Share

Bab 192

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-05-19 17:02:38

Angin musim semi berdesir lembut di dataran tinggi, membawa aroma bung halus dan aroma tanah lembab. Di ujung timur Desa Kali Bening, para petani dan pekerja pembangunan sempat menghentikan kerja mereka. Mereka memandang ke arah perbatasan.

Tampak jelas di sana: parit besar selebar sepuluh meter, membentang dari utara ke selatan. Di baliknya, tembok tinggi dari batu kapur kasar mulai menjulang, seolah hendak memisahkan dua dunia.

Seorang pemuda Kali Bening menunjuk ke arah itu.

“Kanda… itu parit apa?” tanyanya pada rekannya.

“Itu kerjaan Anom. Kades Petir. Katanya supaya warga desanya tidak minggat ke mari,” sahut yang lain sambil mengangkat cangkul.

“sungguh malang nasip ki parman, ia dulu sudah pernah aku ajak kemari dan menggarap lahan desa kali bening, namun ia menolak dan bersikukuh jika kades wiroguno bisa mensejahterakan mereka, namun apa daya setelah wiroguno di pecat, dan kini di Ganti anom desa petir sepertinya semakin suram.” Ujar Ki Prana

“Iya benar Ki Prana, sukur aku dul
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 192

    Angin musim semi berdesir lembut di dataran tinggi, membawa aroma bung halus dan aroma tanah lembab. Di ujung timur Desa Kali Bening, para petani dan pekerja pembangunan sempat menghentikan kerja mereka. Mereka memandang ke arah perbatasan.Tampak jelas di sana: parit besar selebar sepuluh meter, membentang dari utara ke selatan. Di baliknya, tembok tinggi dari batu kapur kasar mulai menjulang, seolah hendak memisahkan dua dunia.Seorang pemuda Kali Bening menunjuk ke arah itu.“Kanda… itu parit apa?” tanyanya pada rekannya.“Itu kerjaan Anom. Kades Petir. Katanya supaya warga desanya tidak minggat ke mari,” sahut yang lain sambil mengangkat cangkul.“sungguh malang nasip ki parman, ia dulu sudah pernah aku ajak kemari dan menggarap lahan desa kali bening, namun ia menolak dan bersikukuh jika kades wiroguno bisa mensejahterakan mereka, namun apa daya setelah wiroguno di pecat, dan kini di Ganti anom desa petir sepertinya semakin suram.” Ujar Ki Prana“Iya benar Ki Prana, sukur aku dul

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 191

    Kabar tentang ramalan pagoda terus mengalir deras, bagai air bah yang membasahi tanah-tanah kekuasaan Kerajaan Surya Manggala. Bagi sebagian orang, nama Raka menjadi harapan baru. Namun bagi sebagian lainnya, terutama para bangsawan tua yang telah lama bercokol dalam kekuasaan, itu adalah ancaman nyata.Di pendapa keluarga Wironegoro, sebuah keluarga bangsawan tua dari garis keturunan utama Kemusuk, suasana tidak tenang. Anom Wironegoro, paman dari pihak ibu Raka, duduk gelisah di kursi jati berukir. Ia menatap secarik kain lontar yang dibawa seorang pelayan muda dari kota:“Putra Kali Bening dipercaya sebagai bintang terang dari timur. Rakyat menyebutnya pemimpin masa depan.”Anom mengepalkan tangan.“Raka… keponakanku sendiri. Dahulu hanya bocah kampung yang menumpang tidur di rumah neneknya. Sekarang hendak menjadi cahaya yang menutupi keluarga Wironegoro?”Seorang tamu, pejabat dari Kadipaten Kemusuk yang dikenal dengan nama Darpana, menunduk sopan namun terlihat gusar.“Maafkan h

