Di balik kedamaian Heavenly yang baru saja menerima dua tamu dari dunia lain, angin gelap bergerak di tempat yang tak terjangkau cahaya.
Jauh di dunia manusia, tersembunyi di sebuah pulau terpencil yang bahkan tak tercantum di peta mana pun, berdiri sebuah fasilitas hitam raksasa. Tak ada yang tahu keberadaannya. Tak ada yang pernah kembali jika sempat melihatnya. Inilah markas Hoplites—organisasi bayangan yang berdiri di antara ilmu, ambisi, dan kekejaman. Fasilitas itu menjulang rendah, tapi menembus jauh ke dalam bumi. Dinding-dindingnya dari baja berlapis rune sintetis, dirancang bukan hanya untuk menahan makhluk, tapi juga menyembunyikan kebenaran. Tak ada jendela. Tak ada angin. Hanya eksperimen, target, dan dunia lain yang harus ditaklukkan. --- Di ruang observasi utama, layar holografik memutar ulang rekaman dari salah satu pasukan yang gugur. Hujan. Gang sempit. Kilat keemasan dari dalam tas. Sekejap kemudian, tubuh Griffin muda muncul—sayap mengembang, mata menyala, dan raungan mengguncang udara sebelum ia terbang ke langit. Target mereka—Griffin itu—telah lepas dari kendali. Di depannya, Commander Eren berdiri diam. Tubuh tegapnya seolah membatu, tapi sorot matanya menyala tajam seperti bilah logam panas. Ia menatap layar seolah hendak menembusnya. Pintu terbuka di belakang. Seorang perwira berseragam rapi masuk dengan langkah waspada. “Commander. Energi ethereal dari target menghilang. Kemungkinan besar… dia telah kembali ke Heavenly.” Eren tidak menjawab. “Tim pelacak kehilangan jejak di wilayah utara. Kamera terakhir rusak akibat—” “Keluar,” potong Eren tanpa mengangkat suara. Perwira itu langsung membeku, lalu pergi dengan cepat tanpa sepatah kata pun. --- Lorong menuju sektor penahanan terbuka dengan desis halus. Suara langkah Eren menggema sendiri di antara dinding baja dan lampu redup. Di balik dinding kaca pengaman, makhluk-makhluk dari Heavenly dipajang seperti barang bukti. Seekor burung bermata berlian tergeletak diam—matanya sudah kosong, kristalnya telah dipanen. Di sel lain, makhluk air bersirip cahaya mengambang dalam cairan, tubuhnya tak utuh. Organ pentingnya hilang. Seorang elf perempuan duduk di lantai sel, matanya kosong, lehernya tergantung kalung bertuliskan Aset Hiburan Kelas A. Ia tidak menoleh saat Eren lewat. Ia tak punya alasan untuk melakukannya. Eren hanya lewat. Semua ini bukan kejutan. Ini sistem yang ia bangun. Ia berhenti di depan sel paling akhir. Di balik lapisan kaca dan rune penahan, seekor Griffin tua terbaring. Tubuhnya besar tapi sudah menua. Bulu emasnya kusam, dan sayapnya hampir tak bergerak. Sebuah tabung energi tertancap dalam di punggungnya, menyedot sisa kekuatan ethereal murni—sumber utama untuk membuka gerbang antar dunia. Eren menatapnya sebentar. Lalu mengaktifkan panel komunikasi tersembunyi. Layar hologram menyala. Dalam cahaya biru gelap, muncul siluet seorang wanita. Posturnya ramping dan tegap, wajahnya tertutup bayangan. Di belakangnya, samar, tiga pasang mata merah menyala dalam kegelapan. Tidak ada suara latar. Tidak ada basa-basi. “Griffin yang kau tandai… lolos,” ujar Eren. Wanita itu hanya mengangguk. “Temukan dia.” Sambungan terputus. Eren berdiri diam beberapa detik, lalu berbalik dan