"Rinji! Anjir. Gue hampir aja kehilangan lo!" Dildar yang sejak tadi diam, kontan menghampiri rekan kerja nya dengan raut wajah yang masih panik. Tentu saja, Dildar melihat dengan jelas bagaimana kejadian itu berlangsung. Saat Rinji tidak berkutik di tempat nya, sementara mobil dari sisi kanan melaju dengan kencang. Untung saja, Tuhan masih memberikan Rinji waktu untuk hidup, karena mobil itu berhasil berhenti sebelum menerjang tubuh Rinji.
"Dar, lo sejak kapan di sini?" Tanya Rinji bingung. Oh tentu, dia masih berada dalam pengaruh virus ketampanan pria tadi.
Hingga kemudian Dildar segera menarik Rinji, takut jika teman nya akan di tabrak beneran kalau dibiarkan di jalan seperti.
"Cie panik lihat gue mau mati."
"Ya iya gue panik! Kalau lo mati, gue mau enggak mau harus ikhlasin semua hutang lo sama gue."
"Hehe, Dildar. Selalu nomor satu ya kalau soal hutang."
"Ya iya lah. Hutang lo banyak soal nya."
"Ih enak aja. Hutang gue tinggal seratus ribu ya, kurang bayar skincare doang yang kemaren."
"Kalau itu udah gue ikhlasin."
"Widih... Serius lo ikhlasin seratus ribu gitu aja?"
"Iya, tapi enggak sama hutang yang lain nya."
"Apaan deh, orang hutang gue cuma itu."
"Stargazing sama gue."
"Oh.... Itu! Oke, tenang aja. Gampang."
"Iya, gampang. Tapi kalau lo mati, gimana?"
"Iya-iya maaf. Gue emang ceroboh banget, Dar."
"Hmm. Kurang-kurangin ceroboh nya ya."
"Iya, Dildarling." Setelah itu, Rinji segera melepaskan rangkulan Dildar, soalnya mereka sudah sampai di warung Ibu Marni. Rinji pun segera menyantap pesanan nya sambil menjawab beberapa pertanyaan yang terlontar dari mulut Ibu Marni yang juga ikutan panik Rinji kenapa-napa.
***
Jeff melepaskan kacamata yang sempat bertengger di wajah nya, lantas melemaskan otot-otot di leher nya yang terasa tegang. Dia melirik jam dinding yang tergantung di dinding sebelah kiri nya, sudah pukul delapan malam. Pekerjaan nya juga sudah selesai, sekarang waktunya pulang. Jeff pun bangkit, lalu mengambil jas yang dia taruh di sandaran kursi dan memakai nya.
Perut nya mulai terasa lapar, wajar saja, karena hari ini dia baru memakan roti dua lapis. Dia melewatkan makan siang karena tidak sempat melakukan nya.
Jeff pun mengambil kunci mobil nya, sebelum kemudian bergegas pergi meninggalkan kantor yang sudah gelap. Iya, dia satu-satu nya karyawan yang lembur. Sesampai nya di dalam mobil, Jeff langsung menyalakan mesin, disusul menyalakan radio untuk menemani nya mengemudi.
Apocalypse milik Cigarettes After Sex terputar, Jeff mengulas senyum nya. Itu adalah salah satu lagu yang sering dia dengar. Tidak ada makna khusus, dia hanya suka mendengar nya saja. Terlebih ketika dia sedang sendian seperti ini. Sangat menenangkan. Tenaga yang terbuang karena bekerja pun jadi terisi kembali.
Drrt...Drtt
Jeff menoleh pada ponsel nya yang dia letakkan di atas dashboard. Tanpa perlu melihat nya pun, dia tahu siapa yang mengirimi nya pesan di jam segini. Sudah pasti itu Vella, anak kesayangan bos nya, yang akan menanyakan keberadaan Jeff di mana. Tentu saja Jeff akan hapal. Vella setiap hari melakukan nya.
Tak lama kemudian, ponsel Jeff berdering, membuat pemilik nya mengesah. Memang akan seperti ini jika satu menit saja Jeff mengabaikan notifikasi Vella, maka ayah nya akan bertindak menghubungi nya. Mau tak mau, Jeff pun menjawab panggilan itu.
"Iya, Pak? Apa ada pekerjaan--"
"Jangan abaikan Vella."
"Saya sedang mengemudi."
"Kalau begitu datang lah ke rumah."
"Baik." Panggilan pun terputus. Jeff kembali fokus pada jalanan. Malam ini jalanan cukup senggang, ah, mungkin karena Jeff pulang telat. Jadi, dia tidak tahu betapa penuh nya jalan raya pada jam pulang kerja.
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya mobil Jeff sampai di depan pekarang rumah bergaya Italy klasik dengan cat berwarna putih. Itu adalah rumah bos nya, pemilik Reksa Group, tempat Jeff bekerja sebagai sekretaris pribadi nya.
