Home / Romansa / Hey, Mama! / 2. Hilang

Share

2. Hilang

Author: dian_nurlaili
last update Last Updated: 2022-07-31 09:52:32

Semua orang yang ada di ruangan begitu gelisah. Terutama seorang pria akhir dua puluhan yang begitu frustasi. Ia berjalan mondar-mandir, berkali-kali mengecek ponsel dan sesekali menatap tajam wanita muda yang kini tertunduk takut.

"Belum ada kabar lagi, Yo?" tanya seorang wanita paruh baya yang hampir menangis. Bahunya diusap lembut sang suami untuk menenangkan.

"Belum, Ma!" jawab Rio gusar.

"Semua ini gara-gara kamu!" Wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya dan menuding si wanita muda dengan tatapan marah. "Kalau saja kamu tidak sok baik dengan membawa cucu saya keluar, cucu saya tidak akan hilang! Dan kamu, Yo! Berapa kali Mama bilang kalau wanita ini tidak baik untuk kamu. Lihat sekarang! Dia menghilangkan cucu mama satu-satunya."

"Ma, udah! Mama tenang dulu! Nathan pasti ketemu. Anak buah Rio kan sekarang sudah mencarinya." Ayah Rio memberi isyarat kepada sang anak untuk membawa wanita itu keluar dari rumah.

"Kamu pulang dulu, Shill! Saya sudah memesankan taksi di depan," ucap Rio dingin tanpa melihat ke arah Shilla yang sudah menatapnya dengan tatapan berkaca-kaca.

"Yo, aku minta maaf. Please! Biarin aku di sini sampai Nathan ketemu, ya?" mohonnya yang tentu saja diabaikan oleh Rio.

Sebuah taksi mendekat, Rio berbicara sejenak kepada supir taksi lalu menoleh ke arah Shilla, memberi tatapan isyarat yang tak bisa dibantaj membuat gadis itu akhirnya memilih menurut. Ia tak punya nyali untuk membantah dan keras kepala.

Usai memastikan Shilla benar-benar pergi, Rio kembali ke dalam rumah. Hatinya benar-benar gelisah mengingat sang buah hati yang tak juga ditemukan padahal hari sudah menjelang malam. Dimana anaknya saat ini? Aman kah? Sudah makan kah? Dimana anaknya akan tidur malam ini? Rio benar-benar mengutuk dirinya sendiri karena lalai menjaga anaknya.

"Ma, Pa, Rio pergi, Rio tidak bisa diam saja menunggu," pamit Rio sambil meraih kunci mobil dan bergegas pergi.

*

Perjalanan Surabaya-Malang tak membutuhkan waktu yang lama. Naik bus hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam empat puluh menit. Ify agak kerepotan saat turun dari bus karena harus menggendong balita yang tidur dan membawa tas. Beruntung tas miliknya tak terlalu besar, ia juga tak membawa pakaian.

Udara dingin menusuk tulang membuat Ify semakin mengeratkan jaket miliknya yang sengaja ia pakaikan pada balita itu dan berjalan ke kerumunan tukang ojek yang masih mangkal. Dari Terminal Arjosari ke rumahnya yang ada di Lowokwaru hanya membutuhkan waktu 21 menit.

Ify tak punya waktu istirahat, karena saat sampai di rumahnya sudah penuh dengan orang-orang yang melayat dan juga tetangga yang membantu. Langkah kakinya begitu berat, ia seperti berjalan dengan beban puluhan ton. Bahkan pegangannya pada balita di gendongannya terasa mengendur karena tangannya yang gemetar.

"Kak Ify!" Ray memghambur ke arahnya saat menyadari entitas sang kakak di depan pintu rumah. Langkah Ray terhenti saat menyadari ada anak kecil yang berada di gendongan sang kakak. Para tetangga yang ada di rumah pun terdiam, pandangan mereka bertanya-tanya, tetapi Ify memilih tak peduli. Meski matanya sudah memanas siap memproduksi air mata, tapi Ify dengan tegar tersenyum ke arah sang adik.

