Pasar Heavenly tetap ramai meski matahari mulai meredup. Lampu-lampu kristal mulai dinyalakan, memancarkan cahaya lembut yang membuat suasana semakin hangat. Penduduk dari berbagai ras masih sibuk berbelanja, berbincang, dan tertawa, sementara wangi rempah-rempah bercampur dengan aroma manis dari roti yang baru dipanggang.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Reinalt berdiri dengan santai, senyumnya tetap terukir, matanya keemasan bersinar di bawah cahaya sore. “Kalian baru pertama kali ke Heavenly?” tanyanya sambil mengamati mereka dengan ekspresi tertarik. Anza dan Hana bertukar pandang sesaat sebelum Hana menjawab, “Ya, kami hanya pelancong.” Reinalt menautkan alisnya seolah mempertimbangkan jawaban itu, tetapi alih-alih bertanya lebih lanjut, ia justru mengangkat dua jarinya dengan gerakan halus. Dari balik keramaian, dua sosok tinggi berbaju biru perak muncul dengan langkah tenang, seolah baru saja keluar dari bayangan. Mereka mengenakan seragam penjaga kerajaan, dan keberadaan mereka yang tiba-tiba membuat Hana sedikit tersentak. Reinalt tersenyum puas melihat reaksi itu. “Tenang saja, mereka tidak akan melakukan apa pun. Aku hanya ingin menjamu kalian dengan makanan terbaik di Heavenly.” Ia menoleh ke kedua pengawalnya. “Beli beberapa kudapan dari kios terbaik. Pastikan mereka mencicipi yang paling istimewa.” Para penjaga itu segera bergerak tanpa suara, menghilang ke dalam keramaian. Reinalt kembali menatap Hana dan Anza. “Sebenarnya, aku cukup penasaran. Kenapa memilih datang ke sini daripada tempat lain?” Haya yang sejak tadi diam akhirnya menyahut dengan nada ringan, “Mereka baru tiba, jadi kupikir memperkenalkan mereka pada Heavenly adalah pilihan terbaik.” Reinalt mengangguk setuju. “Pilihan yang sangat bijak.” Tak lama kemudian, para pengawal kembali dengan nampan penuh kudapan khas Heavenly. Reinalt menunjuk ke arah hidangan itu. “Silakan, cicipi! Aku jamin kalian tidak akan menyesal.” Di atas nampan, ada kelopak bunga bercahaya yang meleleh begitu menyentuh lidah, camilan spiral dengan rasa yang berubah-ubah di setiap gigitan, serta buah berbentuk bintang yang mengeluarkan aroma soda alami yang menyegarkan. Hana mengambil satu kelopak bunga dan meletakkannya di lidahnya. Begitu menyentuh mulutnya, kelopak itu langsung larut seperti madu, meninggalkan sensasi manis yang lembut dengan sedikit rasa mint di akhirnya. Matanya melebar sedikit. “Wow… ini benar-benar enak.” Reinalt tersenyum puas. “Kelopak Lunar, salah satu makanan khas dari dataran tinggi. Tidak hanya lezat, tapi juga menyegarkan tubuh.” Anza akhirnya mengambil kudapan berbentuk spiral. Begitu ia menggigitnya, rasa asin yang lembut menyebar di mulutnya, lalu berubah menjadi manis dengan sedikit sentuhan pedas di akhir. Haya mengambil buah berbentuk bintang dan menggigitnya dengan santai. “Makanan di sini bukan sekadar untuk mengenyangkan perut, tapi juga untuk memberikan energi.” Reinalt mengamati mereka satu per satu sebelum akhirnya berkata, “Aku selalu senang melihat orang baru yang menikmati makanan Heavenly.” Namun, Anza tidak sepenuhnya fokus pada makanan. Sejak tadi, perasaan tidak nyaman masih mengusiknya. Seolah ada seseorang—atau sesuatu—yang terus mengawasi mereka. Ia perlahan mengangkat kepalanya, membiarkan matanya menyapu keramaian tanpa menarik perhatian. Di sudut pasar, di antara bayangan bangunan, sepasang mata menatap mereka tanpa berkedip. Darahnya berdesir. Kali ini, ia yakin mereka sedang diawasi. Ia segera membuang sisa makanan di tangannya dan menegakkan tubuh. “Kita harus pergi.” Hana menoleh dengan sedikit bingung. “Kenapa tiba-tiba?” “Jangan tanya. Aku nggak suka perasaan ini.” Haya juga melihat perubahan sikapnya dan langsung bersikap waspada. Reinalt yang menyadari perubahan suasana menautkan alisnya. “Ada sesuatu yang terjadi?” Anza menoleh padanya dengan cepat. “Tidak ada. Terima kasih atas makanannya, Pangeran, tapi kami harus kembali.” Reinalt tidak langsung menanggapi, tetapi tatapannya menyelidik. “Kalian pergi begitu cepat? Kurasa kita baru saja mulai berbincang dengan baik.” “Kami harus pergi sekarang,” ucap Hana sedikit terburu-buru. Reinalt menghela napas singkat sebelum mengangkat