Pak Suryo mengendarai mobil dengan santai.
Memilih pulang ke apartemen adalah pilihan terbaik untuk saat ini dari pada nanti telinganya panas karena omelan mamanya akibat tidak mendengarkan titah sang ratu. Namun telefon mamanya pagi tadi berhasil membuat David mengurungkan niat. Laki-laki itu akhirnya memilih putar balik dan pulang ke rumah orang tuanya. Karena jika tidak perempuan paruh baya itu akan mengomel tanpa henti hingga ber jam-jam tanpa bosan.
Sejujurnya masalah mereka masih sama, kapan David akan membawa calon istrinya ke rumah. Oh hallo, dia hanya pria dewasa dan belum tua. 28 tahun dan berstatus taken tidak bisa di bilang bujang lapuk bukan.
Bukan kenapa-kenapa, hanya saja David belum siap mengenalkan pacarnya pada keluarga besar mereka. Entah bagaimana, ia hanya belum memiliki kemantapan hati.
Ponsel yang berdering menganggu lamunan David, ya hari ini laki-laki itu memilih menggunakan sopir karena badannya memang lelah setelah kemarin melakukan peninjauan proyek yang memakan waktu lama. Ia tidak ingin hanya karena kecapekan tidak bisa fokus menyetir dan bisa berakibat fatal.
"Halo?"
"Kamu dimana aku jemput di kantor udah gak ada," kesal Riana.
"Baru pulang," jawab David singkat.
"Pulang kemana?"
"Ke rumah mama."
"Kenapa gak bilang sih, aku udah jauh-jauh jemput kamu. Eh ternyata malah pulang duluan."
"Aku lupa," jawab David.
"Kebiasaan banget, kalau begini bilang dong sayang. Yaudah, kamu nanti langsung istirahat aja. Titip salam buat mama kamu ya. Love you."
"Ya."
Riana wanita baik-baik, perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu memang terkenal dengan sikap lemah lembutnya. Tapi entah bagaimana David belum juga memiliki keberanian untuk membawa hubungan mereka pada jenjang yang lebih serius.
Bukan masalah finansial jika dilihat dari pekerjaan mereka sebagai seorang dokter dan CEO muda tentu mereka memiliki tabungan berlebih.
"Sudah sampai pak."
David menganggukkan kepalanya pelan, laki-laki itu langsung keluar saat melihat sang mama baru saja membuka pintu rumah dengan bibir tersenyum lebar.
"Baru inget punya rumah ya pria tua?"
David yang mendengar sang mama menggoda hanya bisa pasrah dan menghembuskan nafas berat, mamanya memang sangat pandai dan lihai dalam hal sindir-menyindir.
"Ma, David capek. Baru aja pulang udah dapet sindiran."
David berbicara memelas, berharap mamanya itu akan mengerti dan berhenti menggodanya. Atau jika tidak dia akan menyesal pulang ke rumah.
"Lhoh mama berbicara fakta lho mas. Udah berapa lama kamu gak pulang? Mama rasanya gak punya anak sulung."
David tahu mamanya merasa kesepian, papanya yang masih sibuk berbisnis dan adiknya yang masih mengenyam pendidikan di luar kota di tambah dia yang memilih tinggal sendiri dengan alasan jauhnya jarak dari rumah ke kantor jika di tempuh dari rumah benar-benar membuat sang mama merasa sendiri di rumah.
Laki-laki itu memeluk mamanya dari samping, merasa bersalah sekaligus bingung harus bagaimana. Ia memilih diam, jika sang mama sudah mengeluarkan jurus andalannya.
"Makanya kamu cepat nikah dong. Kasih mama cucu yang banyak biar mama gak kesepian lagi. Jangan sampai jadi perjaka tua."
Amit amit. David membatin.
"Mama yang sabar ya, David juga lagi seleksi calon mantu kok buat mama."
"Halah, kemarin-kemarin mama kenalin anak teman arisan mama kamu selalu nolak. Pake cari alesan nyari sendiri."
David meringis pelan, maman nya ini memang juara jika masalah berdebat. Dari pada durhaka dan di kutuk ia memilih diam dan mendengarkan omelan sang mama yang tidak akan ada habisnya.
*****
"Anak Lo udah tidur?"
"Udah baru aja, tumben malem-malem ke sini. Ada perlu apa?"
Sonya, sahabat Laras itu menghembuskan nafas berat. Niat hati ke rumah sahabat untuk numpang tidur, tapi jika pertanyaan Laras tadi tidak ia jawab ia yakin sahabatnya itu tidak mengijinkannya menginap di sini.
