Sebenarnya Jeff malas berurusan dengan wanita. Tapi dengan Vella, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menuruti kemauan nya. Bukan karena Vella anak dari bos nya, tapi karena Vella hampir kehilangan dirinya sendiri. Jeff tidak mau Vella kambuh dan berakhir melukai dirinya sendiri seperti yang dilakukan sebelum-sebelum nya. Jadi lebih baik Jeff merelakan waktu nya luang nya untuk menuruti gadis itu, dari pada nanti dia merasa bersalah seumur hidup, karena tidak bisa menjaga apa yang sudah dititipkan pada nya.
Iya, Handoko, Ayah gadis itu yang juga merupakan boss Jeff, dia sudah menitipkan Vella pada nya. Bukan tanpa sebab, itu karena hanya dengan Jeff, hari-hari anak nya yang sempat suram jadi lebih berwarna lagi. Jeff adalah penyelamat untuk hidup Vella yang nyaris berakhir mengenaskan di tangan nya sendiri.
Sekitar dua puluh menit berlalu, akhirnya mobil Jeff sampai di halaman restaurant favorite Vella. Mereka segera turun, berjalan beriringan layak nya pasangan.
"Jeff, tangan aku nganggur loh."
"Hm. Mau pegang sesuatu?" Vella mengangguk semangat. Kemudian, Jeff mengeluarkan gantungan kunci berbentuk kelinci putih berbulu halus. Well, itu adalah souvenir yang dia dapatkan dari acara pernikahan rekan kerja nya tadi siang. Lalu Jeff memberikan nya pada Vella.
Gadis itu merengut. Apa-apaan. Bukan itu yang Vella maksud. Vella ingin Jeff menggenggam tangan nya.
"Jeff... I mean---"
"Saya lapar. Lebih baik kita segera masuk ke dalam." Dan kemudian Jeff berjalan mendahului Vella, dia tidak peduli bagaimana reaksi perempuan itu.
"Ck. Menyebalkan! Tapi lucu juga sih gantungan nya. Jarang-jarang Jeff kasih hadiah kan." Dan begitu saja Vella segera menyusul Jeff yang sudah cukup jauh dari jangkauan nya.
"Jeffrey Karenzio, wait me!"
***
Rinji Kamila Averaya.
Orang-orang mengenal dia sebagai wanita kuat yang suka bekerja. Iya, saking suka nya sama pekerjaan, Rinji sampai tidak bisa jika hanya memiliki satu pekerjaan. Di pagi hari sampai sore, Rinji bekerja sebagai resepsionis. Menjelang sore hingga malam, profesinya berubah menjadi waitress di restaurant milik teman nya, sedangkan di hari libur, dia bisa menjadi tutor di pagi sampai siang hari. Jadi, itulah mengapa teman-teman nya menjuluki nya wanita kuda. Karena setiap hari nya dia bekerja bagai kuda, yang tidak mengenal kata lelah.
"Pesanan nomor 33," ucap Rinji sopan dengan senyum ramah yang tak luput dari bibir nya ketika dia mengantarkan pesanan pada meja pelanggan.
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama. Selamat menikmati." Setelah itu Rinji bergegas pergi. Baru beberapa langkah dia berjalan, seseorang memanggil nya dengan sebutan, "Waitress!" Rinji pun menoleh, lantas segera menyambangi orang tersebut yang duduk di meja 18 bersama pasangan nya.
"Iya, silahkan mau pesan apa?" Tanya Rinji ramah begitu dia sampai pada meja 18.
"Loh, kamu?" Rinji terperangah begitu menyadari kalau pria yang duduk di hadapan wanita cantik---yang tadi memanggil nya, adalah orang yang sama dengan yang hampir menabrak nya tadi siang. Lantas dia berdeham lalu mengangguk sopan.
"Kamu kenal dia Jeff?"
Jeff, pria itu berdeham. "Kamu yakin enggak apa-apa?"
"Iya, Pak, saya baik-baik aja."
"Oke."
"Hm. Jadi, mau pesan apa?" Tanya Rinji sekali lagi.
Meskipun agak patah hati karena pria tampan yang dia temui sudah memiliki kekasih, Rinji tetap harus memasang senyum ramah nya, demi menjaga nama restaurant ini tetap bagus.
Tapi sungguh, Rinji tidak bohong kalau dia sangat terpesona dengan sosok Jeffrey Karenzio itu. Iya, Rinji sampai sangat hapal dengan nama laki-laki yang sempat dia sangka sebagai malaikat maut, meskipun dia hanya membaca nya satu kali. Soalnya, itu adalah nama yang sempurna, untuk orang tampan seperti nya.
