Setelah mendengar keputusan itu, Aji melepaskan tangan Liana tanpa berkata apapun. Kini, Liana memiliki tekad yang tidak seorang pun bisa menghentikannya, bahkan ketika itu adalah perasaannya sendiri.
Melihat sahabatnya berjalan dengan air mata yang masih terlihat menetes, Salma dan Ratih mengehentikannya, kemudian mengajaknya berbicara.
“Liana, apa yang terjadi?” tanya Salma terkejut melihat sahabatnya menangis di situasi seperti ini.
“Mengapa kamu menangis?” tanya Ratih kemudian mengusap air mata Liana.
“Teman-teman, aku butuh bantuan kalian,” pinta Liana menggenggam erat tangan kedua sahabatnya itu.
Tanpa memberikan penjelasan apapun soal air mata itu, Liana justru meminta kedua sahabatnya untuk andil dalam misi penting kali ini. Namun, mereka akan tetap berada di belakang layar untuk mengamati Liana. Sebelum itu, Liana berencana untuk mengunjungi kedua orang tuanya.
Mendengar suara teriakan Liana, Salma dan Ratih yang panik mencoba untuk melacak lokasi keberadaan sahabatnya itu. Dalam kondisi ini, mereka tidak bisa berbuat apapun, karena Liana tidak mau misi ini diketahui oleh orang lain.“Salma, apa yang harus kita lakukan?” tanya Ratih menggigit kuku jari jemarinya dengan tatapan cemas.“Kita harus menunggu, dan terus mengirimkan sinyal kepada Liana,” jawab Salma mengutak-atik alat yang diberikan Liana untuk mencari sinyal darinya.“Apakah Liana akan tertangkap kali ini? Misi ini sungguh membahayakannya,” tanya Ratih membantu Salma mencari sinyal keberadaan Liana dengan tangan bergetar.“Tidak, Liana akan selamat. Dia akan baik-baik saja,” jawab Salma dengan penuh keyakinan sembari mengingat wajah Liana dalam ingatannya.***“Di mana aku?” tanya Liana ketika membuka mata dan mendapati dirinya terjebak di dalam sebu
Aji kemudian berlari setelah mendapatkan lokasi terakhir Liana. Salma dan ratih segera menghubungi Prof. Rendra karena mereka tidak ingin sesuatu yang lebih buruk terjadi kepada Liana.“Tunggu aku, Liana. Aku akan segera membawamu pergi dari neraka itu,” seru Aji memakai baju penyelamatnya, bersama dengan tim andalan yang siap bergerak.***“Bos, apa dia mati?” tanya salah satu pengawal Jack karena melihat Liana terkapar tanpa tanda-tanda ia akan sadar.“Tentu tidak. Dia adalah alat sempurnaku untuk menghancurkan manusia-manusia keparat yang tidak tau cara memanusiakan manusia itu,” jawab Jack dengan senyuman semringah di wajahnya.Liana kemudian di pindahkan ke dalam ruangan khusus. Ia diikat disebuah kursia yang tidak lain adalah buatan kakaknya sendiri. Meskipun kali ini Liana tidak sadarkan diri, bayangan kedua orang tuanya membuatnya bangun.&ldq
Jack makin membabi buta dengan tatapan dendam yang pertama kali Liana saksikan. Melihat Jack mendekati Liana yang terkapar bersimpah darah, Aji kemudian menembak pria itu, dan segera membawa Liana pergi.“Liana, bertahanlah,” pinta Aji menggendong Liana sembari berlari bersama timnya untuk mencari tempat yang aman.Liana yang tadinya tidak sadarkan diri, perlahan membuka matanya dan mulai batuk-batuk. Menyadari hal itu, Aji berhenti dan menyuruh timnya untuk berjaga karena saat ini mereka masih berada di kendang musuh.“Liana, apa kamu bisa mendengarku?” tanya Aji mengelus lembut pipi Liana dengan tatapan sendu.“Benda prisma itu, tolong antar aku ke sana,” pinta Liana dengan napas berat dan tubuh yang makin melemah.“Tidak, kamu harus selamat dahulu. Kita bisa kembali lagi ke sini, untuk menghentikan alat itu,” balas Aji kemudian bergegas mengendong Liana unt
