Home / Fantasi / Heavenly Rift / Resonansi Gelap

Share

Resonansi Gelap

Author: Zan'Azheil
last update Last Updated: 2025-05-10 17:32:47

Di balik kedamaian Heavenly yang baru saja menerima dua tamu dari dunia lain, angin gelap bergerak di tempat yang tak terjangkau cahaya.

Jauh di dunia manusia, tersembunyi di sebuah pulau terpencil yang bahkan tak tercantum di peta mana pun, berdiri sebuah fasilitas hitam raksasa. Tak ada yang tahu keberadaannya. Tak ada yang pernah kembali jika sempat melihatnya. Inilah markas Hoplites—organisasi bayangan yang berdiri di antara ilmu, ambisi, dan kekejaman.

Fasilitas itu menjulang rendah, tapi menembus jauh ke dalam bumi. Dinding-dindingnya dari baja berlapis rune sintetis, dirancang bukan hanya untuk menahan makhluk, tapi juga menyembunyikan kebenaran. Tak ada jendela. Tak ada angin. Hanya eksperimen, target, dan dunia lain yang harus ditaklukkan.

---

Di ruang observasi utama, layar holografik memutar ulang rekaman dari salah satu pasukan yang gugur.

Hujan. Gang sempit. Kilat keemasan dari dalam tas. Sekejap kemudian, tubuh Griffin muda muncul—sayap mengembang, mata menyala, dan raungan mengguncang udara sebelum ia terbang ke langit. Target mereka—Griffin itu—telah lepas dari kendali.

Di depannya, Commander Eren berdiri diam. Tubuh tegapnya seolah membatu, tapi sorot matanya menyala tajam seperti bilah logam panas. Ia menatap layar seolah hendak menembusnya.

Pintu terbuka di belakang. Seorang perwira berseragam rapi masuk dengan langkah waspada.

“Commander. Energi ethereal dari target menghilang. Kemungkinan besar… dia telah kembali ke Heavenly.”

Eren tidak menjawab.

“Tim pelacak kehilangan jejak di wilayah utara. Kamera terakhir rusak akibat—”

“Keluar,” potong Eren tanpa mengangkat suara.

Perwira itu langsung membeku, lalu pergi dengan cepat tanpa sepatah kata pun.

---

Lorong menuju sektor penahanan terbuka dengan desis halus. Suara langkah Eren menggema sendiri di antara dinding baja dan lampu redup.

Di balik dinding kaca pengaman, makhluk-makhluk dari Heavenly dipajang seperti barang bukti.

Seekor burung bermata berlian tergeletak diam—matanya sudah kosong, kristalnya telah dipanen. Di sel lain, makhluk air bersirip cahaya mengambang dalam cairan, tubuhnya tak utuh. Organ pentingnya hilang.

Seorang elf perempuan duduk di lantai sel, matanya kosong, lehernya tergantung kalung bertuliskan Aset Hiburan Kelas A. Ia tidak menoleh saat Eren lewat. Ia tak punya alasan untuk melakukannya.

Eren hanya lewat. Semua ini bukan kejutan. Ini sistem yang ia bangun.

Ia berhenti di depan sel paling akhir.

Di balik lapisan kaca dan rune penahan, seekor Griffin tua terbaring. Tubuhnya besar tapi sudah menua. Bulu emasnya kusam, dan sayapnya hampir tak bergerak. Sebuah tabung energi tertancap dalam di punggungnya, menyedot sisa kekuatan ethereal murni—sumber utama untuk membuka gerbang antar dunia.

Eren menatapnya sebentar. Lalu mengaktifkan panel komunikasi tersembunyi.

Layar hologram menyala. Dalam cahaya biru gelap, muncul siluet seorang wanita. Posturnya ramping dan tegap, wajahnya tertutup bayangan. Di belakangnya, samar, tiga pasang mata merah menyala dalam kegelapan. Tidak ada suara latar. Tidak ada basa-basi.

“Griffin yang kau tandai… lolos,” ujar Eren.

Wanita itu hanya mengangguk.

“Temukan dia.”

Sambungan terputus.

