Share

Head Over Heels - Part 5

“Loh? Uangnya kok belum dikasih, Non?” berondong Mbok Marni bertanya ketika menemukan anak majikannya itu kembali masuk ke dalam rumah dengan wajah lesu.

Pasalnya saat pulang tadi, Eliora langsung meletakkan dua kantungan plastik di meja ruang tamu dan segera berlari ke kamarnya. Gerakan gadis itu bahkan terlihat seperti dikejar oleh setan saking tergesa-gesanya. Tentu saja Mbok Marni penasaran dengan apa yang terjadi pada anak yang sudah diasuhnya sejak kecil itu.

Beberapa saat kemudian, Eliora pun turun dengan membawa beberapa lembar uang di tangannya. Mbok Marni menanyakan kenapa Eliora terburu-buru dan untuk apa uang tersebut. Eliora hanya menjawab untuk membayar utangnya pada si Om Tetangga Baru mereka di seberang sana.

Mbok Marni yang mendengar jawaban itu pun kebingungan. Namun, belum sempat ia bertanya lebih banyak, Eliora sudah lebih dulu berlalu dari hadapannya dan keluar dari rumah. Maka dari itu, Mbok Marni pun memutuskan untuk bertanya lagi setelah Eliora kembali.

Sekembalinya Eliora, ternyata uang yang tadi dibawanya masih tetap berada di tangannya. Gadis itu menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Mbok Marni. Gerakan kepala Eliora membuat Mbok Marni mengernyitkan keningnya sejenak karena nggak mengerti dengan arti dari gelengan tersebut.

“Orangnya udah keburu pergi duluan, Mbok,” jawab Eliora sembari memasukkan lembaran uang berwarna merah muda ke dalam saku baju seragamnya.

Oalah, Mbok kirain kenapa toh. Nanti sore ‘kan masih bisa dikasih kalau orangnya udah balik, Non,” balas Mbok Marni lalu terkekeh kecil. “Memangnya Non Ella nggak ke sekolah? Tadi Mbok lihat Non pulang bawa plastik isi belanjaan,” lanjut wanita paruh baya itu bertanya.

Lagi-lagi, Eliora menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. “Nggak. Tadi ban mobil kempes, jadi aku bolos aja, deh,” jelas gadis itu.

“Ya ... tapi tetap aja, Mbok, jadi nggak enak rasanya,” keluh Eliora melanjutkan.

Mbok Marni menganggukkan kepalanya beberapa kali. Wanita paruh baya itu akhirnya mengerti dengan apa yang baru saja terjadi pada Eliora. “Jadi ... ini bahan-bahan jadi dimasak-kah, Non?” tanya Mbok Marni dengan jari yang menunjuk ke arah belakang, lebih tepatnya pada barang-barang belanjaan Eliora yang sudah dipindahkannya ke meja pantry.

Eliora menggelengkan kepalanya lalu menjawab, “Tolong simpan aja dulu, ya, Mbok. Aku jadi nggak selera masaknya.”

Setelah berkata demikian, Eliora pun berlalu dari hadapan Mbok Marni dan menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas.

*

Raven menyugar rambutnya ke belakang dengan tangan sembari menyandarkan punggungnya pada kursi empuk yang berada di balik meja kerjanya. Pria itu baru saja menyelesaikan acara mengajarnya dan kini jam sudah menunjukkan pukul 3 sore.

Seharusnya, Raven sudah bisa pulang ke rumahnya karena jadwal mengajarnya sudah selesai. Namun, itu hanya ada di dalam angan pria itu saja karena ada hal yang menahannya sehingga ia nggak bisa pulang ke rumah saat ini.

Beberapa jam yang lalu, salah satu rekan team teaching-nya, mengirimkan pesan pada Raven di tengah-tengah acara mengajarnya. Pria itu sebenarnya sudah merasa terinterupsi karena pesan tersebut mengganggu pelajarannya, tetapi saat membaca pesan di dalamnya, Raven nggak tahu harus bereaksi seperti apa.

Rekan team teaching-nya meminta Raven untuk menggantikannya pergi dinas ke luar kota karena istri dari rekannya tersebut tiba-tiba akan melakukan persalinan sore nanti. Bahkan di depan sekarang, sudah ada sebuah map yang berisi surat-surat perizinan dari ketua program studi, kepala bagian tata usaha, dekan dan rektor.

