Share

2

David mengetuk bolpoin yang sedang di pegang keatas meja, wajahnya yang kusut menyiratkan rasa frustasi. Menyender pada kursi kerja, laki-laki matang itu memejamkan matanya sejenak saat rasa pening menghampiri.

Mamanya benar-benar menguji kesabarannya, perempuan paruh baya itu tak pernah lelah menghampiri kantornya hanya untuk menanyakan kapan ia akan membawa pasangannya ke rumah untuk di kenalkan pada keluarga besar mereka.

Tidak ada masalah sebenarnya toh ia juga sudah memiliki kekasih, tapi mimpi sialan yang sering menghampiri malamnya beberapa Minggu terkahir benar-benar membuat dirinya panas dingin.

David mengedarkan pandangan pada lapangan luas yang dipenuhi rumput dan bunga putih, tidak ada siapapun disini selain dirinya. Ia berjalan pelan saat cahaya putih tiba-tiba menghalangi pandanganya, membuat laki-laki itu harus memejamkan mata sebentar. David berjalan hat-hati saat tiba-tiba seorang anak lelaki kecil menubruk tubuhnya pelan dengan senyum lebar yang terlihat begitu tulus.

"Papa."

Bocah kecil tadi melepas pelukan mereka dan menatap David yang masih diam saja binggung dengan apa yang terjadi.

"Papa."

Lagi bocah kecil itu memanggil yang tidak mendapat balasan apapun dari laki-laki dewasa di depannya, mata beningnya menatap David yang saat ini berjongkok menyamakan tinggi mereka.

"Kamu siapa?"

Bukannya menjawab Kedua tangan anak itu terangkat mengelus setiap inci wajahnya membuat David memejamkan mata menikmati usapan mungil tangan halus itu. Darahnya berdesir saat bocah tadi mengecup kedua pipinya pelan, jantungnya memompa dengan cepat menciptakan detakan-detakan dengan ritme yang membuatnya tidak nyaman, David seakan tersadar. Cepat laki-laki itu membuka matanya dan menatap wajah anak kecil di depannya dengan pandangan menelisik.

"Papa, ini Deon anak papa David dan mama Laras," terang bocah itu.

Wajah David pias, jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik dan tubuhnya mematung saat mendengar ucapan anak kecil yang masih menatap dengan mata polosnya.

"Deon titip mama. Deon sayang mama, papa sama dedek."

"Deon harus pergi pa. Selamat tinggal."

Deon mencium pipi papanya sekali lagi, sebelum pergi bocah kecil itu menyungingkan senyum dan melambaikan tangan kanannya ke arah sang ayah.

David yang baru tersadar berusaha mengejar anaknya saat cahaya putih menenggelamkan Deon ke dalamnya.

"Sial."

David mengumpat pelan saat mimpi yang selalu menganggu tidurnya kembali berputar yang tak mau enyah dalam fikirannya, semakin David berusaha untuk melupakan semakin besar pula rasa sesal yang menghampiri.

Bayangan beberapa tahun silam kembali berputar saat bagaimana ia dengan kejamnya mencampakkan wanita yang sedang mengandung darah dagingnya sendiri, bahkan dia yang menyuruh Laras untuk melenyapkan anak mereka. Anak yang tidak pernah ia harapkan kehadirannya namun sialnya ia sesali karena ucapan bodohnya di masa lalu.

Sampai sekarang David merasa gamang, entah apa yang membuatnya merasa bersalah sekaligus lega karena kepergian Laras ia tak perlu repot-repot memikirkan bagaimana karir nya dimasa depan jika perempuan itu tidak menepati janjinya. Ia tak tahu bagaimana kabar mantan kekasihnya itu, bahkan David tidak pernah mencari tahu. Baginya itu semua adalah kesalahan yang ia perbuat di masa lalu. Tapi sialnya mimpi itu terus menghampiri tidurnya. Mengacaukan hari-harinya.

Selama beberapa tahun ini ia bisa hidup tenang walau rasa bersalah juga menyelinap dalam hatinya, tapi David bisa mengatasi semuanya dengan mudah. Tapi kenapa sekarang semua berubah, kesalahannya dulu seakan menerornya setiap malam. Bahkan di saat seperti ini, kejadian dulu malah semakin sering menganggu fikirannya.