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 190

    Di sebuah lereng sunyi di wilayah timur Surya Manggala, berdiri sebuah pagoda tua yang nyaris dilupakan. Konon, tempat itu dulunya adalah pusat pengamatan langit dan perenungan para pertapa istana. Bangunannya sederhana, bertingkat tiga, dan di puncaknya berdiri lonceng perunggu yang hanya dibunyikan jika langit memberi pertanda besar.Suatu malam, langit di atas Surya Manggala bersih tak berawan. Rasi bintang bermunculan dengan gemilang, dan dari pagoda itu terdengar lonceng berdentang, mengejutkan para penjaga dan penduduk sekitar.“Tiga kali… Apa itu berarti—” gumam seorang biksu muda yang berjaga.“Itu pertanda langit. Ramalan lama kembali hidup,” jawab pertapa tua dari balik jubah lusuhnya.Keesokan paginya, potongan ramalan kuno tersebar dari mulut ke mulut:“Akan muncul bintang terang dari tanah Surya Manggala, tak tertandingi cahayanya. Ia tak lahir dari darah biru, namun akan memimpin seperti cahaya fajar mengusir kabut pagi.”Ramalan itu menyebar cepat, dan banyak warga, ter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 189

    Pagi di Kali Bening datang dengan suara ayam jantan dan aroma seduhan daun kopi dari dapur-dapur warga. Rumah Raka, sang kepala desa, menjulang anggun di tengah permukiman, beratap genting merah, berdinding bata merah hangat, dengan pilar-pilar marmer putih yang menegaskan kewibawaannya tanpa harus meninggikan jarak dari rakyatnya.Di halaman rumah itu, seorang anak lelaki mungil berlari-lari tanpa alas kaki, mengenakan celana gombrong dan kain kecil tersampir di leher. Wajahnya bersih, pipinya ranum seperti buah jambu, dan tawanya memantul ke seisi desa.“Rama! Jangan lari ke kandang ayam, Le!” seru Aina dari serambi atas, sambil tertawa.Anak itu, Rama, putra pertama Raka dari Aina, baru berumur tiga tahun. Ia sedang lucu-lucunya: suka bertanya, suka meniru suara burung, dan sering kali mengajak para pekerja di sekitar rumah bermain kejar-kejaran. Aina mengusap perutnya yang mulai membuncit—ia mengandung anak kedua, seperti juga Aini dan Andini, dua istri Raka yang kini tengah hamil

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 188

    Desas-desus memang tak pernah bisa dikurung dalam sangkar. Sejak Kali Bening membangun tembok pertahanannya, mencetak pandai besi sendiri, bahkan membuka pengajaran bagi anak-anak perempuan, kabar itu telah melayang seperti asap dupa ke lorong-lorong kekuasaan di Surya Manggala.Di sebuah ruangan sempit di Kecamatan Kemusuk, Aryo duduk bersila di depan meja rendah dari kayu waru. Di tangannya tergenggam surat laporan dari salah satu teliksandi yang diam-diam menyusup ke Kali Bening sebagai pedagang arang.“Mereka punya dapur besi yang tak henti bekerja. Perempuan-perempuan muda bahkan bisa membaca gulungan catatan lebih cepat dari pejabat kita. Ini bukan sekadar desa maju… ini benih negara baru.”Aryo meletakkan surat itu perlahan. Di hadapannya duduk dua orang lurah dari kecamatan sekitar yang datang untuk berkonsultasi.“Jadi... maksud Tuan Aryo, kita harus melaporkan ini ke pusat?” tanya Lurah Merta ragu.“Belum. Kalau kita laporkan sekarang, berita itu akan melewati Mahapatih Mahe

