Laras melirik jam yang menempel di tangan kirinya, jarum pendek sudah menunjuk angka lima. Bergegas, ibu dua anak itu meraih tas yang berisi keperluan sang putri dan berjalan keluar dari ruang kerjanya.
Bekerja di kedai sendiri memang memiliki kelonggaran waktu bagi Laras, kedai merangkap toko kue yang ia rintis bersama sahabatnya Sonya sejak tiga tahun yang lalu.
Saat tiba di tangga senyum Laras terkembang sempurna, ibu muda itu meraih uluran tangan sang putri yang juga menyambutnya antusias.
"Uhh anak mama, nunggu lama ya sayang."
"Mama. pulang," rengek Sasa.
"Iya ini mama, pulang yuk udah sore."
Setelah berpamitan kepada para karyawan Laras berjalan menuju mobilnya, pulang di saat bersamaan jam-jam pulang kantor begini memang macet tapi beruntung anaknya bukan bocah yang rewel.
Setiba di depan rumah, ibu dua anak itu segera turun dari mobil. Membuka pintu sebelah untuk mengendong sang putri, rumahnya gelap karena memang saat ini sudah memasuki waktu magrib.
"Tunggu di sini ya, mama siapin makan malam dulu."
Laras mendudukan putrinya di depan televisi yang baru saja ia nyalakan, menayangkan kartun dua bocah berkepala botak.
Dia tidak perlu khawatir, karena putrinya lebih tertarik pada layar yang menampilkan warna dan suara itu dari pada berjelajah di sepanjang ruang.
Falisha Wiryawan, bocah cantik yang menemani hari-hari Laras yang dulunya sepi menjadi penuh warna sejak kehadirannya.
Buah cinta, ah bukan, baginya Sasa hanya anaknya. Anak yang mati-matian ia perjuangkan di saat ayahnya sendiri berniat untuk melenyapkannya.
"Makan dulu yuk, mama udah masak sayur bening kesukaan Sasa."
Tau dengan ajakan sang mama, Sasa memekik antusias kakinya di hentak-hentakkan bergantian ke lantai dengan semangat membuat Laras berjalan tergesa menuju sang putri takut anaknya akan jatuh karena belum bisa menjaga keseimbangan.
"Jangan hentak-hentak sayang," seru Laras.
"Makan ma."
Sepertinya putrinya benar-benar lapar, menatap binar mata Sasa membuat Laras tersenyum bahagia. Anaknya ini mudah sekali lapar persis seperti dirinya. Padahal saat di mobil tadi bocah itu sudah menghabiskan beberapa keping roti dan lihatlah sekarang betapa antusiasnya sang putri saat dirinya mengajak makan malam.
"Nah, anteng ya. Mama siapin makanannya dulu."
Setelah mendudukan putrinya, Laras dengan cekatan menyiapkan makan malam mereka. Dengan Lauk sayur bayam dan tempe goreng, menu sederhana itu berhasil membuat perut Laras berdemo meminta di isi.
Bergantian Laras menyuapkan makanan ke mulut putrinya dan dirinya sendiri, nasi untuk Sasa memang harus lembut karena anaknya itu tidak terlalu suka nasi pulen.
"Selesai. Sekarang duduk disini ya. Mama mau beresin meja makan dulu."
Mendudukkan putrinya di karpet berbulu, Laras mengambil beberapa mainan untuk teman bermain sang putri.
Menjadi orang tua tunggal mengharuskan Laras untuk benar-benar pintar dalam membagi waktu. Tidak terlalu sulit sebenarnya karena putrinya memang anak yang cenderung pendiam saat sudah bertemu dengan mainan kesukaannya.
Tapi jangan ditanya saat Sasa sedang aktif, bocah itu tidak akan bisa diam di mananapun gadis kecil itu berada. Keaktifan Sasa inilah yang membuat Laras tak henti mengembangkan senyum.
Setiap hari tingkah sang putri, pertumbuhan sang putri adalah hal yang menjadi prioritas Laras untuk saat ini. Baginya, kebahagiaan dan tumbuh kembang Sasa adalah nomor satu.
"Main apa sayang?"
"Ngeng ngeng mama."
"Kakak udah belum mainnya? Tidur yuk. Mama ngantuk nih."
