Home / Romansa / Hatiku direbut Berondong / Taruhan Hati atau Harga Diri

Share

Taruhan Hati atau Harga Diri

Author: Radieen
last update Last Updated: 2025-09-02 08:38:58

Aku menatap layar ponsel itu dengan jemari yang bergetar. Pesan singkat dari ayah terasa seperti jeratan yang menutup ruang gerak ku.

Mata ku panas. Kata-kata itu bukan sekadar undangan lamaran, tapi ancaman yang samar. Nafas ku memburu, seakan udara kafe yang tadi hangat berubah sesak menghimpit dada.

Arga menyadari perubahan wajah ku. “Kak… siapa?” tanyanya lirih, meski aku tahu ia sudah melihat nama itu muncul di layar.

Aku buru-buru menyembunyikan ponsel di bawah meja, tapi tatapannya tajam, penuh selidik.

“Soal Rian, ya?” suaranya nyaris seperti bisikan, tapi ada amarah yang jelas bergetar di baliknya.

Aku menunduk, tak sanggup menjawab. Tubuh ku gemetar, bukan hanya karena takut pada Rian, tapi juga pada kenyataan bahwa besok hidup ku bisa saja diputuskan orang lain tanpa aku mampu melawan.

Arga menggenggam tanganku lebih erat. "Apa yang bisa aku bantu buat kakak? Kalau memang kakak tidak mau, aku bersedia melakukan apapun!"

Aku melepaskan tangan Arga, "Ga, terimakasih. Tapi biar aku coba selesaikan ini sendiri."

Arga menatapku kecewa, rasanya seperti tertolak. "Baiklah, tapi kalau kakak butuh, jangan ragu buat bilang ke aku, Oke? " Dia tersenyum tulus.

"Makasih ya, Ga. Aku sebaiknya pulang sekarang Ga, masalah ini nggak bisa aku biarin terlalu lama."

Aku pun pergi meninggalkan Arga yang masih duduk di sana.

Esok paginya, aku melihat ayah yang sudah bangun lebih dulu, duduk di kursi sambil menyeruput kopi hitamnya. Tatapannya tajam melihat ku yang keluar dari kamar.

“Fara, jangan lupa nanti sore kita pergi ke rumah Rian. Kita harus bicara dengan orang tuanya. Jangan bikin malu Ayah.”

Aku tertegun. “Yah, aku sudah bilang...aku nggak mau!"

Suara kursi berderit saat Ayah berdiri. “Jangan membantah! Kau pikir kau bisa hidup hanya dengan keras kepala? Kalau kau menolak, jangan harap Ayah akan mengakui mu lagi sebagai anak!”

Dadaku bergetar. Ancaman itu terlalu menusuk. Tapi sebelum aku bisa menjawab, pintu depan terbuka. Nenek pulang, wajahnya lelah tapi masih sempat menyunggingkan senyum.

“Fara, Ayahmu sudah pulang ya?” katanya sambil menaruh tas.

Aku hanya mengangguk, sementara Ayah langsung mendekat. “Bu, pas sekali. Saya mau bicara. Rian datang melamar Fara. Saya pikir itu kabar yang baik.”

Nenek berhenti sejenak. Tatapannya berpindah padaku, lalu kembali ke Ayah. “Tapi… apa Fara setuju?”

Aku menunduk, air mataku hampir tumpah. “Aku nggak mau, Nek!”

Nenek menarik napas panjang. “Kalau begitu, jawabannya cukup. Pernikahan bukan untuk orang lain, tapi untuk dia yang menjalani. Kau tidak bisa memaksa walau Farah anakmu.”

Wajah Ayah memerah. “Bu! Jangan sok bijak. Ibu pikir hidup hanya pakai cinta? Lihat keadaan kita! Anak ini tidak kuliah, masa depannya gelap. Kalau ada lelaki kaya yang mau, kenapa harus menolak?”

Aku gemetar mendengar kata-katanya. Tapi kali ini Nenek berdiri tegak. “Jangan rendahkan cucuku. Fara masih muda, dia punya jalan sendiri. Uang memang penting, tapi bukan segalanya. Kau, lebih dari siapa pun, harusnya tahu itu. Kau yang dulu menghamburkan harta keluarga karena judi. Kau yang meninggalkan istri dan anak demi kesenangan sesaat. Jadi jangan sekarang sok bicara soal masa depan!”

Ruangan membeku. Ayah terdiam, wajahnya menegang. Aku memandang Nenek dengan air mata haru. Ia berdiri untukku, sesuatu yang selalu aku harapkan.

Ayah mendengus kasar. “Terserah kalian. Tapi jangan salahkan aku kalau hidupmu nanti menyedihkan, Fara. Kau akan menyesal.”

Dengan langkah berat, ia keluar dari rumah, membanting pintu.

