"Ma, kenapa kita enggak di bolehin masuk?" Tanya Jeff dengan raut sedih nya.
Seolah-olah suara mungil Jeff adalah air yang dapat memadamkan api dalam diri Tamara, wanita itu kontan berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan sang anak.
"Papa di dalam lagi sibuk, sayang. Kita tunggu disini ya?" Jeff mengangguk lesu. Padahal, dia ingin sekali masuk ke dalam istana Papa nya. Mengelilingi satu-persatu ruangan yang ada, supaya nanti bisa dia ceritakan ke Kevin dan teman-teman nya yang lain.
"Jeff sedih ya, enggak bisa masuk ke dalam?"
"Sedikit. Tapi enggak apa-apa. Yang penting hari ini Jeff ketemu Papa." Raut sedih yang ada di wajah Jeff berangsur menghilang, tergantikan senyum menawan nya. Dan itu kontan membuat wajah Tamara ikutan tersenyum.
"Anak pintar." Ucap Tamara sambil mengelus kepala Jeff.
"Di mana? Di mana tamu yang mengancam-ngancam saya, hah?!" Tamara sontak berdiri dan menyembunyikan tubuh kecil Jef di belakang nya, ketika suara berat itu memasuki gendang telinga nya.
"Mama, kenapa?"
"Jeff, diam ya? Tetap di belakang Mama." Titah Tamara yang langsung Jeff turuti. Tangan kecil nya berpegangan pada blous Ibu nya. Entahlah, saat itu Jef sedikit takut. Terlebih ketika mendengar suara sepatu yang semakin mendekat.
"Oh, jadi kamu orang nya?" Ucap Praseno begitu dia tiba di hadapan Tamara. Suasana langsung berganti tegang, mereka saling bertatapan tajam seolah-olah sedang menodongkan senjata satu sama lain.
"Kamu yang mengancam saya, Tamara?"
"Saya tidak mengancam. Saya hanya meminta pertanggung jawaban." Tegas Tamara.
"Tamara... Tamara... Sudah saya bilang berkali-kali, kalau saya bukan satu-satu nya yang menikmati tubuh kamu." Tamara membisu dengan napas yang tertahan.
"Kamu lupa dengan pekerjaan mu?"
"Ah... Biar saya ingat kan."
"Kamu adalah pelacur!" Ucap Praseno penuh dengan penekanan.
"Pelacur seperti kamu, tidak pantas meminta pertanggung jawaban dari siapa pun. Karena apa? Ya, karena tubuh kamu satu, tapi sudah terjamah banyak laki-laki."
"Media massa tidak akan percaya dengan pelacur murahan seperti kamu." Tamara masih setia diam, meskipun matanya sudah sangat memerah. Sesak di dadanya semakin bertambah berkali-kali lipat, terlebih ketika dia merasakan blous nya semakin di cengkeram dengan kuat.
Ah, Jeff. Malang nya nasib bocah itu. Karena tidak seharusnya dia mendengar kalimat-kalimat seperti tadi.
"Praseno Dharmawangsa." Ucap Tamara dengan suara yang bergetar.
"Jangan pernah sebut nama lengkap saya!"
"Saya tahu betapa buruk nya saya. Tapi setidaknya, akuilah benih yang pernah kamu tanam di rahim saya!" Praseno tertawa sumbang.
"Keras kepala sekali kamu ini."
Tamara tidak menjawab, melainkan langsung mengambil sebuah amplop rumah sakit lantas dia serahkan pada pria yang ada di balik pagar tinggi tepat di depan nya. Praseno sempat terdiam untuk beberapa saat sebelum kemudian mengambil nya, lantas membuka isinya.
Hening menyelimuti untuk beberapa saat, sebelum terdengar suara kertas yang di sobek.
"Saya tidak memiliki anak selain Jesslyn."
"Pergi! Jangan berani-berani nya kamu datang kemari lagi!"
"Ah, dan jangan pernah memakai nama Dharmawangsa pada nama nya! Dia bukan darah daging saya!"
Jeff akan selalu ingat dengan setiap kata yang terucap dari bibir Mama nya dengan Praseno Dharmawangsa yang saat itu terucap. Meskipun pada awal nya ada banyak kata yang tidak di mengerti, tapi semakin bertambah nya umur dan juga pengetahuan, Jeff jadi tahu semuanya.
Sedih untuk diakui, tapi beginilah fakta nya. Jeffrey Karenzio adalah anak yang tidak pernah di harapkan. Dia tidak diterima sebagai darah daging Praseno Dharmawangsa, karena lahir dari rahim wanita penghibur.
"Shit!" Jeff mengumpat. Dia benci ketika pikiran nya kembali ke masa itu, setiap kali dia melihat nama Dharmawangsa.