Sasa mengerjabkan kedua matanya lucu membuat Laras tak tahan untuk tak mencium kedua belah pipi gembil sang putri. Sasa yang mendapat serangan mendadak dari mamanya memekik terkejut namun tak urung kikikan geli berhasil gadis kecil itu keluarkan.
"Sekarang kita terbang ke kasur. Wiuuu."
*****
Laras menatap wajah damai Sasa yang tertidur lelap, cantik adalah kata yang selalu ia rapalkan saat memandangi anaknya. Hidung Bangir, bibir tipis turunan darinya dengan bulu mata lentik dan rambut hitam lebat membuat siapapun menganggukkan kepala setuju dengan kecantikan sang putri.
Saat-saat malam beginilah dia bisa santai beristirahat, Laras selalu sibuk untuk mempersiapkan masa depan putrinya.
Tak ada jaminan untuk mereka selalu hidup enak dan tercukupi jika ia tidak bekerja, Laras rela banting tulang untuk kehidupan anaknya agar tercukupi.
Terkadang rasa lelah tak bisa perempuan muda itu elak, lelah fisik juga lelah batin. Namun selagi masih ada Sasa di sampingnya, bagi Laras itu bukan suatu masalah yang besar. Sasa adalah kekuatannya, senyum gadis kecil itu adalah obat rasa lelahnya. Tak ada yang lebih membahagiakan selain senyum indah yang terpatri di bibir sang putri.
"Jadi anak sholehah ya sayang, maafkan mama belum bisa memberikan yang terbaik buat Sasa."
Laras mencium puncak kepala sang putri lembut, matanya selalu berkaca-kaca saat mengingat bagaimana ia dulu berjuang untuk Sasa.
Perjuangan yang sangat berat di tengah kekalutan yang Laras rasakan, mendongak Laras tak mau air mata itu turun kembali. Sudah cukup dulu ia meratapi semuanya, tapi sekarang karena saat ini ia harus kuat untuk anaknya.
Menarik selimut ibu dua anak itu memilih untuk tidur mengistirahatkan tubuh lelahnya, menyusul sang putri yang lebih dulu memasuki alam mimpi. Ia cukup lelah setelah seharian ini bekerja, kedai mereka cukup banyak pelanggan yang datang dari pagi hingga sore tadi membuat Laras tak bisa hanya duduk diam di kursi ruangannya. Perempuan itu juga ikut turun tangan membantu para karyawan untuk melayani para pembeli yang datang.
"Kenapa senyum-senyum sendiri pa."Suara Laras yang menginterupsi membuat David panik, buru-buru laki-laki itu menyembunyikan buku diary yang sedang dipegangnya."O--ohh, itu ma ..," jawab David terbata, binggung hendak menjawab apa."Itu apa?."Laras yang curiga mengernyitkan kening samar, mata perempuan itu awas melihat tangan suaminya yang disembunyikan dibelakang tubuh. Cepat Laras mengintip. Perempuan itu memanyunkan bibir saat tahu apa yang sedang suaminya pegang saat ini."Ihh, kok dipegang sih? Pasti mas senyum-senyum karena baca diary ku ya. Kenapa gak izin dulu, itu namanya mencuri," omel Laras kesal.David yang ketahuan dan merasa bersalah hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Jujur saja ia merasa tak enak pada sang istri."Mas penasaran sayang. Tadi nemu di bawah tumpukan baju pas tadi mau cari baju," Jawab David tak berbohong."Tapi kenapa dibaca, mas tau kan aku malu," ujar Laras dengan menunduk."Kenap
Flash BackSejenak Laras terdiam kaku tanpa sanggup melakukan apapun. Perempuan itu mendudukkan diri di kursi kerja dengan tubuh yang tiba-tiba melemas dan kedua tangan menutup wajah sepenuhnya.Laras tak mampu berfikir, otaknya tiba-tiba kosong bahkan hanya air mata yang mengalir tanpa suara."Ras, ada apa?"Sonya yang baru tiba mendekati sabahabatnya dengan gusar, melihat Laras yang tadi baik-baik saja dan sekarang menangis membuat Sonya khawatir. Sonya kembali karena menyadari ponselnya yang tertinggal. Namun perempuan hamil itu dibuat shock melihat keadaan Laras. Bahu Laras bergetar dengan tangan yang bertumpu pada meja."Ayo," ujar Sonya sembari menuntun sahabatnya untuk duduk di sofa ruang kerja mereka.Perempuan yang tengah hamil itu memeluk tubuh Laras disertai usapan lembut, Sonya tak akan bertanya lagi sebelum Laras benar-benar bisa menguasai diri. Setelah tenang Laras menceritakan semuanya pada Sonya, bahkan perempuan itu juga berte