"Sebentar ya, kakak mau menidurkan dia dulu. Kasihan kalau tidur seperti ini terus."

Lalu tanpa menjawab rasa penasaran semua orang, Ify berjalan ke arah kamarnya untuk menidurkan sang balita.

*

Menjadi tulang punggung keluarga memang berat, sebagai anak pertama perempuan, tanggung jawab Ify benar-benar di luar nalar. Apalagi semenjak sang ayah berpulang enam tahun lalu, saat itu Ify baru saja lulus SMA. Niat ingin melanjutkan kuliah pun urung. Ify memilih untuk bekerja sembari kursus memasak karena memang tertarik dalam dalam bidang kuliner.

Ray, sang adik yang terpaut umur enam tahun saat itu baru lulus sekolah dasar. Membutuhkan biaya yang banyak untuk pendaftaran ke sekolah menengah pertama.

Selama enam tahun setelah kepergian sang ayah, Ify tetap bertahan meski beban yang ia pikul terasa sangat berat. Tangisan setiap malam tak pernah absen meski esoknya ia akan bersikap seperti biasa.

Kini, di depan jasad sang ibu, tangis Ify akhirnya pecah setelah tertahan lama. Tanpa kata, hanya air mata yang ingin Ify keluarkan agar sesak yang menghimpitnya sedikit mereda. Ray pun mendekat, dan memeluk sang kakak dengan sayang. Saat ini, mereka tak punya siapa-siapa lagi kecuali satu sama lain.

*

Satu persatu para tamu pulang, menyisakan Ray, Ify dan juga balita yang kini terdiam duduk di sofa. Balita itu terlihat bingung, tapi melihat suasana yang sedih dan banyak orang menangis, entah kenapa balita itu justru anteng. Seolah mengerti, jika ia akan merepotkan orang dewasa di sekitarnya jika bersikap rewel.

"Sarapan dulu, Kak! Kasihan nih bayi juga tadi cuma minum susu doang. Kita juga terlalu sibuk ngurusin pemakaman Mama sampai lupa kasih dia sarapan dulu. " Ray datang dengan sepiring nasi dan lauk pauk yang ia beli tadi di warung.

Balita itu tampak berbinar melihat sepiring nasi di hadapannya.

"Makan...makan," celoteh nya dengan senyum lebar yang entah kenapa membuat Ify tanpa sadar menarik senyum.

"Kamu laper?"

Balita itu mengangguk antusias. "Atan lapar."

"Namamu Atan?"

Balita itu kembali mengangguk.

"Ya sudah! Atan makan ya sekarang. Maaf, tante terlalu sibuk dan biarin Atan kelaparan, tante minta maaf ya?" ucap Ify lembut sambil mengelus rambut halus Atan.

"Mau makan disuapin Mama."

Ify pun tak menolak, ia meraih piring itu dan menyuapi Atan dengan sabar, sesekali ia juga menyuap untuk dirinya sendiri karena sadar jika ia juga belum makan sejak kemarin malam.

Ray yang melihat pemandangan itu bingung.

"Kak, gue butuh penjelasan deh kayanya," celetuknya.

"Nanti gue cerita kalau udah selesai makan. Lo juga harus sarapan!"

"Udah tadi gue sarapan langsung di warung."

"Ya udah, tunggu dulu sebentar! Gue suapin Atan dulu sampai kenyang."

Usai menyuapi Atan dan bocah itu asik dengan mainan lama Ray yang kebetulan belum dibuang, kini Ray dan Ify duduk berhadapan di sofa. Cerita mengalir begitu saja dari bibir Ify, tentang semua yang terjadi malam itu dan bagaimana bisa balita itu ada padanya.

"Gila! Kalau dia dicari orangtuanya gimana?"

Ify mengedikkan bahu. "Ya mana gue tahu. Gue nggak sebejat itu ninggalin tuh balita sendirian di kantor polisi. Apalagi Atan nggak mau disentuh orang lain. Dia tantrum, sampai akhirnya gue gendong dan tidur."

