Share

Head Over Heels - Part 2

“Permisi, Mbak.” Suara itu menarik Eliora kembali ke dunia nyata. Tubuh gadis itu tersentak kecil.

“Majikan Mbak ada di rumah?” lanjut pria yang berada di hadapan Eliora itu bertanya.

Eliora mengernyitkan kening dan hidungnya dengan ekspresi wajah yang tampak bingung. Gadis itu sudah hendak menyemburkan omelan pada pria berkemeja itu Namun, kalimat Eliora tertahan di ujung lidah ketika pria itu menyodorkan sebuah kotak kue dari bakery ternama di kota ini pada gadis itu.

“Apa ini?” tanya Eliora sebelum menerima sodoran kotak kue tersebut.

“Ini ada kue dari saya sebagai salam perkenalan, Mbak. By the way, perkenalkan nama saya Raven, tetangga baru di seberang sana,” tunjuk pria yang kini Eliora ketahui bernama Raven. Pria itu kemudian menunjuk rumah barunya yang berada di seberang sana dengan jari telunjuknya.

“Semoga majikan Mbak suka, ya. Kalau begitu, saya balik dulu, Mbak. Permisi,” ujar Raven kemudian langsung membalikkan tubuhnya untuk keluar dari area rumah Eliora tanpa mau repot-repot menunggu balasan dari mulut gadis itu.

Tersadar dari lamunannya sendiri, Eliora pun sontak membelalakkan matanya. “Hei! Siapa yang kamu bilang majikan? Kamu kira aku pembantu di sini, hah?!” pekik Eliora nggak terima. Namun, suara gadis itu bagaikan sebuah angin lalu bagi Raven karena pria itu sudah berjarak lumayan jauh dari tempat Eliora berdiri.

Dengan ekspresi wajah sebal, Eliora menutup pintu utama rumahnya dengan sedikit bantingan. Suara debuman pintu yang lumayan keras terdengar di seluruh ruang tamu rumah Eliora sampai gadis itu sendiri terjengkit kaget dan meringis kecil.

Eliora melangkah menuju area dapur yang terletak setelah ruang tamu, gadis itu kemudian meletakkan kotak kue yang diberikan oleh Raven tadi ke atas meja.

“Untung aja ganteng. Kalau nggak mah udah aku sembur pakai seluruh nama hewan di kebun binatang tadi,” gumam Eliora pada dirinya sendiri sebelum beranjak menaiki anak tangga untuk menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas.

*

Entah pukul berapa, Mbok Marni membangunkan Eliora dengan cara menepuk pelan pundak gadis itu. Eliora yang diganggu tidurnya itu pun mengerang di atas tempat tidur dengan mata yang setengah terbuka.

“Mbok Marni?” gumam Eliora ketika mendapati sosok wanita paruh baya yang sudah menjaganya sejak 18 tahun yang lalu sedang berdiri di hadapannya dengan tangan yang memegang sebuah kue ulang tahun.

“Selamat ulang tahun, Non Ella. Semoga setiap tahunnya, Non diberkati oleh Tuhan dan diberi kebahagiaan oleh-Nya,” kata Mbok Marni dengan nada yang terdengar tulus. Wanita paruh baya itu selalu berharap kebagiaan akan datang menghampiri anak majikannya ini. Meskipun Eliora difasilitasi dengan barang-barang dan pelayanan yang mewah, tetapi gadis itu sangat merasa kesepian di rumah besar ini. Jika Dewi—pekerja yang bertugas untuk mengurus cucian pakaian dan Intan beserta Pinem—pekerja yang bertugas untuk membersihkan rumah sudah pulang, maka hanya tersisa Eliora dan Mbok Marni saja di rumah tersebut.

“Maaf, ya, kalau kuenya Mbok kasih jam segini. Soalnya Mbok baru sempat pesan dari layanan ojek o****e,” jelas Mbok Marni melanjutkan.

“Nggak apa-apa, Mbok. Terima kasih, ya, Mbok, udah selalu ingat ulang tahunnya Ella,” balas Eliora dengan gumaman yang masih sangat jelas terdengar karena kamarnya yang benar-benar sunyi, sepi, dan senyap.

Mbok Marni mengangguk dan tersenyum pada Eliora. “Ayo, buat doa sebelum lilinnya ditiup, Non,” saran Mbok Marni yang langsung disetujui oleh Eliora.

Tuhan, doa Ella masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ella berharap, semoga tahun ini, Tuhan akan mengirimkan orang yang bisa melimpahi Ella dengan kebahagiaan dan perhatian seperti yang Ella inginkan selama ini, doa Eliora di dalam hati dengan kedua tangan yang menangkup di depan dadanya.

Setelah membuka matanya, Eliora segera meniup lilin berangka 18 yang tertancap di atas kue sampai seluruh apinya padam.

“Non mau makan kuenya sekarang atau besok aja?” tanya Mbok Marni.

“Besok aja, Mbok. Kalau Mbok mau makan, silakan dimakan aja dulu nggak apa-apa,” pesan Eliora yang diangguki oleh Mbok Marni sebelum wanita paruh baya itu meninggalkan kamar bernuansa biru dan merah muda tersebut.

