When a wild, psychotic alpha comes into your life and messes up everything that used to be pristine, the only thing left to do is... accept it, right? Rodrick Easton is a dangerous enigma. He tried to kill my father, he kidnapped me, he made me live in the woods, and to make matters worse, he somehow managed to make me fall in love with him. He put me on his side, he made me look crazy in front of my family and now everyone is worried about my mental health. But I can't discard him and let him face the consequences of his actions on his own. Rodrick is the only man who has wanted me this badly, he’s the one who taught me what it's really like to love someone. I can't leave him alone. { BOOK #2 of “Don’t Call Me Yours, Alpha” } * This is a sequel *
View MoreTak bicara bukan berarti tak ada
Tidak berkata bukan berarti hampa
Seperti jiwa sembunyi dalam raga
Begitulah angan beringsut di pelukan rasa
***
“Tapi aku ingin segera punya anak, Lady!” Lelaki itu setengah berteriak pada wanita di hadapannya. “Mau sampai kapan seperti ini?”
“Santai aja, dong. Nggak usah ngegas gitu. Ya, udah. Kalo emang lo pengen segera punya anak, buruan cari wanita untuk kita sewa rahimnya,” jawab Lady dengan tenang, sementara mata tetap terpaku pada majalah yang sedang dia baca.
“Aku serius! Bisa nggak sih perhatian sedikit?” Kala menarik majalah dari tangan Lady, lalu melempar sembarangan ke sudut ruangan. Napasnya menderu, tanda dia benar-benar marah.
“Oke, jadi mau lo apa?” Lady sudah terbiasa dengan sikap meledak-ledak suaminya ini. Dia mendongak, menatap santai ke arah Kala yang berdiri dengan gesture tidak tenang.
“Aku mau punya A-NAK! Kenapa harus sewa rahim segala? Kita ini suami istri yang sah. Sudah tiga tahun kita menikah!” Pria itu tampak sangat frustasi. Dia duduk di sofa dan mulai menjambak rambut sendiri.
“Gue nggak mau badan gue rusak. Lo suruh gue jadi gendut? Terus kaki bengkak, stretch mark, susah gerak, pipi kayak balon, dan muntah-muntah? Big no!” jawab Lady sambil mengangkat kedua tangannya.
“Aneh kamu ini. Orang lain begitu bangga bisa jadi seorang ibu. Kamu malah nggak mau,” dengkus Kala.
“Loh, gue mau kok jadi ibu. Siapa bilang gue nggak mau punya anak? Gue mau, tapi gue nggak mau hamil dan melahirkan. Di situ doang bedanya.” Lady tidak mau kalah.
“Wanita lain bangga bisa hamil, merasakan bayi dalam perut, merawat mereka sejak awal. Bahkan jadi momen tak terlupakan ketika mereka melahirkan anak. Kok kamu malah nggak mau. Isssh ....” Kala mendesis melampiaskan kesal.
“Itu kan orang lain. Lo nikahin gue, ya lo terima dong pemikiran gue. Kalo lo keberatan, nikahin aja orang lain. Life is simple, Bee,” ujar Lady tenang. Dia tahu, laki-laki ini tidak akan ada keberanian untuk berpisah dengannya.
“Jadi, keputusanmu sudah bulat bahwa kamu nggak mau hamil dan melahirkan anak kita?” Kala bertanya sekali lagi.
“Sampai kapan pun, never,” jawab Lady penuh keyakinan. “Jaman sudah modern, and we have a lot of money. Uang kita melimpah ruah. Kenapa harus menyulitkan diri dengan hamil dan melahirkan, sih? Belum lagi kalo harus operasi caesar yang pemulihannya butuh waktu lama. Resiko kematian ketika melahirkan juga ada. Kita tinggal bayar orang untuk tugas itu. Easy, kan?”
Lady menjabarkan pemikirannya. Hamil sangat membuang waktu dan energi. Bayangkan saja, selama sembilan bulan lebih harus membawa beban yang tidak ringan dalam perut. Belum lagi gangguan hormonal, psikis, emosi, bahkan kadang tidak terkontrol. Rasa mual, tidak nyaman, lelah yang sangat, kerusakan tubuh, semua itu merugikan terutama bagi kaum wanita. Selagi bisa mewakilkan tugas itu pada orang lain, kenapa tidak?
Resiko kematian juga mengintip, baik itu selama kehamilan maupun proses kelahiran. Resiko pendarahan, keguguran, dan berbagai ancaman lain di depan mata. Kalau menyewa rahim, misal dihadapkan pada situasi yang harus memilih antara keselamatan si ibu atau sang bayi, jelas akan jauh lebih mudah untuk mengambil keputusan. Tentu saja, hidup bayi harus diutamakan. Persetan dengan ibunya. Dia sudah menerima uang sewa, lengkap dengan segala resiko yang mengiringi.
