Lorena menatapnya dengan dagu sedikit terangkat, berusaha menyembunyikan ketakutan yang menggerogoti dadanya.
"Dan jika kau pintar…" suaranya terdengar lebih stabil dari yang ia kira, meski tangan di samping tubuhnya masih gemetar, "kau akan tahu bahwa tidak semua orang bisa kau kendalikan sesuka hati."
Damian mengambil langkah lebih dekat, menutup jarak di antara mereka, tatapannya terkunci pada gadis itu dengan intensitas yang berbahaya.
“Benarkah begitu, sayang? Kamu pikir kamu bisa melawanku, begitu?”
Dia mengeluarkan tawa pelan, suara yang terdengar geli sekaligus mengerikan.
“Aku akan menikmati mematahkan semangat kecilmu itu. Aku tidak suka wanita yang berusaha terlihat lembut dan penurut. Aku suka jika mereka memiliki sedikit perlawanan dalam diri mereka.”
Dia mengulurkan tangan, membiarkan tangannya menelusuri pipinya, sentuhannya lembut dan posesif.
Lorena menghela napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan debaran di dadanya. Jika melawan secara fisik mustahil, mungkin ia bisa menggunakan sesuatu yang lain—akalnya.
Ia mendongak, kali ini menatap Damian tepat di matanya, meski tubuhnya masih gemetar.
"Jadi kau suka perlawanan?" suaranya lembut, hampir seperti bisikan. "Itu artinya kau tidak ingin aku menyerah begitu saja, kan?"
Damian mengangkat alisnya, ekspresinya berubah dari sekadar bermain-main menjadi lebih tertarik.
"Menarik," katanya perlahan, seolah-olah sedang menguji sesuatu. "Kau mencoba bermain-main denganku, sayang?"
Lorena berusaha menahan napasnya tetap stabil. Ia tahu pria ini berbahaya. Tapi ia juga tahu pria seperti Damian tidak akan tertarik pada seseorang yang terlalu mudah dikendalikan.
Jadi, ia memutuskan untuk menggertak.
Ia mencondongkan tubuh sedikit, cukup untuk membuat napasnya menyentuh kulit Damian saat berbicara.
"Mungkin," katanya dengan nada sengaja dibuat samar, lalu tersenyum tipis. "Atau mungkin aku hanya ingin melihat seberapa jauh kau bisa dibuat penasaran denganku."
Mata Damian menyipit sedikit, seringainya melebar. Ada sesuatu yang liar dan penuh perhitungan dalam tatapannya, seperti pemangsa yang baru saja menemukan mangsa yang tidak seperti biasanya.
"Oh? Jadi kau mengira aku penasaran denganmu?" suaranya dalam dan lambat, setiap kata keluar seolah sedang diuji.
Lorena mengangkat bahu dengan percaya diri palsu, meskipun telapak tangannya berkeringat.
"Jika kau tidak tertarik, kenapa kau masih di sini?" tantangnya, kepalanya sedikit dimiringkan ke samping.
Sejenak, Damian terdiam. Matanya mengamati setiap detail dirinya—cara bibirnya melengkung, bagaimana tubuhnya masih gemetar samar meski ia mencoba bersikap tenang.
Lalu, tanpa peringatan, Damian tertawa kecil. Suara rendahnya memenuhi ruangan, membuat Lorena merasakan getarannya di udara.
"Sialan," katanya akhirnya, "kau benar-benar tahu cara bermain, ya?"
Ia mengulurkan tangan, menyelipkan sehelai rambut Lorena ke belakang telinganya. Tapi kali ini, sentuhannya lebih lembut, hampir seperti dia menikmati permainan ini lebih dari yang seharusnya.
"Kamu menarik, Lorena."
Lorena menahan nafasnya ketika mendengar namanya meluncur begitu mudah dari bibir pria itu.
"Dan yang lebih menarik lagi..." Damian mencondongkan tubuh lebih dekat, berbisik di telinganya. "...aku ingin tahu kapan topengmu akan retak."
Lorena menelan ludah, tetapi ia tetap mempertahankan ekspresi tenangnya.
"Kalau begitu, kita lihat saja siapa yang lebih dulu kehilangan kendali, Damian."
Damian memiringkan kepalanya, matanya berkilat tajam.
"Tantangan yang menarik," katanya, lalu tersenyum. "Aku suka itu."
Ia akhirnya mundur selangkah, memberikan Lorena sedikit ruang bernapas. Tapi tatapannya masih melekat padanya, seolah-olah ia baru saja menemukan permainan baru yang ingin ia nikmati perlahan.
"Jaga baik-baik permainanmu, sayang. Karena begitu kau kehilangan kendali..." ia berhenti, menyeringai tajam. "...aku akan ada di sana untuk mengambil alih."