Lampu merah menyala, Jeff memberhentikan mobil nya, lantas mengambil air mineral yang selalu dia sediakan dalam mobil, untuk kemudian dia tenggak hingga tandas dan melempar botol kosong nya ke kursi belakang. Emosinya sedang meluap, sehingga ketika lampu sudah hijau, Jeff langsung menancap gas nya dengan kecepatan tinggi. Beruntung nya jalanan cukup senggang, jadi Jeff tidak perlu khawatir akan membahayakan nyawa orang.
Hari ini, adalah hari terakhir Rinji bekerja sebagai resepsionis di sebuah hotel bintang tiga di Jakarta. Dia tidak resign atau pun apa, hanya saja kontrak nya sudah habis, dan tidak di perpanjang.Rinji menghela napas, seraya melepaskan heels nya. Ini jam istirahat, dan dia sedang berada di warung pinggir jalan yang berada tepat di depan hotel tempat nya bekerja."Mbak Rinji, kata nya hari ini terakhir kerja ya?" Tanya Ibu Marni, pemilik warung itu yang sudah Rinji anggap sebagai Ibu sendiri, karena saking akrab nya.Rinji mengangguk lesu, dia sedih karena harus meninggalkan orang-orang baik yang ditemui di sini. Satu tahun enam bulan adalah waktu yang tidak singkat. Rinji sudah sangat nyaman dengan lingkungan dan rekan-rekan kerja nya. Tapi ya, mau bagaimana lagi. Mungkin ini sudah jalan yang paling baik dari Tuhan."Nanti Ibu bakalan kehilangan pelanggan yang royal kayak Mbak Rinji nih." Eluh Ibu Marni
"Bu... Fatma baperan banget sih. Lagi PMS ya?" Rinji mengeluh pada pemilik kucing nya sambil terus mengikuti kemana Fatma pergi. Soal nya kalau sampai menyebrang jalan, resiko nya tinggi."Mana Ibu tahu. Lagian emang kucing bisa PMS?" Jawab Ibu Marni yang sedang membolak-balik pepes ayam. Iya, jadi pepes ayam nya masih di wajan, belum matang sepenuh nya. Makanya Rinji menunggu sambil bermain dengan Fatma."Kali aja. Atau mungkin habis dicampakkan sama kucing jantan.""Hahahahaha Mbak Rinji ada-ada aja." Menyadari ucapan nya lucu, Rinji jadi ikutan terbahak."Kan betina, Bu. Gampang baper. Hahahaha---eh Fatmaaa jangan nyebrang sembarangan!!" Rinji panik begitu melihat Fatma yang saat ini berada di pinggir jalan. Kontan dia segera bangkit, menyusul Fatma. Tapi terlambat, Fatma sudah berjalan diatas aspal dengan santai nya, tanpa takut ditabrak kendaraan yang lewat."Aduh dasar binatang! Mala
"Ma--maksud nya?" Pria yang Rinji yakini malaikat maut itu menghela napas seraya menggaruk bagian samping kepala nya."Kamu tidak apa-apa?" Rinji mengangguk polos.Sungguh, dia masih belum mencerna dengan apa yang terjadi sekarang. Yang dia ingat tadi hanya ada mobil dengan kecepatan tinggi dari arah kanan, suara Dildar yang memanggil nama nya dengan lantang, dan suara decitan mobil.Tunggu, seperti nya Rinji mulai sadar satu hal.Dia masih hidup.Iya, dia masih bisa mengambil napas, masih bisa berkedip, dan tangan nya yang memegang tubuh embul Fatma masih bisa bergerak dengan sempurna.Dan, "Ya. God bless you. Karena saya tidak jadi menabrak kamu." Rinji kontan menghela napas lega nya, seraya menatap ke atas dengan penuh haru.Tentu saja itu karena Tuhan masih memberikan nya waktu untuk hidup. Artinya, Rinji masih bisa
"Rinji! Anjir. Gue hampir aja kehilangan lo!" Dildar yang sejak tadi diam, kontan menghampiri rekan kerja nya dengan raut wajah yang masih panik. Tentu saja, Dildar melihat dengan jelas bagaimana kejadian itu berlangsung. Saat Rinji tidak berkutik di tempat nya, sementara mobil dari sisi kanan melaju dengan kencang. Untung saja, Tuhan masih memberikan Rinji waktu untuk hidup, karena mobil itu berhasil berhenti sebelum menerjang tubuh Rinji. "Dar, lo sejak kapan di sini?" Tanya Rinji bingung. Oh tentu, dia masih berada dalam pengaruh virus ketampanan pria tadi. Hingga kemudian Dildar segera menarik Rinji, takut jika teman nya akan di tabrak beneran kalau dibiarkan di jalan seperti. "Sejak lo hampir mati!" Dildar emosi. Dia bahkan merangkul tubuh Rinji dengan erat, untuk dia bawa ke warung Ibu Marni. Sementara itu, Rinji hanya nyengir lalu menyempatkan diri untuk menepuk-nepuk bisep sebela