bahunya. “Baiklah. Aku tidak akan menahan kalian, tapi kapan-kapan, kita harus berbicara lagi.” Anza tidak menanggapi dan segera menarik Hana, sementara Haya mengikuti di belakang mereka. Saat mereka memasuki hutan menuju rumah Eldrin, suasana mulai berubah. Pepohonan besar menaungi jalan setapak, dan cahaya matahari semakin meredup di antara dedaunan. Namun, perasaan tidak nyaman itu tidak menghilang. Langkah mereka semakin cepat. Lalu, terdengar suara ranting patah di belakang mereka. Anza langsung menoleh ke arah semak-semak di sisi kanan. Bayangan yang sejak tadi mengawasi mereka masih ada di sana, tersembunyi di balik pohon-pohon tinggi. "Langkahnya mendekat," bisik Haya. “Lari!” Anza langsung menarik Hana, dan mereka semua berlari melewati akar-akar besar, menyusuri jalan berbatu yang tertutup lumut. Namun, suara langkah di belakang mereka semakin cepat. Bayangan itu meluncur di antara pepohonan dengan lincah. “Apaan itu?!” seru Hana, napasnya semakin berat. Anza tidak berani menoleh lagi. “Aku nggak tahu, tapi aku tidak mau tahu kalau kita tidak segera sampai ke rumah Eldrin!” Mereka hampir sampai di halaman rumah ketika bayangan itu melompat tepat ke arah Hana. Hana berteriak dan menutup matanya—tetapi tidak ada rasa sakit atau dorongan kuat. Sebaliknya, sesuatu yang hangat dan berbulu halus mendarat di bahunya dengan ringan. Perlahan, Hana membuka matanya dan melihat… Seekor kucing berbulu lembut duduk dengan nyaman di bahunya. Mereka bertiga membeku di tempat, mencoba memahami situasi. “Jadi… ini yang membuntuti kita tadi?” gumam Anza, masih terengah-engah. Haya menghela napas panjang. “Aku kira kita akan diserang sesuatu yang lebih menyeramkan.” Kucing itu mengeong pelan, lalu bulunya berubah warna menjadi ungu kebiruan, berkilauan lembut seperti cahaya bulan. Pintu rumah Eldrin terbuka, dan Eldrin muncul dengan ekspresi tenang. “Jadi, akhirnya muncul…” Anza menoleh cepat. “Kau mengenalnya?” Eldrin menatap kucing celestial itu dengan pandangan mengerti. “Bukan mengenalnya, tetapi dia mengejar Hana karena dia merasakan sesuatu yang cocok.” Hana menatap Eldrin dengan bingung. “Maksudnya… cocok dengan apa?” Eldrin tersenyum kecil. “Aura ethereal.” Hana dan Anza saling bertukar pandang. “Aura ethereal?” ulang Hana, masih kebingungan. Kucing itu mengeong pelan, ekornya melingkar di lengan Hana dengan nyaman, seolah sudah menemukan tempat yang tepat untuknya.Kereta berhenti di jalur batu yang berakhir di depan gerbang kayu besar. Rumah di depannya dikelilingi pagar tumbuhan merambat, menjulang rapi seperti tembok hijau. Udara di tempat ini lebih sejuk, angin berembus dari ladang luas yang mengelilinginya. Jauh dari hiruk-pikuk kota, hanya suara dedaunan dan denting alat pertanian yang terdengar samar dari kejauhan.Begitu mereka turun satu per satu, dua sosok muncul diam-diam di belakang Reinalt.Langkah mereka tak bersuara, seperti bagian dari bayangan rumah itu sendiri.Arra, elf bermata tajam dengan rambut perak sebahu dan katana panjang di punggungnya.Axxa, manusia setengah harimau dengan tubuh besar dan tenang, membawa pedang shotel yang tergantung di punggung.Anza, Hana, dan Haya terkejut, langkah mereka terhenti mendadak. Haya bahkan sempat mengangkat tombaknya sedikit.Reinalt hanya bergumam datar, “Sudah datang rupanya.”Hana langsung maju. “Bagaimana keadaan Eldrin?! Dia selamat, kan?!”“Apakah dia baik-baik saja?” sambung Hay
Roda kereta bergulir pelan, memantul lembut di atas jalanan berbatu yang menurun. Di dalam, ruang sempit terasa lebih hangat dibanding kota. Aroma kayu dan karpet tenun memenuhi kabin. Tapi tak ada yang bersandar nyaman.Reinalt duduk diam, Kael meringkuk tenang di sampingnya.Hana memeluk Lumi, yang sesekali menggeliat dalam selimut tipis.Haya bersandar di sisi kiri, menatap tirai yang tak sepenuhnya menutup jendela.Anza duduk paling pojok, Leo kecil terbaring lemah di pelukannya, napasnya lambat tapi stabil.Di depan mereka, Tarin duduk dengan tongkat disandarkan di lutut. Wajahnya tetap santai, tapi sorot matanya lebih serius sekarang."Kurasa ini waktu yang tepat untuk saling bertukar kabar," katanya, membuka pembicaraan.Reinalt menoleh cepat. “Apa yang kau tahu sejauh ini?”Tarin mengangguk. “Banyak. Dan belum semuanya bagus.”Ia menghela napas. “Jaringanku di istana bilang... Raja tak lagi sepenuhnya berdaulat. Sejak insiden Heavenly terakhir, Hoplites makin menekan. Dan seka
