Share

Head Over Heels - Part 1

Seorang gadis bertubuh proposional cenderung kurus tampak sedang berolahraga di ruang kebugaran yang ada di rumahnya. Gadis itu menahan perutnya saat melakukan gerakan plank sampai peluh membasahi dahinya.

“Hah ...,” desah gadis bernama Eliora itu kemudian jatuh menelungkup di atas matras yoga yang berada di bawah tubuhnya.

“Gila, baru plank satu menit aja udah mau pingsan rasanya,” gumam Eliora pada dirinya sendiri.

Eliora bangkit dari posisinya ketika mendengar suara ponsel yang berdering. Gadis itu mengerutkan keningnya, heran dengan penelepon yang menghubunginya di hari Minggu pagi seperti ini. Saat mendapati layar ponselnya tertera nama ‘Papa’, Eliora langsung menekan ikon tombol hijau yang menandakan untuk menerima panggilan tersebut.

“Halo, El. Kamu lagi ngapain, Sayang?” tanya ayah Eliora dari seberang sana.

“Baru siap olahraga, Pa. Kenapa?”

“Rajin banget hari Minggu begini olahraga. Kesambet apa itu?” Kini giliran ibu Eliora yang bertanya dengan celutukannya.

Eliora terkekeh mendengar ucapan ibunya. “Ya, nggak kesambet apa-apa, Ma. Lagi pula, aku rajin olahraga bukannya didukung, malah diledekin,” dengus Eliora pura-pura sebal.

“Udah, udah. Kalian ini nggak jauh, nggak dekat, berdebat terus, ya,” lerai ayah Eliora.

“Mama tuh, ngeledekin aku aja terus,” dengus Eliora. “Kalian jadi balik nggak hari ini?” lanjut gadis itu sembari mengusapkan handuk berwarna putih pada keningnya.

“Yah ... kami nggak bisa pulang hari ini,” jawab ibu Eliora yang bernama Rumi itu dengan nada yang sarat akan penyesalan.

“Tapi, tiga atau empat hari lagi kami pasti pulang kok,” timpal suami Rumi, Ali.

Eliora berusaha menahan dengusan agar nggak keluar dari mulutnya. Percuma juga, mereka nggak akan bisa ada di sini. Padahal hari ini ulang tahunku, batin Eliora kecewa di dalam hatinya.

“Oh, nggak apa-apa,” kata Eliora yang berusaha menetralkan nada suaranya.

“Kamu yakin nggak mau ikut kami pindah aja, El?” tanya Ali menawarkan. Ini bukan kali pertamanya kedua orang tua Eliora bertanya perihal tentang ini pada putri mereka. Namun, gadis itu tetap berpendirian teguh pada keputusannya sendiri.

“Ah, nggaklah. Repot nanti kalau pindah ke Singapore. Semisal aku mau lanjutin kuliah di Indo, nanti ‘kan harus penyetaraan lagi di sini karena aku nggak ada ijazah Indonesia,” jelas Eliora masih dengan alasan yang sama seperti sebelumnya.

Eliora seharusnya sudah terbiasa dengan kepergian orang tuanya yang kerap pulang pergi rute Indonesia-Singapura, tetapi ia masih nggak mampu mengenyahkan rasa kesal ketika mendengar kepulangan orang tuanya yang diundur seperti yang baru saja ia dengar beberapa menit yang lalu.

Terkadang, Eliora iri dengan teman-temannya. Di saat acara kelulusan sekolah menengah pertamanya, kedua orang tuanya nggak bisa hadir karena harus menandatangani kontrak di Cina. Bahkan saat acara ulang tahunnya yang ketujuh belas tahun, orang tua Eliora nggak tampak di sana. Lagi-lagi dengan alasan yang sama. Sibuk berbisnis.

Eliora pernah membayangkan, seandainya saja keluargnya adalah keluarga sederhana pada umumnya dengan kasih sayang dan perhatian yang berlimpah dari orang tuanya. Itu pasti akan sangat menyenangkan. Namun, sayangnya, sepertinya garis hidupnya memang sudah harus seperti ini. Maka yang harus dilakukannya adalah besyukur dan menerima keadaan tanpa mengeluh lagi.

“Pa, Ma, udahan dulu, ya, teleponannya?”  