“Kenapa mesti mendadak begini, sih?” gumam Raven yang sebenarnya sedikit keberatan dengan dirinya yang ditunjuk untuk terbang ke Jakarta oleh rekannya dalam rangka penggusulan anggran dan pengurusan akreditasi program studi. Meskipun begitu, Raven juga nggak bisa menolak permintaan rekannya tersebut karena rekannya itu adalah senior yang lumayan dekat dengannya saat kuliah dulu.

Setelah Raven memberikan surat izinnya ke setiap bagian akademik, pria itu pun lantas berjalan menuju area parkiran kampus. Sebenarnya isi surat izin itu hanya untuk memberitahukan bahwa Raven yang mewakilkan rekannya untuk terbang ke Jakarta. Jadi, ia nggak perlu menunggu persetujuan bagian akademik lagi karena rekannya sudah mengantunginya sejak lama.

Raven membuka bagasi mobil untuk mengeluarkan sebuah koper berukuran kabin dan memindahkan benda itu ke kursi penumpang bagian depan. “Untung aku selalu bawa koper urgent begini,” gumam Raven pada dirinya sendiri. Pria itu memang selalu menyediakan payung sebelum hujan, apalagi setelah mendengar rekan-rekan dosennya yang kerap diutus secara mendadak untuk dinas ke luar kota, maka Raven berinisiatif menyiapkan sebuah koper dan akhirnya benda itu benar-benar berguna pada hari ini.

Setelah Raven duduk di balik kemudi, pria itu menelepon ibunya terlebih dahulu sebelum melajukan kendaraan bermotor itu. Pada deringan ketiga, panggilan Raven diterima oleh sang ibu.

“Halo, Ma?” sapa Raven.

“Ya, halo. Kenapa?”

“Aku mau minta tolong Mama suruh tukang kebun atau supir Mama.”

“Minta tolong apa itu, Nak?” tanya Utami, ibunda Raven.

“Gini, Raven hari ini tiba-tiba harus dinas ke Jakarta. Jadi, di rumah ‘kan nggak ada orang, bisa tolong suruh tukang kebun atau supir Mama buat ke rumah untuk bukain lampu sore nggak?” tanya Raven setelah menjelaskan permasalahannya.

“Oh, bisa. Eh, tapi gimana caranya mereka masuk ke rumah kamu? Masa Mama kasih tau kamu sembunyiin kunci rumah di bawah rak sepatu?”

Mendengar pertanyaan dari sang ibu, Raven pun menepuk pelan keningnya lalu mengurut bagian pelipis yang tiba-tiba berdenyut. Bisa-bisanya ia lupa dengan masalah kunci rumah.

“Aduh ... gimana, ya?” gumam Raven seraya memutar otaknya untuk mencari solusi.

“Udah, udah. Gini aja daripada pusing-pusing. Nanti setiap sore Mama yang akan ke rumah kamu buat bukain lampunya. Gimana?” tawar Utami.

Seulas senyum tipis yang penuh kelegaan terpatri di bibir Raven. “Oke ... tapi, Mama pasti mau minta sesuatu, ‘kan? There ain’t no such thing as a free lunch,” ujar Raven yang sudah tahu maksud terselubung dari tawaran sang ibu.

Terdengar kekehan dari seberang sana. “Kamu tau banget, ya ...,” seloroh Utami. Raven yang mendengar ucapan ibunya pun sontak merotasikan bola matanya sebelum melajukan mobilnya dan mengganti panggilan di ponselnya menjadi mode speaker.

 “Aku mah udah hafal gelagat Mama,” balas Raven. “Mau minta apa memangnya?” lanjut pria itu bertanya.

Utami kembali terkekeh mendengar ucapan putranya. “Ada, deh. Mama belum kepikiran, nanti baru Mama tagih, deh, kalau udah tau mau minta apa,” jelas Utami.

“Kalau gitu, Raven tutup dulu, ya. Lagi nyetir soalnya,” ujar Raven. Setelah mendapat persetujuan dari sang ibu, Raven pun menekan ikon merah untuk memutuskan panggilan tersebut.

*

Entah sudah berapa kali sejak 7 jam yang lalu, Eliora mengintip rumah di seberang sana dari balkon kamarnya. Gadis itu sedang menunggu kepulangan pemilik rumah itu. Namun, batang hidung Raven nggak kunjung tampak padahal waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.

