Namira menatap hampa langit-langit kamar di atasnya. Mendekap erat selimut menutupi sebagian tubuh telanjangnya. Menghitung tiap ketukan jam dinding yang terasa nyata berirama di tengah kesenyapan ruang. Berusaha memancing rasa kantuk agar segera menjemput ia ke dalam lelap yang dibutuhkan.
Namun, suara-suara bergema di kepala seolah tak mau berhenti merongrong dan mengusik tiada henti. Membuat ia selalu kembali terjaga dengan hujaman rasa sakit yang sama. Rasa sakit yang terus-menerus meneriakan cacian, memukul harga dirinya hingga ke titik paling rendah dan hina.Perempuan cacat, anak tidak tahu diri, pembawa sial, wanita mandul tidak berguna! Kalimat demi kalimat itu terasa begitu nyata bergaung di telinganya. Merasuk ke sudut terdalam untuk mengiris-ngiris hatinya hingga mati rasa. Kesakitan dan keputusasaan itu hingga tanpa sadar kembali meluruhkan air mata turun menjejaki pipinya sekali lagi.Berbalik ke sisi berlawanan, Namira merengkuh tubuhnya sendiri dalam tangisan frustasi. Bahu yang turun naik semakin cepat mau tak mau meloloskan rintihan pedih yang sukar untuk ia tangani.Di tengah isak tangis meluap tak terkendali, ia dapat merasakan sentuhan jemari seseorang dari balik punggungnya, mendarat untuk menghapus jejak aliran basah di sana. Cukup perlahan dan hati-hati, seakan tahu kerapuhannya bukan sesuatu yang mudah ditangani.Pria yang kemudian memeluknya dalam sunyi itu tak memberi kata-kata menenangkan hanya untuk sekadar membuat ia merasa lebih baik. Namun entah kenapa, usapan telapak dingin dengan bibir terkatup rapat tersebut mampu menghadirkan sedikit kelegaan yang ia cari.Ia tahu, untuk ukuran sosok tak tersentuh seperti Andreas Pramoedya, menunjukkan kehadirannya dalam kesenduan orang lain merupakan hal yang teramat langka. Pria yang selalu berpijak pada dunianya sendiri itu terlalu sering membangun benteng tinggi terhadap orang-orang di sekitarnya, benteng yang terlalu kokoh untuk bisa ditembus oleh siapapun, termasuk bagi seorang Namira Sanjaya sekalipun. Tak peduli meski usia pernikahan lima tahun mereka telah begitu lama menjebak keduanya di bawah atap dan di atas ranjang yang sama. Nyatanya, Andreas Pramoedya masih tetap menjadi misteri tersendiri baginya.Sama seperti saat ini, ketika ia meminta kesempatan pada pria itu untuk sedikit meruntuhkan dinding pertahan tinggi tersebut, agar dirinya dapat menjadikan sosok itu sebagai tempat pelarian sementara dari segala kepenatan. Tanpa diduga, Andreas mengabulkan permintaan yang ia inginkan tanpa konfrontasi.Malam ini memang bukan sentuhan terintim pertama bagi mereka. Lima tahun kebersamaan dalam naungan pernikahan, tentu tak membuat mereka berdua memilih hidup selibat. Percikan gairah itu tetap ada, mengingat kebutuhan biologis keduanya sebagai wanita dan pria dewasa bukan sesuatu yang mampu dielak.Tapi semua tak lebih dari sentuhan sebatas raga. Tak sedikitpun ada rasa yang ingin turut berperan di dalamnya. Sejak awal Namira tahu dengan pasti, hasil akhir seperti apa yang akan ia dapatkan jika nekat berusaha meraih hati pria itu. Hanya luka tambahan tak berujung lah yang akan menjadi bayarannya.Namira pernah terpikirkan untuk mencoba mengenal seorang Andreas Pramoedya sepenuhnya. Di pertemuan pertama mereka, usai kedua belah pihak keluarga mengusungkan niat perjodohan, tidak sulit bagi Namira untuk