"Terus rencana kita selanjutnya apa, Kak?"

Ify menghembuskan napas panjang. Rencana selanjutnya? Jujur, Ify pun belum kepikiran sama sekali. Semua hancur dalam satu malam tanpa ia punya waktu untuk berpikir.

"Gue... nggak tahu, Ray!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hey, Mama!   47. Extra Part 2

    "Bawa seperlunya saja, Sayang! Kita nanti bisa beli di sana," ucap Rio saat melihat sang istri yang kebingungan karena kopernya yang tidak muat."Apakah boleh?" tanya Ify polos yang membuat Rio terkekeh."Kamu masih belum terbiasa dengan dompet suamimu ini?"Ify mendengus, meski Rio sudah memberinya black card, terkadang Ify terus saja lupa. Kebiasaannya berhemat ternyata sangat susah dihilangkan. "Baiklah, aku akan menghabiskan seluruh uangmu nanti," ancam Ify yang diangguki dengan semangat oleh Rio."Habiskan Sayang! Memang sudah tugasmu menghabiskan uangku. Aku takut pihak bank nanti kewalahan menyimpan uangku.""Sombong sekali," cibir Ify yang membuat Rio gemas dan mencuri kecupan kecil di bibir sang istri."Tapi, Mas! Atan tidak apa-apa ditinggal?" Entah ini pertanyaan ke-berapa kali yang Rio dengar saat mereka akhirnya memutuskan untuk bulan madu selama satu bulan penuh dengan mengunjungi beberapa negara.Rio menutup koper lalu membimbing istrinya untuk duduk di ranjang."Sayang

  • Hey, Mama!   46. Extra Part 1

    "Taruh di sana, awas jangan sampai telurnya pecah!" "Sayurannya di sini."Ify terus memberikan pengarahan demi kenyamanan dapurnya. Agar ia bisa bergerak cepat, ia juga harus mengetahui letak bahan-bahannya dengan baik. Ify melihat lawan-lawannya yang juga melakukan hal yang sama. Sebagai yang terpilih mewakili Jade Imperial, Lintang memiliki harapan yang tinggi dan itu sedikit membuat gugup. Apalagi head chef-nya itu hadir di barisan para juri.Tangan Ify terasa agak gemetar karena gugup. Ini adalah kali pertama ia mengikuti acara kontes memasak. Tidak seperti saat ia mengikuti tes interview, kali ini semua orang akan melihat karena acaranya diliput secara exclusif oleh salah satu stasiun TV terkenal."Semangatt!! Kamu bisa!!" Sivia mengepalkan tangannya, memberi semangat kepada sang sahabat yang dibalas Ify dengan senyuman tipis. Apron sudah terpasang apik di tubuhnya. Ia kembali mengingat semua resep yang telah dihapalnya. Matanya memejam sembari berdoa agar ia bisa menyelesaika

  • Hey, Mama!   45. Epilog (21+)

    "Mas, bangun! Mas ....!" Ify terus menggoyang-goyangkan tubuh Rio, berharap suaminya itu terbangun. Pasalnya, Rio tengah merintih dalam tidurnya dengan air mata yang berderai."Sudah bangun suamimu, Fy?" "Belum, Ma! Mas Rio susah banget dibangunin. Nggak tahu mimpi apa sampai nangis kaya gini." Ify terus mengusap peluh dan air mata Rio. Sedikit khawatir karena Rio seperti sedang berada di dimensi mimpi yang sangat jauh sehingga sulit meraih kesadaran."Coba guyur pake air, Fy!" Zahra sudah datang dengan segayung air setelah sebelumnya masuk ke kamar mandi pengantin baru itu."Kasihan Mas Rio dong, Ma!""Ya terus gimana? Takutnya mimpinya terlalu jauh itu, Fy! Susah banget dibilangin jangan tidur menjelang maghrib juga, malah istrinya ditinggal sendirian," omel Zahra."Mas Rio kecapekan, Ma! Biar Ify usap aja siapa tahu Mas Rio bangun." Ify lantas mengambil alih gayung air dari tangan mertuanya, mencelupkan tangan lantas mengusapkan di wajah Rio. Dua kali usapan, kerjapan mata dari s

