Home / Fantasi / Heavenly Rift / Jejak Cahaya yang Tersembunyi

Share

Jejak Cahaya yang Tersembunyi

Author: Zan'Azheil
last update Last Updated: 2025-01-30 22:31:35

Pasar Heavenly tetap ramai meski matahari mulai meredup. Lampu-lampu kristal mulai dinyalakan, memancarkan cahaya lembut yang membuat suasana semakin hangat. Penduduk dari berbagai ras masih sibuk berbelanja, berbincang, dan tertawa, sementara wangi rempah-rempah bercampur dengan aroma manis dari roti yang baru dipanggang.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Reinalt berdiri dengan santai, senyumnya tetap terukir, matanya keemasan bersinar di bawah cahaya sore.

“Kalian baru pertama kali ke Heavenly?” tanyanya sambil mengamati mereka dengan ekspresi tertarik.

Anza dan Hana bertukar pandang sesaat sebelum Hana menjawab, “Ya, kami hanya pelancong.”

Reinalt menautkan alisnya seolah mempertimbangkan jawaban itu, tetapi alih-alih bertanya lebih lanjut, ia justru mengangkat dua jarinya dengan gerakan halus.

Dari balik keramaian, dua sosok tinggi berbaju biru perak muncul dengan langkah tenang, seolah baru saja keluar dari bayangan. Mereka mengenakan seragam penjaga kerajaan, dan keberadaan mereka yang tiba-tiba membuat Hana sedikit tersentak.

Reinalt tersenyum puas melihat reaksi itu. “Tenang saja, mereka tidak akan melakukan apa pun. Aku hanya ingin menjamu kalian dengan makanan terbaik di Heavenly.”

Ia menoleh ke kedua pengawalnya. “Beli beberapa kudapan dari kios terbaik. Pastikan mereka mencicipi yang paling istimewa.”

Para penjaga itu segera bergerak tanpa suara, menghilang ke dalam keramaian.

Reinalt kembali menatap Hana dan Anza. “Sebenarnya, aku cukup penasaran. Kenapa memilih datang ke sini daripada tempat lain?”

Haya yang sejak tadi diam akhirnya menyahut dengan nada ringan, “Mereka baru tiba, jadi kupikir memperkenalkan mereka pada Heavenly adalah pilihan terbaik.”

Reinalt mengangguk setuju. “Pilihan yang sangat bijak.”

Tak lama kemudian, para pengawal kembali dengan nampan penuh kudapan khas Heavenly.

Reinalt menunjuk ke arah hidangan itu. “Silakan, cicipi! Aku jamin kalian tidak akan menyesal.”

Di atas nampan, ada kelopak bunga bercahaya yang meleleh begitu menyentuh lidah, camilan spiral dengan rasa yang berubah-ubah di setiap gigitan, serta buah berbentuk bintang yang mengeluarkan aroma soda alami yang menyegarkan.

Hana mengambil satu kelopak bunga dan meletakkannya di lidahnya. Begitu menyentuh mulutnya, kelopak itu langsung larut seperti madu, meninggalkan sensasi manis yang lembut dengan sedikit rasa mint di akhirnya.

Matanya melebar sedikit. “Wow… ini benar-benar enak.”

Reinalt tersenyum puas. “Kelopak Lunar, salah satu makanan khas dari dataran tinggi. Tidak hanya lezat, tapi juga menyegarkan tubuh.”

Anza akhirnya mengambil kudapan berbentuk spiral. Begitu ia menggigitnya, rasa asin yang lembut menyebar di mulutnya, lalu berubah menjadi manis dengan sedikit sentuhan pedas di akhir.

Haya mengambil buah berbentuk bintang dan menggigitnya dengan santai. “Makanan di sini bukan sekadar untuk mengenyangkan perut, tapi juga untuk memberikan energi.”

Reinalt mengamati mereka satu per satu sebelum akhirnya berkata, “Aku selalu senang melihat orang baru yang menikmati makanan Heavenly.”