Semua tim yang bertugas di tarik mundur setelah benar-benar menyaksikan para pemberontak itu melarikan diri. Tanah masih bergetar hebat. Bahkan tim evakuasi mendapat ribuan panggilan darurat yang membutuhkan bantuan.“Komandan, apa yang harus kita lakukan?” tanya anggota tim kepada Aji yang tengah sibuk memeriksa walkie talkienya.“Kita harus pergi ke gunung Toba itu, cepat,” perintah Aji kemudian bergegas naik helikopter bersama timnya.Sementara keadaan rumah sakit begitu genting, meskipun relawan penyelamat sudah bertambah hingga angka 7.000 orang. Banyaknya korban berjatuhan dan trauma akibat bencana ini terus bertambah.Sementara Liana yang masih terbaring, berusaha untuk bangun dari keadaan itu namun ia tidak bisa. Tubuhnya kini mendapat perawatan khusus akibat semua luka yang ia dapatkan.***“Komandan, lihatlah gunung itu,” ucap salah
“Siapa kamu sebenarnya?” tanya Liana geram ketika mendengar suara itu mengaku sebagai dirinya.“Aku adalah Liana yang sebenarnya. Bangunlah!”“Apa yang kamu lakukan?” tanya Liana ketakutan mendengar suara itu.“Jika kamu tidak bangun, orang terkasihmu akan mati.”Denyut nadi Liana kemudian berdetak sangat kencang hingga membuat alat pernapasannya mengeluarkan suara. Reno kemudian terkejut dan berlari menghampiri Liana.“Apa yang terjadi?” tanya Reno kemudian melepaskan alat bantu pernapasan Liana dan berusaha membangunkannya.“Liana,” teriak Ratih ketika hendak mengambil obat di medicub dan melihat keadaan Liana yang menghawatirkan.“Bantu aku untuk membuatnya bangun,” pinta Reno kemudian menepuk kedua pipi Liana, berharap dia akan bangun.Liana kemudian membuka mata dan memeluk Ratih yang berdiri tepat
“Liana,” ucap Aji terkejut ketika mengetahui Liana menggenggam tangannya erat.Ledakan kedua akibat aliran magma yang tersapu air bah membuat pusat trisulabyuha mulai tertutupi air. Namun, kini ledakan itu berasal dari dalam bumi yang membuat sisa bendungan runtuh dan mengenai tim penyelamat begitu pun dengan Aji.“Pegang tanganku erat,” printah Liana sembari mempertahankan genggaman itu.Beberapa tim penyelamat yang ada di bawah bendungan berhasil menyelamatkan diri dan hanya mendapatkan luka ringan. Liana kemudian mengeluarkan VEBU baru yang saat ini terbang dan melekat pada tubuh Aji.“Kita harus membawa semua tim yang terluka ke unit kesehatan,” usul Liana segera pergi dan memberi mereka Vebu agar lebih cepat untuk sampai.“Lalu, apa yang akan kamu lakukan?’ tanya Aji menatap Liana dengan mata berkaca-kaca.“Aku akan menyisir lok
Mengetahui sesuatu yang buruk terjadi pada adiknya, Sofi berusaha menghubungi Liana untuk menghentikan aksinya. Ponsel dan walkie talkie milik Liana sama sekali tidak bisa dihubungi. Mungkin karena saat ini ia sedang berada di zona percampuran energi, kedua benda itu tidak berfungsi.“Di mana Liana saat ini?” tanya Sofi ketika melihat Salma mengobati salah satu pasien luka ringan.“Aji sedang mencarinya, kak,” jawab Salma kemudian melanjutkan pengobatannya.Cahaya terang itu terus memancarkan sinarnya dari pusat trisulabyuha. Khawatir akan terjadi sesuatu kepada adiknya, Sofi menghubungi Aji untuk segera menghentikan apapun yang Liana lakukan saat ini.“Kumohon, Liana. Hentikan,” ucap Sofi di dalam hati dengan penuh pengharapan.***“Sedikit lagi,” ucap Liana menyaksikan kawah trisulabyuha mulai membeku.Dari
Liana terlihat tidak sadarkan diri dari kejauhan. Aji berusaha untuk sampai dengan kecepatan penuh pada VEBU yang dia kenakan. Bulir air mata kini menetes dari mata yang beberapa waktu lalu tetap tegar dalam keadaan apa pun.Namun, ketika dia menyadari bahwa kini rasa yang dimilikinya kepada Liana telah berubah. Rasa kehilangan itu, tepat sejak dia menyebabkan Liana memilih semua jalan berbahaya dan memutuskan untuk tidak perpaku kepadanya.“Liana, bangunlah. Apa kamu mendengar suaraku?” tanya Aji begitu sampai dan menepuk lembut pipi Liana, sembari menyingkirkan beberapa batu yang ada di atas tubuh Liana.Tidak ada jawaban apa pun. Tubuh Liana bahkan tidak merespon ketika Aji menyentuhnya. Namun, ada satu hal yang pasti. Ketika Aji sadar, bahwa tangan kanannya tepat berada di bekas luka tembak itu, dan mulai memerah karena darah.“Kena-pa, darah ini muncul?” tanya Aji terkejut ketika menge