Jeff keluar dari mobil, kedatangan nya langsung di sambut hangat oleh seorang gadis berambut cokelat panjang yang sekarang sedang menghambur dalam pelukan nya. Itu adalah Vella. Dia sudah sangat hapal dengan suara mobil Jeff.
"Jeff, I miss you!" Jeff tidak membalas ucapan Vella, dia hanya tersenyum singkat ketika mata nya bersirobok dengan gadis itu.
"Ck. Aku baru pulang dari Aussie loh, Jeff. Baru banget."
"Hm. Saya tahu." Vella merengut sebentar, sebelum kemudian bergelanyut manja pada lengan Jeff.
"Kamu belum makan kan?"
"Hm."
"Oke. Aku juga belum. Jadi, ayo kita pergi ke restaurant favorite aku. Ya? Please...." Jeff mengangguk, lantas membuka pintu mobil sebelah kiri, hingga senyuman Vella pun terukir.
"So gentle. Thank you."
"You're welcome."
Sebenarnya Jeff malas berurusan dengan wanita. Tapi dengan Vella, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menuruti kemauan nya. Bukan karena Vella anak dari bos nya, tapi karena Vella hampir kehilangan dirinya sendiri. Jeff tidak mau Vella kambuh dan berakhir melukai dirinya sendiri seperti yang dilakukan sebelum-sebelum nya. Jadi lebih baik Jeff merelakan waktu nya luang nya untuk menuruti gadis itu, dari pada nanti dia merasa bersalah seumur hidup, karena tidak bisa menjaga apa yang sudah dititipkan pada nya.Iya, Handoko, Ayah gadis itu yang juga merupakan boss Jeff, dia sudah menitipkan Vella pada nya. Bukan tanpa sebab, itu karena hanya dengan Jeff, hari-hari anak nya yang sempat suram jadi lebih berwarna lagi. Jeff adalah penyelamat untuk hidup Vella yang nyaris berakhir mengenaskan di tangan nya sendiri.Sekitar dua puluh menit berlalu, akhirnya mobil Jeff sampai di halaman restaurant favorite Vella. Mereka segera turun, berjalan be
Jeff menarik napas seraya mengangguk. "Saya pesan carbonara, bukan aglio olio.""Oh maaf, itu salah saya.""Iya, salah anda.""Kalau begitu biar saya ganti---""Tidak usah.""Tapi---""Tidak usah, Rinji Kamila Averaya." Rinji langsung kicep. Dia menyesali diri nya sendiri yang terlihat ceroboh untuk kedua kali nya di depan Jeffrey Karenzio."Maaf, Pak.""Hm.""Jeff, kamu yakin enggak apa-apa salah pesanan?""Iya. Lagian, sama-sama pasta.""Oke. Mbak, jangan di ulangin ya kesalahan nya. Bisa fatal loh." Tukas Vella yang kemudian diangguki Rinji."Iya, sekali lagi saya minta maaf.""Iya sudah, kamu boleh pergi."Rinji pun beranjak dari meja delapan belas itu. Tapi sebelum nya, dia membungkuk sopan, untuk meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
Rinji langsung memasang wajah cemberut, ketika matanya bersirobok dengan mata bulat Dildar yang berbinar. Tahu kenapa? Karena cowok yang memiliki muka bayi itu sudah membuatnya bolos kerja, dengan beralasan diare.Padahal harus nya hari ini Rinji memberi kuis matematika untuk anak murid kesayangan nya. Tapi Dildar memaksa nya jalan berdua, sebagai ucapan perpisahan, karena mulai senin Rinji sudah tidak lagi jadi rekan kerja nya.Kalau di pikir-pikir memang konyol. Tapi tidak bisa dipungkiri juga, Rinji senang. Karena akhirnya dia bisa menghirup udara segar di kota Bandung. Iya, Dildar mengajak nya jalan ke kota kembang untuk mendatangi wisata alam di Lembang, tepatnya di Orchid Forest Cikole, dengan mengendarai motor scoopy putih yang diberi nama Bodil alias Bohay nya Dildar."Udah dong kesal nya. Tenang aja, hari ini lo enggak bakal keluarin duit sepeser pun." Ucap Dildar sambil membuka tautan helmet Rinji.Padahal sudah berulang
Jeff dikenal selalu patuh pada apa pun yang sudah ditugaskan untuk nya. Pria itu sungkan untuk menolak, sehingga tidak jarang banyak yang memanfaatkan kebaikan nya untuk kepentingan pribadi. Dan semua orang yang ada di sekitar Jeff, pasti setuju kalau kepribadian pria itu selalu tenang, meskipun badai sedang menerjang habis-habisan. Jeff juga laki-laki yang sederhana. Meskipun visual nya sangat mendukung, tapi Jeff tidak suka mengumbar wajah nya ke jejaring sosial demi sebuah like atau pun komentar yang bagus. Jeff tidak suka keramaian, tapi semenjak dia kenal dunia photography, tempat ramai bukan lagi sesuatu yang harus dia hindari. Karena disana, dia bisa mengabadikan banyak moment dengan lensa kamera nya, seperti yang dia lakukan sekarang. Istilah nya, hunting foto. Jeff melakukan itu seorang diri, dan kali ini dia memilih Bandung sebagai lokasinya. Ya... Anggap saja itu sekalian liburan singkat nya, karena hari ini dia dibebas tugas
