Aku tidak pernah membayangkan, hari ketika tubuhku masih lemah setelah demam justru menjadi hari paling menyesakkan dalam hidupku. Seolah-olah semesta bersekongkol menghadirkan semua luka di saat yang sama. Pertama, ayah yang pulang dengan wajah penuh basa-basi setelah sekian lama menghilang. Lalu, tiba-tiba Rian datang dengan lamaran yang menyayat ingatan masa lalu.
Dan di hadapanku kini, ayah tersenyum lebar, seakan menemukan emas di halaman rumah. "Luar biasa! Kau anak pengusaha kebun sawit itu, kan? Tentu ayahmu sudah makin sukses sekarang.” “Yah! Jangan bawa-bawa itu,” potongku dengan suara bergetar. “Ayah kan belum tanya pendapat ku untuk menerima lamaran ini!” Namun ayah mengangkat tangannya, tanda aku harus diam. “Fara, dengarkan baik-baik. Hidup ini tidak bisa hanya pakai perasaan. Kita butuh kepastian, kita butuh masa depan. Rian ini lelaki mapan, kaya, dan jelas serius. Kau harus pintar-pintar memilih. Jangan buang kesempatan.” Air mataku menggenang, bukan karena haru, melainkan karena merasa terjebak. Aku ingin menjerit, teringat bagaimana Rian dulu meninggalkanku tanpa alasan, bagaimana aku mengubur air mata sendiri di malam-malam gelap. Tapi siapa yang peduli? Bagi Ayah, luka anaknya hanyalah noda kecil yang bisa disapu bersih oleh gemerlap harta. "Maaf Rian, Aku sudah punya kehidupan sendiri! Aku tidak mau kembali ke masa lalu. Jangan paksa aku!” suaraku bergetar. Ayah menatapku tajam, bola matanya penuh kemarahan. “Kau ini keras kepala, Fara! Kau pikir hidup dengan nenekmu ini cukup? Sampai kapan kau mau begini? Rian datang dengan niat baik, dengan keseriusan. Kau malah menolaknya? Kau pikir kau bisa dapat lelaki yang lebih baik darinya?” Kata-katanya menamparku. Aku terdiam, dadaku sesak. Baginya, aku hanyalah beban. Baginya, aku hanyalah peluang untuk memperbaiki nasib. Rian, yang sedari tadi diam, akhirnya membuka mulut. “Fara… aku tahu aku salah. Aku tahu aku pernah menyakitimu. Tapi aku sungguh ingin memperbaikinya. Ternyata aku tidak bisa melupakanmu. Kamulah yang terbaik yang pantas menjadi istriku. Kali ini aku bukan hanya mengajak pacaran, aku melamarmu.” Aku mendengus, menahan amarah yang hampir pecah. Bisa -bisanya mereka memaksakan ego mereka tanpa menanyakan pendapatku.“Jangan bicara seolah-olah kamu pahlawan, Rian. Kamu pergi tanpa kabar, menghilang saat aku masih menggenggam janji. Dan sekarang, tiba-tiba datang dengan kata-kata manis? Aku bukan boneka yang bisa kau tinggalkan lalu kau ambil kembali sesukamu!” Rian terdiam, wajahnya menegang. Ayahku justru menggebrak meja. “Cukup, Fara! Aku yang memutuskan. Kau harus terima lamaran ini. Kau tidak tahu bagaimana sulitnya hidup. Jangan jadi bodoh hanya karena sakit hati di masa lalu!” Aku menatap ayahku dengan mata basah. “Yah… kenapa selalu uang yang jadi alasan? Kenapa selalu harta yang Ayah cari? sementara aku? aku ini anakmu, kenapa selalu diabaikan? Apa Ayah tahu rasanya ditinggalkan? Ayah tahu apa rasanya ditolak, disakiti, lalu dipaksa menerima lagi orang yang sama?” Ruangan itu hening, hanya terdengar nafasku yang terengah. Ayah mengalihkan pandangan, seolah kata-kataku menusuk sesuatu di dalam dirinya, namun dengan cepat ia menepis perasaan itu. “Cukup, Fara. Besok aku akan bicara dengan nenekmu. Kau akan menerima lamaran Rian. Ini keputusan terbaik,” katanya tegas. Tulus? Kata itu bagai racun. Bagaimana aku bisa percaya? Ketika mereka akhirnya pergi, aku terjatuh di kursi. Air mataku