Hari ini Avin menginjak usia Empat bulan. Balita itu semakin aktif dengan pipi yang semakin montok. Kulitnya yang putih bersih menurun dari papanya, hanya bibir yang menjiplak sempurna milik Laras. Avin tertawa girang saat sang papa menciumi pipi balita itu bergantian. Laras yang memperhatikan turut tertawa melihat putranya segirang ini. Bahagia tampak menghiasi raut perempuan itu. "Teh, Minum dulu sini." Laras melambaikan tangan memanggil Yaya yang berlarian kesana kemari. Bocah itu tampak bahagia berada di taman luas seperti ini. Tentu saja karena Yaya menyukai alam bebas. "Mama, capek. Mau teh aja, yang kemalin Yaya beli sama kakak," pinta bocah itu sembari mengusap keringat yang menuruni pelipis. Laras yang gemas menarik putrinya mendekat dan mengelap keringat itu dengan tissue yang tadi sengaja dibawa dari rumah. "Gimana? Seger?" tanya Laras menatap putrinya geli. Pasalnya bocah itu minum dengan tergesa membuat Laras yang mengamati sejak tadi merasakan takut putrinya akan t
Setelah berziarah ke makan Deon, David beserta anak-anaknya mampir di salah satu restoran seafood yang cukup terkenal di kota mereka yang juga menjadi langganan mereka.Yaya sudah duduk dengan anteng. Tangan bocah itu sibuk menggeser-geser layar handphone sang papa dengan tekun. "Yaya makan dulu nak, hp nya ditaruh dulu." David mengangsurkan sepiring udang goreng crispy kesukaan putrinya. "Halum pa, kayak masakan mama," ujar bocah itu girang. David mengacak surai putrinya gemas. Kedua anaknya memang pecinta seafood, walaupun sebenarnya tak terlalu baik untuk dikonsumsi sering-sering. Namun Laras sendiri membatasi, hanya sebulan 2-3 kali memasakkan makanan kesukaan putrinya itu. "Nanti langsung pulang ya pa? Tanya Sasa yang sudah menyelesaikan makannya lebih dulu. Remaja itu menatap papanya penasaran, menanti jawaban. "Iya, pesenan mama kan udah dibeli tadi. Kenapa emang kak?" "Emm, kakak boleh nggak nanti diturunin di rumah Zia aja," tanya Sasa dengan tersenyum tipis. Takut p
Minggu pagi ini kediaman David ramai karena berkumpulnya banyak keluarga yang menjenguk bayi mereka. Ada Sonya beserta anak dan suaminya, Ryan juga turut hadir namun tunangannya tidak ikut karena ada jadwal praktek pagi di rumah sakit, orang tua David juga menginap disini beserta adiknya, Bima. Suasana rumah tampak lebih berisik karena suara anak-anak yang memenuhi ruang tengah. Tak lupa bapak-bapak juga sibuk bermain catur di taman belakang. "Yaampun Ras, hidungnya kayak tower tinggi banget." Celetukan Sonya tak urung membuat semua wanita yang berada di kamar Laras tertawa. Sonya memang selalu memiliki cara untuk menghidupkan suasana. Sonya yang sekarang tentu saja berbeda dengan Sonya yang dulu. Berkat menikah dengan Sena, sahabat Laras itu lebih asyik untuk diajak bercerita. Apalagi semenjak memiliki anak, aura keibuan perempuan itu terpancar semakin kuat. "Iya mbak, kayak bapaknya. Ganteng pula." Lisa, mama Leo yang turut memperhatikan juga ikut memberikan komentar. Tetangga