  • Hey, Mama!   44. Hari Bahagia (Ending)

    Gugup. Satu kata yang cukup menggambarkan bagaimana kacaunya Rio. Berkali-kali ia merapikan jas yang sudah rapi. Berjalan bolak-balik dari ranjang ke depan kaca karena takut penampilannya tidak memuaskan. Tangannya menggenggam tisu karena keringat dingin yang terus keluar. "Tenang Rio, tenang ... tarik napas ... buang ..." Rio terus menyugesti dirinya sendiri agar tak terlalu gugup. Suara pintu terbuka membuat Rio berjengit kaget. Ia menekan dadanya sendiri karena detak jantung yang semakin menggila seolah jantung itu bisa keluar dari dadanya dengan sendirinya."Mama ngangetin!" pekik Rio begitu mendapati entitas penyebab jantungnya semakin berdetak anomali."Padahal mama udah ketuk pintu, loh!" Zahra berjalan masuk perhalan. Menahan senyum melihat kegugupan sang anak yang terlihat sangat jelas."Gugup? Padahal bukan pertama kali loh!""Ish, Mama! Meskipun ini bukan pertama kali buat Rio, tapi sensasinya tetep aja bikin gugup, Ma!""Cih, cemen!" cibir Zahra yang membuat Rio melotot

  • Hey, Mama!   43. Resign

    Ify menghela napas panjang usai mendengar semua penjelasan Rio dan melihat rekaman CCTV. Memang terlihat jelas bagaimana Rio mencoba untuk menjaga jarak, tetapi perempuan itu mengambil kesempatan, dan entah kenapa momen itu tepat saat Ify tiba. Klasik, seperti momen-momen yang sering Ify baca di novel. Namun, itu juga alasan kenapa Ify mau mendengarkan penjelasan dari Rio. Ify hanya tak ingin menjadi orang yang menyesal karena kesalahpahaman."Sayang, jangan marah lagi ya! Aku minta maaf," Rio menatap Ify dengan pandangan memelas. Ify hanya mengangguk singkat. Meski tak lagi marah, tapi rasa kesal masih ada. Ingin rasanya ia menjambak rambut wanita itu hingga botak.Rio menghela napas melihat Ify yang setia dengan kebungkamannya. Harusnya ia memang mulai membuat peraturan tak tertulis kalau wanita itu kini dilarang datang ke kantornya."Aku harus apa biar kamu maafin aku?"Ify menoleh, mendapati Rio dengan ekspresi putus asa."Aku sudah maafin kamu, Mas! Lagian bukan salah Mas juga,

  • Hey, Mama!   42. Ujian

    "Ikut aku ke kantor aja gimana?" tawar Rio sebelum masuk ke mobil. "Mau ngapain, Mas? Jadwalku nanti masuk siang."Rio mencebik. "Kalau gitu nanti makan siang bareng ya?""Aku kan harus siap-siap ke restoran, Mas!""Sayaaang, nggak bisa apa bolos sehari gitu nemenin aku kerja?" Ify terkikik geli, Rio yang bertingkah clingy benar-benar sesuatu yang baru. Sisi yang cukup mengejutkan mengingat kesan pertama yang Ify lihat dari Rio adalah hot daddy."Ada ya, bos yang nyuruh karyawannya bolos?" "Ya lagian kamu sibuk banget, padahal di sini bosnya aku.""Kan aku ikut bantu ngurus persiapan pernikahan kita, Mas! Justru yang sibuk itu Mas Rio tau. Masa kita yang mau nikah tapi Mas Rio pasrah aja gitu nyerahin semuanya ke WO."Kali ini Rio menyengir dengan penuh rasa bersalah. "Maaf, sayang! Aku lagi ngebut kerjaan buat tiga bulan ke depan biar abis kita nikah, bisa honeymoon keliling dunia."Mendengar ucapan Rio, tak ayal dada Ify kembang kempis, perutnya terasa tergelitik mengundang sen