jatuh hati pada sosok mengagumkan seperti Andreas. Pria itu tampak punya kharismanya sendiri di tengah sikap dingin dan tertutup yang kerap ia tampilkan di depan orang-orang.Awalnya Namira cukup percaya diri kalau bisa saja Andreas adalah obat paling manjur untuk mengurangi kesakitan dan luka yang ia cari selama ini, tapi siapa sangka bahwa setelah mereka cukup saling mengenal dalam mahligai rumah tangga, Andreas ternyata tak lebih baik dari dirinya. Pria itu bahkan menyimpan kehancuran dan kesakitan sendiri yang jauh lebih besar dan terpendam.Masih melekat di ingatan Namira ketika pria itu memberi ultimatum terlebih dulu pada hari pertama usai janji pernikahan mereka di atas altar, ultimatum agar Namira tidak mencoba melewati garis batas yang seharusnya."Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa, Namira. Selain memberi nafkah materi dan bertanggungjawab pada kebutuhan hidup kamu, tidak ada hal lain yang bisa saya berikan, bahkan termasuk menjanjikan hati saya. Karena saya sudah lama kehilangan bagian itu, dan tak ada lagi yang tersisa untuk dibagi pada orang lain.""Kita lakukan dulu sesuai keinginan kedua keluarga. Kalau suatu saat nanti kamu jatuh cinta dan menemukan seseorang yang tepat, kamu bisa minta saya untuk melepaskan kamu saat itu juga."Mulai detik itu pula Namira tahu, bahwa mereka berdua tidak lebih dari dua kapal karam yang dipaksa berlayar di tengah-tengah laut lepas. Sudah rapuh dan tak tertolong lagi. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu untuk hanyut tenggelam ke dasar samudra bersama-sama.Namira balas menggenggam tangan yang masih menyapu lembut jejak lembab di kedua pipinya, ia mengecup sejenak telapak besar itu. Lalu membawanya ke dalam lingkupan hangat jari-jemarinya sendiri. Menggenggam erat di sana, seakan tangan dingin lelaki itu adalah satu-satunya pegangan terakhir yang bisa menahannya dari kejatuhan lebih dalam lagi.Karena bersama Andreas saat ini adalah waktu menjeda luka terbaik yang bisa ia miliki. Meskipun hanya semu dan sementara, setidaknya cukup untuk memberikan ia sedikit kelegaan.***Sekali lagi ia terpaku kembali di tempat dan ruang waktu yang sama. Mimpi tersebut masih persis serupa setiap kali datang menyapa di sela-sela tidur lelapnya. Kedua kaki kecil itu perlahan turun menapak ubin dingin di bawahnya. Temaram dari lampu nakas, tak banyak membantu menyesuaikan penglihatannya di pertengahan malam.Sama seperti rol film yang selalu terputar sesuai alur, tubuh ringkih nan ceking anak lelaki itu seolah mempunyai kehendaknya sendiri. Memberi perintah bebas pada otak yang jelas menolak untuk mengikuti langkah-langkah tertatih yang tubuhnya inginkan.Derit pintu dibuka yang bergesekan dengan lantai, terdengar cukup melengking mengusik di tengah kesenyapan ruang. Dari kamar kecil tempat tubuh mungil itu melongok keluar, tatapan lurusnya tertuju pada sebuah kamar berpintu ganda, terletak tepat berseberangan dari tempat ia berpijak.Suara samar-samar piringan hitam yang menyenandungkan melodi lawas, mampir menyapa pendengarannya. Dari pencahayaan ruangan yang masih tampak terang-benderang, menandakan bahwa si pemilik kamar mungkin saja kini sudah terlelap dibuai senyap.Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang menjadikan kegelapan malam sebagai persembunyian ternyaman, pemilik kamar itu justru tak bisa mengistirahatkan kedua matanya jika suasana ruang berubah terlampau gelap.Namun anak lelaki itu tahu, malam kali ini sangat berbeda dari malam yang sudah-sudah. Suara piringan hitam yang begitu familiar dan situasi yang sudah sangat dikenalinya ini, bukan pertanda yang biasa.Anak itu berusaha memaku kuat-kuat kedua kakinya agar tak beranjak sedikitpun dari posisi tempat ia berdiri sekarang. Memberikan perlawanan sekuat yang ia bisa agar kakinya berhenti memberontak untuk meneruskan langkah.Namun sekali lagi, di alam bawah sadar sini, anak itu kehilangan hak penuh atas kendali tubuhnya. Sekuat apapun ia melawan, langkah terseretnya menunjukkan bahwa semua usaha yang ia lakukan hanyalah sia-sia belaka.Seperti alur cerita yang sudah tersusun rapi, tidak hanya kedua kakinya yang dituntun paksa menghampiri pintu tertutup itu, tangannya kini juga ikut diarahkan terulur menyentuh tepian gagang. Hanya butuh satu tarikan ringan agar pintu tertutup itu terbuka sepenuhnya. Namun mewujudkan perintah demikian, adalah hal terakhir di dunia yang ia inginkan.Tapi alam bawah sadar tampaknya masih sekeji itu mempermainkannya lebih jauh. Tak peduli getar hebat yang melingkupi sekujur tubuh cekingnya, gerakan dari tangan yang dipaksa menyentuh gagang, sepertinya tak ingin memilih tinggal diam saja di sana.Sampai ketika pintu itu perlahan bergerak membuka penuh, lutut lemas itu sudah lebih dulu jatuh tersungkur menghantam ubin, bersamaan dengar getar tubuh kian hebat yang menggiringnya dalam rasa sesak tak tertahankan. Tangan mungil itu terkepal begitu erat, seiring dengan air mata yang mengalir deras tiada jeda.Anak itu kembali terisak tanpa suara ketika pandangan mereka kembali bertemu untuk kesekian kalinya. Tatapan yang sejak dulu tak pernah memandangnya penuh cinta dan kehangatan, kini bertambah kian redup begitu hampa, begitu dingin, dan tanpa rasa.Bersamaan dengan alunan piringan hitam yang membuai keremangan malam, wajah seputih kapas dan mata terbuka itu masih setia menatapnya dalam kebungkaman. Tergantung dengan gaun tidur menjuntai tanpa nyawa di atas langit-langit kamar. Detik itu pula si anak kurus ceking akhirnya tahu, bahwa ia benar-benar sudah ditinggalkan.Ya, Andreas kecil yang malang, benar-benar sudah ditinggalkan.Kembali terjebak pada fatamorgana mengerikan di alam bawah sadarnya, Andreas tahu ia tak punya jalan keluar selain terus mengikuti alurnya hingga usai. Kesakitan menyembilu tiap kali mimpi tersebut datang bertandang, selalu menyiksanya dengan rasa pedih yang sama. Titik-titik peluh mulai membanjiri pelipisnya ketika mencoba berebut udara agar sesak yang ada sedikit diredakan. Namun selama ia masih terperangkap di tubuh kurus ceking ini, tak ada yang bisa dilakukannya selain memilih tetap bertahan. Membiarkan rasa sakit turut puas menghantamnya dengan gamblang. Bahkan kedua matanya juga tak kalah ingin berkhianat, memaksanya agar tetap terjaga menyaksikan pemandangan mengerikan yang takdir sajikan. Ia menunggu pasrah dalam luka dan kesakitan, sampai nanti perlahan roda kenangan ini akan segera memudar dengan sendirinya, kemudian pelan-pelan mengantarkan kesadarannya kembali mencumbu dunia nyata. Sapuan lembut di puncak k
