Malam ini Ellina benar-benar kembali ke kamarnya di rumah keluarga Rexton. Dia meneliti seisi kamarnya meski tak banyak yang berubah. Selain barang-barangnya yang raib sejak dia tinggalkan dua tahun lebih yang lalu. Berdiri di dekat jendela, menatap halaman luar samping dari balik kaca jendela. Sosoknya yang ramping, dalam balutan piyama hitam tampak sangat rapuh dengan rambut panjang yang tergerai. Kedua tangannya tersilang di depan dada dengan ekspresi wajah tenang. Sangat tenang meski waktu telah berlalu dari tengah malam. "Bukankah ini lucu? Dulu aku lari bahkan ingin sekali keluar dari rumah ini, tapi hari ini, aku kembali. Kembali dan bahkan mengalami malam panjang yang buruk kembali," desis Ellina lirih. Mata Ellina terpejam rapat. Semua ingatan dari dua tahun lalu kembali terbayang. Dari awal saat dia diberi kesempatan untuk memulai kembali kehidupan. Lalu lari dari takdir yang mengikatnya bahkan harus berusaha sekuat tenaga untuk merubahnya. Tapi hari ini, dia berencana
Dua hari kemudian, Ellina duduk tersenyum mulut menikmati sebuah apel merah yang segar. Dia sudah tahu semuanya. Ayahnya memasukkan Lexsi ke rumah sakit jiwa. Dia bahkan tak menyangka bahwa semua akan sangat menguntungkan untuknya. Dia hanya memainkan bagiannya dan melukai dirinya tanpa takut. lawlu menyerahkan semuanya pada takdir dan hari ini dia mendapat kepuasan yang terduga. "Kau puas?" Ellina menoleh, menatap Lykaios yang masih mengupaskan apel untuknya. Tangan pria itu terulur memberikan potongan apel yang telah di kupas.meski hari mulai menjelang malam, pria itu tampak tak akan beranjak dari duduknya untuk terus memperhatikannya."Kau pasti sangat senang," imbuh Lykaios mendapat anggukan cepat dari Ellina. Mata Ellina mengerling nakal sesekali. Dua sudut bibirnya meringkuk membentuk senyum malu dengan raut wajah tidak tahu apa-apa. "Dia melewati batasnya. akwu hanya melindungi diriku,"Lykaios menggeleng dengan senyum tipis. Dia tak akan percaya pada alasan gadis di dekatny
Pagi ini Ellina terihat jauh lebih segar dan membaik. Matanya meneliti tumpukan buku juga buket bunga mawar biru lengkap dengan buket coklat yang telah tergeletak di meja nakas di samping tempat tidurnya. Tangannya tak tergerak sama sekali untuk menyentuh salah satunya. Tapi minatnya berubah baik saat pintu ruangannya terbuka dan sosok Vania masuk dengan tergesa."Kau sudah bangun?" Ellina menahan senyumnya, bertindak seolah dia benar-benar baru bangun dari tidurnya. "Oh, Ibu menungguku?" tanyanya tanpa rasa bersalah meski dia tahu Vania telah dua kali datang pagi ini untuk bertemu dengannya. Dia sengaja menutup matanya seolah tidur nyenyak dan tak tergerak pada siapapun yang datang. "Ell, kau harus membantu ibu. Ibu mohon, hanya kau yang bisa membantu,"Tatapan Ellina bergeser, seakan berminat pada permintaan Vania. Dia menahan rasa ingin tahunya dengan tatapan tak mengerti. "Apa yang bisa kubantu?""Keluarkan Lexsi dari sana. Dia tidak gila. Ayahmu tak mendengarkan permintaanku
Ernest memasuki sebuah ruangan yang tampak sunyi. Matanya meneliti wajah tampan yang masih terlelap dikursi kerja meski matahari mulai menaikkan cahayanya. Tak lama setelah itu, langkah kaki seseorang di belakangnya membuatnya menoleh."Tuan, kumohon. Silahkan keluar, Tuan muda masih tidur,"Ernest menggerakkan punggung tangannya beberapa kali agar orang tersebut menyingkir. Menandakan bahwa dia tak akan keluar meski disuruh berkali kali. Satu jari telunjuknya bahkan terangkat ketengah bibir. "Sshhtt, kau bisa membangunkannya, Lander. Pelankan suaramu, atau dia akan bangun,""Apa yang kau lakukan di ruanganku?" Suara dingin itu tercetus di udara. Membuat kedua orang yang tengah bicara itu menoleh. "Yah, kini dia benar-benar bangun," ujar Ernest dengan tersenyum. Sedangkan Lander menunduk sesaat. "Aku sudah menahannya, Tuan. Tapi Tuan Ernest tetap mencoba masuk,"Kenzie mengedipkan matanya sekali, membuat Lander mengerti dan undur diri. Melihat Lander pergi Ernest langsung tersenyum