Namun, Anza tidak sepenuhnya fokus pada makanan. Sejak tadi, perasaan tidak nyaman masih mengusiknya. Seolah ada seseorang—atau sesuatu—yang terus mengawasi mereka.

Ia perlahan mengangkat kepalanya, membiarkan matanya menyapu keramaian tanpa menarik perhatian.

Di sudut pasar, di antara bayangan bangunan, sepasang mata menatap mereka tanpa berkedip.

Darahnya berdesir. Kali ini, ia yakin mereka sedang diawasi.

Ia segera membuang sisa makanan di tangannya dan menegakkan tubuh. “Kita harus pergi.”

Hana menoleh dengan sedikit bingung. “Kenapa tiba-tiba?”

“Jangan tanya. Aku nggak suka perasaan ini.”

Haya juga melihat perubahan sikapnya dan langsung bersikap waspada.

Reinalt yang menyadari perubahan suasana menautkan alisnya. “Ada sesuatu yang terjadi?”

Anza menoleh padanya dengan cepat. “Tidak ada. Terima kasih atas makanannya, Pangeran, tapi kami harus kembali.”

Reinalt tidak langsung menanggapi, tetapi tatapannya menyelidik. “Kalian pergi begitu cepat? Kurasa kita baru saja mulai berbincang dengan baik.”

“Kami harus pergi sekarang,” ucap Hana sedikit terburu-buru.

Reinalt menghela napas singkat sebelum mengangkat bahunya. “Baiklah. Aku tidak akan menahan kalian, tapi kapan-kapan, kita harus berbicara lagi.”

Anza tidak menanggapi dan segera menarik Hana, sementara Haya mengikuti di belakang mereka.

Saat mereka memasuki hutan menuju rumah Eldrin, suasana mulai berubah. Pepohonan besar menaungi jalan setapak, dan cahaya matahari semakin meredup di antara dedaunan.

Namun, perasaan tidak nyaman itu tidak menghilang.

Langkah mereka semakin cepat.

Lalu, terdengar suara ranting patah di belakang mereka.

Anza langsung menoleh ke arah semak-semak di sisi kanan. Bayangan yang sejak tadi mengawasi mereka masih ada di sana, tersembunyi di balik pohon-pohon tinggi.

"Langkahnya mendekat," bisik Haya.

“Lari!” Anza langsung menarik Hana, dan mereka semua berlari melewati akar-akar besar, menyusuri jalan berbatu yang tertutup lumut.

Namun, suara langkah di belakang mereka semakin cepat.

Bayangan itu meluncur di antara pepohonan dengan lincah.

“Apaan itu?!” seru Hana, napasnya semakin berat.

Anza tidak berani menoleh lagi. “Aku nggak tahu, tapi aku tidak mau tahu kalau kita tidak segera sampai ke rumah Eldrin!”

Mereka hampir sampai di halaman rumah ketika bayangan itu melompat tepat ke arah Hana.

Hana berteriak dan menutup matanya—tetapi tidak ada rasa sakit atau dorongan kuat.

Sebaliknya, sesuatu yang hangat dan berbulu halus mendarat di bahunya dengan ringan.

Perlahan, Hana membuka matanya dan melihat…

Seekor kucing berbulu lembut duduk dengan nyaman di bahunya.

Mereka bertiga membeku di tempat, mencoba memahami situasi.

“Jadi… ini yang membuntuti kita tadi?” gumam Anza, masih terengah-engah.

Haya menghela napas panjang. “Aku kira kita akan diserang sesuatu yang lebih menyeramkan.”

Kucing itu mengeong pelan, lalu bulunya berubah warna menjadi ungu kebiruan, berkilauan lembut seperti cahaya bulan.

Pintu rumah Eldrin terbuka, dan Eldrin muncul dengan ekspresi tenang.

“Jadi, akhirnya muncul…”

Anza menoleh cepat. “Kau mengenalnya?”

Eldrin menatap kucing celestial itu dengan pandangan mengerti. “Bukan mengenalnya, tetapi dia mengejar Hana karena dia merasakan sesuatu yang cocok.”