Aku terisak, memeluk Nenek. “Nek, aku takut…Aku nggak mau nikah dipaksakan, nek.”

Nenek mengusap rambutku. “Jangan takut, Nak. Selama masih ada Allah, kita tidak sendirian. Dan kamu punya orang-orang yang peduli. Lihatlah sekelilingmu.”

Tak lama ayah kembali lagi, kali ini dia tidak datang sendirian. Dia masuk menghentak kakinya, pintunya diketuk keras.

Suara ayah terdengar mendekat, “Fara, keluar sekarang! Aku mau bicara!” bentaknya dari luar.

Aku menahan napas, tapi nenek menepuk bahuku dengan lembut. “Tenang, Nak. Hadapi dengan kepala dingin.”

Aku melangkah ke luar, dan di sana ayah berdiri dengan ekspresi marah. Di belakangnya, Rian ikut, senyum tipis tapi penuh kepastian.

“Kamu harus dengar aku, Fara,” kata ayah dengan nada memerintah. “Rian adalah pilihan terbaikmu. Kamu nggak akan bisa hidup mapan tanpa dia.”

Aku menatapnya, suara bergetar tapi tegas. “Aku sudah jawab yah, aku belum siap menikah. Aku mau memilih sendiri.”

Rian mendekat, mencoba menundukkan wajahku dengan tatapan memaksa. “Fara… jangan keras kepala. Ini untuk masa depanmu. Kalau kamu takut terlalu cepat menikah, aku bisa menunggu. Tapi Terima saja lamaranku.”

Aku menepisnya. “Aku bukan boneka yang bisa kau gerakkan semua mu, Rian!”

“Tidak bisa, ayahmu sudah menerima uang lamarannya.” wajah Rian memerah marah.

Mataku pun terbelalak tidak percaya. Bagaimana bisa ayah menerimanya sementara aku tidak setuju.

“Ayah menjual ku?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hatiku direbut Berondong   Kecupan di Tengah Pelarian

    Malam semakin larut, dan pikiranku penuh bayangan buruk. Saat Arga mengucapkan kata “hotel,” tubuhku rasanya menegang. Aku tahu Arga tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh sejak SMA, hanya saja.. aku sedikit ragu dengan keputusannya kali ini.Aku menelan ludah. "Ga, bukankah itu akan menimbulkan masalah baru? Bagaimana kalau Rian tetap menemukan kita?” Arga menggeleng pelan. “Lebih berbahaya kalau kita terus di jalan. Setidaknya di hotel kita bisa kunci pintu, kita bisa istirahat, kita bisa berpikir lebih jernih. Aku janji akan jaga kakak.”Matanya begitu serius, membuatku terdiam. Aku tahu dia tak main-main. Meski takut, aku juga tak punya pilihan lain.“Baiklah… aku ikut kata kamu.”Kami menemukan hotel kecil di pinggir jalan raya, tak jauh dari warung eceran tadi. Bangunannya sederhana, cat dindingnya memudar, tapi suasananya cukup sepi. Arga yang mengurus resepsionis, sementara aku menunggu di luar, menyembunyikan wajah di balik masker, topi, dan jaket.“Sudah, ayo,” katanya s

  • Hatiku direbut Berondong   Bayangan yang Menguntit

    Sepanjang malam aku duduk di teras rumah, memikirkan kata-kata Arga. Apakah aku benar menyukai Arga atau hanya merasa nyaman karena ia selalu ada untukku? Lamunanku buyar seketika, ketika aku mendengar langkah nenek mendekat. "Ada apa nak?" Tanya nenek dengan lembut, sambil menarik kursi plastik mendekatiku. Aku alihkan pikiran ku dari bayangan Arga, mencoba fokus dengan rencana awal. "Nek, Fara akan pergi besok pagi," ucapku, dengan suara bergetar. Nenek menghela napas panjang. "Nenek tahu, Nak. Kamu memang harus melakukan ini. Nenek akan selalu mendoakanmu." "Nek, Fara janji akan sering menghubungi Nenek. Fara juga akan pulang sesekali menjenguk Nenek," ucapku, memeluk Nenek erat-erat. "Nenek percaya padamu, Nak. Kamu adalah wanita yang kuat dan tegar. Kamu bisa meraih kebahagiaanmu, tapi nak...jangan benci Ayahmu ya. Dia begitu hanya karena judi. Dia sebenarnya orang yang baik. " balas Nenek, mengelus rambutku. Aku tidak menjawab atau menyela. Aku masih mencerna perkataan N