Sebenarnya Jeff malas berurusan dengan wanita. Tapi dengan Vella, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menuruti kemauan nya. Bukan karena Vella anak dari bos nya, tapi karena Vella hampir kehilangan dirinya sendiri. Jeff tidak mau Vella kambuh dan berakhir melukai dirinya sendiri seperti yang dilakukan sebelum-sebelum nya. Jadi lebih baik Jeff merelakan waktu nya luang nya untuk menuruti gadis itu, dari pada nanti dia merasa bersalah seumur hidup, karena tidak bisa menjaga apa yang sudah dititipkan pada nya.Iya, Handoko, Ayah gadis itu yang juga merupakan boss Jeff, dia sudah menitipkan Vella pada nya. Bukan tanpa sebab, itu karena hanya dengan Jeff, hari-hari anak nya yang sempat suram jadi lebih berwarna lagi. Jeff adalah penyelamat untuk hidup Vella yang nyaris berakhir mengenaskan di tangan nya sendiri.Sekitar dua puluh menit berlalu, akhirnya mobil Jeff sampai di halaman restaurant favorite Vella. Mereka segera turun, berjalan be
Jeff menarik napas seraya mengangguk. "Saya pesan carbonara, bukan aglio olio.""Oh maaf, itu salah saya.""Iya, salah anda.""Kalau begitu biar saya ganti---""Tidak usah.""Tapi---""Tidak usah, Rinji Kamila Averaya." Rinji langsung kicep. Dia menyesali diri nya sendiri yang terlihat ceroboh untuk kedua kali nya di depan Jeffrey Karenzio."Maaf, Pak.""Hm.""Jeff, kamu yakin enggak apa-apa salah pesanan?""Iya. Lagian, sama-sama pasta.""Oke. Mbak, jangan di ulangin ya kesalahan nya. Bisa fatal loh." Tukas Vella yang kemudian diangguki Rinji."Iya, sekali lagi saya minta maaf.""Iya sudah, kamu boleh pergi."Rinji pun beranjak dari meja delapan belas itu. Tapi sebelum nya, dia membungkuk sopan, untuk meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
Rinji langsung memasang wajah cemberut, ketika matanya bersirobok dengan mata bulat Dildar yang berbinar. Tahu kenapa? Karena cowok yang memiliki muka bayi itu sudah membuatnya bolos kerja, dengan beralasan diare.Padahal harus nya hari ini Rinji memberi kuis matematika untuk anak murid kesayangan nya. Tapi Dildar memaksa nya jalan berdua, sebagai ucapan perpisahan, karena mulai senin Rinji sudah tidak lagi jadi rekan kerja nya.Kalau di pikir-pikir memang konyol. Tapi tidak bisa dipungkiri juga, Rinji senang. Karena akhirnya dia bisa menghirup udara segar di kota Bandung. Iya, Dildar mengajak nya jalan ke kota kembang untuk mendatangi wisata alam di Lembang, tepatnya di Orchid Forest Cikole, dengan mengendarai motor scoopy putih yang diberi nama Bodil alias Bohay nya Dildar."Udah dong kesal nya. Tenang aja, hari ini lo enggak bakal keluarin duit sepeser pun." Ucap Dildar sambil membuka tautan helmet Rinji.Padahal sudah berulang
Jeff dikenal selalu patuh pada apa pun yang sudah ditugaskan untuk nya. Pria itu sungkan untuk menolak, sehingga tidak jarang banyak yang memanfaatkan kebaikan nya untuk kepentingan pribadi. Dan semua orang yang ada di sekitar Jeff, pasti setuju kalau kepribadian pria itu selalu tenang, meskipun badai sedang menerjang habis-habisan. Jeff juga laki-laki yang sederhana. Meskipun visual nya sangat mendukung, tapi Jeff tidak suka mengumbar wajah nya ke jejaring sosial demi sebuah like atau pun komentar yang bagus. Jeff tidak suka keramaian, tapi semenjak dia kenal dunia photography, tempat ramai bukan lagi sesuatu yang harus dia hindari. Karena disana, dia bisa mengabadikan banyak moment dengan lensa kamera nya, seperti yang dia lakukan sekarang. Istilah nya, hunting foto. Jeff melakukan itu seorang diri, dan kali ini dia memilih Bandung sebagai lokasinya. Ya... Anggap saja itu sekalian liburan singkat nya, karena hari ini dia dibebas tugas