“Kenapa buru-buru, El?” tanya Rumi yang mendengar nada suara putrinya seperti ingin cepat-cepat mengakhiri sambungan panggilan mereka.

“Iya, itu di depan ada dua mobil box besar. El mau lihat dulu, kayaknya lagi ada pindahan, deh,” jelas Eliora. “Kalau gitu, El tutup dulu, ya, Ma, Pa. Dadah,” sambung Eliora lalu mematikan sambungan telepon itu.

*

Eliora meletakkan ponselnya di atas meja ruang tamu. Gadis itu berjalan menghampiri jendela rumah yang langsung menghadap pada rumah di seberang sana. Tampak beberapa pria sedang menurunkan perabotan berbahan kayu dan ada juga yang hilir mudik ke luar masuk ke rumah itu untuk meletakkannya.

“Bik, itu di seberang sana lagi pindahan, ya? Berarti ada tetangga baru, dong,” tanya Eliora pada pengasuhnya sejak kecil, Mbok Marni.

“Iya, Non. Sepertinya begitu,” jawab Mbok Marni sembari mengelap beberapa perabotan yang ada di ruang tamu.

“Oh, baru tau. Kayaknya keluarganya rame, ya, Mbok. Masa barang-barangnya sampai dua mobil box begitu. Mana rumah yang diseberang itu ‘kan gede juga,” kata Eliora berspekulasi sendiri.

“Wah, Mbok kurang tau kalau itu, Non,” balas Mbok Marni.

Eliora mengangguk kecil kemudian memilih untuk mengabaikan pemandangan mobil box yang berada di depan rumah tetangga barunya itu. Gadis itu lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa ruang tamu yang berhadapan dengan televisi.

Tangan Eliora terulur seraya menghidupkan televisi itu dengan menekan tombol merah yang berada di pojok atas remote. Setelah layar benda pipih tersebut hidup, Eliora memilih salah satu aplikasi yang bernama Spotify. Secara acak, gadis itu menekan daftar lagu yang ada di akunnya sehingga musik pun bergema di seluruh ruang tamu itu.

Eliora memejamkan matanya setelah meletakkan remote televisi di atas meja ruang tamu. Tangan gadis itu terlipat di depan dada seraya menikmati alunan musik yang masuk ke dalam indra pendengarannya. Sesekali gadis itu ikut menyandungkan beberapa baris lirik yang dia hafal di luar kepala.

Sebenarnya gadis itu sudah ingin membersihkan dirinya, tetapi karena keadaan tubuhnya yang masih belum terlalu kering dari keringat, maka ia mengurungkan niatnya tersebut. Untungnya, Eliora selalu mengingat kata ibunya agar nggak mandi saat dalam keadaan tubuh yang berkeringat karena dapat menimbulkan panuan.

Entah berapa lama Eliora duduk di sofa ruang tamu dan menikmati musik di sana. Namun, tubuh gadis itu langsung terjengkit kaget saat bel rumah berbunyi. Pasalnya, bel yang dipasang oleh ayah Eliora di rumah ini memang didesain agar bisa terdengar sampai ke lantai paling atas. Tentu saja indra pendengaran gadis itu terasa berdengung karena pasangan bel wireless itu tercolok pada stop kontak yang nggak jauh dari tempat duduknya.

Dengan langkah malas, Eliora berjalan menuju pintu utama, hendak melihat siapa yang bertamu pada hari Minggu siang seperti ini.

“Mbok Marni, Mbok nggak usah turun, ya. Biar aku aja yang buka pintu,” teriak Eliora saat mendengar suara derap langkah kaki Mbok Marni yang hendak turun dari lantai atas. Setelah berkata demikian, suara derap langkah itu nggak lagi terdengar, artinya Mbok Marni sudah kembali menekuri pekerjaannya di atas sana.

Saat Eliora membuka pintu, hal pertama yang tersuguhi di hadapannya adalah seorang berkemeja lengan panjang yang digulung sampai sebatas siku.

Bukannya menyapa pria itu, Eliora malah bergeming di tempatnya. Kedua netra gadis itu meneliti penampilan pria berkemeja itu dari atas sampai ke bawah layaknya sebuah mesin pemindai.

Tampan? Checklist.

Wangi? Checklist.

Tinggi? Checklist.

Dewasa? Checklist.

