Hamil di luar nikah.
Astaga, Ify rasanya ingin menangis sambil guling-guling di trotoar."Gue serius, Kak! Semua tetangga bergunjing tentang lo yang hamil di luar nikah. Mama belum kering kuburannya, dan semua rumor itu semakin meluas.""Yang penting kenyataannya nggak begitu, Ray!" Ify menyahut kalem. Ia tak punya tenaga untuk sekedar membantah atau klarifikasi kepada para tetangga."Memangnya lo baik-baik aja, Kak? Mereka semua bilang lo bekerja jadi wanita malam. Mereka bilang lo anak kurang ajar karena nggak ada pas mama sekarat. Mereka bilang lo--" Ray tergugu, Ify meraih adik kesayangannya itu dalam pelukan. Mengelus rambutnya dengan sayang."Kakak nggak apa-apa, Ray! Selama bukan kamu yang berpikir kaya gitu, Kakak baik-baik aja. Maaf karena kakak nggak ada di samping kamu dampingin mama."Tangis Ray pecah dalam pelukan kakaknya. Bagaimana pun, ia hanyalah sesosok adik kecil yang selalu dimanjakan sang kakak. Ia tau semua pengorbanan Ify demi menghidupi keluarga mereka. Maka, akan tak tahu diri jika Ray sampai tak mempercayai kakak satu-satunya."Mama, kakak ganteng kenapa?" Atan datang setelah bosan bermain dengan robot-robotan milik Ray dulu.Ify merentangkan tangan kirinya, memberi isyarat kepada Atan agar mendekat yang langsung disambut balita itu dengan sukacita. Ify kini memeluk dia orang, menciumi kepala Ray dan Atan bergantian. Ini aneh, Atan tak ada hubungan darah dengannya tapi Ify menyayanginya seperti ia menyayangi Ray."Sudah selesai ujian 'kan?" tanya Ify saat dirasa Ray sudah tenang.Ray mengangguk. "Tinggal nunggu ijazah keluar.""Ya udah, besok kita balik ke Surabaya, kasihan Atan kalau dicari orangtuanya.""Gue ikut, Kak?""Kenapa? Lo nggak mau? Gue nggak bisa tinggal di sini, Ray! Kerjaan gue di sana soalnya! Nanti lo juga bisa sambil kuliah."Ray menggeleng. "Gue ikut, Kak! Tapi biarin gue kerja, ya?"Ify menggeleng. "Jangan! Bukannya lo udah submit SNMPTN? Kalau misal lolos dan nggak lo ambil kan percuma.""Gue nggak yakin bakalan lolos, Kak!""Emang lo ambil universitas mana?""UNAIR sama UNESA.""Universitas yang bagus! Gue yakin lo bakalan lolos, kan lo lebih pinter dari gue kalau soal pelajaran, hehehe!"Kekehan Ify mau tak mau membuat Ray ikut terkekeh bangga. Memang, dalam hal akademik ia patut berbangga hati karena otaknya yang encer."Mama, Atan ngantuk," obrolan mereka terpotong oleh celotehan Atan yang sejak tadi menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Ify. Bocah itu terlihat sangat nyaman saat berada dalam pelukan Ify hingga terus merasa ngantuk. Ify pun menyamankan posisi gendongannya dan menepuk-nepuk pantat Atan agar cepat tidur."Gue penasaran siapa bapaknya," Ray berucap setengah berbisik karena tidak mau mengejutkan Atan."Apalagi gue? Di sana gue dituding ibu nggak becus, di sini dituding hamil di luar nikah. Lihat aja kalau gue ketemu ayahnya gue bakalan minta ganti rugi yang besar," gerutu Ify yang membuat Ray terkekeh."Kalau bapaknya tajir sih oke aja, kalau bapaknya juga miskin gimana, hayo?""Nggak mungkin, sih! Dilihat dari merk pakaian Atan aja gue bisa taksir harganya satu kali gaji gue.""Terus, kalau dia anak orang kaya, kenapa bisa hilang di pinggir jalan gitu?""Ya mana gue tau? Tanya emak bapaknya coba, siapa tau keasikan pacaran sampai lupa kalau mereka bawa anak keluar.""Tapi kayaknya Atan nggak punya mama, deh!""Huss! Jangan ngomong kaya gitu!" Ify menghardik Ray agar berhati-hati dengan ucapan."Ya abisnya dia manggil lo pake sebutan Mama. Anak mana yang manggil orang asing pake sebutan mama kalau dia punya mama sendiri?"Ify hanya terdiam. Meski ucapan Ray ada benarnya, tapi ia tak berani berpikir macam-macam."Emangnya lo udah tahu siapa bapaknya?" tanya Ray lebih lanjut.Ify hanya menggeleng. "Setiap gue tanya, dia cuma jawab 'Ayah io di rumah. Atan kangen ayah io, nggak mau pergi lagi sama tante jelek' dia selalu jawab gitu dan ujung-ujungnya nangis. Gue nggak tega buat desak terus.""Terus, lo bakalan ngurus nih bayi? Kalau lo kerja gimana?""Sebenernya ... gue juga baru keluar dari kerjaan, jadi untuk sementara gue senggang," Ify meringis melihat Ray yang melotot."Terus kalau gue ikut