Lorena tetap berdiri tegak, meskipun lututnya hampir lemas.
"Kita lihat saja siapa yang lebih dulu menyerah, Damian."
Untuk pertama kalinya, ekspresi Damian berubah sedikit lebih serius, seolah ia baru menyadari bahwa Lorena bukan hanya sekadar gadis yang bisa ia kendalikan dengan mudah.
Dan bagi Lorena, itu sudah cukup untuk saat ini.
Dengan senyum tipis di bibirnya, Damian perlahan berbalik, seolah memberi Lorena ruang dengan kebebasan. Dia berjalan menuju meja kecil di dekat dinding, mengambil segelas anggur merah tua, lalu berbalik, menatap Lorena dengan sorot mata yang tak pernah benar-benar menjauh darinya.
“Kau tahu,” katanya, memutar gelas anggur perlahan di tangannya, “banyak wanita yang mencoba bermain-main denganku. Tapi tidak semuanya tahu batas permainannya.”
Lorena tetap diam, menegakkan tubuhnya meski seluruh tubuhnya masih menjerit untuk menjauh darinya. Tapi sekarang dia tahu: Damian tidak hanya tertarik pada ketakutan. Dia tertarik pada siapa yang bisa berdiri meski ketakutan itu menjerat dari semua arah.
“Dan kau,” lanjut Damian, mendekat lagi, kali ini lebih lambat, “kau menarik karena kau takut, tapi tidak membeku. Kau gemetar… tapi tidak lari. Belum.”
Ia berdiri hanya beberapa langkah darinya, anggur di satu tangan, sementara tangan satunya terangkat, menunjuk ke arah jantung Lorena yang tampak berdetak kencang di balik gaun tipisnya.
“Apa itu? Adrenalin? Ketertarikan? Atau... penolakan yang belum kau akui?”
Lorena menatapnya dengan wajah tak terbaca, tapi matanya... mata itu berbicara.
“Aku tidak harus menjawab pertanyaan yang bahkan kau sendiri tidak yakin jawabannya,” katanya akhirnya, suaranya tenang tapi tajam.
Damian tertawa pelan. Tawa yang bukan karena lucu, tapi karena terkesan dengan jawaban Lorena yang cerdik.
“Kau belajar cepat.”
Ia menyesap anggurnya pelan, lalu meletakkan gelas itu di meja samping. Ketika ia kembali menatap Lorena, ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keinginan untuk mengendalikan.
“Kalau begitu,” suaranya kini merendah, hampir menggeram, “kita buat perjanjian.”
Lorena menyipitkan mata, curiga. “Perjanjian?”
Damian melangkah pelan mendekat, hingga kini mereka hanya terpisah napas, lalu menunduk hingga bibirnya nyaris menyentuh pipinya.
“Kau akan tinggal di sini. Menjadi istriku. Menjalani peranmu dengan baik.”
Jari-jarinya menyusuri garis lengan Lorena, menyusup pelan hingga ke pergelangan tangannya dan menggenggamnya. Bukan dengan kekerasan, tapi cukup kuat untuk menunjukkan siapa yang berkuasa.
“Sebagai gantinya… aku tidak akan menyentuhmu. Kecuali kau yang memintanya.”
Ucapan itu membuat Lorena tertegun.
Apa maksudnya? Apakah ini permainan baru? Tantangan? Manipulasi psikologis?
“Dan jika aku menolak?” tanyanya perlahan.
“Kau tidak akan menolak,” jawab Damian tanpa ragu. “Karena bagian terdalam dirimu ingin tahu… seberapa jauh permainan ini akan berjalan.”
Lorena mencoba menarik tangan pria itu dari wajahnya, tapi Damian melepaskannya lebih dulu, seolah menunjukkan bahwa ia tidak butuh paksa—karena ia yakin, cepat atau lambat, Lorena akan datang dengan sendirinya.
“Kamar tamu di lantai dua. Kau bebas menggunakannya.”
Dan sebelum ia pergi, ia menambahkan satu kalimat terakhir, dengan suara yang nyaris seperti doa gelap:
“Tapi ingat, Lorena... ini hanya permulaan. Aku belum benar-benar mulai bermain.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Lorena sendirian di tengah ruangan yang kini terasa jauh lebih dingin daripada sebelumnya.