pecah tanpa bisa ku tahan. Rasanya rumah yang selama ini menjadi tempat paling aman, kini berubah menjadi penjara. Dalam keheningan itu, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Arga. “Kak, lagi apa? Jangan banyak pikiran, ya. Kalau capek, istirahat, kakak kan baru baik sakit. Kalau Kakak butuh sesuatu langsung bilang aku ya.” Aku terisak membaca pesan itu. Arga, anak yang selama ini ku anggap hanya usil kini malah jadi satu-satunya yang benar-benar peduli padaku. Bukan dengan harta, bukan dengan kepentingan, tapi dengan kehangatan yang sederhana. Tanganku gemetar saat membalas. “Ga… aku butuh teman bicara.” Ponselku berdering. Nama itu muncul, Arga. Dadaku langsung berdegup. Apa yang harus kulakukan? Menjawab, atau berpura-pura tidak melihat? Jemariku akhirnya bergerak sendiri. “Assalamu’alaikum…” suaraku serak. “Kak Fara?” suara di seberang sana terdengar serius, berbeda dari biasanya yang selalu penuh canda. “Kenapa suara Kakak serak? Kakak nangis?” Air mata yang tadinya sudah mereda kembali jatuh. “Ga… aku capek.” “Capek gimana? Aku ke sana sekarang.” Aku panik. “Jangan! Jangan ke sini. Ayahku ada di rumah.” Hening sejenak di ujung telepon. Lalu suara Arga terdengar lagi, lebih lembut. “Kak, aku nggak peduli siapa pun yang ada di rumah. Kalau Kakak butuh aku, aku bakal datang.” Jantungku berdetak kencang. Ada rasa hangat, tapi juga rasa takut. Aku tak ingin masalahku menyeret orang lain. Terlebih, aku tahu bagaimana Ayah. Dia tak segan memanfaatkan siapa pun demi kepentingannya. “Aku serius, Ga. Jangan ke sini. Aku cuma… butuh didengar. Kita ketemu di luar aja.” suaraku bergetar. Arga menghela napas. “Oke. Kalau begitu, Kakak mau ketemu dimana?” “Di kafe hijau dekat kampus kamu aja, Aku kesana sekarang.” Begitu aku tiba, Arga sudah duduk menunggu sambil melambaikan tangannya. “Kak..sini!!” “Kamu udah lama?” “Tentu! aku cemas kak dengar suara kamu di telfon. Kamu pikir aku tega biarin Kakak nangis sendirian?” Arga duduk di seberang, memanggil pelayan, lalu memesan dua gelas kopi dengan cepat. Setelah itu ia kembali menatap dengan sorot mata yang lembut. “Ga… aku capek.”Sambil meremas jemari dan menunduk. “Capek gimana?” Arga mencondongkan tubuh ke depan. “Ceritain ke aku, Kak. Jangan dipendam sendiri.” Butiran air mata yang ku tahan akhirnya jatuh juga. Suara musik jazz pelan di kafe menjadi latar pembuka cerita tentang Ayah yang tiba-tiba muncul juga tentang lamaran Rian dan reaksi Ayah ketika aku menolaknya. Kata-kataku keluar terpatah-patah, diiringi sesenggukan yang tidak bisa ku tahan. Arga mendengarkan dengan serius. Ia tak sekali pun menyela. Tatapannya dipenuhi kelembutan tapi juga semburat kemarahan. Ketika Aku selesai, Arga terdiam sejenak, menimbang kata-kata. Lalu ia berkata penuh keseriusan. Wajah jahilnya seperti hilang entah di mana. “Kak, jangan biarin siapa pun memutuskan hidup Kakak. Termasuk ayah kakak. Kakak berhak pilih jalan sendiri. Kalau mereka maksa, aku yang bakal berdiri di depan Kakak.” Aku tertegun. “Ga… kamu masih kuliah, masih muda. Jangan ikut campur masalah orang dewasa. Aku nggak mau menyeret kamu ke masalah ini, banyak hal yang harus kamu pikirkan Ga!!” Ia tersenyum tipis menghadapku, ia mengambil tanganku dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku sudah dewasa, Kak. Usia boleh beda, tapi hatiku cukup tahu arti melindungi orang yang aku sayang.” Kata “sayang” itu membuat dadaku bergetar. Aku menunduk cepat. “Jangan