“Aku sudah siap,” Kiara berdiri di hadapan Gian dengan gaun hitam tanpa lengan yang memperlihatkan sedikit pundaknya. Rambut panjang Kiara disanggul agak tinggi dengan meninggalkan beberapa anak rambut yang menggantung di belakang tengkuk. Bandul anting mutiara menggantung dengan elegan di kedua telinga Kiara.
Gian membenarkan posisi jas abu-abunya sebelum mengamit lengan Kiara menuruni tangga salon.
“Wow, aku terkesima,” tukas Gian. “Kamu cantik banget, Ki.”
“Trims, Gi.”
“Makasih ya mau menemaniku pergi ke acara gala dinner malam ini,” Gian membukakan pintu mobilnya untuk Kiara.
Acara gala dinner kali ini diadakan di hotel bintang lima yang diselenggarakan oleh persatuan pengusaha di negeri ini. Kiara senang bisa menemani Gian karena di sana dia juga berkesempatan untuk memperluas networking-nya.
Jantung Kiara mulai berdebar kencang begitu mereka melangka
“Oh my God, Ki, gue kangen banget sama lo!” Nabila menyeruak masuk kamar Kiara dan langsung memeluk sahabatnya itu setelah sebulan lamanya mereka berpisah.Kiara tersentak kaget saat dia sedang berbaring di ranjangnya sambil membalas pesan dari Gian. “Lho, kenapa kamu nggak nelepon aku sih? Aku kan janji mau menjemputmu hari ini di stasiun kereta.”“Nggak usah, gue nggak mau ngerepotin lo.” dia menyengir lebar. “Lagian selama ini gue udah menelantarkan lo di kantor sendirian. Tapi semua baik-baik aja kan?”Kiara mengunci layar ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. “Keadaan terkendali kok. Jadi gimana kabar ibumu?”“Nyokap gue udah jauh lebih baik sekarang. Dan untungnya adik gue yang sedang libur semester udah dateng, jadi dia bisa jagain nyokap gue.”Lantas, Nabila mengeluarkan abon dan sekotak kue lapis khas Surabaya dari paper bag yang dibawanya.&
Di atas ranjang Kiara, Nabila mendengkur pelan. Dia tertidur pulas setelah makan siang. Sementara itu, Kiara menyandarkan kepalanya di dinding. Rasanya begitu pening. Pengakuan Nabila itu sontak membuatnya galau.Akhirnya, Kiara berbohong—tentu saja, dia tidak mungkin mengungkapkan fakta bahwa Gian adalah pacarnya. Dia hanya bilang pria yang dipanggilnya babe itu adalah teman lamanya sewaktu dia tinggal di Batam dulu. Dan mereka dalam masa penjajakan yang serius.Kiara menghela napas panjang keputusasaan. Dia tidak menyangka hubungannya akan rumit seperti ini. Dengan gelisah, Kiara langsung mengirim pesan pada Gian yang memberi tahu bahwa Kiara akan datang ke apartemennya.Tapi Gian ada meeting di akhir pekan ini dan baru pulang menjelang sore. Lantas Kiara memutuskan untuk menunggu di apartemen Gian sambil mencari cara bagaimana mengatakan semua ini.Gian sendiri telah memberi instruksi khusus pada resepsionis agar membiarkan Kiara masuk k
“Gue hampir aja menghubungi polisi kalo sampai 1 x 24 jam lo nggak bisa dihubungi!” pekik Nabila dengan nada yang masih terdengar kalang kabut. “Sekarang lo di mana?”“Bil, tenang,” sergah Kiara.“Astaga, gue pikir lo diculik pas pulang dari toko buku!”“Sorry, Bil, aku nggak sempet…” mulut Kiara kaku seraya memegang pelipisnya. Dia tidak tahu harus melontarkan alasan apa.“Siapa?” Gian tiba-tiba muncul dari balik punggung Kiara. “Nabila?”Sontak Kiara menaruh jari telunjuk di depan bibirnya, menyuruh Gian untuk diam. Di saat yang bersamaan, otak Kiara terus mencari alasan yang tepat.“Lo beneran nggak apa-apa?” Tanya Nabila dengan curiga. “Lo nggak lagi di bawah ancaman seseorang kan?”“Nggak. Aku nggak apa-apa kok.”“Terus, kenapa lo terdengar gugup begitu?” Nabila menarik napasnya dalam-d
Kiara mengecek kembali jumlah coaster yang akan menjadi souvenir di pernikahan kali ini. Tumpukan coaster itu sudah dibungkus rapi dengan label cokelat dan dipermanis tali rami yang diikat berbentuk pita. Setelah itu, dia menatanya di meja penerimaan tamu.Semalam, dia dan Nabila sampai ke Jogja dan menginap di hotel yang juga jadi tempat resepsi Lita, temannya Nabila.Kiara mengedarkan pandangannya ke arah taman di belakang hotel ini. Di ujung sana sudah berdiri pelaminan sederhana yang latar belakangnya terdiri dari kayu-kayu yang dilapisi kain putih serta bunga-bunga yang menghiasi sekitarnya.Lampu-lampu neon sengaja digantungkan secara melintang di batang-batang pohon. Beberapa meja serta kursi kayu sudah disusun dengan rapi.“Kiara,” seorang wanita yang berbalut jubah hotel dan wajah yang terlihat sudah di make-up, menghampirinya. “Makasih ya sudah membantuku.”“Nggak masalah, Lit,” Kiara tersenyum tipis. D