ke sana, gue bakalan jadi beban buat lo, Kak!"Ify mendelik, menatap Ray tidak suka dengan ucapan terakhirnya."Lo udah beban dari dulu, kenapa baru sadar sekarang, hah?" sungut Ify yang justru membuat Ray tertawa kencang."Iya juga ya? Jadi lo langsung cari kerjaan begitu tiba?""Kayaknya enggak, gue masih punya tabungan. Dan kayaknya mau bikin usaha katering kecil-kecilan sama kue-kue yang nanti bisa gue titipin di warung.""Kenapa nggak bikin branding aja di sosial media? Nanti kakak urusan dapur, gue yang ngurus promosinya, gimana?"Ify tersenyum cerah. "Waahh, boleh juga ide lo. Ya udah sekarang siap-siap gih, besok kita berangkat pagi-pagi biar Atan nggak kepanasan."Ray kemudian mengangguk, melangkah menuju kamarnya untuk packing sebelum berbalik."Terus rumah ini gimana?""Nggak gimana-gimana, kalau kita kangen mama papa kita bisa pulang dan tidur di sini."*Pukul sepuluh pagi, Ify, Ray dan juga Atan sudah tiba di kos milik Ify. Meskipun dinamakan kos, tapi kamar ini lebih seperti rumah sewa karena terdapat dua kamar kecil, satu kamar mandi dan juga dapur. Tidak ada ruang tamu, hanya dua kursi dan satu meja di teras."Bersih-bersih aja dulu, gue masak! Kasihan Atan juga udah lapar. Kalau udah selesai tolong lihatin Atan sebentar di kamar gue. Dia tadi anteng gue kasih lihat ponsel."Ray hanya mengangguk, dan mulai berbenah. Tak sampai satu jam, ia sudah bermain dan bercanda bersama Atan di kamar Ify, hingga perempuan itu datang dan mengatakan jika sarapan semi makan siang sudah siap.Atan begitu antusias untuk menjemput makanannya. Dari kemarin, balita itu terlihat sangat menikmati masakan Ify. Katanya, masakan Ify sangat enak. Padahal Ify memperbanyak sayur dan bocah itu sama sekali tidak protes, semua yang ada di piringnya tandas tak tersisa, termasuk buah-buahan yang sudah ia potong-potong kecil."Mama mama, Atan mau makan masakan mama terus setiap hari boleh nggak?" tanyanya setelah selesai makan. Bocah itu duduk bersandar di dinding dengan tangan yang mengelus perut. Kekenyangan.Ify terkekeh. "Memangnya Atan nggak kangen Ayah? Atan nggak mau pulang?"Mendengar sang ayah disebut, balita itu murung membuat Ify merasa bersalah. Ray yang mulai merasakan kedekatan dengan bocah itu menyikut Ify dan memberikan kode lewat lirikan mata.'Katanya nggak tega, kenapa lo ungkit sekarang?'Ify mendengus, lalu beranjak dan memeluk Atan. "Nanti kita cari Ayah sama-sama, ya? Tante janji, tante akan bantu Atan biar bisa ketemu ayah lagi.""Tapi mama ikut Atan kan nanti?"Ify melonggarkan pelukannya dan menatap Atan tak mengerti. "Ikut kemana sayang?""Ikut pulang ke rumah Ayah. Atan mau makan masakan mama setiap hari. Atan juga pengen main bareng ayah dan mama. Nanti kita ke kebun binatang lihat gajah, ayah gandeng tangan kananku, dan mama gandeng tangan kiriku. Biar aku nggak diejek lagi karena aku udah punya mama," ucap Atan dengan antusias yang membuat Ify meringis. Ia melirik ke arah Ray yang sudah menutup mulut menahan tawa.'Jangan ketawa bodoh! Ini lagi sedih, dia nggak punya mama,'Melalui gerakan mulut tanpa suara, Ify menggertak Ray.'Kan mamanya lo, duh dapat kakak ipar duda nih nanti'Satu lemparan bantal membuat Ray ngibrit ke kamarnya sendiri dan suara tawa kemudian pecah menghiasi kamar kos yang kecil ini."Gimana, Vin? Ini udah ganti hari tapi kenapa belum ada juga kabar tentang putraku?" tanya Rio begitu Alvin, sang asisten masuk ke ruangannya. "Karena itu saya ke sini, Pak! Tadi siang saya sudah bertemu dengan pihak pengelola taman tempat pertama kali Atan hilang. Dan dari kamera CCTV, kita bisa melihat kalau Bu Shilla meninggalkan Atan cukup lama sehingga Atan berjalan sendirian keluar taman."Belum selesai penjelasan Alvin, rasanya darah Rio mendidih karena emosi. "Lanjutkan!" titahnya. "Melalui rekaman CCTV di traffic control system, dari taman kota, Atan berjalan menyusuri Jl. Kangean hingga berhenti di sebuah halte dekat restoran kita. Atan di sana sampai malam karena tak ada seorang pun yang berhasil membujuknya. Ada beberapa polisi juga yang datang tapi tak berhasil membuat Atan angkat bicara. Sekitar pukul sepuluh malam kemudian, ada seorang wanita yang tiba-tiba saja membuat Atan bereaksi. Atan langsung menghambur ke pelukan wanita itu dan mereka kemudian pergi.""Cepat la