meninggalkan lorong. Lampu meredup saat ia pergi, dan suara mesin kembali mengambil alih keheningan. --- Dan di tempat lain—di dunia yang tertutup cahaya abadi—sisa sihir dari panah itu akhirnya aktif kembali. Bekas luka di tubuh Griffin muda mulai berpendar halus, membentuk pola yang tak terlihat sebelumnya. Tanda yang dulu hanya dimaksudkan sebagai pelacak. Tanda yang sempat lenyap bersama cahaya. Kini menyala kembali. Pengejaran ini belum usai.Kereta berhenti di jalur batu yang berakhir di depan gerbang kayu besar. Rumah di depannya dikelilingi pagar tumbuhan merambat, menjulang rapi seperti tembok hijau. Udara di tempat ini lebih sejuk, angin berembus dari ladang luas yang mengelilinginya. Jauh dari hiruk-pikuk kota, hanya suara dedaunan dan denting alat pertanian yang terdengar samar dari kejauhan.Begitu mereka turun satu per satu, dua sosok muncul diam-diam di belakang Reinalt.Langkah mereka tak bersuara, seperti bagian dari bayangan rumah itu sendiri.Arra, elf bermata tajam dengan rambut perak sebahu dan katana panjang di punggungnya.Axxa, manusia setengah harimau dengan tubuh besar dan tenang, membawa pedang shotel yang tergantung di punggung.Anza, Hana, dan Haya terkejut, langkah mereka terhenti mendadak. Haya bahkan sempat mengangkat tombaknya sedikit.Reinalt hanya bergumam datar, “Sudah datang rupanya.”Hana langsung maju. “Bagaimana keadaan Eldrin?! Dia selamat, kan?!”“Apakah dia baik-baik saja?” sambung Hay
Roda kereta bergulir pelan, memantul lembut di atas jalanan berbatu yang menurun. Di dalam, ruang sempit terasa lebih hangat dibanding kota. Aroma kayu dan karpet tenun memenuhi kabin. Tapi tak ada yang bersandar nyaman.Reinalt duduk diam, Kael meringkuk tenang di sampingnya.Hana memeluk Lumi, yang sesekali menggeliat dalam selimut tipis.Haya bersandar di sisi kiri, menatap tirai yang tak sepenuhnya menutup jendela.Anza duduk paling pojok, Leo kecil terbaring lemah di pelukannya, napasnya lambat tapi stabil.Di depan mereka, Tarin duduk dengan tongkat disandarkan di lutut. Wajahnya tetap santai, tapi sorot matanya lebih serius sekarang."Kurasa ini waktu yang tepat untuk saling bertukar kabar," katanya, membuka pembicaraan.Reinalt menoleh cepat. “Apa yang kau tahu sejauh ini?”Tarin mengangguk. “Banyak. Dan belum semuanya bagus.”Ia menghela napas. “Jaringanku di istana bilang... Raja tak lagi sepenuhnya berdaulat. Sejak insiden Heavenly terakhir, Hoplites makin menekan. Dan seka
Tapak sepatu berdetak pelan di atas papan kereta. Tirai bergeser. Seseorang muncul. Seorang pria tua, tinggi, rambut putih diikat ke belakang, wajahnya dihiasi brewok tipis. Matanya biru terang, seperti danau yang tak bisa dibaca dalam sekali pandang. Ia memegang tongkat kayu gelap, dan pakaiannya sederhana, tapi jelas potongan bangsawan—rapi tanpa kesan pamer. Tubuhnya masih kekar untuk pria seusianya, dan setiap geraknya mantap, seperti orang yang tahu betul ke mana ia melangkah. Ia melihat kelima orang di depannya. Dan—tanpa aba-aba—tertawa keras. “HAHAHA! Lihat kalian! Wajah-wajah tegang seperti habis dikejar naga!” Reinalt refleks maju satu langkah. “Kau benar-benar—” Tarin mengangkat satu tangan. “Tenang, tenang. Jangan tarik pedangmu dulu, Reinalt. Masih ingat caraku menyapa?” Reinalt menggeram. “Kau tak pernah bisa masuk dengan cara normal, ya?” Sementara itu, Anza, Hana, dan Haya saling bertukar pandang—campuran bingung, siaga, dan siap bertindak. Tarin m