Hana menatap Eldrin dengan bingung. “Maksudnya… cocok dengan apa?”

Eldrin tersenyum kecil. “Aura ethereal.”

Hana dan Anza saling bertukar pandang.

“Aura ethereal?” ulang Hana, masih kebingungan.

Kucing itu mengeong pelan, ekornya melingkar di lengan Hana dengan nyaman, seolah sudah menemukan tempat yang tepat untuknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Heavenly Rift   Malam Kedua di Bawah Tebing

    Malam turun rapat di bawah perut tebing. Di lorong penjara Anxaxin, obor menyala hemat—cahayanya berkedip pendek, seperti enggan bersaksi. Dinding batu basah memantulkan tetes air yang jatuh berkala, membentuk irama dingin yang menempel di kulit. Jeruji di depan Reinalt bukan besi biasa: batang hitamnya dipenuhi ukir tipis rune pelindung, garis-garis yang berdenyut samar seperti nadi yang menahan dunia di tempatnya.Reinalt mendekatkan dahi ke jeruji, menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. Amarahnya berada tepat di bawah permukaan, siap meledak, tapi ia paksa tetap mengalir seperti sungai di musim beku—bergerak, namun tidak memecah bendungan.Dua hari. Sejak jamuan itu berubah jadi jebakan. Sejak ia bangun di altar batu, terikat, lampu-lampu hijau pucat mengitari kepala suku yang menyebut dirinya Penjaga Selatan: Kargis Neth—mata licin, lidah tajam, menyebut “adat” seperti cambuk. Sejak tawaran kotor itu dilontarkan: bebaskan dia dan Hana, biarkan Haya jadi selirnya, Kael ja

  • Heavenly Rift   Bentangan Topeng

    Kabut pagi menetes di daun-daun rendah ketika kereta berhenti mendadak. Dari tirai pepohonan, dua puluh sosok bertopeng muncul membentuk setengah lingkaran: dua belas bertombak, delapan memegang busur dengan anak panah sudah di tali. Topeng mereka berwarna-warni, berhidung panjang, motif garis berwarna kusam menyilang di pipi.Axxa melompat turun duluan. Arra menyusul, katana sudah di tangan. Kambing hutan mengentak tanah, gelisah. Jalanan hutan di sini memang mirip pos—sempit, berlumpur, diapit batu punggung setinggi dada.“Turun. Lepas senjata,” perintah satu sosok paling depan. Suaranya berat, tenang. “Kalian memenuhi ciri-ciri yang kami cari.”“Ciri apa?” Arra mencondongkan badan, mata sempit mengukur jarak panah ke dadanya.“Satu elf dan satu kucing berotot,” jawab yang bertopeng itu, agak terbata “Di mana manusia dan griffin?”Axxa tertawa pendek, suara tanpa tawa. “Hanya kami berdua.”“Bohong.” Pemimpin itu mengangkat satu telunjuk. Busur-busur menegang serempak, tombak menukik

  • Heavenly Rift   Jeruji di Negeri Asing

    Suara air menetes membelah sunyi, satu-satu, seperti jarum kecil yang menghitung waktu. Dinding batu lembap memantulkan cahaya obor menjadi nyala kuning kotor. Di depan Reinalt, jeruji berlapis ukiran kecil-kecil—rune yang saling kait—berkilat redup setiap kali ia bergerak terlalu dekat.Ia menendang jeruji untuk kesekian kalinya. Besi tidak bergeming; justru rune menyambar betisnya dengan geliat listrik dingin. Ia mendesis, mundur satu langkah, menahan amarah yang menekan dada.“Hana! Haya!” suaranya memantul di lorong, pecah menjadi gema pendek. “Lumi! Kael!”Tak ada jawaban. Hanya tetes air, desah obor, dan dengung jauh—mungkin mesin air, mungkin serangga malam. Reinalt mengepalkan tangan, memaksa napasnya tetap rata. Marah tak menolong jika ia tak tahu di mana mereka.“Tak ada gunanya berteriak,” suara tua terdengar di belakangnya, tenang. “Lorong ini buta suara—mereka ukir runenya agar panggilan tak menempuh jauh.”Reinalt menoleh. Di sudut gelap, duduk seorang kakek goblin berse

