15-07-2018
The Muse Museum, New York.
Petugas berbadan paling kekar mengejar Eight dan petugas wanita mengejar Seven.
“Lucky me!” teriak Seven dengan percaya diri. Setelah berlari cukup jauh, Seven berhenti untuk menggoda petugas cantik itu.
“Enough! I give up for you, sweetie,” ucap Seven sambil tersenyum menggoda.
Seven adalah seorang playboy super tampan dan berkharismatik dengan postur tubuh atletis dan kulit putih. Mungkin tingginya sekitar 188-190 cm dan suara medium bass yang seksi. Lesung pipi dan senyuman manis dari bibir belah pria itu membuat para kaum hawa gagal fokus.
Petugas wanita bernama Jenny terus mengacungkan pistol tanpa melepaskan pandangan matanya.
“Hands Up!”
“Okay okay, whatever,” jawab Seven pasrah.
Saat Jenny semakin mendekat, Seven segera memukul lengannya hingga pistol itu terlempar jauh. Seven berhasil mengunci leher Jenny dengan lengannya.
“Hm… kau sangat harum,” desahnya tepat di belakang telinga wanita berdarah campuran itu.
Jenny segera membenturkan kepalanya ke belakang namun hidung mancung Seven berhasil menghindari serangan mendadaknya.
“Kau ini sangat nakal,” gerutu Seven sembari memutar tubuh Jenny dan kini mereka berdua saling berhadapan. Seven langsung mendorongnya ke dinding dan melumat kasar bibirnya tanpa ampun.
Tangannya mulai mengelus pinggang ramping Jenny dan ciuman menjadi semakin intim. Jenny terbuai oleh gerakan provokasi fuckboy dengan puppy eyes itu.
Di sela aktivitas ciumannya yang semakin memanas, Eight memberi kode dari kaca jendela.
'Mata keranjang! Waktunya kabur.'
Seven mempercepat tempo ciumannya hingga Jenny hampir kehabisan napas.
“Honey, wait,” bisiknya sambil menarik tengkuk lehernya menjauh.
Seven menembak bubuk obat bius dari jam tangannya yang membuat wanita di hadapannya pingsan seketika.
Dor!
Dor!
Dor!
Seketika puluhan penembak memenuhi lokasi tersebut.
“Sial! Heboh sekali.”
Seven segera berlindung di balik tembok dan sesekali mengintip untuk menghitung jumlah mereka. Sniper biasanya hanya bisa digunakan untuk menembak dari jarak jauh.
Namun tidak ada yang mustahil bagi Seven Gin Wilde, agen rahasia dari organisasi mafia terkenal di Italia, Death Wish. Seperti namanya, kau berharap mati jika mencoba menantangnya.
Ping!
Ping!
Ping!
Seven mulai menembak dengan sniper yang telah dipasang peredam suara, sasarannya adalah kepala lawan.
Lima lawan tumbang dalam ronde pertama. Not bad!
Tujuh lawan tumbang dalam ronde kedua. Good!
Seven keluar dari tempat persembunyiannya dan menjatuhkan sisa lawannya sekaligus. Perfect!
Rombongan lain telah tiba, Seven segera menghubungi partner-nya melalui walkie-talkie.
“77994 Bantuan! Bantuan sialan! Dengar atau tidak?” bentaknya sambil lari jigjag untuk menghindari tembakan.
Rasa kelelahan membuat dirinya muak, ia terpaksa melemparkan granat ke belakang.
Buaaamm!
Ledakan besar yang terjadi di The Muse Museum Lt.54 terekam dan disiarkan dalam headline news secara live.
Ketua lembaga kepolisian setempat, Howkins meminta bantuan darurat pasukan tentara darat dan udara. Ia menyakini kebakaran dan ledakan ini adalah ulah teroris.