"Whattt? Lo gilaaa!!"Ify meletakkan jarinya di depan mulut, meminta Via agar tak terlalu berisik karena semua pengunjung kafe kini menatap mereka dengan pandangan terganggu. "Jangan teriak! Malu-maluin aja sih," bisik Ify sambil tersenyum dan mengucapkan maaf kepada semua pengunjung yang terganggu. "Tapi kita-kita sudah menduga sih, soalnya pas Pak Riko turun tuh dia kaya kesakitan dan megangin selangkangan. Tapi gue nggak nyangka kalau si brengsek itu sampai mecat lo. Tapi syukurlah, lo lepas dari orang brengsek kaya dia," ucap Via dengan emosi menggebu. "Syukur pala lo pitak, gue pengangguran anjir!" sungut Ify. "Terus lo kenapa nggak ada kabar setelahnya? Gue hubungin nggak pernah lo angkat, gue ke kos nggak ada orang."Ify menghela napas, sampai juga mereka ke cerita yang sebenarnya. "Mama gue meninggal, Vi!"Via terdiam, ia menatap sosok sahabatnya itu dengan mata yang mulai memburam. Ikut merasakan sakit yang menyayat, melihat sang sahabat yang mencoba tetap tegar ditengah
Rio benar-benar tak bisa mengalihkan pandang dari sang buah hati yang tengah makan dengan sangat lahap. Selama tiga tahun, Rio tak pernah sekalipun melihat sang anak yang begitu menikmati hidangan di hadapannya. Padahal jika Rio bisa berkomentar, makanan yang kini dimakan sang anak sangatlah sederhana dibanding apa yang mereka makan sehari-hari. Hal lain yang membuat Rio semakin takjub adalah kenyataan jika Atan sebenarnya sangat susah untuk makan sayur dan buah, chef di rumah mereka pun harus memutar otak agar nutrisi Atan tetap terjaga dengan membuat berbagai hidangan sayur yang dimodifikasi. Namun kini di depannya, Atan makan dengan lahap tanpa protes sedikitpun, padahal Ify hanya memasak menu sederhana. Nasi ayam jamur, dengan rebusan brokoli dan wortel. Ify juga memotong satu buah apel sebagai pencuci mulut saat Atan selesai makan. "Ayah, mau coba masakan mama, nggak?" celetuk Atan yang membuat semua atensi orang dewasa di sana tertuju padanya."Atan makan yang banyak dulu aja, y
Rio menatap tumpukan berkas yang ada di depannya dengan lelah. Memijit pangkal hidungnya pelan, Rio menghembuskan napas panjang saat menyadari jika tanggungannya untuk hari ini masih sangat banyak.Sebentar lagi waktu makan siang, Rio baru saja berniat untuk menelepon putranya saat pintu ruangannya diketuk."Masuk!"Alvin masuk dengan sebuah amplop coklat di tangan. "Sudah dapat informasinya?" tanya Rio langsung yang membuat Alvin mengangguk. "Nona Ify pernah bekerja di Jade Imperial sebagai chef dan berhenti bekerja tiga minggu yang lalu. Menurut kesaksian para karyawan, malam itu Nona Ify dipanggil oleh Riko ke ruangan, tapi tak berapa lama Nona Ify keluar dalam keadaan marah, membereskan semua barang-barangnya dan tidak pernah kembali setelahnya.""Lalu?" "Karena di kantor Riko tidak ada CCTV, saya agak kesulitan untuk mencari tahu apa yang terjadi malam itu. Tapi menurut informan saya, malam hari sebelumnya Riko menyatakan cinta kepada Nona Ify dan ditolak."Seketika sebuah ske
Pikiran adalah salah satu pembunuh secara tak langsung. Tak ada kegiatan di saat tengah hari yang sunyi, membuat Ify lagi-lagi tenggelam dalam pikiran yang akhir-akhir ini membuatnya sakit kepala. Semua tak berjalan sesuai rencana. Banner promosi katering miliknya yang direncanakan oleh Ray tak berjalan sesuai ekspekstasi. Memang, ada satu dua yang pesan atau beli, tapi itu tak bisa menutup modal awal yang lagi-lagi membuat Ify harus memutar otak. Apalagi saat kabar menggembirakan dimana sang adik diterima di kampus ternama Universitas Airlangga. Meski beasiswa penuh, tak memungkiri kebutuhan lain juga membesar. Ongkos dan uang saku sang adik yang sudah pasti. Tak mungkin juga Ify membiarkan sang adik memegang uang pas-pasan. Ify harus memikirkan alternatif lain untuk menopang hidup mereka.Air mata tanpa sadar mulai menitik, Ify merasa pundaknya terasa sangat berat. Memikul beban sebegitu besar dalam waktu yang tak singkat, sampai Ify sendiri tak sempat untuk mengerti arti bahagia.
