulinnya yang samar-samar tertinggal di udara, menandakan ia sudah pergi entah sejak kapan. Zea duduk di ranjang besar itu, menatap kosong ke arah jendela. Dalam kesunyian itu, kenangan tentang Rayam datang tanpa diundang. Senyum hangatnya, cara dia memanggil namanya dengan penuh sayang, hingga janji-janji yang kini tak punya arti. Semua itu berputar dalam pikirannya, menciptakan luka yang belum sempat sembuh. "Aku akan selalu lindungi kamu, Zea. Apapun yang terjadi." Ucapan Rayam bergema jelas dalam benaknya, menghantam kenyataan bahwa kini ia bukan milik Rayam lagi. Ia telah memilih atau lebih tepatnya, dipaksa memilih jalan yang berbeda. Jalan yang membuatnya berdiri di sisi pria yang bahkan tak pernah menatapnya dengan kelembutan. Zea menahan air mata yang menggenang. Ia tidak bisa terlihat lemah. Tidak di rumah ini. Tidak di hadapan Adrian. Hari itu, ia turun ke lantai bawah dengan langkah pelan. Ia mencoba menenangkan diri dengan kembali pada kebiasaannya menyiapkan sarapan. Tapi sebelum tangannya menyentuh lemari es, suara berat Adrian menghentikannya. "Kamu nggak perlu melakukan itu," katanya dari ambang pintu. Mengenakan setelan kerja, Adrian terlihat rapi seperti biasa, namun sorot matanya tetap menusuk. Zea menoleh, mencoba menjaga ekspresinya tetap datar. "Aku cuma mau bantu..." "Aku tidak butuh bantuanmu," ucap Adrian dingin. "Tapi kalau kamu ingin tinggal di sini dengan tenang, patuhi aturan rumah ini. Jangan ikut campur urusan yang bukan milikmu." Ucapan itu seperti tamparan. Zea diam, namun hatinya bergetar. Bukan hanya karena kata-kata Adrian, tetapi karena perbandingan di kepalanya Rayam tidak akan pernah berkata seperti itu padanya. Tapi Rayam juga tidak di sini sekarang. Yang ada hanya Zea dan kenyataan baru yang keras. Ia menatap punggung Adrian yang berbalik meninggalkannya. Ada luka yang menganga di dadanya. Bukan hanya karena Rayam, tapi karena ia tahu, sejak hari ini ia harus belajar mengubur masa lalunya... meskipun itu berarti mengubur hatinya sendiri. Zea baru saja menyelesaikan secangkir teh ketika ponselnya berdering. Layar menampilkan nama yang kini terus membuat jantungnya berdebar bukan karena cinta, tapi karena tekanan Adrian. Ia mengangkat pelan. "Halo?" "Di meja kerjaku, ada map cokelat berisi dokumen kontrak yang harus ditandatangani hari ini," suara Adrian terdengar datar seperti biasa. "Bawa ke kantorku. Sekarang." Zea terdiam sejenak, ragu. Ia tak terbiasa dengan nada memerintah seperti itu, apalagi dari seseorang yang belum sepenuhnya ia kenal, meski kini berstatus suaminya. "Baik," jawabnya singkat sebelum sambungan telepon terputus sepihak. Tak lama, Zea sudah berada di dalam mobil yang disediakan Adrian. Sopir keluarga mengantarnya ke sebuah gedung tinggi bercermin kaca di pusat kota. Ini kali pertama ia memasuki dunia Adrian dunia yang penuh formalitas, dingin, dan jauh dari kehidupan sederhana yang pernah ia impikan bersama Rayan. Setelah menyebutkan nama Adrian kepada resepsionis, Zea dipersilakan naik ke lantai atas dengan lift pribadi. Jantungnya berdebar ketika pintu lift terbuka langsung ke ruang kerja suaminya. Ruangan itu luas, elegan, dan minim warna. Sama seperti kepribadian pemiliknya. Adrian sedang berdiri di dekat jendela, ponsel di telinga, matanya menatap