Suasana divisi pemasaran yang selalu ramai mendekati jam makan siang, kini tampak lebih riuh dari biasa saat beberapa karyawan wanita terlihat sibuk berkumpul membentuk setengah lingkaran, mengerubungi meja kubikel seseorang yang sedang menampilkan portal berita di laman mesin pencarian. Termasuk di sana ada Mala yang dikenal Rena sebagai teman sebelah kubikelnya, terlihat juga sedang ikut bergabung di antara kerumunan. Mala yang baru menyadari kehadiran Rena ketika wanita itu melangkah memasuki ruang divisi dengan kernyitan heran, tanpa menunggu lama pun segera beralih dari tempatnya, menghampiri Rena dengan pekikan nyaring dan bola mata yang membulat selebar-lebarnya. "Astaga! Kamu dari mana aja, Ren? Satu divisi kita udah dibuat seheboh ini, tapi kamu malah sibuk keluyuran." Rena masih mengerut kening kebingungan dengan tingkah berlebihan Mala. Padahal tidak sampai setengah jam ia meninggalkan kursi kerjanya, tapi begitu kembali ke ruangan, orang-ora
Rena tahu seharusnya ia tidak perlu melibatkan diri ikut hadir di sini, berada di tengah keramaian tamu undangan dengan balutan pakaian mahal, bukanlah hal yang ia inginkan. Tapi kegigihan Mala ternyata jauh lebih besar mengalahkan seluruh rasa enggannya. Gadis itu bahkan tanpa segan mengusik sisa hari sibuknya dengan beberapa kali mengirimkan pesan teror sejak jam pulang kantor, mengatakan secara berulang bahwa ia akan memaksa Rena turut hadir di acara ulang tahun perusahaan dengan cara apapun. Bahkan jika perlu membopongnya langsung dengan piyama tidur dan sandal jepit dari rumah kontrakannya, Mala akan melakukan hal itu dengan sukarela. Rena pikir pesan mengganggu tersebut hanyalah bentuk ancaman kosong belaka, maka ia tak terlalu ambil pusing dari semua teror chat yang masuk memenuhi kontaknya setiap setengah jam sekali. Memilih membuka laptop usai membersihkan diri dari tubuh kotor dan rasa penat, ia justru berniat melanjutkan pekerjaan di layar kerja offi
"Bagaimana keadaan Ibu sekarang?" tanya Rena tanpa berbasa-basi begitu panggilan ke nomor yang dituju berhasil diangkat di seberang sana. Seraya bersandar pada wastafel panjang berbahan marmer di belakangnya, Rena mengatur napas dan kerja normal jantungnya usai diberi serangan panik dari pesan kiriman Kayla yang baru saja masuk ke ponselnya. Suasana toilet convention hall yang ia masuki, terbilang cukup sunyi. Hingga membantunya memberi sedikit privasi dalam pembicaraan khusus ini bersama sang adik. Masih terlihat jelas sisa peluh di sekitar dahi Rena saat ia dipaksa berlari keluar dari aula acara untuk menelepon Kayla, setelah sebelumnya gadis itu mengiriminya kabar lewat pesan chat tentang keadaan ibu mereka yang sempat drop dan dilarikan ke rumah sakit sore tadi. Serangan kekhawatiran mendadak itulah yang membuat Rena bangkit tergesa dari kursinya dan segera berlari kesetanan menuju pintu masuk ruang balairung, mengabaikan pertanyaan Mas Tian dan yang lain s
Selama dua puluh delapan tahun hidup di dunia yang terbiasa memandangnya sebelah mata, Rena tak pernah merasa terhina lebih dari ini. Perkataan Andreas Pramoedya yang masih terngiang-ngiang di telinganya seolah menjadi tikaman tajam yang mengoyak harga dirinya hingga tak tersisa, melucuti kehormatannya sampai ke titik paling rendah dan hina. Rena tahu, tindakan lancang mendengarkan pembicaraan privasi orang lain, apalagi jika menyangkut bagian yang begitu sensitif bagi pemiliknya, bukan hal terpuji dan mungkin dianggap jauh dari kata sopan. Tapi selancang apapun perilaku yang diperlihatkan Rena barusan, bukan alasan yang tepat bagi seseorang seperti Andreas memuntahkan kalimat penghakiman penuh hinaan semacam itu. Bahkan menganggapnya sebagai manusia menjijikkan setara dengan kotoran di pinggir jalan. Ia hanya tidak sengaja melakukan satu kesalahan menyinggung ranah pribadi pria itu, tapi respon yang justru ia terima harus mengantarkannya pada penghinaan terendah yan