Saat Eliora melirik ke atas jam beker yang berada di atas meja nakas, matanya menemukan waktu yang masih menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Udah empat jam juga aku tidur setelah makan malam tadi,” gumam Eliora. Sepertinya aku nggak akan bisa tidur lagi, lanjut gadis itu di dalam hati.

“Mending aku nonton drama Cina aja. Toh, aku juga nggak tahu mau ngapain lagi,” putus Eliora kemudian meraih ponselnya yang berada di sebelah jam beker.

Entah berapa jam Eliora terlarut dalam tontonannya sampai-sampai nggak menyadari kalau matanya sudah terpejam, sementara ponsel milik gadis itu sudah tergeletak di atas dadanya dalam keadaan yang masih menyala.

*

Senin pagi di rumah Eliora diisi dengan kerusuhan di kamar gadis itu. Jam beker gadis itu entah kenapa nggak berbunyi seperti biasanya sehingga Eliora telat bangun tiga puluh menit dari waktu yang ia atur.

“Mbok Marni ....” panggil Eliora dari ambang pintu kamarnya.

Mbok Marni yang sedang menyiapkan sarapan di bawah langsung bergegas naik ke atas untuk menemui anak majikannya tersebut.

“Ya, Non?” tanya Mbok Marni.

“Mbok Marni kok nggak bangunin aku, sih?” tanya Eliora dengan ekspresi wajah yang cemberut.

“Maaf, Non. Mbok kira Non Ella udah bangun karena biasanya Non selalu bangun lebih cepat daripada bunyi jam beker,” ujar Mbok Marni memberi alasan. Pasalnya, wanita paruh baya itu benar-benar nggak tahu kalau Eliora telat bangun karena biasanya setiap kali ia memasuki kamar gadis itu, Eliora selalu sudah siap dengan seragamnya atau minimal sudah masuk ke kamar mandi untuk membersihka diri.

“Oh, oke, nggak apa-apa, Mbok,” balas Eliora memaklumi ucapan Mbok Marni, pengasuh yang sudah mengasuhnya sedari kecil. “Terus ini ... dasi upacaraku di mana, ya, Mbok?” tanya Eliora melanjutkan seraya mencari-cari keberadaan benda yang dimaksud olehnya di dalam lemari pakaian.

“Di lemari nggak ada, Non?” tanya Mbok Marni.

“Nggak ada. Mbok,” jawab Eliora. “Ini udah aku cari-cari dari tadi,” lanjut gadis itu.

“Mungkin Dewi lupa bawa cucian kering untuk disusun di kamar. Kalau gitu, Non tunggu di bawah aja biar Mbok yang ambilin di atas,” usul Mbok Marni.

Eliora menolak usulan Mbok Marni dengan gelengan pada kepalanya. “Nggak usah, Mbok. Biar aku sendiri aja yang ambil di atas,” putus Eliora kemudian keluar dari kamar untuk menuju ke lantai 3 di mana tempat cucian baju berada dan meninggalkan Mbok Marni di kamar gadis itu.

Eliora berlari kecil menaiki tangga. Kaki gadis itu naik dua anak tangga pada setiap langkahnya. Akibat terlalu aktif bergerak, napas Eliora menjadi ngos-ngosan saat ia mencapai ruang laundry. Dengan gerakan cepat, Eliora mencari dasi upacaranya di dalam tumpukan baju-baju yang belum terlipat.

“Huh, untung ada,” gumam Eliora setelah menemukan dasi berbentuk pita bewarna abu-abu yang ia pakai setiap hari Senin saat ada upacara bendera di sekolahnya.

Sama seperti sebelumnya, Eliora kini menuruni anak tangga dengan cepat. Kakinya hampir saja pada anak tangga terakhir. Namun, untungnya gadis itu nggak sampai berakhir terjerembab di atas lantai keramik dengan mengenaskan.

“Mbok, ini bekal punyaku, ‘kan?” tanya Eliora dengan jari yang menunjuk pada sebuah kotak makan berwarna kuning yang berada di atas meja makan.

Mbok Marni yang sedang mencuci sayuran di tempat pencucian pun sontak membalikkan tubuhnya untuk memastikan kotak yang dimaksud oleh Eliora.

“Iya, benar, Non,” ujar Mbok Marni dengan anggukan kepala.

“Oke, kalau gitu aku pergi dulu,” balas Eliora lalu melambaikan tangannya. “Dadah, Mbok!” lanjut gadis itu sebelum berlalu dari area ruang makan untuk berjalan menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumahnya.

Saat Eliora membuka pintu utama rumahnya, sebuah mobil sedan berwarna hitam sudah terparkir di sana. Tampak Pak Santo—supir pribadinya sudah duduk di balik kemudi dan menghidupkan mesin kendaraan tersebut.

“Udah siap, Non?” tanya Pak Santo sembari menolehkan kepalanya beberapa derajat agar dapat melihat wajah Eliora.

“Udah, Pak. Tolong agak ngebut sedikit, ya. Keburu telat nanti,” pinta Eliora seraya menganggukkan kepalanya.