Kala adalah pria dengan intensitas bercinta yang sangat tinggi. Sudah tiga tahun mereka bersama, hampir setiap hari mereka melakukan hubungan suami istri. Apalagi setelah masa datang bulan selesai, mereka bisa melakukan beberapa kali dalam semalam. Gairah yang terpaksa ditahan karena kedatangan tamu tak diundang.
“Yakin, kuat menahan gairah selama sembilan bulan?” Lady memancing.
Kala tercenung sesaat. Benar juga yang dikatakan Lady, pikirnya. Menunggu beberapa hari sampai perginya tamu bulanan saja sudah terasa sangat menyiksa. Lantas, kuatkah dia menahan hingga berbulan-bulan? Selama ini, susah payah dia menahan untuk tidak berselingkuh atau sekadar pelampiasan dengan wanita sewaan. Jelas dia mampu untuk membayar. Namun, dia masih mencoba untuk setia, hanya pada satu wanita. Walaupun atas nama nafsu atau one night stand only, dia tetap tidak mau.
“Aku nggak bisa lagi maksa. Biar Pandu kusuruh cari orang yang mau disewa rahimnya. Kamu ada syarat khusus atau kriteria tertentu?” Kala akhirnya mengalah dan sikapnya kembali lembut. Dia hanya ingin segera punya anak. Tak mau terus terlarut dalam pertengkaran tanpa ujung seperti ini. Lebih baik dia turuti keinginan Lady.
Lady beranjak dari sofa, mendekati Kala, lalu duduk di pangkuannya. Lady mengalungkan kedua lengan di leher pria itu, beradu pandang tepat di manik mata. Dia lega, akhirnya sang suami mau juga menuruti keinginannya.
“Yang penting sehat, bersih, cantik, dan kalo bisa hidup sendiri, sebatang kara, supaya rahasia kita tetap aman. Coba lo bikin draft perjanjian dengan tim legal. Kita discuss lagi nanti,” ucapnya sembari mendekatkan bibir dan mencium pipi kiri Kala.
“Kenapa harus cantik? Bukankah cuma numpang rahim? Sel telur dan sperma kan dari kita, Honey.” Kala memeluk pinggang ramping Lady. Tangan kanannya merayap ke atas, mengusap pelan punggung istri tercinta.
“Lo mau, anak kita sembilan bulan di perut orang jelek?” Lady mengecup bibir Kala perlahan. “Gue sih nggak mau. Kasihan anak kita.”
Kala tersenyum dan membalas ciuman sang istri. Selama beberapa menit, mereka malah asyik sendiri, saling memagut bibir. Keduanya terus berciuman. Kala tak berhenti sedetik pun menikmati bibir ranum menggairahkan itu, terus mencumbu.
“Ke kamar, yuk. Bee sudah ingin menyantap Honey.”
Mereka memang memiliki panggilan sayang. Bee untuk Kala, yang sebetulnya diambil dari suku kata terakhir ‘baby’ dan memiliki arti lain yaitu lebah. Sangat sesuai untuk dipasangkan dengan honey atau sayang, yang juga berarti madu.
“Kenapa harus di kamar? Sekali-sekali ganti suasana.” Lady merebahkan tubuh Kala.
“Honey, nggak bisa lama-lama. Nanti Bik Maneh lihat.” Kala khawatir pembantunya itu tiba-tiba muncul. Bisa-bisa hasrat tidak tersalur, malu yang mereka dapat.
“Kita main kilat, Bee.”
Mereka berdua menahan diri untuk tidak mendesah dengan keras. Wajah Kala sudah terlihat merah padam. Ketika pria itu sedang di puncak gairah, wajahnya memang selalu memerah.
Keduanya mencapai puncak dalam keadaan penuh peluh dan napas yang menderu. Lady mengusap keringat yang membanjiri wajah suaminya dengan penuh kasih sayang.
“Thank you, Honey,” ucap Kala sambil mencium bibir Lady sekilas.
“Buruan pake baju. Bik Maneh masih di dapur.” Lady mengingatkan tentang situasi. Mereka segera mengenakan pakaian sembari tersenyum mengingat kekonyolan yang baru saja dilakukan. Sesekali berganti suasana seperti ini ternyata mengasyikkan, pikir Lady.
Setidaknya, masalah punya anak sudah ada titik terang. Tidak merugikan Lady, juga mampu mewujudkan keinginan Kala. Win-win solution.