Sembari bersandar pada teralis besi yang mengelilingi balkon kamarnya, Eliora menengadah dan menatap pada langit yang sudah mulai menggelap. “Huft ... masih belum pulang juga ternyata,” gumam Eliora bermonolog pada dirinya sendiri.

Seekor burung melintas di hadapan Eliora dan tertangkap oleh mata gadis itu. Eliora mengulurkan tangannya dengan gerakan seperti hendak menggapai hewan bersayap tersebut. Namun, sedetik kemudian, gadis itu kembali menarik tangannya.

“Gimana rasanya jadi burung, ya? Pasti seru ... bisa terbang ke mana aja dan bergerak bebas di luar saja,” gumam Eliora lagi.

Suara deru mesin mobil di bawah sana membuat Eliora membalikkan tubuh dan mengintip ke bawah untuk memastikan siapa pemilik mobil itu. Kedua mata gadis itu menemukan sebuah mobil Alphard berwarna putih yang terparkir di depan rumah tetangganya, Raven.

“Eh ... itu bukan Om Raven-kah?” ujar Eliora bertanya pada dirinya sendiri karena mobil putih itu bukanlah yang biasanya digunakan oleh Raven. Namun, Eliora mengabaikan fakta tersebut dan memilih untuk segera berlari menuruni tangga dan menemui tetangganya di seberang sana. Tentunya nggak lupa dengan delapan lembar uang seratus ribu di dalam saku piyamanya.

“Permisi ...” ucap Eliora dengan nada suara yang kecil. Kini gadis itu sedang berdiri di depan pintu pagar rumah Raven sembari menatap ke dalam sana. Namun, sosok yang Eliora cari nggak tampak di sana, melainkan hanya ada seorang ibu-ibu yang sedang berjongkok sembari celingak-celinguk untuk mencari sesuatu di bawah karpet yang terbentang di pintu utama rumah tersebut.

Utami yang mendengar suara dari depan sana pun bangkit dari posisinya kemudian berbalik badan untuk menatap pada pemilik suara itu. Mata wanita berumur 50 tahun itu menemukan sesosok gadis muda yang berdiri di depan pagar rumah putranya. Utami yang awalnya sedang mencari-cari kunci di bawah karpet rumah Raven pun menghentikan aktivitasnya dan berjalan menuju pagar untuk menghampiri Eliora.

“Cari siapa, ya, Dik?” tanya Utami setelah membuka pintu pagar rumah Raven yang nggak terkunci karena rumah milik putranya ini berada di dalam komplek perumahan.

“Hmn ... sa—saya cari Om Raven, Bu. Orangnya ada-kah di dalam?”

Utami terkekeh kecil. Kekehan tersebut membuat Eliora mengerutkan keningnya. Ada yang lucu dari ucapanku barusan? gumam gadis itu bertanya pada dirinya sendiri.

“Oh, Ravennya lagi nggak di rumah. Adik ini ada keperluan apa, ya, sama putra saya?” tanya Utami yang mulai penasaran dengan maksud kedatangan gadis belia dengan piyama bebek yang sedang berdiri di hadapannya saat ini.

“Oh ... Om Raven anaknya ibu toh,” gumam Eliora tanpa sadar. Gadis itu terperanjat sembari menutup bibirnya dengan tangan setelah menyadari apa yang baru saja ia pebuat beberapa detik yang lalu.

Lucu sekali anak gadis ini, batin Utami di dalam hati.

“Aduh ... maaf, maaf, Bu,” lanjut Eliora tergagap.

Utami tersenyum lembut pada Eliora sembari menepuk lengan atas gadis itu beberapa kali. “Kamu lucu banget, sih,” seloroh Utami. “Ayo, kita masuk ke dalam,” sambung wanita itu lalu menarik kecil tangan Eliora untuk mengikutinya.

Eliora menatap tangannya yang ditarik oleh Utami dengan mata yang membola. Namun, gadis itu nggak kuasa menolaknya. Lagi pula, Eliora juga nggak tahu cara yang sopan untuk melepaskan genggaman tangan wanita yang seumuran dengan ibunya itu dari tangannya. Pada akhirnya, Eliora hanya bisa pasrah ketika dirinya dibawa oleh Utami untuk masuk ke dalam perkarangan rumah Raven.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status