  • Heavenly Rift   Darah yang Ditolak

    Pintu pondok kembali terbuka sebelum matahari naik ke ubun-ubun. Celia berdiri di ambang, topeng putihnya memantulkan garis tipis cahaya yang lolos dari sela dinding kayu. Di belakangnya, Bhubu menyelinap—membawa kantong kain berisi botol kecil dan bungkusan daun. “Boleh bicara sebelum kalian berangkat?” suara Celia rendah, terkendali. Axxa—yang sedari pagi sudah menyiapkan kereta—menoleh ke halaman. “Kambing hutan siap. Kita punya waktu, tapi tidak banyak.” “Aku akan mendengarmu,” kata Anza. Ia menunjuk bangku pendek. “Masuklah.” Mereka kembali duduk di ruangan yang sama: meja rendah, perapian kecil yang dibiarkan menyala pelan, Leo meringkuk di pojok bantal sambil mematuki biji-bijian. Arra duduk tegak, setengah bersandar pada dinding, katana bersarung melintang di pangkuan. Axxa bersila di dekat pintu, menghadap ke luar. Anza—balut perban di sisi tulang rusuknya masih baru—menahan diri untuk tidak terburu-buru. “Kau bilang ada yang perlu kami dengar.” Celia mengangguk. Kal

  • Heavenly Rift   Jamuan di Balik Gerbang

    Jalur batu menurun makin sempit. Di kanan, dinding tebing menjulang; di kiri, rimbun pepohonan menyembunyikan sungai yang mengalir tenang. Hanya suara air dan langkah kaki mereka yang terdengar—Reinalt di depan, Haya setengah langkah di belakangnya, Hana memeluk Lumi di tengah, Kael berjalan hati-hati seperti kuda perang yang menahan instingnya untuk terbang.Mereka sendirian. Sio sudah berbalik di bibir lembah; petunjuknya tinggal gema di kepala—ikuti sungai, cari batu retak berbentuk huruf Syl. Beberapa kali Reinalt berhenti, mengamati tanda yang dipahat samar pada batu: goresan mirip aksara, ditutup lumut tipis. Ia menjejak ke depan lagi tanpa banyak kata.Semakin dekat lembah, kabut menipis. Rumah-rumah kayu berangka batu muncul di sela pepohonan, atapnya rendah, jendelanya sempit. Seorang perempuan tua membawa keranjang daun, menyeberang jalan tepat di depan mereka… dan berlalu begitu saja, seolah tak melihat rombongan asing lewat. Seorang remaja berambut hijau gelap memanggul ta

  • Heavenly Rift   Jejak yang Terputus

    Cahaya pagi menembus celah-celah dinding pondok, menorehkan garis tipis di lantai kayu yang masih dingin. Anza duduk di tepi ranjang, tangannya menekan kening, kalimat Celia terus berulang dalam kepalanya: darah beracun… tidak diterima… dibuang.Kalau anak campuran saja ditolak… bagaimana dengan manusia penuh?Napasnya tercekat. Hana. Reinalt..Wajah mereka muncul di kepalanya, ditutup kabut. “Kalau suku Anxaxin benar membenci manusia,” ucapnya nyaris berbisik, “mereka dalam bahaya.”Arra yang duduk di dekat jendela berhenti meraut gagang katananya. “Anxaxin memang keras. Mereka menjaga rune, tapi adat mereka… bisa kejam.”Axxa menoleh dari kursi, tubuhnya masih besar meski dibalut perban. “Kalau begitu, kita tidak bisa menunggu di sini.”Anza mengangguk. “Kita harus berangkat.”Leo di pangkuannya bergerak pelan, bulu keemasan kecilnya mengusap perban Anza seakan menguatkan. Anza membalas dengan usapan singkat. Ia menegakkan tubuh, meski kepalanya masih berat.“Aku coba sesuatu dulu,”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status