Entah sejak kapan Ernest telah menyusuri lorong rumah sakit di pagi hari. Langkahnya terlihat memburu, dengan tangan yang masih memegang dokumen rumah sakit dari perusahaan Kenzie yang baru beberapa lalu dia dapatkan. Tatapan matanya yang biasa lembut kini berkabut. Sudut mulutnya bahkan tak tertarik sedikit pun. Terkatup rapat dengan jejak kekhawatiran yang besar. "Kenapa tak ada yang memberitahu aku bahwa dia di rumah sakit? Apa yang terjadi padanya?" Gumaman kekesalan itu terucap. Jejak kesal terlintas samar. Dia tak tahu, hal apa yang di lakukan Zacheo hingga tak memberinya informasi sepenting ini. Sekretarisnya itu pun terlihat aneh belakangan ini. Jadi dia menelepon Alvian, dan baru mengetahui bahwa sesuatu terjadi pada Ellina beberapa hari yang lalu. saat ini, dia sama sekali tak memperhatikan semua tatapan terkejut para perawat yang melihatnya. Dia hanya ingat sederet nomor kamar dan tengah menuju kesana. Satu tangannya tanpa sadar meremas kertas di genggamannya. Saat matan
"Oh pasti dari tuan muda Reegan, atau tuan muda Agate? Beritahu padaku, mana yang berasal dari keluarga Agate dan dari pria kejam yang menyakitimu?"Ellina mengeleng pelan,tapi bibir mungilnya berkata, "Semua itu dari mereka berdua. Bunga itu, coklat itu, lalu buah di sana."Tanpa banyak komentar, Ernest berdiri lalu mengambil semua yang tergeletak di atas meja. "Membuat udara memburuk saja. Aku akan membuang semua ini, lalu memesankan yang baru untukmu. Itu lebih segar dan baik untuk kesehatanmu.""Ernest, bunga dan buah itu masih segar. Mereka baru datang pagi ini, oke?"Langkah Ernest tertahan dengan tatapan tak terima saat adiknya mencoba membela Kenzie dan Irlac. "Lihatlah, kau bahkan tak teliti. Aku melihat bunga ini layu, dan buah ini sudah mengerutkan kulitnya. Coklat ini juga sudah kadaluarsa," protesnya berbohong. Ellina hanya mendesah dan membiarkan Ernest mengeluarkan semua barang yang ada di kamarnya. Yang dia tahu, Ernest tak benar-benar membuang mereka. Pria itu memb
Irlac menepikan mobilnya dan menyusuri lorong rumah sakit. Dia sempat bergidik ngeri saat beberapa orang berusaha menariknya. Langkahnya semakin cepat dan dia berdiri di sebuab pintu kamar berwarna putih. Dari kaca pintu, dia bisa melihat Lexsi tengah duduk diam dengan tatapan putus asa. Ada kantung mata hitam di bawah matanya. Wajahnya terlihat tirus dan kucal tak terurus. Mendapati itu, dia tersenyum tipis, kilatan matanya bahkan tampak puas dan terhibur. Sepertinya, istri kecilnya cukup pintar untuk memilih menyiksa Lexsi di tempat seperti ini. Seorang perawat yang mengikutinya membukan kunci pintu kamar Lexsi dan tersenyum saat mengijinkannya masuk. Dia mengetukkan tangannya beberapa kali hingga membuat Lexsi yang berada di dalam menoleh."Ibu," teriak Lexsi cepat meski belum tahu siapa yang akan masuk keruangannya. Tubuhnya bergerak cepat mendekati pintu, dan dia membeku saat melihat wajah Irlac yang tersenyum padanya saat mata mereka bertemu. "Maaf, mengecewakanmu. Aku mendeng
Satu minggu kemudian semua tampak seperti biasa. Tak ada kejadian besar di kota Z selain Lexsi yang bebas dan Ellina yang telah pulang ke rumah utama keluarga Rexton. Kakinya telah membaik. Dia telah bisa berjalan seperti biasa. Namun Lexsi terlihat tak peduli atau pun menganggapnya ada di rumah itu. Tentu, saat Aldric dirumah semua akan terlihat baik-baik saja. Tapi Ellina tahu, bahwa semua tidak seperti itu. Seperti pagi ini, saat semua memulai sarapan pagi, dan Aldric yang lebih dulu pergi ke kantor. Ellina duduk malas di meja makan dengan secangkir teh hangat di depannya. Dia tak berminat membuka suara atau bercakap dengan Vania dan Lexsi. Tapi dua orang di hadapannya jelas berbeda. Kedua orang itu saling bertatapan sebelum suara Vania tercetus ke udara. "Aku sangat mengenal ibumu," Mata Ellina bergerak malas menatap Vania dan diam tak memberi tanggapan. Melihat tak ada reaksi, Vania kembali melanjutkan kata-katanya. "Dia wanita yang buruk karena merebut kekasih sahabatnya. T