"Apa itu anak gue."

"Gak mungkin."

David bermonolog sendiri, pikirannya buntu. Memikirkan hal ini benar-benar bisa membuat kepalanya pecah. Memijit pelipis pelan laki-laki itu memejamkan mata, belum sembuh pusingnya karena masalah sang mama dan kini bebannya bertambah karena mimpi sialan itu.

Ketika membuka mata David tersentak kaget saat asistennya Reza sudah berdiri di depan meja kerjanya dengan senyum yang anehnya membuat David ingin menendang laki-laki itu ke rawa-rawa. Dia hafal betul senyum itu, senyum yang seakan mengejek dirinya.

"Ngapain berdiri disitu. Sudah berapa kali saya katakan, kalau masuk ruangan orang ketuk pintu dulu."

David mengomel, bibirnya sudah lelah menasehati laki-laki muda di depannya ini. Tapi lihatlah, bocah gendeng ini tidak pernah mendengar ucapannya.

"Dari tadi saya sudah ketuk pintu pak bos, tapi gak ada jawaban. Ya sudah saya masuk saja"

"Alesan Mulu kamu. Ada apa?"

"Ibu tadi ke sini nyariin bapak. Tapi bapak lagi keluar. Terus ibu pulang."

"Mama sudah telefon saya tadi."

"Ibu pesen ke saya, nanti sore bapak di suruh pulang ke rumah. Mau di tagih calon mantu katanya."

Setelah mengatakan itu Reza berlari terbirit keluar dari ruangan David, takut bosnya itu akan mengamuk seperti yang lalu.

Tanpa mengindahkan sopan santun antara atasan dan karyawan laki-laki muda itu memilih kabur setelah menyelesaikan ucapannya. Tak mau lagi, mukanya yang ganteng jadi sasaran empuk amukan sang bos. Ya Tuhan, berat sekali bekerja dengan laki-laki sableng macam David.

Sedangkan David hanya mengumpat pelan, ia rasa semua orang di sekelilingnya sama saja. Sama-sama suka membuat kepalnya pening.

*****

"Ya ampun," Laras memekik terkejut melihat anaknya yang wajahnya kini belepotan tepung, belum lagi dapur yang sudah di sulap sang putri seperti kapal pecah. Baru sebentar Laras tinggal ke kamar kecil, dan sekarang anaknya ini benar benar menguji kesabarannya.

"Main ma."

"Ini bahaya sayang, nanti kalau Sasa hachim hachim gimana?"

Laras menatap sang anak dengan wajah sendu, antara menahan emosi dan kasihan melihat tubuh anaknya yang sudah berubah menjadi putih.

"No mama, main ini."

"Sekarang mandi ya, lihat badan Sasa kotor semua."

Mengerti mamanya marah, Sasa mencebikkan bibir kesal hendak menangis. Bahkan mata bulat itu sudah berkaca-kaca. Oh tuhan, kalau sudah seperti ini Laras bingung harus bagaimana.

"Mandi dulu, terus nanti beli ice cream. Sasa mau?"

Laras akan mencoba penawaran berharap anaknya akan tertarik, Sasa memang pecinta ice cream dan ia yakin sang putri akan luluh dengan ajakannya.

"Mau ma, es klim. Sasa mau."

Benar kan, makanan dingin itu adalah salah satu kelemahan Sasa. Melihat binar sang putri membuat Laras tersenyum hangat, anaknya ini mudah di bujuk dan di rayu.

Biarkan dulu ia gagal membuat kue, toh nanti ia bisa membuatnya di lain waktu. Yang terpenting anaknya berhenti merecok dan sepertinya hari libur ini akan ia gunakan saja untuk jalan-jalan bersama Sasa.

Selesai mendandani sang putri, Laras mendudukan Sasa di depan televisi selagi menunggu ia mempersiapkan keperluan mereka. Tidak banyak, ia hanya akan membawa keperluan sang anak serta dompet dan handphone.

"Mama udah siap. Yuk, kita jalan-jalan. Sasa senang?"

Laras menggoda Sasa yang kini cemberut karena sang ibu menganggu waktunya menonton televisi membuat ia benar-benar di buat gemas dengan tingkah random sang putri.

"Katanya mau beli ice cream. Kok malah cemberut sih. Gak jadi ya?"