keluar. Begitu melihat Zea datang, ia menurunkan ponselnya dan mengulurkan tangan tanpa kata. Zea menyerahkan map dokumen itu dengan hati-hati. Tapi ketika jemari mereka bersentuhan sesaat, tubuhnya sedikit menegang. Ada sesuatu dari tatapan Adrian saat itu bukan kemarahan, bukan juga kehangatan, tapi seolah ia sedang menilai... atau menguji. "Terima kasih," ucap Adrian singkat. "Tunggu sebentar, kamu ikut aku ke ruang rapat." Zea mengernyit. "Aku?" "Ya. Kamu sekarang istri seorang CEO, Zea. Saat aku bilang ikut, kamu ikut. Dan mulai sekarang, kamu harus terbiasa dengan tatapan orang yang bertanya-tanya kenapa kamu bisa berada di sisiku." Ada sindiran di balik kata-katanya, tapi Zea tak membalas. Ia hanya mengangguk kecil, mengikuti Adrian yang melangkah ke luar ruangan dengan percaya diri. Di belakangnya, Zea menghela napas. Dunia ini benar-benar asing. Tapi ia sadar, jika ingin bertahan, ia harus belajar lebih dari sekadar menjadi istri. Ia harus belajar bertahan hidup... di dunia milik Adrian. Dengan tenang tapi gugup, Zea mengikuti langkah cepat Adrian di lorong yang sepi dan dingin. Setiap ketukan sepatu Adrian terdengar tegas, menegaskan posisinya sebagai sosok yang ditakuti dan dihormati. Pintu ruang rapat terbuka otomatis ketika mereka mendekat. Di dalamnya, beberapa pria dan wanita berpakaian formal telah duduk rapi, beberapa membalik-balik dokumen, yang lain menatap layar laptop mereka. Semua menoleh saat Adrian masuk—dan lebih terkejut saat melihat Zea di belakangnya. Tatapan mereka menusuk. Penuh tanda tanya, penilaian, dan Zea bisa merasakannya keraguan. “Ini Zea, istri saya,” ucap Adrian tanpa basa-basi, memperkenalkannya seperti memperkenalkan aset perusahaan. “Dia akan duduk di rapat hari ini. Lanjutkan.” Tak ada yang berani membantah. Semua kembali fokus, meski Zea tahu pandangan mencuri-curi ke arahnya belum berhenti. Ia duduk di sebelah Adrian, mencoba menenangkan degup jantungnya. Diskusi dimulai. Kata-kata seperti investasi, saham, ekspansi regional dan strategi tahun ketiga berputar di udara. Zea mendengarkan, berusaha memahami meski jelas bukan dunianya. Sesekali ia mencatat, meskipun Adrian tidak menyuruhnya. Lalu, seorang wanita dengan penampilan elegan dan tatapan tajam menoleh ke arah Zea. “Maaf, Pak Adrian,” katanya dengan nada tenang, namun menusuk, “saya hanya ingin tahu... apa peran istri Anda dalam rapat strategi hari ini?” Zea menegang. Ia menunduk sebentar, tapi sebelum sempat menjawab, Adrian angkat bicara. “Dia tidak punya peran di sini. Tapi dia akan belajar. Dan selama saya yang memimpin, tidak seorang pun mempertanyakan siapa yang saya bawa ke dalam ruangan ini.” Ruangan mendadak senyap. Kalimat Adrian seperti palu godam. Tegas. Tidak bisa dibantah. Zea menoleh sekilas ke arah suaminya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sikap protektif dari pria yang selama ini hanya menampilkan wajah dingin. Namun, ia juga tahu, sikap itu bukan karena kasih itu karena kontrol. Satu jam kemudian, rapat selesai. Para peserta bergegas keluar, tapi beberapa masih sempat melirik Zea, kali ini dengan rasa penasaran yang lebih dalam. Di dalam ruang yang kini kosong, Zea memberanikan diri bertanya, “Kenapa kamu bawa aku ke sini?” Di dalam ruang yang kini kosong, Zea memberanikan diri bertanya, “Kenapa kamu bawa aku ke sini?” Adrian menatapnya sejenak. “Karena kamu perlu tahu seperti apa dunia tempat kamu sekarang berdiri. Dan karena mulai sekarang, kamu bukan hanya istri Adrian Mahendra. Kamu adalah bagian dari citraku. Aku tidak butuh kamu pintar, Zea. Aku butuh kamu kuat.” Zea terdiam. Hatinya nyeri mendengar kata-kata itu. Tapi di balik semua rasa sakit dan kebingungan, ada satu hal yang ia tahu dengan pasti ia tak akan membiarkan dirinya hancur di dalam dunia pria ini.Hujan turun perlahan di luar jendela cafe kecil di sudut kota. Tempat itu tenang, hampir kosong, hanya ada dua pria yang duduk saling berhadapan di meja paling pojok. Tak ada senyum. Tak ada sapa basa-basi.Rayyan duduk lebih dulu, matanya menatap ke luar, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi bergolak. Ia tak mengira akan dihubungi oleh seseorang yang selama ini hanya hidup dalam bayangan, Adrian Mahendra."Terima kasih sudah datang," ujar Adrian, duduk dengan tenang dan rapi. Suaranya rendah, namun membawa beban berat.Rayyan menatapnya. Wajah itu dingin, tak tersentuh emosi. Seolah segala rasa hanya gangguan bagi logika."Aku tidak datang untuk basa-basi," jawab Rayyan, datar. "Kalau kau ingin bicara soal Zea, katakan langsung."Adrian mengangguk perlahan, lalu menyilangkan tangan. "Kau tahu posisimu, Rayyan. Dan aku rasa, kau cukup cerdas untuk memahami batas yang seharusnya tidak lagi kau lewati."Rayyan menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. "Kalau kau ingin men
Malam itu, udara dalam rumah begitu sunyi. Matahari sudah tergantikkan oleh bulan, namun ketegangan telah merayap di setiap sudut ruangan. Zea melangkah perlahan menuju ruang makan, menemukan Adrian sudah duduk rapi dengan setelan kerjanya. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam. “Duduk,” katanya singkat. Zea menurut, duduk dengan gugup di seberangnya. Tak ada sapa, tak ada basa-basi. Adrian menyisipkan secangkir kopi sebelum akhirnya berkata. "Hari ini kau tidak pulang tepat waktu.” Zea diam. Ia menunduk. “Aku tahu kau bertemu dengan Rayyan,” lanjut Adrian, suaranya tetap tenang, namun mulai terdengar tekanan di setiap katanya. “Aku pergi darimu karena aku berpikir kau butuh ruang. Tapi ini hanya sekali, Zea. Hanya sekali.” Zea mengangkat wajahnya, hatinya berdegup kencang. “Adrian, aku tidak melakukan apa-apa yang mempermalukanmu.” “Tidak mempermalukan di mata umum, ya. Tapi tahu apa yang bisa terjadi kalau seseorang melihat kalian?” Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit. Mata
Zea baru saja keluar dari ruang rapat saat udara di luar ruangan menyeruak ke wajahnya, seolah ikut melepaskan ketegangan yang menumpuk di dalam. Ia berjalan di lorong sendirian, hendak kembali ke ruang kerja Adrian untuk mengambil tasnya. Langkah-langkah di sekitarnya terdengar jauh, samar… sampai sebuah suara menghentikannya.“Zea?”Mereka saling diam beberapa detik. Dunia di sekitar seperti kehilangan suara. Hanya tatapan mereka yang berbicara. Tatapan yang penuh luka, tanya… dan rindu.“Aku dengar Adrian lagi rapat hari ini,” kata Rayan pelan, langkahnya mendekat, “jadi... aku datang bukan sebagai konsultan. Aku datang untuk kamu, Zea.”Zea berdiri dengan gugup, mencoba menata napasnya. “Rayan, ini bukan tempat—”“Aku gak peduli tempatnya di mana,” potong Rayan, suaranya terdengar lelah namun tulus. “Aku cuma pengen lihat kamu. Langsung. Bukan dari kejauhan. Bukan dari laporan orang lain. Aku... cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Zea menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Ia in
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Zea terbangun di kamar yang asing namun kini menjadi miliknya. Dinding-dindingnya berwarna abu-abu dingin, sama seperti pria yang kini sah menjadi suaminya. Adrian tidak ada di kamar. Hanya sisa aroma parfum maskulinnya yang samar-samar tertinggal di udara, menandakan ia sudah pergi entah sejak kapan. Zea duduk di ranjang besar itu, menatap kosong ke arah jendela. Dalam kesunyian itu, kenangan tentang Rayam datang tanpa diundang. Senyum hangatnya, cara dia memanggil namanya dengan penuh sayang, hingga janji-janji yang kini tak punya arti. Semua itu berputar dalam pikirannya, menciptakan luka yang belum sempat sembuh. "Aku akan selalu lindungi kamu, Zea. Apapun yang terjadi." Ucapan Rayam bergema jelas dalam benaknya, menghantam kenyataan bahwa kini ia bukan milik Rayam lagi. Ia telah memilih atau lebih tepatnya, dipaksa memilih jalan yang berbeda. Jalan yang membuatnya berdiri di sisi pria yang bahkan tak pernah menatapnya dengan
Langit Jakarta sore itu cerah, seperti sengaja ikut merayakan pesta yang megah. Hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi bunga putih dan lilin kristal. Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan gemerisik gaun dan bisik-bisik tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.Di tengah aula besar itu, Zea berdiri di balik pintu kayu ukiran yang akan segera terbuka menuju altar.Gaun pengantinnya indah, renda halus menyelimuti kulitnya, kilau mutiara menari di sepanjang lengan, dan kerudung tipis menjuntai dari kepala hingga tumit. Semua sempurna. Semua sesuai rencana. Semua... kecuali hatinya.“Zea,” suara lembut Bu Ratna menyentuh bahunya, “ini waktunya."Zea menoleh. Ibunya tampak anggun dengan kebaya berwarna biru muda. Tapi mata itu menyimpan kegundahan yang disembunyikan oleh senyum tipis.“Ayahmu menunggumu di depan,” lanjut Bu Ratna.Zea mengangguk pelan. “Iya, Ma.”Pintu terbuka perlahan. Musik berganti. Semua mata menoleh. Kilatan kamera mulai membanjir. Di ujung ruangan
Pagi itu, matahari belum tinggi. Udara Jakarta masih dingin dan basah sisa gerimis malam. Zea duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya polos, tanpa riasan. Tapi sorot matanya tegas. Siap menghadapi apapun.Ia menunggu.Jam berdetak. Detik demi detik seperti tikaman ke dada. Ia tak tahu apakah Rayyan benar-benar akan datang... atau apakah keputusannya tadi malam hanyalah sebuah harapan yang terlalu tinggi untuk dijangkau.Lalu—bel pintu berbunyi.Zea langsung berdiri. Jantungnya melonjak. Langkah-langkahnya cepat menuju pintu. Dan saat daun pintu dibuka, bukan Rayyan yang berdiri di sana melainkan... Ibunya.Wajah Bu Ratna tampak letih. Rambutnya disanggul rapi, tapi ada getar di ujung bibirnya. “Mama dengar semuanya semalam,” katanya pelan.Zea menunduk. “Mama mau marah?”Zea menutup pintu perlahan, lalu mengikuti ibunya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa yang sama, tapi terasa seperti dipisahkan oleh jarak ber