Share

4

Riana melambaikan tangannya saat menemukan David yang berjalan penuh wibawa memasuki restoran tempat mereka mengadakan janji makan siang.

"Aku kira kamu gak dateng mas? Aku telfon tapi hp kamu gak aktif?"

"Tadi masih di proyek, hp aku juga mati."

Riana mengangguk tersenyum, memaklumi kebiasaan David yang memang sudah biasa terjadi saat laki-laki itu tengah sibuk dengan pekerjaan. 

Menjadi pewaris utama perusahaan sang ayah tak membuat David menjadi pemimpin yang manja dan semaunya sendiri, laki-laki itu selalu melakukan yang terbaik dan bekerja maksimal dalam pengerjaan proyek yang di emban.

Tak heran di usianya yang masih muda David berhasil mengaet banyak investor dan menjadikan ia salah satu pengusaha muda yang sukses dan terkenal cerdas.

"Aku udah pesen makanan kesukaan kamu."

David hanya mengangguk dengan senyum tipis.

"Emm.. mas, Senin depan kamu ada jadwal?" 

Riana bertanya dengan harap-harap cemas, takut jika jawaban yang di keluarkan David tidak sesuai dengan ekspektasinya.

"Ada perlu apa?"

"Aku mau ngajak kamu dateng ke nikahan temen aku, itu pun kalau kamu gak sedang sibuk."

"Akan aku usahakan ya."

Riana mengangguk semangat, binar kedua matanya memancarkan kebahagiaan membuat David mengacak rambut sang kekasih gemas. Hal sesederhana ini sudah cukup membuat perempuan itu bahagia.

Inilah yang David suka dari Riana, kekasihnya itu bisa bersikap dewasa dan tidak pernah memaksa kehendaknya sendiri, Riana mampu memahami dirinya juga pekerjaan yang terkadang tidak menentu jadwalnya.

*****

"Mam."

"Kan tadi udah tante kasih 2 roti," jawab Sonya.

Sasa menyipitkan kedua matanya kesal, bibirnya mencebik hendak menangis membuat Sonya bertambah gemas dan mengangkat keponakannya ke dalam gendongannya yang di balas dengan pekikan terkejut dari bocah cantik itu. 

Laras yang sedari tadi mengamati di depan pintu dengan menyilangkan kedua tangannya hanya menggelengkan kepala pasrah. Pasangan keponakan dan aunty ini jika sudah bersatu tidak akan pernah akur. 

Tentu saja Sonya tidak akan membiarkan keponakannya ini anteng-anteng saja. Terkadang kelakuan mereka berdua membuat Laras harus memijit pelipis dan menyetok sabar yang banyak.

"Nte cari makan siang yuk."

Sonya menolehkan kepalanya ke belakang, mengerutkan kening binggung.

"Ini jam berapa?" Ucapnya karena ia merasa ini belum masuk jam istirahat.

"Jam setengah satu, emang Lo gak denger adzan?"

"Engga, cepet amat dah. Perasaan tadi masih jam sebelas." 

Sonya menggerutu pelan yang masih bisa di dengar oleh Laras, membuat ibu muda itu tersenyum geli.

"Sholat dulu sana, gue tunggu disini."

Laras memberikan titah dan segera di patuhi Sonya dengan bangkit berdiri dan menjalankan kewajibannya terlebih dahulu.

Terik matahari yang menyengat di tambah jalanan yang cukup padat membuat Sonya mengomel yang terdengar seperti dengungan tawon di telinga Laras. Untung saja saat ini anaknya tidak rewel dan sibuk mengoceh sendiri, jika tidak sudah di pastikan kalau Laras akan semakin pusing melihat keruwetan siang hari ini.

Setiba di restoran mereka bergegas turun dari mobil, Laras memilih tempat duduk paling sudut mencari tempat yang paling aman karena anaknya pasti tidak bisa diam. Laras memberikan mainan yang tadi di bawanya agar bocah itu tidak banyak bergerak dulu sembari menunggu Sonya yang memesan makanan mereka.

Restoran ini cukup nyaman dan tidak terlalu ramai karena memang sudah lewat jam makan siang. Menu yang di sajikan pun beragam, tak heran jika selalu ada pembeli.

"Panas banget gila ..."

Belum selesai Sonya menyelesaikan ucapannya delikan Laras membuat wanita itu mengatupkan bibir. Mulutnya ini memang susah sekali dikontrol, tak tau tempat dan selalu berbicara seenaknya. 

Dia tau Laras tak ingin anaknya mendengar lebih jauh lagi umpatan yang belum selesai ia ucapkan karena emak bocah itu lebih dulu memberikan kode padanya untuk diam.

"Heh bocil, lagi main apa?"

Sasa menatap Sonya sekilas kemudian melengoskan kepalanya tanda tak peduli membuat Laras terkekeh pelan. Anaknya itu sepertinya tidak pernah suka di ganggu saat sedang sibuk bermain.

"Anak lo ya, kecil-kecil jual mahal."

"Siapa yang suka ganggu ya kak."

Sonya mendengkus samar, jangan salahkan dia yang suka gemas dan berakhir menganggu bocah itu. Karena memang Sasa selucu dan semengemaskan itu. Tangan dan mulutnya akan gatal jika tidak merecoki Sasa barang sehari saja.

"Lo kapan pulang? Gak kasian sama orang tua?"