"Pasta carbonara." Ucap Jeff yang kemudian Rinji catat dalam buku kecil nya. Well, pesona Jeffrey Karenzio membuat Rinji sedikit tidak fokus. Seharusnya dia menuliskan pasta carbonara, tapi malah pasta aglio olio yang dia catat.
"Mbak nya?"
"Kalau aku... Mozzarella steak, crunchy fried chicken, salmon pesto, caesar salad, chicken crispy salad, terus---"
"Kamu enggak diet?"
"Aku lagi kesal. Jadi enggak apa-apa makan banyak."
"Iya sudah."
"Ck. Udah mbak itu aja. Sama minum nya... Kamu mau apa Jeff?"
"Samain."
"Beer."
"Vella,"
"Apa?"
"Oke. Tequila sunrise dua." Pungkas Jeff kemudian, yang langsung di catat Rinji.
"Jeff aku mau beer!"
"Enggak. Hari ini kamu harus istirahat." Dalam hati, Rinji berdoa dan memohon sama Tuhan, semoga laki-laki baik yang seperti Jeffrey Karenzio ini masih tersisa banyak di dunia dan salah satu nya bisa dia miliki.
"Oke."
"Iya udah, itu aja." Rinji mengangguk sebelum kemudian pamit undur diri.
Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan untuk meja 18 segera Rinji antarkan. Dia meletakkan satu-persatu piring yang dia bawa ke atas meja dengan gerakan cepat tapi tidak berisik.
"Aglio olio?" Rinji menoleh pada sumber suara itu, suara Jeffrey Karenzio yang berat tapi seksi saat memasuki telinga.
"Iya? Ada yang salah?" Tanya Rinji.
Bukan tanpa alasan kenapa Jeff takut dengan suara hujan di malam hari. Semua itu berawal saat usia nya enam tahun. Jeff kecil terbangun dari mimpi indah nya, ketika suara hujan pada malam itu mengusik tidur nya. Dia menangis sambil berharap Mama nya akan segera menghampiri nya. Namun sayang nya, belasan menit telah berlalu dan Mama nya tak kunjung datang, akhir nya Jeff memutus kan untuk berjalan mencari sang Mama. Dia membuka pintu kamar nya pelan, dan segera di sambut suara dari televisi yang menyala dengan volume besar. "Mama?" Jeff kecil bersuara pelan, berharap sang Mama akan menyadari kehadiran nya, namun beberapa kali Jeff memanggil Mama nya, sosok itu masih tetap tak muncul, sampai akhir nya, dengan penuh tekad, Jeff berjalan menuju sofa buluk yang ada di ruang tv, berniat untuk mengambil remot dan mematikan televisi tersebut. Namun sayang nya, belum sempat dia melakukan hal tersebut, langkah nya terhenti saat telinga nya mendengar suara desahan di antara berisik nya suara
Pukul tiga pagi, Jeff masih terjaga di sebuah apartmen yang beberapa waktu lalu menampung nya saat hujan badai dengan gemuruh petir yang lantang, singgah di ibu kota. Adalah apartmen milik Rinji yang saat ini sedang bermain peran sebagai Jianna. Awal nya, Jeff hanya mau mengantar kan gadis itu pulang, karena tidak bisa membiar kan wanita pulang sendirian malam-malam. Di tambah lagi, saat itu angin mulai bertiup kencang dari biasa nya, lalu di susul suara petir beserta kilat nya mulai menampak kan diri, menerangi bumi di kota Jakarta untuk seperkian detik secara terus-terusan. Maka dari itu, Rinji menyaran kan Jeff untuk singgah. Meskipun pada awal nya Jeff enggan, tapi semesta berkata lain. Saat kaki nya hendak kembali menyentuh tanah-- setelah memastikan Rinji selamat sampai unit nya, hujan dengan deras nya membasahi seluruh kota Jakarta, di susul amukan petir yang membuat malam menjelang pagi kala itu terasa mencekam, dan Jeff berakhir singgah di unit Rinji. Sebab, lelaki gagah pe