"Mau es klim mama."

"Gemesnya. Anak siapa sih ini lucu banget."

Bukanya berhenti Laras malah mencium kedua pipi gembil Sasa bergantian, membuat bocah itu menjerit geli.

Jalanan Minggu pagi begini memang sedikit ramai dari biasanya membuat Laras mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia bisa tenang karena Sasa sibuk bermain dengan boneka kesayangan bocah kecil itu di car seatnya.

Saat tiba di parkiran Laras keluar dan menggendong Sasa yang antusias menatap sekitar, bocah kecil itu memang berkali-kali lipat lebih ceria saat di ajak keluar rumah.

"Cari ice cream ya."

Laras tersenyum geli menatap anaknya yang menganggukkan kepala semangat, bocah itu memang maniak ice cream.

Setelah memesan, Laras memilih tempat duduk paling belakang, bukan tanpa alasan. Laras hanya tidak mau jika putrinya merecok saat mereka duduk di depan, bukan tidak mungkin anaknya itu akan berjalan di sekitar gerai ini dan jika benar itu terjadi sudah dapat di pastikan Sasa tidak akan mau untuk di atur.

"Mbak Laras?"

Laras mengangkat wajah ketika mendengar seseorang memanggil namanya, ibu muda itu tersenyum hangat saat mengetahui sang empu yang memanggilnya.

"Eh Bim, kebetulan ketemu di sini. Sama siapa?"

Bima, laki-laki muda itu menggaruk tengkuknya yang Laras yakini tidak gatal. ABG itu sepertinya tengah menyembunyikan sesuatu di lihat dari gerak-geriknya yang mencurigakan.

"Itu .. aku.., "

"Bibim, aku cariin dari tadi ternyata di sini. Kebiasaan banget sih kalau pergi-pergi gak bilang dulu. Aku kan..."

Yuka menghentikan ucapannya saat matanya tidak sengaja mengarah pada Laras yang saat ini menatapnya dengan kening berkerut.

"Eh, maaf mbak aku gak tau ternyata ada orang."

Laras hanya tersenyum geli. Kini ia tahu alasannya kenapa Bima terlihat kikuk saat ia bertanya dengan siapa pelanggan setia kedainya itu di sini.

"Santai aja. Teman Bima ya?"

Laras bertanya menggoda, yang membuat perempuan muda di sampingnya itu tersenyum malu-malu.

"Aku pacarnya mbak."

Jawab Yuka mantap dengan bibir terkulum lucu.

"Heh bocah jangan ngaku-ngaku ya lo."

"Aku kan emang pacar kamu Bibim, tega ya pacar sendiri di lupain."

Yuka memanyunkan bibirnya kesal yang membuat Bima mendengkus bosan, gadis blasteran Jepang ini memang rada sedikit sableng. Sebelas dua belas seperti mas nya, ah lebih tepatnya sama-sama menjengkelkan.

"Jangan ngaco deh, cepet mau beli apa. Kalau lama gue tinggal."

"Jahat banget."

Perdebatan itu terhenti saat pesanan Laras datang, Sasa yang sudah tidak sabar bertepuk tangan heboh dengan bibir yang tidak mau berhenti mengoceh. Padahal tadi saja anteng bermain tayo.

"Sasa, dari tadi om Bima di cuekin, sekarang malah sibuk mam ice cream."

Bima mengajukan protesnya yang tidak di tanggapi Sasa, bocah kecil itu sibuk dengan segelas ice cream berukuran besar di hadapannya.

"Tuh kan di cuekin beneran."

Bima menjawil hidung Bangir Sasa berusaha menarik perhatian anak itu tetapi bukannya di tanggapi Bima malah mendapatkan pelototan dari Laras, Laras hanya takut anaknya itu tersedak karena mulutnya penuh dengan ice cream.

"Yaudah deh om Bima pergi, dadah Sasa cantiknya om."

Bima dan Yuka berlalu setelah berpamitan dengan Laras, ibu muda itu menggeleng takjub melihat kepergian dua ABG itu yang sepertinya tidak pernah akur.

Ia jadi yakin, jika mereka berdua memiliki perasaan yang sama dilihat dari interaksi kedua anak itu yang berhasil Laras tangkap tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status