Eren berdiri diam beberapa detik, lalu berbalik dan meninggalkan lorong. Lampu meredup saat ia pergi, dan suara mesin kembali mengambil alih keheningan.

---

Dan di tempat lain—di dunia yang tertutup cahaya abadi—sisa sihir dari panah itu akhirnya aktif kembali.

Bekas luka di tubuh Griffin muda mulai berpendar halus, membentuk pola yang tak terlihat sebelumnya.

Tanda yang dulu hanya dimaksudkan sebagai pelacak.

Tanda yang sempat lenyap bersama cahaya.

Kini menyala kembali.

Pengejaran ini belum usai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Heavenly Rift   Malam Kedua di Bawah Tebing

    Malam turun rapat di bawah perut tebing. Di lorong penjara Anxaxin, obor menyala hemat—cahayanya berkedip pendek, seperti enggan bersaksi. Dinding batu basah memantulkan tetes air yang jatuh berkala, membentuk irama dingin yang menempel di kulit. Jeruji di depan Reinalt bukan besi biasa: batang hitamnya dipenuhi ukir tipis rune pelindung, garis-garis yang berdenyut samar seperti nadi yang menahan dunia di tempatnya.Reinalt mendekatkan dahi ke jeruji, menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. Amarahnya berada tepat di bawah permukaan, siap meledak, tapi ia paksa tetap mengalir seperti sungai di musim beku—bergerak, namun tidak memecah bendungan.Dua hari. Sejak jamuan itu berubah jadi jebakan. Sejak ia bangun di altar batu, terikat, lampu-lampu hijau pucat mengitari kepala suku yang menyebut dirinya Penjaga Selatan: Kargis Neth—mata licin, lidah tajam, menyebut “adat” seperti cambuk. Sejak tawaran kotor itu dilontarkan: bebaskan dia dan Hana, biarkan Haya jadi selirnya, Kael ja

  • Heavenly Rift   Bentangan Topeng

    Kabut pagi menetes di daun-daun rendah ketika kereta berhenti mendadak. Dari tirai pepohonan, dua puluh sosok bertopeng muncul membentuk setengah lingkaran: dua belas bertombak, delapan memegang busur dengan anak panah sudah di tali. Topeng mereka berwarna-warni, berhidung panjang, motif garis berwarna kusam menyilang di pipi.Axxa melompat turun duluan. Arra menyusul, katana sudah di tangan. Kambing hutan mengentak tanah, gelisah. Jalanan hutan di sini memang mirip pos—sempit, berlumpur, diapit batu punggung setinggi dada.“Turun. Lepas senjata,” perintah satu sosok paling depan. Suaranya berat, tenang. “Kalian memenuhi ciri-ciri yang kami cari.”“Ciri apa?” Arra mencondongkan badan, mata sempit mengukur jarak panah ke dadanya.“Satu elf dan satu kucing berotot,” jawab yang bertopeng itu, agak terbata “Di mana manusia dan griffin?”Axxa tertawa pendek, suara tanpa tawa. “Hanya kami berdua.”“Bohong.” Pemimpin itu mengangkat satu telunjuk. Busur-busur menegang serempak, tombak menukik

  • Heavenly Rift   Jeruji di Negeri Asing

    Suara air menetes membelah sunyi, satu-satu, seperti jarum kecil yang menghitung waktu. Dinding batu lembap memantulkan cahaya obor menjadi nyala kuning kotor. Di depan Reinalt, jeruji berlapis ukiran kecil-kecil—rune yang saling kait—berkilat redup setiap kali ia bergerak terlalu dekat.Ia menendang jeruji untuk kesekian kalinya. Besi tidak bergeming; justru rune menyambar betisnya dengan geliat listrik dingin. Ia mendesis, mundur satu langkah, menahan amarah yang menekan dada.“Hana! Haya!” suaranya memantul di lorong, pecah menjadi gema pendek. “Lumi! Kael!”Tak ada jawaban. Hanya tetes air, desah obor, dan dengung jauh—mungkin mesin air, mungkin serangga malam. Reinalt mengepalkan tangan, memaksa napasnya tetap rata. Marah tak menolong jika ia tak tahu di mana mereka.“Tak ada gunanya berteriak,” suara tua terdengar di belakangnya, tenang. “Lorong ini buta suara—mereka ukir runenya agar panggilan tak menempuh jauh.”Reinalt menoleh. Di sudut gelap, duduk seorang kakek goblin berse