"Bunda berulah lagi. Capek gue cari alesan."
"Apa salahnya sih turutin apa kata bunda, dari pada di uber pertanyaan yang sama terus."
"Ras lu tau gue kan?"
Sonya memicingkan matan sebal, orang di depannya ini apakah tidak faham juga.
"Kalo Lo begini terus, gue yakin gak bakal ada yang nyangkut di hati. Lupain yang lalu nte, Lo butuh sosok baru."
"Enak ya ngomong, Lo sendiri gimana? Masih stuck sama mantan kan?"
Laras melempar bantal kesal, selain judes sahabatnya itu juga memiliki mulut yang pedas. Pantas saja sampai sekarang tidak ada laki-laki yang berani mendekat.
"Kita lagi bahas masalah Lo ya, jangan suka ngalihin pembicaraan deh."
"Tau lah gue capek butuh tidur. Besok kerja, gak ada waktu buat mikir begituan."
Sonya berdecak dengan mulut yang terus mengomel membuat Laras menggelengkan kepalanya maklum, mereka bersahabat sejak Laras pindah ke kota ini membangun usaha mereka Bersama-sama penuh perjuangan. Sonya dan keluarganya adalah orang-orang baik yang mau menampung dan mempercayainya saat orang lain membencinya. Laras berhutang banyak pada keluarga sahabatnya itu.
*****
"Nteee,... Jangannn," Sasa berseru jengkel.
Sonya yang masih tidak berhenti menggoda Sasa, membuat sang empu menjerit sebal dengan mata melotot. Bagi Sonya membuat keponakanya kesal adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Bocah itu bahkan terlihat sangat imut saat sedang marah.
"Nte jangan digoda nanti dia ngamuk."
Laras berusaha untuk membuat sahabatnya itu sadar, semakin tua tingkah Sonya semakin menjadi. Sudah setua itu tapi hobi sekali menggoda anak kecil. Ia jadi tidak bisa membayangkan bagaimana jika sahabatnya itu memiliki anak sendiri.
"Uluh-uluh cantiknya Tante marah ya sampe melotot begitu. Kedip sayang nanti kelilipan."
Tak habis akal Sonya semakin membuat gadis kecil itu kesal, dia tidak akan mempan hanya dengan di beri nasehat.
"Maaf ya cantik, Tante hanya bercanda tadi."
Sonya berbicara dengan bibir monyong mencium pipi Sasa gemas, sedang yang di cium memekik keras karena rasa geli.
"Udah yuk, keburu siang."
Laras menggendong Sasa setelah mengeluarkan titah sedang Sonya segera berdiri dari duduknya dan menuju keluar rumah untuk memanaskan mobil.
"Ras, Lo yakin gak perlu pake asisten rumah tangga?"
Laras menoleh menatap Sonya yang kini tengah fokus menyetir, jalanan pagi ini tidak sepadat pagi dan sore hari mengingat waktu sudah melewati jam-jam sibuk.
"Gue gak repot nte. Tenang aja, semua masih bisa ke handle kok.."
"Gue tau. Tapi gak kasian badan apa? Pagi sampe sore gak ada istirahatnya"
"Gak masalah kok, lagian gue libur seminggu dua kali. Kenyang di rumah."
Sonya hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Sebagai sahabat yang baik ia memikirkan seberapa sibuk sahabatnya itu, hal ini sudah sering mereka bahas sebelumnya dan jawaban yang ia terima tetap sama.
Ia kasihan melihat kesibukan Laras harus mengurus rumah, anak dan kedai mereka bersamaan. Tak bisa ia bayangkan betapa lelahnya Laras.
Setiba di kedai mereka keluar mobil bersamaan, tersenyum ramah menyapa para karyawan dan memberikan semangat pagi kepada mereka.
"Besok gue survey lokasi Ras. Lo jaga sendiri gapapa kan?"
"Santai aja. Lagian udah kebiasaan kan lo tinggal."
Laras mengerling menggoda membuat Sonya menarik sudut bibirnya ke atas jengah.
"Ponakan gue mana? Perasaan tadi sama lo."
"Ikut Sinta di belakang, katanya mau nangkep kupu.".
"Anak lo makin gede makin banyak tingkah ya, mana mukanya mirip bapaknya"
Laras memilih diam tidak menanggapi, tangannya sibuk dengan rekap penjualan bulan ini.