I really don't know what happens after I get the news. I'm in complete shock. Alessandro keeps touching me all the time and everyone tries to strike up conversations with me, not realizing that I'm not really paying attention because I’m lost in my own mind, trying to deal with my overexcited wolf. A couple of hours later we say goodbye to everyone and it's finally time to go home. I feel like there's something pushing on my shoulders until I manage to get into Alessandro's room (our room?) and I'm able to lie down on the bed. "What's wrong, baby?" asks Alessandro, sitting down next to me on the bed, "Are you thinking about the pregnancy?""I'm just thinking about everything. I feel like I woke up in another dimension, I mean... I was asleep for a whole week and now everything is different. I don't know how to feel yet," I honestly admit. Alessandro nods and looks at me with understanding in his eyes."I can imagine how hard it must be. Come here," he says, but he doesn't even wait
{ Andrew } I have no idea what happened after I decided to let my wolf out for a while, but when I return to my body, I'm naked and next to Alessandro in a bed. My body feels freshly fucked and that makes my face turn hot. I don't freak out because it's obvious that Alessandro is the culprit, but I'm pretty confused about at what point exactly that happened. "Hey, Kitten, you woke up," Alessandro says next to me, putting a hand on my face, "It's you again, baby. How are you feeling? Your wolf's been out all week." "What?!" I exclaim and sit up in bed in absolute shock, "What do you mean all week? Was I on heat again?" I was only supposed to log out for a little while. A little while, meaning an hour or two while my sadness subsided. Not a whole damn week of my life, what the hell? "You weren't in heat, you just decided to give control to him," he explains, looking at me with so much love it leaves me even more confused than before, "Some things have happened, you want to kno
I don't know how to react to this. I’m upset and relieved at the same time, in equal amounts. All I can do is look down into the most beautiful, innocent eyes I've ever seen in my entire life... even if that innocence is a lie, at least at this moment. "Did you get yourself wet on purpose to come hide here and make me think you were with another alpha?" I ask, still trying to make sense of what's going on before any reaction. "No, no," he answers immediately, looking a tiny bit unsure for the first time, "I was just flirting with that alpha on purpose, I wanted you to go stop him or at least... I don't know, make you look upset, but every time I turned to look at you you were focused on something else. I wasn't planning on the other guy getting me wet or that alpha wanting to bring me here, I just went with the flow to see if you cared enough. But, five minutes? Do you know everything that could happen in five minutes?" This little manipulator. "I don't like this, Andrew. These
I get out of the car after saying that, managing to keep my tears under control because now I'm more angry than sad. I know I have no right to be because it's all my fault, but that doesn't help to control my emotions. I walk inside the house and curse internally when I see the whole family here. Frank, Dalia, Lucinda, Robbie, Carolina, Daniel, Olivia, Rosie, Carolina, Harry and the kids. The only one missing is my brother. I can't believe I was so upset that I didn't even pay attention to all their cars outside. They all look at me with intrigue when I walk in smelling like pure misery, probably. "Hey, how did it go?" asks Clara as soon as she sees me. And since she's the closest thing to my brother, I walk over to her to hug her, "Oh, no. What happened?" "Nothing, everything went fine," I lie because I don't want to be the cry baby of the family anymore, "I just want a hug." ➿➿➿➿ This is the first time I've ever seen my brother so concerned about his appearance. He checks
{ Andrew } Nobody asks me anything about how I feel anymore, not even my brother. It's obvious that I'm not well and it's obvious that I have issues, but I still try to act normal and carry on like I used to when Alessandro didn't exist in my life. I've been living with my brother and Clara again and I spend all day cooped up at home at my new job babysitting my nephew or reading in my spare time, which is still as fun as before, except I'm doing it to escape again and that's not so good. I need to remind myself of the good things in my life again. Like this roof over my head, my big new family and my lovely nephew. "Does that taste good, Phoenix?" I ask my nephew as I feed him and he just bangs his little fists on his table, as if demanding that I give him more food. As soon as I bring the spoon close to his mouth he grabs it in his hand and steals it from me to bring it to his mouth frantically as if he's starving, "I guess that's a yes. God, pup, that's why your cheeks are so
{ Andrew } [ 18 years old ] My wolf was right. I am an omega. I look in the mirror and try to find differences in my body like curves or something, but I'm still as skinny as ever. The only change is the way my wolf feels, like an omega. It's nothing new, he’s always had the idea that we are. But today he knows for sure. And I'm filled with excitement, until it's time to leave my room. Today is Saturday, Rodrick should be at work right now. My dad could be anywhere, working, visiting one of his siblings or just hunting in the woods... but today is the anniversary of my mother's death. My dad is here. It's only nine in the morning but from the amount of bottles around him I know he's already drunk. He looks at me with much more hatred and contempt than usual, although I'm used to it. His hatred for me is always worse this day. I killed the love of his life, after all. Except this time when I approach instead of starting to yell things at me, his brow furrows in confusion an
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments