Share

Head Over Heels
Head Over Heels
Penulis: nyctophiona

Head Over Heels - Prologue

Seorang gadis yang bernama Eliora baru saja keluar dari gerbang sekolahnya. Di tangannya, ada beberapa lembar kertas ujian yang sudah digabungkan menjadi satu map. Eliora meringis kecil sembari menatap nilai yang tertera di ujung pojok kanan kertas tersebut.

Kaki Eliora melangkah menuju sebuah mobil sedan berwarna hitam yang terparkir di parkiran sekolahnya lalu masuk ke dalamnya.

“Langsung pulang, Non?” tanya supir pribadi Eliora yang bernama Pak Santo. Pria paruh baya itu melirik anak majikannya yang duduk di kursi belakang dari kaca spion.

Eliora menganggukkan kepalanya sembari berdeham sebagai jawaban. Namun, mata gadis itu tetap fokus dan nggak beralih dari kertas-kertas yang berada di tangannya. Alamat diomelin Mama lagi, deh, kalau begini ceritanya, batin Eliora yang dilanda rasa kalut.

Eliora sedikit menyesal karena bermalas-malasan dan malah menonton drama Cina sepanjang minggu ujiannya. Ya, gadis itu hanya sedikit menyesal sebenarnya karena ia benar-benar nggak menyukai pelajaran akademik seperti itu.

Namun, orang tuanya nggak ingin mengerti dan malah selalu mendorong Eliora dengan cara mendatangkan guru les ke rumahnya. Sejak bersekolah, sepertinya Eliora sudah pernah diajarkan oleh lebih dari 10 guru privat. Mereka cenderung akan bersabar pada tiga bulan pertama dan angkat tangan di bulan berikutnya karena kemalasan dan kecuekan Eliora yang sudah nggak bisa tertolong lagi kadarnya.

Sudah ribuan kali Eliora bilang pada ayah dan ibunya bahwa ia nggak menyukai pelajaran sekolah. Namun, mereka seakan tuli dan menghiraukan ucapan Eliora dan tetap memaksanya untuk belajar, belajar, dan belajar.

Begitu mobil yang ditumpangi oleh Eliora berhenti di depan rumah, gadis itu segera keluar dan menutup pintu mobilnya. Baru dua langkah kaki Eliora melangkah masuk ke dalam rumah, ponsel gadis itu sudah berdering. Seketika rasa panik langsung datang menghampiri Eliora sampai-sampai kertas yang berada di tangannya jatuh berhamburan di atas lantai.

Kepanikan gadis itu semakin bertambah ketika mengetahui bahwa panggilan tersebut bukanlah panggilan telepon biasa, melainkan panggilan video. Bahkan, mata Eliora sampai terbelalak saking takutnya. Gadis itu mengabaikan hamburan kertas ujiannya di lantai dan memilih untuk segera mengangkat panggilan dari sang ibu.

Namun, baru saja Eliora hendak mengusap layar ponselnya, panggilan itu sudah lebih dulu terputus. Nggak sampai satu menit kemudian, pesan singkat dari sang ibu sudah memberondong aplikasi WhatsApp Eliora.

Mama:

P

P

P

El

Eliora

Elioraaa

Eliora dengan sigap memungut kertas ujiannya lalu berlari menaiki tangga dengan cepat menuju kamarnya di lantai atas. Sembari menetralkan napasnya, Eliora duduk di pinggiran tempat tidur dan menelepon ibunya.

“Halo ... kamu dari mana aja, El? Kenapa telepon Mama nggak diangkat? Gimana hasil ujian kamu?”

Eliora bahkan belum sempat mengatakan sepatah kata pun, tetapi ibunya sudah memberondong gadis itu dengan pertanyaannya yang panjang.

“Aduh, satu-satu tanyanya, Ma,” gumam Eliora dengan napas yang masih sedikit memburu. “Ini El baru pulang dari sekolah,” lanjut gadis itu menjelaskan.

“Oke, oke. Jadi ... gimana hasil ujian kamu?”

“An—anu ... it—itu El juga nggak tahu gimana bilangnya,” ujar Eliora terbata-bata.

“Tolong jangan bilang kalau nilai kamu masih jelek lagi ...,” balas ibu Eliora setelah mendengar ucapan putrinya.

“Ta-tapi masalahnya ... memang jelek, Ma.” Suara Eliora mendadak berubah menjadi gumaman di akhir kalimatnya. “Naiknya cuma dikit aja, tapi nilainya tetap merah,” lanjut gadis itu dengan volume suara yang masih sama kecilnya.

“Ya, ampun, El! Kamu ini gimana, sih? Masa nggak ada perubahan sama sekali? Masa harus ganti guru les privat lagi?” desah sang ibu di seberang sana.

“Ma, El ‘kan udah bilang kalau El nggak suka se—” Belum sempat Eliora menyelesaikan ucapannya, kalimat gadis itu sudah dipotong lebih dulu.

“Mama nggak mau tahu. Suka nggak suka pun, kamu tetap harus perbaiki nilai kamu! Memangnya kamu mau nggak lulus SMA, Eliora Estella?”

Eliora tahu, kalau ibunya sudah menyebutkan namanya secara lengkap seperti itu, artinya ucapannya sudah nggak bisa dinego apalagi dibantah. Pada akhirnya, Eliora hanya bisa menghembuskan napasnya sembari menambah stok kesabaran pada dirinya.

“Mulai besok, guru les privat kamu akan diganti lagi. Mama nggak mau mendengar protes apalagi penolakan dari kamu ... dan hasil ujian kamu setelah ini sudah harus bagus, setidaknya nilai lulus!”

“Ya, ampun, Ma. Harus banget tukar guru privat lagi?” tanya Eliora dengan nada nggak percayanya. “Lagi pula, memangnya Mama bisa ketemu sama guru barunya secepat ini?” lanjut gadis itu bertanya.

“Bisalah. Kenapa nggak?” balas sang ibu ringin. “Lah wong orangnya cuma tinggal di depan rumah kita kok.”

“HAH?!” Eliora nggak dapat menahan pekikan yang keluar dari mulutnya. “Maksud Mama, gurunya Ra—Raven si om-om itu?” lanjut gadis itu dengan matanya tiba-tiba membesar.

“Iya, mulai besok, guru privat kamu adalah Raven, anaknya Tante Utami.” Setelah berkata demikian, panggilan itu langsung diputuskan secara sepihak oleh ibu Eliora.

Perasaan campur aduk datang menghampiri Eliora setelah gadis itu melemparkan ponselnya di atas tempat tidur.

“Tampan, matang, dan pinter, sih, udah nggak mungkin diragukan,” gumam Eliora pada dirinya sendiri sembari berjalan mondar-mandir di ujung tempat tidurnya seperti setrikaan. “Tapi ... mana bisa aku tahan sama sikapnya yang kayak es batu dan mulutnya yang sepedas cabai Carolina Reaper itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status