Laras bertanya dengan nada santai, tak ada niat menggoda dan merusak mood Sonya yang akhir-akhir ini sering uring-uringan karena desakan untuk segera menikah dari keluarga besar perempuan itu terutama sang bunda.

Tak heran sebenarnya mengingat umur Sonya yang sudah bisa di bilang pantas untuk menikah, namun alih-alih memiliki calon, sahabat Laras itu malah membuat banyak laki laki kabur karena sifatnya yang super judes dan bermulut pedas saat berusaha di dekati. 

"Gue males pulang dan Lo tau itu. Jadi berhenti mengulang pertanyaan yang sama."

"Tenangin diri Lo dulu, gue tau lu butuh waktu."

Laras menepuk tangan sahabatnya setelah menghembuskan nafas pelan, memilih tak mau menambah beban pada Sonya yang bisa saja membuat perempuan itu lebih nekat dari ini. 

*****

"Oh tuhan badan gue."

Sonya memejamkan mata dengan tubuh yang sepenuhnya memenuhi sofa ruang televisi, siang hingga malam tadi pengunjung ramai sekali di tambah ia harus ikut melayani karena ada partai besar yang tidak akan bisa jika hanya karyawan saja yang turun tangan.

"Aduh."

Perempuan itu mengaduh, mengusap-usap hidungnya yang terasa panas akibat pukulan bocah cilik yang saat ini memandang Sonya dengan kikikan kecil. 

"Apa sih cil? Tante baru mau tidur loh," ucap Sonya dengan nada agak keras, badannya begitu lelah di tambah fikirannya yang semrawut membuat beban perempuan itu kian bertambah.

"Mam nte." 

Sasa berucap kesal, bibirnya melengkung ke bawah mendengar Sonya yang barusan berbicara dengan nada yang lumayan tinggi. Sasa tidak terbiasa. Dan saat ini Sonya merutuki mulutnya yang sudah berhasil membuat keponakannya itu takut sekaligus kesal.

"Maafin Tante ya, tante cuma lagi capek aja," sesal perempuan itu. 

Sonya berbicara dengan nada pelan, mengelus rambut Sasa yang hitam lebat dan seakan tahu bocah itu merapatkan pelukannya dengan tangan mungil yang menepuk-nepuk punggung Sonya pelan.

"Nyari mama yuk, ini udah malem loh. Sasa harus tidur," ucap Sonya lembut, bibirnya mengecup puncak kepala Sasa berkali-kali.

Saat tiba di kamar Laras, Sonya mengernyit binggung. Tak biasanya sahabatnya ini sudah tidur di jam segini dan membiarkan anaknya bebas bermain sendirian tanpa pengawasan.

Sonya menggoyangkan lengan Laras pelan, tidak ingin mengagetkan sang sahabat yang terlihat pulas. Namun saat tidak ada pergerakan ,Sonya beralih menepuk pipi Laras sedikit keras, agak kaget setelah kulitnya bergesekan dengan kulit Laras yang terasa panas.

"Ras, lu demam ya?"

"Emmm," Laras hanya mengumam pelan namun tidak bergerak dari posisi tidurnya.

"Lu udah minum obat? Gue buatin teh ya?" Ucap Sonya dengan nada khawatir, walaupun terkenal dengan sifat judesnya namun perempuan itu akan mudah berempati pada orang lain apalagi saat ini sahabatnya yang sedang sakit.

"Sasa mana?" Laras bertanya dengan masih memejamkan mata, karena sedari tadi ia tidak mendengar suara Sasa yang biasanya ribut dan tidak bisa diam.

Sonya menunduk menatap keponakannya yang tertidur pulas di gendongannya, bahkan ia juga baru sadar jika sejak tadi Sasa tidak berbicara apapun setiba mereka di kamar Laras.

"Ini udah merem, gue tidurin di kamar gue aja gimana biar lo bisa istirahat. Kasihan Sasa juga kalau lo sakit begini."

"Maaf ya nte gue jadi ngerepotin, kayaknya gue beneran sakit deh. Tadi udah sempet minum obat sakit kepala jadi gue cuma perlu istirahat sebentar," ucap Laras dengan suara sangau.

"Gue titip anak gue ya," lanjutnya lagi.

"Santai aja, yaudah sekarang lo istirahat biar cepet pulih. Muka Lo pucet banget"

"Tapi yakin gak perlu di panggilin dokter?" Ucap Sonya kembali bertanya, melihat wajah pucat sahabatnya ia tidak tega.

"Gak perlu gue cuma butuh tidur," tolak Laras. 

Ibu dua anak itu meyakinkan dan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang. Kepalanya berat dan badannya tak bertenaga.

Sonya membuka pintu kamar pelan dan berjalan menuju ranjangnya, merebahkan Sasa di sana yang sudah pulas tertidur. 

Wajah bocah itu begitu damai, membuat Sonya terkadang tak tega membayangkan bagaimana anak itu kedepannya. Sebenarnya ia tak perlu khawatir karena sahabatnya sudah pasti akan mendidik dan menuangkan seluruh kasih sayangnya pada Sasa, tapi sebesar apapun itu tidak akan pernah bisa menutupi peran Laras sebagi ayah untuk anaknya dan semakin besar Sasa pasti suatu saat nanti menanyakan keberadaan sang ayah.

Sonya ikut merebahkan tubuh di samping Sasa, ia juga butuh istirahat. Tubuhnya lelah dan obatnya hanya tidur. Karena besok ia harus bekerja lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status