Andreas menatap lurus gundukan tanah gembur kemerahan tepat di bawahnya. Matahari yang semakin merangkak naik, belum juga membuat pria itu tergerak beranjak dari tempat semula. Sekalipun orang-orang yang mengikuti prosesi singkat ibadah pelepasan ini, satu-persatu mulai meninggalkan area pemakaman usai mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga dekat yang ditinggalkan, Andreas rupanya masih memilih bergeming diam di sana. Berdiri tegak menenggelamkan kedua tangan ke saku celana, tanpa melepaskan perhatian sedikitpun dari nama yang terukir pada nisan kayu di depan. Namira Sanjaya. Kelahiran 14 Februari 1989. Meninggal 7 Juli 2018. Dari balik kacamata hitam membingkai wajahnya, mata tajam lelaki itu meneliti tiap baris kalimat yang baru saja terpahat rapi di sana. Sungguh waktu 29 tahun yang teramat singkat dan sia-sia, karena wanita itu justru memilih menutupnya dengan akhir yang begitu tragis d
Sebut saja Serena sudah gila, atau mungkin saja ia memang benar-benar gila. Tapi rasa puas di dadanya begitu berhasil memberi pelajaran brutal pada lelaki yang sudah basah kuyup akibat siraman air mineral yang ia lemparkan, menciptakan sensasi kemenangan tersendiri yang tak pernah Rena duga.Meskipun bagian dari logika di kepalanya berteriak agar segera menghentikan semua kegilaan ini, karena setelah semua kenekatan yang gadis itu timbulkan, berkemungkinan besar akan menciptakan petaka baru di hidupnya usai malam ini berlalu. Namun sekali lagi, pengaruh alkohol yang menguasai setengah kewarasan Rena, menyebabkan pikiran dan tindakannya menjadi tidak sinkron.Terlepas dari amarah dan kebencian pada sosok angkuh di hadapannya, Rena tidak boleh melupakan fakta penting tentang posisi pria yang baru saja diguyurnya dengan sebotol air mineral tersebut. Jika berada dalam kondisi normal---tentu saja bersamaan dengan kesadaran penuh seperti biasa, mungkin Rena akan mengutuk hab
Rena mengumpat keras saat laju mobil yang menggila di jalan bebas hambatan ini, semakin menambah rasa pusing di kepalanya. Usus di perutnya serasa melilit, ingin berontak memuntahkan apapun yang sempat singgah di sana. Terlebih efek alkohol keparat yang mendominasi setengah kesadarannya, justru semakin menambah perasaan tersiksa gadis itu.Sangat berbanding terbalik dengan pria yang sibuk menyetir di sampingnya. Andreas justru tak menampilkan perasaan terganggu sedikitpun, meski entah sudah berapa kali makian dan umpatan Rena menggema mengisi ruang besi sempit ini. Berbagai macam kutukan dan nama-nama hewan tak lupa ia sematkan di sepanjang jalan, semenjak Andreas menariknya paksa keluar dari pelataran parkir gedung acara perusahaan diselenggarakan.Setelah menciptakan drama yang luar biasa mengguncang bagi beberapa orang yang menyaksikan ciuman panas mereka---ralat, maksudnya ciuman panas sepihak Andreas, Rena harus kembali disuguhi masalah baru ketika pria gila itu m