"Lo denger gue gak sih?"
"Denger. Terus gue harus nanggepin gimana. Orang anaknya."
"Ibu sama anak sama-sama suka bikin kesel."
Laras hanya menggeleng.
Riana melambaikan tangannya saat menemukan David yang berjalan penuh wibawa memasuki restoran tempat mereka mengadakan janji makan siang."Aku kira kamu gak dateng mas? Aku telfon tapi hp kamu gak aktif?""Tadi masih di proyek, hp aku juga mati."Riana mengangguk tersenyum, memaklumi kebiasaan David yang memang sudah biasa terjadi saat laki-laki itu tengah sibuk dengan pekerjaan.Menjadi pewaris utama perusahaan sang ayah tak membuat David menjadi pemimpin yang manja dan semaunya sendiri, laki-laki itu selalu melakukan yang terbaik dan bekerja maksimal dalam pengerjaan proyek yang di emban.Tak heran di usianya yang masih muda David berhasil mengaet banyak investor dan menjadikan ia salah satu pengusaha muda yang sukses dan terkenal cerdas."Aku udah pesen makanan kesukaan kamu."David hanya mengangguk dengan senyum tipis."Emm.. mas, Senin depan kamu ada jadwal?"Riana bertanya dengan harap-harap cemas, taku
Laras memasuki ruang tamu saat Sonya sibuk mendandani Sasa hingga tak menyadari keberadaannya. Sahabatnya itu terlihat cekatan dan sabar menghadapi polah anaknya yang seperti biasa, selalu banyak tingkah dan tidak bisa diam. Laras berdehem pelan, membuat Sonya menoleh kearahnya. "Lo udah enakan? Kenapa turun?" Tanya Sonya, tangannya sibuk memoleskan bedak di sekitaran leher Sasa. "Udah mendingan, bosen di kamar terus," ucap Laras masih dengan suara sangau, pusingnya memang sudah berkurang tapi badannya masih sangat lemas seperti tak bertenaga. "Istirahat sana, gue sama Sasa berangkat dulu. Makan siang udah gue siapin di meja makan. Jangan lupa minum obat, oh ya buahnya juga udah gue siapin di meja kamar lo jangan lupa di makan." Bak ibu yang memberikan petuah pada anaknya, Sonya benar-benar sudah cocok untuk memiliki anak sendiri melihat bagaimana jiwa emak-emak sudah melekat dalam diri perempuan itu. Laras mengangguk pelan, matanya me
Pagi ini Laras dan Sasa sudah berada di kedai, pengunjung tidak sebanyak biasanya karena rintik hujan yang turun sejak subuh tadi.Mendudukkan anaknya di karpet yang di penuhi mainan Laras langsung berkutat dengan beberapa lembar kertas di meja kerjanya. Pembukaan cabang baru masih dalam proses penyelesaian membuat pekerjaannya cukup padat di tambah hari ini adalah akhir bulan membuat ia di sibukkan dengan pembukuan."Gila, gue beneran bisa gila" Sonya mendudukan pantatnya di sofa setelah masuk ruangan tanpa mengetuk pintu dulu membuat Laras keheranan. Pasalnya sahabatnya itu sudah bilang tidak bisa masuk kerja hari ini. Tapi pagi ini Sonya sudah sampai di toko dengan wajah nelangsa."Lo kenapa dateng-dateng meracau gak jelas?" tanya Laras."Gue pusing ras, bunda berulah lagi."Sonya menjawab dengan kedua bahu merosot, dia benar-benar pusing. Kepulangannya kemarin adalah kesalahan."Ada apa lagi?"Laras memilih bangkit dar
Mall adalah tempat yang mereka pilih untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Laras mengandeng Sasa memasuki salah satu toko mainan bus tayo yang sejak masuk tadi ditunjuk-tunjuk sang anak. Sasa memang berbeda dengan bocah perempuan sebayanya lainnya. Jika anak perempuan lain bermain dengan boneka maka berbeda dengan Sasa yang lebih suka dengan mainan anak laki-laki. Seperti mainan yang baru saja mereka beli.Laras sendiri terkadang binggung, apakah dulu ia salah saat mengidam. Ataukah memang selera anaknya yang aneh."Ituu ma, yang biru," minta Sasa.Bocah kecil itu menunjuk tayo berwarna biru yang bertengger manis di etalase. Kakinya menghentak-hentak dengan bibir yang tidak berhenti merengek."Mbak tolong yang biru ini ya."Setelah membayar Laras mengendong anaknya yang tengah memeluk boneka tayo besar keluar dari toko tersebut.Dia akan ke restoran Jepang setelah tadi pagi Sonya menghubunginya dan membuat janji di sana."Udah lama?
David tiba saat rumah dalam keadaan Sepi, hanya ada adiknya Bima yang sedang duduk anteng menyantap sepiring nasi goreng tanpa menyadari kehadirannya."Mama papa kemana?"Tanyanya setelah berhasil meneguk sebotol air dingin dari kulkas. Pandangannya mengarah pada sang adik yang tengah mengunyah sarapannya."Ke Bogor, kondangan," jawab Bima cuek dan kembali menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya."Bang?"David yang sudah berdiri, mengurungkan niatnya dan kembali duduk menghadap Bima yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang sulit ia mengerti."Kenapa?" tanyanya setelah beberapa menit adiknya hanya menatap David tanpa mengatakan sepatah katapun."Gak jadi. Sana kalau mau pergi."Usir Bima dan kembali memakan nasi gorengnya yang tinggal setengah.Memilih abai David segera bangkit menuju lantai atas. Ia akan mandi dan bersiap pergi menemui seseorang.Weekend seperti ini biasanya David hanya m
David menghempaskan tubuhnya di ranjang king size miliknya. Pembicaraan dengan Yuda tadi benar-benar menguras emosinya.Dia tidak pernah menyangka Yuda masih mengingat semuanya sejak bertahun-tahun mereka selalu menghindari topik pembahasan ini.Bagaimanapun sahabatnya itu tau bahwa di awal-awal kepergian Laras, David sempat di rawat di rumah sakit karena stress dan kurang istirahat.Pada masa itu memang adalah masa terpuruk bagi David, dia tidak mengelak bahwa Laras adalah sumber kekuatannya. Wanita itu mampu membuat dirinya menjadi lebih percaya diri dan tetap optimis.Laras jugalah wanita yang mengetahui segala kurangnya namun memilih untuk tetap bertahan di sisinya. Sering kali dia berfikir, kenapa dulu dia bisa bertindak bodoh hingga berakibat seperti sekarang ini.Mengutuk diri sendiripun tidak akan mengubah apapun. David kehilangan jejak wanita itu, dan ia belum cukup keberanian untuk mencari keberadaan Laras."Bang."Ketukan p
Pagi ini rumah tampak ribut saat Sasa sulit sekali untuk di bangunkan. Memang anak kecil itu terkadang susah untuk membuka mata tapi tidak separah pagi ini.Laras sudah melakukan segala cara agar anaknya itu tidak rewel dan menangis saat di mandikan. Namun bukannya berhenti Sasa malah menjerit membuat Laras harus mengusap dada pelan melihat tingkah sang anak yang semakin manja."Kakak udah besar lho, masak mandi harus nangis dulu sih.""Mau mama tinggal di rumah aja sendiri? Iya?"Bukan, dia tidak berniat mengancam namun Laras sudah benar-benar kehabisan cara untuk menenangkan putrinya. Dia sendiri juga tidak tau sebab anaknya rewel begini sejak bangun tidur tadi."Sini mama pakein baju."Laras menarik lembut tangan mungil anaknya, wajah Sasa masih saja cemberut dengan lelehan air mata yang membuat ibu muda itu merasa iba."Nanti jajan ice cream kalau Sasa anteng. Nurut sama mama. Oke?"Sasa masih
"Diminum om." "Makasih Ras, harusnya gak usah repot-repot." Ryan meneguk teh hangat yang baru saja di hidangkan Laras. Udara yang dingin memang paling cocok dengan minuman hangat selepas hujan sore tadi. "Gimana kerjaannya?" Laras memulai pembicaraan setelah beberapa menit mereka terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. "Lancar. Tapi capek juga," Jawab Ryan dengan kekehan ringan di akhir kalimat. "Yang penting perusahaan laba banyak kan om?" goda Laras. "Tapi gak kuat kalau harus pisah lama sama kalian." "Lebay ih." "Fakta lho Ras. Kalau kamu mau, pengen banget ajak kalian buat ikut kemanapun aku pergi." "Buat di jadiin asisten pribadi." tebak Laras namun di balas tawa oleh Ryan. Kenapa perempuan di sampingnya ini selalu berfikir negatif. "Yakin mau?" Goda Rian lagi. "Sana pulang. Malem-malem begini gak enak diliatin tetangga." Bukannya menjawab Laras malah me