  • Hatiku direbut Berondong   Strategi dalam Gelap

    Suara tamparan menggema di dalam ruangan. Tangan ayah mendarat keras di pipiku, menyisakan panas dan perih di saat yang bersamaan. Aku terperanjat, menatap ayahku dengan mata yang berkaca-kaca.“Kamu sudah berani melawan Ayah? ” wajahnya merah penuh amarah.Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Air mataku jatuh dalam diam, hatiku terasa lebih pedih dibandingkan pipiku. Mendengar kuatnya tamparan ayah,nenek langsung datang menghampiri. Ia tampak marah sekaligus terkejut melihatku menangis. “Ada apa ini? Kenapa kamu tampar anakmu?” Nenek langsung membawaku yang masih terisak pergi dari hadapan ayah. Ayah mencoba mengejar nenek, ingin memberikan penjelasan. Tapi nenek segera menutup pintu kamarnya. Dia tidak lagi ingin mendengarkan penjelasan apapun dari ayah. “Jangan dengarkan kata-kata Ayahmu. Ia sedang kalut karena masalah judi,” ucap Nenek sambil mengelus rambutku. Aku memeluk Nenek erat-erat, menangis terisak di pelukannya. Aku tumpahkan segala keluh kesahku padanya. Aku tak be

  • Hatiku direbut Berondong   Aku Bukan Milikmu

    Malam itu terasa begitu panjang. Sunyi, tapi di dadaku riuh oleh ribuan suara yang saling beradu. Lampu kamar redup, hanya menyorot wajah Nenek yang terlelap di ranjangnya. Wajah yang penuh keriput itu tetap teduh, seolah menyimpan kekuatan yang tak pernah padam meski tubuhnya semakin renta.Aku menatapnya lama, hatiku diliputi rasa bersalah. Betapa tega aku ingin pergi meninggalkan rumah ini, sementara hanya Nenek yang selama ini selalu ada untukku. Tapi aku juga sadar, aku tidak bisa terus terjebak dalam penjara yang dibangun Ayah.Aku harus memilih, entah tetap tinggal di sini demi menemani Nenek, atau berani melangkah demi menyelamatkan masa depanku.Dengan langkah pelan, aku mendekat. Ku sentuh tangannya yang hangat, "Nek, Darah mau ngomong.. " Nenek duduk perlahan, bersandar pada dipan tempat tidurnya. "Iya, kenapa Rah? ""Farah rencana kerja tempat ayah Ayu, terus.. " aku berucap dengan hati-hati. "Kalau uangnya sudah terkumpul banyak.. Farah mau pergi dari sini. Nenek mau ik

  • Hatiku direbut Berondong   Langkah yang Tak Bisa Dikekang

    Aku menatap ayah yang berdiri di depanku dengan penuh rasa kecewa. Air mataku tak henti -hentinya menetes. "Kenapa ayah begitu tega, yah? " Aku masih menatapnya tak percaya. "Aku hanya menerima uang lamarannya, apanya yang menjual? Lagian Rah, apa kurangnya Rian ini sih. Bisa-bisanya kamu menolak orang setulus dia! Aku sebagai ayahmu berhak menentukan pasangan terbaik buat kamu! "Nenek yang sedari tadi hanya mendengar kini ikut menimpali.“Kembalikan saja uangnya.” Nenek tidak lagi menyembunyikan amarahnya. “Itu nggak mungkin bu, uangnya...sudah habis.” Ayah berkata sambil membuang pandangannya. Aku dan nenek masih tertegun, ah.. lagi - lagi dia pasti main judi. Pikiranku langsung melayang entah kemana. Pantas saja dia terus memaksaku menerima lamaran ini. “Kita akan ganti, berapa uang nak Rian untuk melamar Farah?” Ayah menyela, “ Bu..rumah ini di jual saja tidak cukup membayarnya.”Nenek terduduk lemas, tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukan anaknya sendiri. Dia tidak

  • Hatiku direbut Berondong   Taruhan Hati atau Harga Diri

    Aku menatap layar ponsel itu dengan jemari yang bergetar. Pesan singkat dari ayah terasa seperti jeratan yang menutup ruang gerak ku.Mata ku panas. Kata-kata itu bukan sekadar undangan lamaran, tapi ancaman yang samar. Nafas ku memburu, seakan udara kafe yang tadi hangat berubah sesak menghimpit dada.Arga menyadari perubahan wajah ku. “Kak… siapa?” tanyanya lirih, meski aku tahu ia sudah melihat nama itu muncul di layar.Aku buru-buru menyembunyikan ponsel di bawah meja, tapi tatapannya tajam, penuh selidik.“Soal Rian, ya?” suaranya nyaris seperti bisikan, tapi ada amarah yang jelas bergetar di baliknya.Aku menunduk, tak sanggup menjawab. Tubuh ku gemetar, bukan hanya karena takut pada Rian, tapi juga pada kenyataan bahwa besok hidup ku bisa saja diputuskan orang lain tanpa aku mampu melawan.Arga menggenggam tanganku lebih erat. "Apa yang bisa aku bantu buat kakak? Kalau memang kakak tidak mau, aku bersedia melakukan apapun!"Aku melepaskan tangan Arga, "Ga, terimakasih. Tapi bia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status