Hari semakin gelap, lantunan ayat suci pun sudah berkumandang. Rinji terdiam seorang diri di jembatan gantung sambil menunggu Dildar menyelesaikan ibadah nya. Iya, mereka sengaja berlama-lama di satu tempat saja, karena yang mereka inginkan hanya moment bersama, bukan lain nya. Karena setelah ini, mereka sudah bukan lagi rekan kerja yang bisa bertemu setiap hari.Jika dengan Dildar dia bisa lupa dengan segala persoalan hidup, maka kepergian Dildar mengembalikan nya ke dunia yang sebenar nya.Rinji tahu hidup memang tidak mudah. Dia juga paham kalau dunia adalah tempat kesakitan, yang hanya di huni untuk sementara waktu. Tapi satu hal yang Rinji tidak bisa mengerti, kenapa masalah hidup nya tidak kunjung selesai, bahkan ketika dia sudah berusaha untuk membenahi nya satu-persatu.Selama ini Rinji berusaha keras untuk tetap kuat di hadapan banyak orang. Dia memanupulasi manusia-manusia yang ada di sekitarnya dengan membagikan energi positive. Padahal ya
Dari liburan singkatnya, ada satu hal yang Jeff syukuri. Lensa kamera nya ternyata berhasil mengambil potret Rinji yang sedang merenung di jembatan gantung. Dan, Jeff baru menyadari kalau ternyata Rinji cantik. Bahkan side profil gadis itu terlihat sekelas dengan model-model yang dia lihat di internet. "Saya beruntung bisa memotret nya." Monolog Jeff. Karena jujur saja, meskipun dia hanya memotret nya sekali, tapi hasilnya luar biasa. Dia hanya tinggal mengeditnya sedikit lagi untuk mempertajam gambar, hingga ketika sudah sempurna, Jeff memposting nya di akun media sosial yang di khususkan untuk menyalurkan hobi photography nya. 'Terlihat ramai tapi sebenarnya kosong' Itu yang Jeff tulis sebagai judul untuk foto Rinji yang dia posting. Saat itu, di sana memang ramai, tapi Jeff dapat melihat kekosongan yang Rinji rasakan dari matanya. Jadi itu adalah judul yang sangat cocok. Drt... Drt...
Rinji sedikit gugup, ketika lensa kamera mengarah pada nya. Jika kalian berpikir pekerjaan baru Rinji adalah model, salah besar. Rinji bekerja sebagai asisten pribadi di sebuah butik yang bernama Tammy's House. Tetapi karena sesuatu tak terduga---model langganan butik tersebut tidak bisa datang karena ada keperluan, jadi Rinji terpaksa dijadikan model pengganti untuk katalog terbaru. Sebenarnya tidak masalah, Rinji senang dapat bayaran tambahan di hari pertama nya kerja. Akan tetapi, Rinji mati gaya. Dia tidak tahu harus bagaimana selain tersenyum menghadap kamera dengan badan tegap seperti hendak melakukan foto pas. "Rinjani," panggil pemilik butik tersebut yang juga merangkap peran nya sebagai photographer, guna menghemat pengeluaran. Tamara nama nya. "Rinji, Bu." Koreksi Rinji karena nama nya salah disebut. "Ah iya, Rinji. Sorry." "Hehe, iya Bu." "Honey, kamu enggak usah kaku ya, santai aja supaya hasilnya bagus. Saya enggak bakal gigit kamu kok."
"Kenapa? Mama belum siap-siap akting ya?" Tamara meneguk ludah. Kalau sampai Jeff marah, bisa gawat urusan nya. "Jeff, listen---" "C'mon Mam, I miss you." Tapi, Jeff tidak marah. Dia malah langsung menghamburkan diri nya pada pelukan sang Mama. "Darling, I miss you so so sooooo much." Ibu dan anak itu berpelukan dengan erat, membuat Rinji---satu-satu nya orang yang tersisa di sana, ikutan merasa hangat. Rasanya senang bisa melihat interaksi anak dan orang tua yang sedekat ini. Karena tidak semua orang bisa melakukan nya. "Anak nakal kamu ya, ngunjungin Mama kalau ada kabar sakit aja!" Ujar Tamara begitu pelukan nya dengan sang anak terlepas. Nama nya juga Ibu-Ibu, mengomel adalah hal yang biasa. Dan Jeff hanya manggut-manggut saja, lalu meminta maaf setelah Tamara selesai dengan omelan nya. "Tapi Mama enggak sakit kan?" "Enggak. Mama bohong, Honey. I'm sorry, dan Mam