Eliora merasa dunianya saat ini hanya terpusat pada pria itu. Segala hal yang terjadi di belakang gadis itu tampak buram karena yang ia hanya terfokus pada manusia yang sedang berada di hadapannya itu.

*

“Pak Tarjo, semuanya udah dimasukkin ke dalam rumah, ‘kan?” tanya seorang pria yang sedang berdiri di ambang pintu rumah barunya.

“Oh, udah beres semua, Mas Raven,” jawab pria berumur 40-an yang dipanggil Pak Tarjo itu.

Raven tersenyum puas kemudian memberikan selembar uang seratus ribu pada Pak Tarjo. “Ini ada sedikit uang kopi buat Pak Tarjo sama teman-temannya,” ujar Raven dengan senyum puas yang terpatri di bibirnya.

“Wah, makasih, ya, Mas Raven. Semoga murah rezeki dan berlimpah terus, ya,” kata Pak Tarjo dengan nada bahagianya.

Raven mengangguk sebagai balasan atas ucapan Pak Tarjo sebelum pria itu pergi bersama teman-temannya menggunakan dua mobil box yang mereka gunakan untuk ke sana tadi.

Saat Pak Tarjo dan teman-temannya sudah benar-benar menghilang dari hadapan Raven, pria itu kemudian masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu dengan rapat dan menguncinya dari dalam.

Raven berjalan menuju meja makan. Pria itu mengeluarkan beberapa kotak kue dari kantung plastik yang terletak di atas meja makan tersebut. Niat pria itu ingin memberikan kue-kue itu pada tetangganya sebagai salam atas kepindahannya.

Sebenarnya Raven nggak ingin merepotkan diri dengan melakukan hal tersebut. Namun, ibu Raven, Utami, malah memaksa putra sulungnya itu. Tentu saja Raven kesal dengan titah ibunya, tetapi pada akhirnya pria itu tetap mengikuti ucapan ibunya agar nggak mengundang omelan dari wanita yang sudah melahirkannya itu.

Bahkan tiga kotak kue itu bukanlah Raven yang membelinya, melainkan sang ibu yang malah tampak lebih antusias dengan kepindahan putra sulungnya ke luar rumah. Kayaknya baru kali ini ada ibu yang senang anaknya keluar dari rumah, batin Raven pada diri sendiri sembari menggelengkan kepalanya.

Tetangga di sebelah kanan dan kiri rumahnya sudah Raven berikan kotak berisi kue tadi. Kedua tetangganya yang sudah berkeluarga itu menerimanya dengan senang hati. Mereka tampak ramah dan baik hati, pikir Raven di dalam hati.

Kini hanya tersisa satu tetangga yang belum ia datangi rumahnya, yaitu rumah yang tepat berseberangan dengan rumahnya.

Kedua mata Raven tampak meneliti rumah yang berada di hadapannya saat ini. Rumah itu tampak luas. Namun, sepi, berbanding dengan dua rumah yang dikunjungi sebelumnya.

Apakah rumah ini nggak ada penghuninya? batin Raven bertanya di dalam hati.

Dengan gerakan pelan, Raven menggeser ke kiri pintu pagar rumah putih yang tampak nggak terkunci itu karena kaitan pagar di ujungnya terbuka.

Raven tampak ragu sebelum menekan bel yang tertempel di depan pintu utama. Nggak ada salahnya dicoba dulu, batin Raven berdialog di dalam hati.

Nggak sampai dua menit setelah Raven menekan bel tersebut, pintu utama yang berwarna putih di hadapannya terbuka. Terpampanglah sosok gadis dengan pakaian lusuh di sana.

Ucapan Raven tertahan di ujung lidah kala mendapati tatapan gadis itu padanya. Mata gadis itu meneliti dari atas sampai ke bawah, sepertinya nggak ada satu pun bagian tubuh Raven yang luput dari tatapan gadis itu.

Raven mengernyitkan keningnya ketika mendapati tatapan seperti itu. Nggak gentar, Raven balas menatap gadis yang ada di hadapannya dengan tatapan yang sama.

Kaos lusuh. Celana setengah paha. Rambut lepek dan acak-acakan. Wajah berminyak. Gadis ini pasti positif .... Raven menggantungkan kalimatnya sebelum lanjut membatin. Positif adalah pembantu di rumah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status