  • Hey, Mama!   41. Brother Feelings

    Mas Rio :Sayang, aku nanti agak telat nggak apa-apa ya? Masih ada sedikit pekerjaan mendesak :( Me :Nggak apa-apa, Mas!Lagian aku nanti juga mau belanja bentar di supermarketMas Rio : Belanjanya nggak pas kita pulang aja?Me :Nggak deh Mas! Takutnya nanti keburu capek, kita kan nggak tahu fitting-nya nanti sampai jam berapaMas Rio: Ya udah deh, hati-hati ya sayang!Belanja pake kartu yang aku kasih aja!Me :Iya Mas sayaang!Lagian aku cuma belanja dikit doang kok, Mas!Mas Rio: Pokoknya pake aja, Sayang! Aku nungguin notifikasi kartu yang kamu pake, nih!Me :Kamu aneh deh, Mas! Nggak takut apa kalau aku cuma mau porotin kamu doang?Mas Rio: Ngapain takut? Duitku banyak dan tugasmu buat habisinIfy tercengang tanpa bisa berkata melihat balasan terakhir dari Rio. Memang aneh orang kaya satu ini. Saat yang lain menyeleksi calonnya dengan ketat karena takut dimanfaatkan, Rio justru menyodorkan diri untuk diporoti. Jika sudah begini, maka Ify pun tak akan ragu lagi. Dengan se

  • Hey, Mama!   40. Satu Langkah

    "Pulang aja, ya! Aku lebih suka masakanmu."Ini adalah kelima kalinya Rio meminta untuk pulang. Ify hanya terdiam tanpa berniat merespon."Ify .... Sayaaang!" Rio merengek bak anak kecil, sama sekali tidak malu dengan Pak Aziz, sang supir yang tersenyum tipis melihat tingkah majikannya."Apa sih, Mas! Diem, kita hampir sampai!" Rio merengut. Menegakkan tubuhnya dengan tangan bersedekap dan memandang ke depan dengan penuh permusuhan. Bangunan hotel bintang lima itu seolah ingin ia musnahkan dalam sekali pandang."Nggak mau turun, Mas!"Ify tersenyum tipis melihat Rio yang merajuk. Sangat mirip dengan Atan. Sampai merek ke dalam hotel dan masuk ke restoran, Rio sama sekali tak berniat untuk mengubah ekspresi wajahnya yang penuh permusuhan. Semua orang yang menyapanya dengan ramah ia balas dengan pandangan dingin dan menusuk. Terutama saat melihat entitas seseorang yang kini tengah berjalan ke arah mereka dengan senyum lebarnya."Hai, Cantik! Aku udah siapin meja yang spesial buat ka

  • Hey, Mama!   39. Sampai Kapan?

    Keadaan hening di dalam lobi saat Agni, selaku mantan istri dari Rio berhasil diusir meski melibatkan satpam. Ify menghela napas sekali lagi saat Rio tak juga membuka suara."Mau sampai kapan kita kaya gini?" Ify membuka suara yang membuat Rio terlonjak kaget. Sedikit tergagap dan melihat Ify dengan sendu."Maaf," ucapnya lirih."Maaf kenapa?""Maaf karena aku selalu membuatmu dalam posisi yang sulit, aku juga selalu membuatmu berada dalam bahaya."Ify melangkahkan kakinya ke kursi yang memang tersedia di lobby dekat receptionist, duduk disana diikuti oleh Rio."Jadi itu alasan Mas Rio pergi?"Lidah Rio kelu, tak sanggup menatap Ify yang kini memusatkan perhatian padanya.Rio kembali membisu, Ify menghela napas tajam. Meskipun ada rasa tak tega melihat Rio yang sangat kacau, tapi Ify harus melakukannya. Agar Rio tak lagi mencoba kabur dan berani menghadapi ketakutannya."Itukah cara Mas untuk kabur dari tanggungjawab?" Lagi-lagi Rio tak membuka suara."Mau tahu cerita nggak, Mas? Ak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status