Udara siang menekan, padat dan penuh bisikan yang tak terdengar.Dari pintu kayu belakang rumah Bu Nirra, lima sosok berkerudung melangkah keluar tanpa suara. Langkah mereka menyusuri gang sempit, berbaur dengan bayangan tembok dan aroma roti madu yang perlahan memudar.Reinalt berjalan di tengah, jubahnya agak longgar karena di baliknya tersembunyi Kael, hippogriff kecil yang tidur nyenyak. Di depannya, Haya berjalan cepat, berbelok dan mengamati ujung gang lebih dulu sebelum memberi isyarat untuk lanjut. Hana di sisi kiri belakang, menjaga gerakan sambil memeluk Lumi erat di dalam tas. Anza berada paling belakang, menggendong Leo yang lemah dalam pelukannya.Tak ada yang bicara.Mereka tak perlu. Setiap napas diatur, setiap gerakan diperhitungkan.---Tembok keempat setelah belokan pertama membuat Reinalt berhenti.Di sana, tertempel selebaran.REINALT EVERHARTDICARIHIDUP-HIDUPKertas itu masih segar, cetakannya gelap. Di sudut bawah, cap kerajaan tercetak rapi, membuat pesan itu
Cahaya siang menyusup lembut melalui jendela kecil di ujung kamar. Udara yang masuk membawa aroma madu panggang dari dapur bawah—hangat, ringan, dan menenangkan.Anza membuka matanya perlahan.Langit-langit kayu menyambut pandangannya, bergoyang samar karena kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba duduk… perlahan… dan berhasil tanpa bantuan, meski tubuhnya terasa seperti baru saja bangun dari mimpi yang terlalu dalam.Di sudut ruangan, Reinalt duduk di atas kursi rendah, tangan terlipat, pandangannya tertuju ke lantai. Tapi ia langsung menoleh ketika mendengar suara kasur berderit pelan.“Selamat datang kembali.” Suaranya pelan, tapi lega.Anza menatapnya sebentar. “Di mana… kita?”“Masih di ibukota,” sahut Reinalt. “Di rumah salah satu warga yang membantu. Kita aman untuk saat ini.”Anza hanya mengangguk perlahan. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba mencerna segalanya. Lalu membuka lagi. “Leo?”Sebelum Reinalt menjawab, suara pelan dari belakang menjawab lebih dulu.“Masih lemas, t
Sinar terakhir dari portal memudar di udara—dan hanya sekejap setelahnya, keributan pasar pecah.“Wah! Mereka jatuh dari mana?!”“Pangeran?!”Keramaian pasar ibukota Heavenly yang biasanya dipenuhi canda dan obrolan kini berubah menjadi gumaman bingung dan langkah-langkah ragu. Di tengah jalan utama yang dibatasi kios-kios makanan, kerajinan tangan, dan gantungan bunga, empat sosok muncul tiba-tiba dari udara, mendarat dengan suara lembut di atas batu yang masih basah oleh embun pagi.Tak ada darah. Tak ada luka.Namun mereka jelas... terengah-engah, limbung, dan kelelahan.Reinalt berdiri dengan satu lutut menyentuh tanah, menahan tubuh Anza yang tak sadarkan diri di lengannya. Nafasnya masih berat, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya sigap menyapu sekeliling.Hana berlutut di samping mereka, memeluk Leo kecil yang tampak lemah, serta Lumi yang bersembunyi gemetar dalam pelukannya.Haya terduduk di sisi lain bersama Kael, hippogriff yang telah mengecil secara sadar dan duduk t