Rinji tidak habis pikir dengan diri nya sendiri malam ini. Bagaimana bisa dia menangis tersedu-sedu dalam dekapan seorang pria asing yang bahkan belum satu tahun dia kenal. Dildar yang sudah dia kenal dua tahunan ini, tidak dia biar kan melihat sisi rapuh nya, tapi Jeffrey, pria yang sekarang sedang menikmati ice cream itu sudah tahu sisi lemah Rinji, ya meskipun sisi lemah yang di tampil kan adalah milik Jianna. Tapi tetap saja, Rinji dan Jianna adalah orang yang sama. Entah lah, Rinji pun bingung. Mungkin karena ini hari merah nya. Bukan kah perasan perempuan menjadi campur aduk ketika sedang dalam masa periode nya. Tapi tidak bisa di pungkiri juga, Rinji suka dengan perlakukan Jeff. Dia nyaman dengan bagaimana lelaki itu memperlakukan nya tadi. Memeluk nya sambil membisik kan kalimat penenang, Rinji benar-benar suka, sampai dia sedikit berdebat ketika mata nya bersirobok dengan mata Jeff. Dan sontak, dia langsung berdeham sambil mencoba untuk terlihat biasa saja, padahal jantung
"Seperti nya, ada satu hal yang harus kamu tahu tentang saya." Ucap Jeff pada akhir nya. Hal itu membuat Rinji tidak bergeming untuk beberapa saat, sebelum akhir nya berdeham dan bertanya penasaran."Apa itu?" "Saya tidak mudah berteman dengan perempuan." Entah apa yang ada di kepala Jeff saat itu, sampai dia harus mengatakan kalimat tersebut."Benar kah? Lalu kenapa mau berteman dengan ku? Kamu juga mau berteman sedekat itu dengan anak boss mu." Hardik Rinji, membuat Jeff menarik napas nya dalam-dalam dan menghembus kan nya perlahan. "Vella, dia itu sudah saya anggap sebagai adik saya sendiri." "Lalu bagaimana dengan ku?" Tanya Rinji, yang sejujur nya, dia pun menyesal telah menanya kan kalimat itu. Tapi, sungguh, dia benar-benar penasaran perihal alasan Jeff mau berteman begitu saja dengan nya. Karena seharus nya, jika Jeff benar-benar tidak mudah berteman dengan wanita, Jianna Alatas tidak akan pernah berteman dengan Jeff. Rinji pun demikian, apalagi sampai di ajak ke pantai, h
"Jadi, benar kan kalau kamu memperlakukan semua wanita sama saja?" "Bersikap manis, perhatian, ya... Seperti lelaki pada umum nya." Demi Tuhan, kalimat itu masih tengiang-ngiang di kepala Jeff, bahkan ketika dia hendak memejam kan kedua mata nya. Waktu sudah menunjuk kan pukul sebelas malam dan Jeff sulit memejam kan mata nya hanya karena kata demi kata yang Jianna ucap kan tadi siang. "Wanita memang rumit." Gumam Jeff seraya menghembuskan napas frustasi nya. Kemudian, pria itu memilih untuk bangkit dari ranjang, lantas bergegas keluar. Sebelum itu, terlebih dahulu dia menyambar hoodi cokelat milik nya yang ada di lemari. Jeff butuh udara segar. Maka nya, dia memilih untuk berjalan kaki. Di pikir-pikir, sudah lama juga Jeff tidak jalan santai seperti ini. Dulu, waktu dia masih sekolah, dia sering melakukan nya. Rumah Jeff masuk gang sempit yang hanya bisa di lewati satu kendaraan sepeda motor. Namun, ketika keadaan mulai berubah, semua itu Jeff tinggal kan, sebab, dia terlalu sib
Hening menyelimuti sepasang anak Adam dan Hawa yang saat ini sama-sama sedang menatap ke arah bawah pada jalan raya yang ramai. Kendaraan umum, mobil pribadi, sepeda motor, seolah saling balapan untuk sampai ke tujuan masing-masing. Belum lagi suara klakson kendaraan yang saling bersahutan, kian menambah keributan pada jalanan tersebut, hingga pada atap rumah sakit pun kebisingan nya masih terasa. Hal itu sontak membuat Rinji menghela napas lelah. Dia tidak suka keramaian yang seperti itu, karena membuat kepala nya jadi semakin runyam. Maka dari itu, dia memilih untuk membalik kan tubuh nya, menyandar kan punggung mungil nya pada tembok pembatas di sana. Dan apa yang di lakukan gadis tersebut, tentu saja memancing atensi Jeff yang ada di samping nya. "Kenapa?" Tanya pria itu. Rinji menggeleng. "Tidak suka keramaian?" "Bukan. Hanya saja, di bawah sana sangat berisik. Dan aku tidak suka. Karena itu menambah keributan di kepala ku saja." Saat menjadi diri nya sendiri di samping pri