“Seven! Are you fucking kidding me? Aku hanya memintamu untuk mencuri sebuah permata, mengapa kau malah menghancurkan seluruh gedung museum!?” cecar Denado Wilde, ketua mafia Death Wish yang baru.
Seven Gin Wilde dan Denado Wilde tidak pernah akur.
Paolo Gans Wilde selalu mendukung Seven, sedangkan putra tunggalnya selalu mencaci maki segala usahanya, tidak pernah menghargainya.
“Bukan anggota FBI yang mengejarku, tapi Black Cat,” potong Seven menghiraukan pertanyaan bertubi-tubi dari atasan barunya.
“Organisasi mafia negeri seberang?” tanya Denado memastikan.
“Iya bodoh, cepat kirimkan bantuan!” pamit Seven sembari memasuki pintu darurat berwarna merah.
Seven bergegas menuruni ratusan tangga dan berhenti sejenak untuk mengambil napas.
“Fuck! Bagaimana bisa mereka melacak keberadaanku? Pasti ada mata-mata dalam organisasi! Sialan! Denado seperti kura-kura! Aku bisa mati terpanggang dalam gedung ini.”
Samar-samar ia mendengar derap langkah dari atas dan bawah, Seven memilih pintu secara acak dan membukanya. Sebuah lorong kosong! Ia pun berlari ke dalam dan bertemu dengan seorang pria yang muncul entah darimana.
“Tadaa! Surprise!”
Seseorang memukul kepalanya dari belakang dan Seven kehilangan kesadarannya.
***
[To be Continued....]
Seven terbangun dalam keadaan tangan dan kakinya terikat pada kursi besi. Sebuah seatbelt menahan tubuhnya agar tetap bersandar dan dua kabel elektromagnetik menempel di kedua pelipis matanya. “Fuccckkkkk!” Seorang pria tertawa penuh kegilaan muncul dari kegelapan. “Seven, kau akan mati di tanganku hari ini HAHAHAHA. Nyalakan listriknya!” Brzztt! Brzzttt! Seven disetrum hingga kedua bola matanya sempat menghilang ke atas. “HAHAHAHA It’s very fun!” Seven mengambil napas dan berteriak, “Persetan denganmu! Masalah kita sudah selesai dua tahun yang lalu, hanya pecundang yang gemar mengun
Eight berhasil menyeret Seven masuk ke dalam lift. Ia menampar-nampar wajah rupawan itu, “Sev, wake up! Jika kau pingsan, aku akan meninggalkanmu disini.” Seven tetap tidak bergerak, Eight terpaksa menyuntikkan cairan ajaib ke dalam tubuhnya. Seven terbangun dengan mata terbuka lebar. Eight dan Seven berhasil masuk ke dalam mobil yang terparkir di halaman depan gedung. Berbagai suara sirine berdengung dan peringatan menghantui jalan berkelok-kelok yang memutari pegunungan itu. Helikopter tentara menyoroti buggati hitam mereka dari atas dan mobil polisi mengejar mereka dari belakang. Sementara, Black Cat diam-diam mencari jalan pintas untuk menghadang mobil mereka dari depan. &nbs
(Lima tahun kemudian) Midsummer Collection, San Francisco. “Selamat malam para hadirin, selamat datang di Midsummer Collection 2023. Kami harap koleksi baru dari Lady Vittoria Joa Shue selaku designer utama dapat memberikan kepuasan bagi anda semua. New mode brighten day!” Sesi pembuka diawali dengan kata sambutan dan musik disco klasik. Satu persatu model mulai berjalan di atas panggung catwalk. Para hadirin membelalakkan mata karena takjub dengan koleksi unisex season ini. Aku sangat menyukai momen ini, ingin rasanya kupotret untuk dipajang di seluruh dinding kamar tidurku. Sesi penutup acara pun tiba, saatnya bagiku tampil untuk menyambut kesediaan para partisipan malam ini. “Mari kita sambut, Vittoria~ Joa~ Shue!”