Tapak sepatu berdetak pelan di atas papan kereta. Tirai bergeser. Seseorang muncul. Seorang pria tua, tinggi, rambut putih diikat ke belakang, wajahnya dihiasi brewok tipis. Matanya biru terang, seperti danau yang tak bisa dibaca dalam sekali pandang. Ia memegang tongkat kayu gelap, dan pakaiannya sederhana, tapi jelas potongan bangsawan—rapi tanpa kesan pamer. Tubuhnya masih kekar untuk pria seusianya, dan setiap geraknya mantap, seperti orang yang tahu betul ke mana ia melangkah. Ia melihat kelima orang di depannya. Dan—tanpa aba-aba—tertawa keras. “HAHAHA! Lihat kalian! Wajah-wajah tegang seperti habis dikejar naga!” Reinalt refleks maju satu langkah. “Kau benar-benar—” Tarin mengangkat satu tangan. “Tenang, tenang. Jangan tarik pedangmu dulu, Reinalt. Masih ingat caraku menyapa?” Reinalt menggeram. “Kau tak pernah bisa masuk dengan cara normal, ya?” Sementara itu, Anza, Hana, dan Haya saling bertukar pandang—campuran bingung, siaga, dan siap bertindak. Tarin m
Udara siang menekan, padat dan penuh bisikan yang tak terdengar.Dari pintu kayu belakang rumah Bu Nirra, lima sosok berkerudung melangkah keluar tanpa suara. Langkah mereka menyusuri gang sempit, berbaur dengan bayangan tembok dan aroma roti madu yang perlahan memudar.Reinalt berjalan di tengah, jubahnya agak longgar karena di baliknya tersembunyi Kael, hippogriff kecil yang tidur nyenyak. Di depannya, Haya berjalan cepat, berbelok dan mengamati ujung gang lebih dulu sebelum memberi isyarat untuk lanjut. Hana di sisi kiri belakang, menjaga gerakan sambil memeluk Lumi erat di dalam tas. Anza berada paling belakang, menggendong Leo yang lemah dalam pelukannya.Tak ada yang bicara.Mereka tak perlu. Setiap napas diatur, setiap gerakan diperhitungkan.---Tembok keempat setelah belokan pertama membuat Reinalt berhenti.Di sana, tertempel selebaran.REINALT EVERHARTDICARIHIDUP-HIDUPKertas itu masih segar, cetakannya gelap. Di sudut bawah, cap kerajaan tercetak rapi, membuat pesan itu
Cahaya siang menyusup lembut melalui jendela kecil di ujung kamar. Udara yang masuk membawa aroma madu panggang dari dapur bawah—hangat, ringan, dan menenangkan.Anza membuka matanya perlahan.Langit-langit kayu menyambut pandangannya, bergoyang samar karena kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba duduk… perlahan… dan berhasil tanpa bantuan, meski tubuhnya terasa seperti baru saja bangun dari mimpi yang terlalu dalam.Di sudut ruangan, Reinalt duduk di atas kursi rendah, tangan terlipat, pandangannya tertuju ke lantai. Tapi ia langsung menoleh ketika mendengar suara kasur berderit pelan.“Selamat datang kembali.” Suaranya pelan, tapi lega.Anza menatapnya sebentar. “Di mana… kita?”“Masih di ibukota,” sahut Reinalt. “Di rumah salah satu warga yang membantu. Kita aman untuk saat ini.”Anza hanya mengangguk perlahan. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba mencerna segalanya. Lalu membuka lagi. “Leo?”Sebelum Reinalt menjawab, suara pelan dari belakang menjawab lebih dulu.“Masih lemas, t
Sinar terakhir dari portal memudar di udara—dan hanya sekejap setelahnya, keributan pasar pecah.“Wah! Mereka jatuh dari mana?!”“Pangeran?!”Keramaian pasar ibukota Heavenly yang biasanya dipenuhi canda dan obrolan kini berubah menjadi gumaman bingung dan langkah-langkah ragu. Di tengah jalan utama yang dibatasi kios-kios makanan, kerajinan tangan, dan gantungan bunga, empat sosok muncul tiba-tiba dari udara, mendarat dengan suara lembut di atas batu yang masih basah oleh embun pagi.Tak ada darah. Tak ada luka.Namun mereka jelas... terengah-engah, limbung, dan kelelahan.Reinalt berdiri dengan satu lutut menyentuh tanah, menahan tubuh Anza yang tak sadarkan diri di lengannya. Nafasnya masih berat, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya sigap menyapu sekeliling.Hana berlutut di samping mereka, memeluk Leo kecil yang tampak lemah, serta Lumi yang bersembunyi gemetar dalam pelukannya.Haya terduduk di sisi lain bersama Kael, hippogriff yang telah mengecil secara sadar dan duduk t