David berlari menyusuri lorong rumah sakit. Tadi laki-laki itu mendapat telfon dari sang mama bahwa istrinya akan segera melahirkan dan sudah berada di rumah sakit. Setelah memberitahukan pada sekretarisnya, David segera meluncur ke rumah sakit yang tadi mamanya beritahukan.Tiba di ruang bersalin lali-laki itu mengatur nafas yang memburu. Disana sudah ada Bima yang tengah duduk santai bermain ponsel. Segera saja David menghampiri adiknya."Mbak Laras di dalem sama mama, sana masuk, udah bukaan banyak tadi gue denger."Belum sempat David bertanya, Bima lebih dulu menjawab pertanyaan yang ada dalam fikiran abangnya. Segera saja laki-laki itu memasuki ruangan dan menemukan istrinya yang sudah terbaring diatas brankar dan meringis menahan sakit."Sayang, maaf mas telat," ucap David setelah tiba di samping istrinya, tangan laki-laki itu mengelus pinggang Laras mengantikan sang mama yang tadi melakukannya.Laras tak mengatakan apapun, perempuan itu meme
David tengah duduk sendirian di kursi ruang kerja laki-laki itu. Jendela ruangan dibiarkan terbuka lebar, menghadirkan udara sejuk karena malam hingga subuh tadi hujan cukup deras menguyur kota Bogor.Pandangan laki-laki itu menerawang jauh, mengingat beberapa tahun silam saat mengalami kecelakaan. Ia mengalami koma selama beberapa Minggu dan harus dirawat di rumah sakit. David tidak mengingat apapun, setelah bangun laki-laki itu juga linglung dan menatap sekitar dengan pandangan kosong.Setiap hari tidak ada yang dilakukannya selain berdiam diri diatas brankar dan tidur.Setelah dua bulan lebih dirawat, akhirnya ia diizinkan pulang.Semuanya berjalan baik, ingatan laki-laki itu juga berangsur pulih. Salah satu yang David ingat setelah bangun dari koma adalah laki-laki itu selalu melihat perempuan cantik yang setia merawat dirinya selama dirumah sakit."Mas?"Lamunan laki-laki itu buyar saat tangan Laras melambai di depan matanya.Dav
Pagi ini rumah David ramai dengan keluarga yang berkumpul. Laki-laki itu tersenyum melihat Yaya yang lengket pada neneknya, tak ketinggalan juga Zia dan Sasa yang juga membututi kemanapun Bima pergi."Kamu kenapa mas?"Wira bertanya pada putranya yang berdiri tanpa ikut bergabung dengan yang lainnya. Laki-laki tua itu sedikit heran, pasalnya sang putra hanya senyum-senyum sendiri dengan pandangan ke depan, mengamati yang lain tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing."Gak apa-apa pa. Cuma lagi bahagia aja," jawab David tanpa menoleh pada sang ayah."Kamu selalu jawab begitu setiap kali papa tanya."Wira mencibir yang dibalas kekehan ringan sang putra. Jangan heran bagaimana David dan sang papa, Wira bisa seakrab sekarang. Waktu telah mengubah semuanya. Mereka sama-sama intropeksi diri dan saling menerima, dan beginilah hubungan mereka sekarang."Papa gak ikut gabung?" tanya David."Nanti malam saja. Papa mau istirahat dulu. Capek ju
"papa!"Yaya memekik antusias. Bocah tiga tahun itu berlari dan memeluk kedua kaki sang ayah erat yang belum sempat menjaga keseimbangan. Mereka hampir jatuh jika saja tangan laki-laki itu tak memang kusen pintu untuk menahan bobot tubuh mereka."Uhhh, papa kaget nak. Kalau jatuh bagaimana?"Ucap sang papa dengan tangan mengelus dada. Walaupun putrinya sering begini, tapi tetap saja membuat kaget."Kangen pa. Kenapa pelginya lama?"Yaya memberikan protes. Bibir bocah itu mengerucut ke depan membuat sang papa gemas dan berkahir mencium pipi sang putri berkali-kali."Mas, kapan sampe?"Laras yang baru keluar dari kamar segera menghampiri sepasang ayah dan anak itu, perempuan hamil besar itu mengambil tangan suaminya untuk dicium."Baru aja. Sasa kemana ma?" tanya laki-laki itu."Kok mama gak denger suara mobil papa ya."Bukannya menjawab Laras malah balik bertanya. Perempuan itu sepertinya baru bangun ti