Waiting room “Sialan! Ambilkan aku tissue basah!” bentakku sambil menendang pintu masuk. Asisten pribadi sekaligus bodyguardku bernama Joke Leign, hanya dia yang tahan bekerja denganku selama 3 tahun belakangan. “Bersihkan bahuku,” ucapku dengan volume suara sedikit diturunkan. “Benar-benar membuat emosi, mood-ku kacau sekali. Biarkan aku sendiri,” terangku. Joke berdiri dan mengusir mereka satu persatu. Lalu, menutup pintu dan duduk di sofa seberangku. “Kau juga tidak ikut keluar?” bentakku sambil melempar setumpuk brosur ke samping. “Sudahi aktingmu, tidak ada orang disini. Tidak ada kamera pengintai j
“Jadwal hari ini adalah penerbangan ke USA untuk acara lelang Antique Chicago di Galeri Fine Arts,” ucap Joke pagi-pagi membuat mimpi indahku terputus, fuck! Aku tidak kuat membuka kedua mataku, “Jam—berapa?” rintihku. “Jangan mengedipkan sebelah matamu, kau terlalu mempesona,” goda Joke yang membuat mood-ku membagus. “Baiklah, princess akan bangun,” kataku. Lingerie satin berenda lepas dalam sekali lucutan. Aku memiliki sebuah kaca besar dalam kamar mandi untuk memeriksa setiap inci tubuhku. Apakah ada bagian yang membengkak atau goresan kecil saja sudah mengangguku. Aku gemar menjaga bentuk tubuh dan telah menghabiskan banyak uang dan waktu demi h
Aku keluar dari acara pelelangan dengan muka masam, tidak ada yang menarik selain lukisan favorit Papa. Aku teringat dengan ucapan Papa saat pertama datang ke galeri ini. “Lukisan langit malam tanpa warna hitam gelap, betapa indahnya bermalam di teras kafe ini.” Sayangnya, galeri Fine Arts milik keluarga Rossi telah dijual Bilson dengan harga tinggi dua bulan yang lalu demi menutupi kerugian perusahaannya. “Anjing pengkhianat Rossi.” “Siapa?” sahut pria kaya raya tadi. Aku terkesiap oleh suara bass-nya yang menggoda, “Bukan siapa-siapa.” Aku menjawab spontan tanpa menatapnya lama. Pria itu mengejar dan menahan lenganku, “Namaku Eric Cassano, beritahu aku
Hotel Royal Crown. “Letakkan disini saja, thankyou.” Eric menutup pintu setelah lukisan seharga puluhan miliaran itu diantar ke rumahnya. “Buddy, kau membeli barang?” tanya Mars yang baru selesai shower. Ia bergegas keluar dengan handuk putih melingkari pinggangnya. “Yesss,” jawab Eric sedikit panik. “Apa itu? Berapa harganya?” “Tidak mahal haha,” balas Eric sambil tertawa palsu. “Cepat pergi tidur. aku lelah.” “Bukankah ini lukisan antik?” tanya Mars yang sudah mengoyak setengah kertas minyak pembungkus lukisan. “Oh
“Joa memiliki seorang tunangan?” keluhku pada gadis tomboy berperawakan tampan yang sedang duduk menyilangkan kaki jangkungnya. “Apa lebih baik aku jujur saja padanya? Bahwa aku bukan Joa yang asli?” usulku. “Kau tidak tahu jelas siapa pria itu,” balasnya. “Benar, belum satupun dari kartunya terbuka. Besok, dia akan datang kesini untuk mengirimkan lukisannya. Kau bantulah aku untuk mengamatinya sebentar.” “Ha—baiklah,” jawab Joke dengan malas. “Namun, ada satu hal yang mencurigakan darinya,” ungkapku. “Aku sudah lama memperhatikannya, namun aku tidak cukup bukti.” “Apa itu?” &nbs