“Oke, Non. Siap laksanakan,” balas Pak Santo kemudian melajukan mobil yang mereka tumpangi untuk membelah jalan raya.

“Oh, ya, Non. Bapak hampir lupa ....”

“Selamat ulang tahun, ya, Non. Panjang umur dan sehat selalu. Maaf kalau Bapak ucapinnya telat sehari, ya, Non.” Pak Santo menatap sosok anak majikannya yang duduk di belakang sana dari kaca spion.

Dari pantulan kaca tersebut, Pak Santo dapat melihat senyum yang terpatri di bibir Eliora. “Makasih, Pak Santo, nggak apa-apa kok,” balas Eliora senang. Meskipun Pak Santo adalah karyawan kedua orang tuanya, tetapi beliau nggak pernah lupa mengucapkan selamat ulang tahun pada Eliora selama 3 tahun terakhir. Entah dari mana pria paruh baya itu tahu—mungkin dari Mbok Marni, tetapi tetap saja hal itu membuat Eliora senang karena merasa diingat kehadirannya.

*

Sepertinya kesialan menimpa Eliora lagi pagi ini. Setelah gadis itu telat bangun beberapa jam yang lalu, kini mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba tersendat-sendat di tengah jalan.

“Waduh, Non. Sepertinya ban mobilnya pecah iki,” ujar Pak Santo.

“Oh, iya, Pak? Coba dicek dulu, Pak, atau setidaknya dipinggirkan dulu mobilnya biar nggak di tengah jalan begini,” balas Eliora.

Pak Santo langsung menuruti ucapan Eliora dan meminggirkan mobil sedan milik majikannya ke pinggir jalan agar nggak menghalangi laju mobil yang lain. Pria paruh baya itu kemudian mematikan mesin mobil dan keluar untuk mengecek keadaan ban sebelah kiri di bagian depan. Eliora mengikuti Pak Santo yang keluar dari mobil setelah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

“Benaran pecah bannya, Pak?” tanya Eliora seraya meneliti ban yang tampak koyak dan kempes di hadapannya.

Pak Santo menganggukkan kepalanya. “Iya, Non. Jadi ... Non gimana ke sekolahnya?” tanya pria paruh baya itu.

“Hari ini aku nggak masuk, deh, Pak. Jangan bilang-bilang sama Mama Papa, ya, nanti aku dimarahin,” pinta Eliora bergenosiasi dengan Pak Santo.

Pak Santo tampak ragu. Namun, pria paruh baya itu akhirnya menganggukkan kepalanya, menyetujui permintaan anak semata wayang majikannya ini.

Eliora bersorak di dalam hati. Yes, cabut lagi, batin gadis itu sembari terbahak bahagia di dalam sana.

“Oke, aku pergi dulu, ya, Pak Santo. Nanti aku pulang sendiri, jadi nggak usah dijemput,” ujar Eliora sembari mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Gadis itu sedang memesan layanan transportasi o****e agar bisa pergi ke tempat tujuannya.

“Kalau gitu, Bapak hati-hati, ya,” lanjut Eliora sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah ia pesan dan meninggalkan Pak Santo yang sedang menelepon mekanik untuk membantunya menukar ban mobil tersebut.

*

Eliora mendorong pintu masuk sebuah kedai kopi ternama yang berada di tengah kota. Kaki gadis itu bahkan belum melangkah masuk, tetapi aroma kopi yang pekat sudah menyerbu indra penciumannya.

“Silakan, mau pesan apa, Kak?” tanya seorang barista berjenis kelamin perempuan yang berdiri di balik meja kasir.

Caramel Java Chip ukuran venti satu, Kak,” jawabku sembari mengeluarkan selembar kartu debit dari dompet. “Sama tambah New York Cheesecake-nya satu juga, ya,” lanjutku.

“Oke, Kak. Atas nama siapa, ya, minumannya?” tanya barista itu kemudian.

“Ella.”

“Pembayaran pakai cash atau debit, ya?”

“Debit aja.” Eliora menyerahkan kartu debit berwarna emas yang berada di tangannya dan langsung diterima oleh barista itu.

Setelah pembayaran selesai, Eliora diminta untuk menunggu dan mengambil pesanannya di tempat yang sudah disediakan ketika namanya dipanggil nanti.

“Kak Ella ...,” seru barista dari balik meja.

Eliora yang sejak lima menit sebelumnya sudah berdiri di depan meja pengambilan pesanan pun maju satu langkah untuk menerima pesanan yang sudah dibuat oleh barista tadi.

“Silakan menikmati, Kak Ella.”

“Makasih.” Eliora meraih piring dan cup plastik yang berisi pesanannya lalu hendak berjalan menaiki tangga menuju lantai atas kedai kopi ini. Namun, langkah gadis itu terhenti ketika matanya menangkap punggung yang familiar di dalam benaknya. Sayangnya, Eliora nggak mampu mengingat siapa pemiliknya, ditambah lagi dengan posisi duduk pemilik punggung tersebut yang membelakanginya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status