bilang begitu. Aku cuma tidak mau menyeret mu ke masalah ku lebih jauh.” Arga mengulurkan tangan, perlahan tapi pasti, hingga menyentuh punggung tanganku yang dingin. “Kak, aku yang memilih untuk ikut campur. Kakak tidak perlu memikirkan yang lainnya.” Keheningan melingkupi meja. Suara mesin espresso dan obrolan pengunjung lain seakan menghilang. Ku tatap wajahnya, tidak ada keraguan yang terpancar di sana. Wajah Arga menampakkan ekspresi yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Air mataku kembali jatuh, tapi kali ini terasa berbeda—ada hangat, ada lega. “Terima kasih, Ga…” bisikku lirih. Arga hanya tersenyum. “Kapan pun, Kak. Aku nggak akan biarin kamu sendiri lagi.” Suara notifikasi ponselku tiba-tiba memecah keheningan. Aku refleks menoleh, lalu membeku. Sebuah pesan baru masuk, dari ayah. “Besok sore kita ke rumah Rian. Jangan buat aku malu, Fara!"Malam semakin larut, dan pikiranku penuh bayangan buruk. Saat Arga mengucapkan kata “hotel,” tubuhku rasanya menegang. Aku tahu Arga tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh sejak SMA, hanya saja.. aku sedikit ragu dengan keputusannya kali ini.Aku menelan ludah. "Ga, bukankah itu akan menimbulkan masalah baru? Bagaimana kalau Rian tetap menemukan kita?” Arga menggeleng pelan. “Lebih berbahaya kalau kita terus di jalan. Setidaknya di hotel kita bisa kunci pintu, kita bisa istirahat, kita bisa berpikir lebih jernih. Aku janji akan jaga kakak.”Matanya begitu serius, membuatku terdiam. Aku tahu dia tak main-main. Meski takut, aku juga tak punya pilihan lain.“Baiklah… aku ikut kata kamu.”Kami menemukan hotel kecil di pinggir jalan raya, tak jauh dari warung eceran tadi. Bangunannya sederhana, cat dindingnya memudar, tapi suasananya cukup sepi. Arga yang mengurus resepsionis, sementara aku menunggu di luar, menyembunyikan wajah di balik masker, topi, dan jaket.“Sudah, ayo,” katanya s
Sepanjang malam aku duduk di teras rumah, memikirkan kata-kata Arga. Apakah aku benar menyukai Arga atau hanya merasa nyaman karena ia selalu ada untukku? Lamunanku buyar seketika, ketika aku mendengar langkah nenek mendekat. "Ada apa nak?" Tanya nenek dengan lembut, sambil menarik kursi plastik mendekatiku. Aku alihkan pikiran ku dari bayangan Arga, mencoba fokus dengan rencana awal. "Nek, Fara akan pergi besok pagi," ucapku, dengan suara bergetar. Nenek menghela napas panjang. "Nenek tahu, Nak. Kamu memang harus melakukan ini. Nenek akan selalu mendoakanmu." "Nek, Fara janji akan sering menghubungi Nenek. Fara juga akan pulang sesekali menjenguk Nenek," ucapku, memeluk Nenek erat-erat. "Nenek percaya padamu, Nak. Kamu adalah wanita yang kuat dan tegar. Kamu bisa meraih kebahagiaanmu, tapi nak...jangan benci Ayahmu ya. Dia begitu hanya karena judi. Dia sebenarnya orang yang baik. " balas Nenek, mengelus rambutku. Aku tidak menjawab atau menyela. Aku masih mencerna perkataan N
Suara tamparan menggema di dalam ruangan. Tangan ayah mendarat keras di pipiku, menyisakan panas dan perih di saat yang bersamaan. Aku terperanjat, menatap ayahku dengan mata yang berkaca-kaca.“Kamu sudah berani melawan Ayah? ” wajahnya merah penuh amarah.Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Air mataku jatuh dalam diam, hatiku terasa lebih pedih dibandingkan pipiku. Mendengar kuatnya tamparan ayah,nenek langsung datang menghampiri. Ia tampak marah sekaligus terkejut melihatku menangis. “Ada apa ini? Kenapa kamu tampar anakmu?” Nenek langsung membawaku yang masih terisak pergi dari hadapan ayah. Ayah mencoba mengejar nenek, ingin memberikan penjelasan. Tapi nenek segera menutup pintu kamarnya. Dia tidak lagi ingin mendengarkan penjelasan apapun dari ayah. “Jangan dengarkan kata-kata Ayahmu. Ia sedang kalut karena masalah judi,” ucap Nenek sambil mengelus rambutku. Aku memeluk Nenek erat-erat, menangis terisak di pelukannya. Aku tumpahkan segala keluh kesahku padanya. Aku tak be