  • Heavenly Rift   Darah yang Ditolak

    Pintu pondok kembali terbuka sebelum matahari naik ke ubun-ubun. Celia berdiri di ambang, topeng putihnya memantulkan garis tipis cahaya yang lolos dari sela dinding kayu. Di belakangnya, Bhubu menyelinap—membawa kantong kain berisi botol kecil dan bungkusan daun. “Boleh bicara sebelum kalian berangkat?” suara Celia rendah, terkendali. Axxa—yang sedari pagi sudah menyiapkan kereta—menoleh ke halaman. “Kambing hutan siap. Kita punya waktu, tapi tidak banyak.” “Aku akan mendengarmu,” kata Anza. Ia menunjuk bangku pendek. “Masuklah.” Mereka kembali duduk di ruangan yang sama: meja rendah, perapian kecil yang dibiarkan menyala pelan, Leo meringkuk di pojok bantal sambil mematuki biji-bijian. Arra duduk tegak, setengah bersandar pada dinding, katana bersarung melintang di pangkuan. Axxa bersila di dekat pintu, menghadap ke luar. Anza—balut perban di sisi tulang rusuknya masih baru—menahan diri untuk tidak terburu-buru. “Kau bilang ada yang perlu kami dengar.” Celia mengangguk. Kal

  • Heavenly Rift   Jamuan di Balik Gerbang

    Jalur batu menurun makin sempit. Di kanan, dinding tebing menjulang; di kiri, rimbun pepohonan menyembunyikan sungai yang mengalir tenang. Hanya suara air dan langkah kaki mereka yang terdengar—Reinalt di depan, Haya setengah langkah di belakangnya, Hana memeluk Lumi di tengah, Kael berjalan hati-hati seperti kuda perang yang menahan instingnya untuk terbang.Mereka sendirian. Sio sudah berbalik di bibir lembah; petunjuknya tinggal gema di kepala—ikuti sungai, cari batu retak berbentuk huruf Syl. Beberapa kali Reinalt berhenti, mengamati tanda yang dipahat samar pada batu: goresan mirip aksara, ditutup lumut tipis. Ia menjejak ke depan lagi tanpa banyak kata.Semakin dekat lembah, kabut menipis. Rumah-rumah kayu berangka batu muncul di sela pepohonan, atapnya rendah, jendelanya sempit. Seorang perempuan tua membawa keranjang daun, menyeberang jalan tepat di depan mereka… dan berlalu begitu saja, seolah tak melihat rombongan asing lewat. Seorang remaja berambut hijau gelap memanggul ta

  • Heavenly Rift   Jejak yang Terputus

    Cahaya pagi menembus celah-celah dinding pondok, menorehkan garis tipis di lantai kayu yang masih dingin. Anza duduk di tepi ranjang, tangannya menekan kening, kalimat Celia terus berulang dalam kepalanya: darah beracun… tidak diterima… dibuang.Kalau anak campuran saja ditolak… bagaimana dengan manusia penuh?Napasnya tercekat. Hana. Reinalt..Wajah mereka muncul di kepalanya, ditutup kabut. “Kalau suku Anxaxin benar membenci manusia,” ucapnya nyaris berbisik, “mereka dalam bahaya.”Arra yang duduk di dekat jendela berhenti meraut gagang katananya. “Anxaxin memang keras. Mereka menjaga rune, tapi adat mereka… bisa kejam.”Axxa menoleh dari kursi, tubuhnya masih besar meski dibalut perban. “Kalau begitu, kita tidak bisa menunggu di sini.”Anza mengangguk. “Kita harus berangkat.”Leo di pangkuannya bergerak pelan, bulu keemasan kecilnya mengusap perban Anza seakan menguatkan. Anza membalas dengan usapan singkat. Ia menegakkan tubuh, meski kepalanya masih berat.“Aku coba sesuatu dulu,”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status