Selama dua puluh empat tahun, Ify tak pernah menginjakkan kaki di restoran mewah kecuali Jade Imperial dan beberapa restoran sebelum ia bekerja untuk proses interview. Namun sekarang, ia berdiri di depan sebuah hotel bintang lima yang terkenal dengan fine diningnya. Untuk bisa makan dan menginap di hotel ini, mereka harus reservasi satu minggu sebelumnya."Kak, serius kita mau makan di sini?" bisik Ray.Ify terdiam, menatap pantulan dirinya di kaca mobil. Sial! Dirinya terlihat seperti gembel saat melihat Rio yang begitu rapi dengan setelan jas sementara dirinya dan Ray hanya menggunakan pakaian santai karena tak mengira jika Rio akan membawa mereka ke tempat semewah ini."Mas, kita nggak salah tempat?" tanya Ify memastikan. Ia bahkan takut melangkah lebih jauh, membuat Rio pun menghentikan langkahnya."Kenapa? Kalian nggak suka makan di sini?""Bukannya kita nggak suka, Mas! Tapi lihat, kita salah kostum. Udah macem gembel aja kita, ntar kalau disangka mau ngemis gimana?""Sebenarny
"Makasih untuk makan siangnya, Mas! Hati-hati di jalan!" ucap Ify begitu turun dari mobil. Rio hanya mengangguk dengan senyum singkat lalu mulai menjalankan mobilnya meninggalkan kosan milik Ify. Ray dan Ify, keduanya tak langsung masuk tetapi memilih untuk duduk di kursi teras. "Kak, lo kelihatan badmood daritadi, kenapa?" tanya Ray setelah sekian lama berdiam diri. "Hah? Siapa?""Yang tanya?""Gue tanya beneran!""Ya elo lah, emang di sini ada siapa lagi? Mbak kunti?" jawab Ray kesal karena sang kakak yang sedang dalam mode lemot. Ia sudah cukup kesal lantaran waktu makan siangnya yang nikmat harus dinodai dengan datangnya entitas tante-tante bohay yang entah ada hubungan apa dengan Om Rio (yang jelas Ray bisa menyimpulkan jika keduanya lumayan dekat), yang sangat berisik membuat Ray gatal ingin menyumpal mulut tante itu dengan piring dessert di depannya. "Gue nggak badmood dih, perasaan biasa aja," jawab Ify lalu membuka ponsel, sekedar mengecek riwayat pesan yang ternyata pen
Sekian lama bersahabat dengan Ify, Sivia tidak pernah dikejutkan dengan sebegini hebatnya. Kehidupan Ify itu cenderung flat, kalau Sivia boleh bilang, sangat membosankan. Karena kehidupan Ify hanya berputar antara restoran dan rumah. Tak pernah berminat jika Sivia mengajak Ify untuk sekedar bersenang-senang di luar. Karena Ify cenderung menghindari hal-hal yang akan membuatnya repot, dan Sivia tak pernah bisa memaksa. Akhirnya, hanya Sivia yang sering berkunjung ke kosan Ify jika sedang ingin bermain bersama.Namun akhir-akhir ini, Sivia sudah tidak bisa menghitung berapa kali ia terkejut karena Ify. Puncaknya adalah saat ini, di depan pintu apartemen milik sahabatnya itu, melihat bos besar yang dengan santai keluar dari apartemen, dengan bocah cilik yang memanggil Ify dengan sebutan 'Mama'. Sungguh, Sivia merasa sedang berada diantara nyata dan mimpi. "Mama, tadi Atan di sekolah diajarin menggambar. Dipuji sama Bu guru katanya gambar Atan bagus," celoteh bocah tiga tahun menceritaka