Malam itu terasa begitu panjang. Sunyi, tapi di dadaku riuh oleh ribuan suara yang saling beradu. Lampu kamar redup, hanya menyorot wajah Nenek yang terlelap di ranjangnya. Wajah yang penuh keriput itu tetap teduh, seolah menyimpan kekuatan yang tak pernah padam meski tubuhnya semakin renta.Aku menatapnya lama, hatiku diliputi rasa bersalah. Betapa tega aku ingin pergi meninggalkan rumah ini, sementara hanya Nenek yang selama ini selalu ada untukku. Tapi aku juga sadar, aku tidak bisa terus terjebak dalam penjara yang dibangun Ayah.Aku harus memilih, entah tetap tinggal di sini demi menemani Nenek, atau berani melangkah demi menyelamatkan masa depanku.Dengan langkah pelan, aku mendekat. Ku sentuh tangannya yang hangat, "Nek, Darah mau ngomong.. " Nenek duduk perlahan, bersandar pada dipan tempat tidurnya. "Iya, kenapa Rah? ""Farah rencana kerja tempat ayah Ayu, terus.. " aku berucap dengan hati-hati. "Kalau uangnya sudah terkumpul banyak.. Farah mau pergi dari sini. Nenek mau ik
Aku menatap ayah yang berdiri di depanku dengan penuh rasa kecewa. Air mataku tak henti -hentinya menetes. "Kenapa ayah begitu tega, yah? " Aku masih menatapnya tak percaya. "Aku hanya menerima uang lamarannya, apanya yang menjual? Lagian Rah, apa kurangnya Rian ini sih. Bisa-bisanya kamu menolak orang setulus dia! Aku sebagai ayahmu berhak menentukan pasangan terbaik buat kamu! "Nenek yang sedari tadi hanya mendengar kini ikut menimpali.“Kembalikan saja uangnya.” Nenek tidak lagi menyembunyikan amarahnya. “Itu nggak mungkin bu, uangnya...sudah habis.” Ayah berkata sambil membuang pandangannya. Aku dan nenek masih tertegun, ah.. lagi - lagi dia pasti main judi. Pikiranku langsung melayang entah kemana. Pantas saja dia terus memaksaku menerima lamaran ini. “Kita akan ganti, berapa uang nak Rian untuk melamar Farah?” Ayah menyela, “ Bu..rumah ini di jual saja tidak cukup membayarnya.”Nenek terduduk lemas, tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukan anaknya sendiri. Dia tidak
Aku menatap layar ponsel itu dengan jemari yang bergetar. Pesan singkat dari ayah terasa seperti jeratan yang menutup ruang gerak ku.Mata ku panas. Kata-kata itu bukan sekadar undangan lamaran, tapi ancaman yang samar. Nafas ku memburu, seakan udara kafe yang tadi hangat berubah sesak menghimpit dada.Arga menyadari perubahan wajah ku. “Kak… siapa?” tanyanya lirih, meski aku tahu ia sudah melihat nama itu muncul di layar.Aku buru-buru menyembunyikan ponsel di bawah meja, tapi tatapannya tajam, penuh selidik.“Soal Rian, ya?” suaranya nyaris seperti bisikan, tapi ada amarah yang jelas bergetar di baliknya.Aku menunduk, tak sanggup menjawab. Tubuh ku gemetar, bukan hanya karena takut pada Rian, tapi juga pada kenyataan bahwa besok hidup ku bisa saja diputuskan orang lain tanpa aku mampu melawan.Arga menggenggam tanganku lebih erat. "Apa yang bisa aku bantu buat kakak? Kalau memang kakak tidak mau, aku bersedia melakukan apapun!"Aku melepaskan tangan Arga, "Ga, terimakasih. Tapi bia