Semburan warna jingga menghiasi langit sore berpadu serasi dengan kelip kuning lampu-lampu neon yang menggantung indah di pepohonan itu.Riuh rendah suara para tamu undang serta alunan musik yang ceria semakin menambah semarak resepsi sederhana ini. Namun Kiara hanya menyendiri di sebelah chocolate fountain. Dia mencelupkan potongan strawberry itu ke lelehan cokelat yang mengalir dan melahapnya. Dia butuh manisnya cokelat untuk meningkatkan mood-nya yang berantakan.Kini Kiara menyandarkan bahunya di salah satu bangku kayu yang kosong, sengaja menjauhi keramaian. Dia menyesap koktailnya. Rasa asam serta pahit langsung memenuhi kerongkongannya. Matanya lalu menangkap sosok Gian yang menjulang di antara teman-temannya itu.Pantulan cahaya langit sore membuat siluet tubuhnya tampak begitu sempurna. Satu tangannya tenggelam di saku celana sedangkan tangan lainnya memegang gelas minuman. Lesung pipinya nampak jelas saat dia tertawa lepas dengan mereka.&ld
Bel kamar berdenting.Dengan enggan, Kiara bangkit dari ranjangnya. Keningnya mengernyit. Dia tidak memesan room service apa pun. Lagi pula sekarang sudah lewat tengah malam.“Mungkin itu Nabila,” pikirnya saat melirik ke ranjang sebelahnya yang masih kosong. “Dia pasti mabuk dan kehilangan kunci kamarnya.”Pintu kamar mengayun terbuka. Namun Kiara malah terkesiap mendapati Gian yang berdiri di hadapannya. Kedua matanya terlihat sayu, tampangnya lesu dan rambutnya yang mencuat berantakan.“Tunggu,” Gian langsung mengganjal pintu dengan kakinya begitu Kiara hendak menutup kembali pintu kamar itu. “Aku tahu alasan kamu melakukan semua ini.”“Sudahlah, Gi.” Keluh Kiara. “Aku lebih mencintai pria yang dijodohkan padaku itu. Hubungan kita sudah berakhir.”Gian berdecak sambil terus menahan pintu. “Sekarang semuanya menjadi jelas.”“K
Dengan napas tersenggal, tubuh Ray langsung ambruk di atas tubuh Prita. Sontak, Prita langsung menghempaskan tubuh suaminya itu. Bibirnya melengkung ke bawah. Hubungan mereka sudah tidak semenyenangkan seperti dulu.Prita bangkit meninggalkan Ray yang langsung terlelap di atas tempat tidur. Dia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah berhubungan dengan Ray.Setelah selesai mandi, kini dia menatap tubuhnya di depan cermin yang berembun. Matanya menatap setiap lekukan badannya yang masih molek. Namun, dia menyadari bahwa wajahnya sedikit menua. Sudah ada garis-garis tipis di sekitar mata dan bagian mulut serta kulitnya yang sedikit kusam. Dia harus ekstra menjaga wajah dan tubuhnya karena dia tidak ingin tersaingi dengan Bianca, kakak iparnya yang sempurna itu.Prita menghela napas panjang sambil mengoleskan krim malam di wajahnya. Hidup dengan Ray—beserta keluarganya yang menyebalkan itu—ternyata menguras batinnya.Tiba-tiba saja
Brak!Sebuah kardus cokelat mendarat di atas meja Nabila. Kiara langsung mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Dia melihat sahabatnya itu memasukkan barang-barang di mejanya ke dalam kardus itu.“Mau apa dia?” batin Kiara. Ingin rasanya dia menyapa namun lidahnya terasa kelu. Kejadian di Jogja itu membuat hubungan mereka menjadi dingin. Sudah dua hari Nabila absen tanpa kabar dan dia juga tidak kembali ke kosannya.Kedua telinga Nabila disumpal oleh earphone. Kepalanya mengangguk pelan mengikuti irama musik. Dia tidak menoleh sedikit pun ke meja di seberangnya dan menganggap bahwa Kiara tidak ada.Setelah selesai membereskan mejanya, Nabila segera mengapit laptop di ketiaknya. Sementara kedua tangannya menggotong kardus cokelat itu.“Bil, kamu mau kemana?” pandangan Kiara mengikuti Nabila yang melangkah keluar ruangan. Namun, Nabila bergeming yang membuat Kiara hanya bisa menarik napasnya.Kiar