Lorena terbangun sebelum matahari naik.Bukan karena suara. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena perasaannya sendiri. Perasaan yang terlalu penuh, terlalu dalam untuk tetap tidur.Cahaya pagi yang dingin merayap masuk lewat celah tirai, mengiris lembut dinding kamar yang senyap. Lorena memandang langit-langit sebentar, membiarkan kesadarannya membentuk kenyataan.Hari ini akhirnya tiba. Hari ketika dunia akan menyebutnya “Nyonya Voronkov.”Tangannya bergerak perlahan menyentuh perutnya yang kosong. Bukan karena lapar—tapi karena ada sesuatu yang menegang di dalam.Ia duduk di tepi ranjang. Jari-jari kakinya menyentuh karpet tebal yang terasa lebih asing dari biasanya. Semalam, kata-kata Damian masih menggema di benaknya.“Kau sudah melakukannya dengan baik. Dan itu lebih dari cukup.”Kalimat sederhana. Tapi cukup untuk membuatnya ingin berdiri lebih tegak pagi ini.Lorena mengenakan jubah satin putih untuk melapisi kamisolnya dan berjalan keluar kamar. Lorong yang biasanya hening kin
Damian berdiri di ambang jendela besar kamarnya, menatap keluar ke halaman belakang yang perlahan tenggelam dalam kabut malam.Asap dari rokok tipis yang menyala di jarinya naik perlahan, menyatu dengan udara dingin yang tidak pernah benar-benar hilang dari rumah ini.Dia tidak berbicara selama makan malam. Tidak perlu. Kehadiran Lorena malam itu sudah bicara lebih dari cukup.Ia melihat bagaimana orang-orang meliriknya.Bagaimana wanita itu menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial itu dengan tenang.Bagaimana dia tidak menghindar dari Katya—dan bahkan tahu cara merespons tanpa harus menyerang.Dia tahu apa yang sedang dilihat semua orang: seo
Lorena tahu saat ini dia sedang melangkah ke medan yang belum pernah ia jamah sebelumnya.Rehearsal dinner yang diadakan satu hari sebelum resepsi pernikahan bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah ruang dimana ia diuji.Bukan hanya bagaimana cara ia berdiri dan berbicara—tetapi bagaimana ia diam, menanggapi, dan bertahan tanpa kehilangan arah.Gaun satin biru kelabu itu jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya. Ia tidak mencoba menarik perhatian—tapi justru karena itu, beberapa kepala berbalik dua kali saat ia masuk ke ruang makan utama.Langkahnya tenang. Tapi jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Meja makan besar di tengah ruangan berlapis linen putih. T
Lorena tidak bisa tidur malam itu.Udara di dalam kamar terlalu pengap, terlalu hening. Jadi ia melangkah keluar ke balkon samping yang menghadap taman belakang mansion—sepi, dingin, dan tertutup bayangan.Gaun tidurnya sederhana. Rambutnya diikat setengah. Tangannya memeluk tubuh sendiri, bukan karena kedinginan, tapi karena ia butuh sesuatu untuk dipegang.Langit di atasnya kelabu. Tak berbintang.Langkah pelan terdengar dari dalam. Lalu suara pintu balkon terbuka.Klik!Lorena tidak perlu menoleh. Ia tahu siapa itu dari caranya membuka pintu: tidak ragu, tidak meminta izin.Damian berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan kemeja
Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela tinggi di sayap timur mansion memberikan kesan hangat dan nyaman pada ruangan yang dipenuhi dokumen pernikahan dan berkas logistik acara.Namun, Damian tidak terpengaruh oleh suasana tersebut. Ia berdiri di depan meja panjang, menatap dokumen-dokumen tersebut dengan mata yang kosong.Sergei, yang berdiri di balik meja sebelah, memecah keheningan dengan suaranya yang dalam dan tenang."Kau tidak membaca berkas-berkas itu," katanya. "Pernikahan dua minggu lagi, Damian. Kau tidak bisa terus memperlakukan ini seperti kontrak bisnis."Damian tidak membantah, tapi juga tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan bahunya sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan dokumen-dokumen tersebut. Ia menarik nafas pelan, lalu mel
Lorena tidak menyangka bahwa pemilihan gaun pengantin bisa terasa seperti pertempuran diam-diam. Bukan dengan seseorang yang hadir di ruangan. Tapi dengan seseorang dari masa lalu yang seolah sudah menyentuh semuanya lebih dulu.Ruang tengah mansion telah diubah menjadi studio kecil. Meja-meja dilapisi katalog, papan inspirasi bergambar sketsa-sketsa gaun siluet ramping, dan setumpuk fabrik—sutra Perancis, tulle Italia, renda vintage.Tiga desainer duduk di sofa kulit putih, sibuk menyesap espresso sambil menatap Lorena seperti sedang menilai kanvas kosong. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan rambut perak yang disisir rapi ke belakang, berdiri dan menyodorkan portofolio berlapis kulit.“Tuan Damian menyukai gaya klasik. Bersih. Lengan panjang. Tidak terlalu terbuka, tapi tetap memamerkan bentuk tubuh.”Lorena menerima buku itu dan mulai membaliknya. Halaman demi halaman menampilkan gaun-gaun indah.Terlalu indah. Terlalu seragam.Di hampir setiap desain 'unggulan”'itu,