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 187

    Langit sore di atas Desa Kali Bening memerah. Matahari tamKi malu-malu menyusup di balik dahan jati yang tinggi. Suara palu besi dan gergaji tak henti terdengar dari segala penjuru. Desa kecil yang dulunya sunyi, kini menggeliat seperti kota yang sedang menuju masa keemasannya.Di pelataran rumah panggung berarsitektur kokoh, Raka berdiri memandangi kejauhan. Di hadapannya, barisan tembok batu kokoh menjulang setinggi dua tombak, mengelilingi kawasan pusat pemerintahan dan gudang logistik. Benteng itu tak kalah gagah dari tembok di kadipaten besar."Kalau saja Ayahku masih hidup," gumam Raka, "pasti ia tak percaya ini semua bisa terjadi hanya dalam tiga tahun."Di sampingnya, Kepala Juru Bangun, Ki Retna, menyeka keringat dari pelipisnya.“Tembok barat rampung sore ini, Kisanak Raka. Kita tinggal memperkuat gerbang utama. Sudah kuberi perintah untuk menambahkan pengait besi dan menara pengintai,” ujar Ki Retna.Raka mengangguk. “Pastikan juga menara itu tak mudah dibakar. Musuh bisa d

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 186

    Sinar mentari pagi menyusup lembut ke balik jendela-jendela Sekar Kedaton, penginapan termewah di Kali Bening. Bangunannya menjulang dua tingkat, beratap genteng merah dengan ukiran kayu jati di setiap sisinya. Aroma kayu manis dan teh cengkeh menguar dari ruang makan.Raja Mahesa Warman berdiri di beranda atas, memandang ke arah timur di mana pabrik kayu dan pelabuhan tengah sNyik sejak fajar.“Dulu tempat ini hanya kubur kabut dan ladang kelaparan,” gumamnya pelan.Mahapatih Maheswara menyahut dari belakang, “Sekarang menjadi mercusuar bagi desa-desa lain.”Hari itu, Raja Mahesa dan Mahapatih Maheswara memutuskan berjalan kaki keliling desa. Mereka tidak dikawal ketat, hanya didampingi Raka dan dua pengawal dalam Kiaian sipil. Tujuannya sederhana: ingin melihat dengan mata kepala sendiri, bukan laporan.Mereka melewati pasar utama. Pedagang rempah, pengrajin logam, penjual kain, hingga anak-anak yang menjajakan buah-buahan hasil kebun mereka.“Paduka, silakan cicipi apel kali bening

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 185

    Musim dingin baru saja berlalu. Salju yang menutupi ladang dan jalanan telah mencair, menyisakan kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di sekitar Kali Bening. Tapi kabut bukan satu-satunya yang menyelimuti hati Raka pagi itu—ia gelisah.Seorang pengintai datang tergesa dari barat.“Tuanku Raka,” ia menunduk dalam, “pasukan kerajaan terlihat melintasi jalan utama. Jumlahnya tak sedikit.”Raka berdiri di beranda balai desa, menatap ke kejauhan.“Apakah mereka bawa panji Surya Manggala?”“Ya, lengkap. Dan dari jarak segitu, kuda perang yang dipakai itu... milik pasukan inti.”Diam sejenak. Lalu Raka berkata mantap, “Panggil semua kepala penjaga. Segera.”Di ruang utama, semua penjaga desa berkumpul. Kepala-kepala gerbang, kepala pos penjagaan, dan pasukan ronda malam duduk bersila, mendengarkan Raka yang berdiri di depan mereka.“Kita sambut dengan baik kedatangan mereka,” ujar Raka. “Tapi kita tidak boleh lengah.”“Apakah kita bersiap perang?” tanya Kepala Pos Selatan.“Tidak,” jawab

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 184

    Burung-burung melintas rendah di atas atap-atap rumah warga yang kini kian padat. Pasar ramai sejak fajar. Kapal-kapal kecil mulai menyentuh dermaga sungai membawa hasil kebun dari dusun barat dan hasil tangkapan ikan dari dusun tembok wetan. Desa itu tumbuh seperti tak kenal henti.Namun dari arah barat daya, terdengar kabar yang membuat para pembesar dusun mengernyit.“Desa Petir, Kincir, dan Melati mengirim utusan. Banyak warga mereka ingin bergabung ke wilayah kita,” ujar Pangripta Aran, tangan kanan Raka di urusan wilayah.“Apakah sudah pasti keinginan rakyat atau hanya suara segelintir?” tanya Raka sambil menatap peta besar di balai desa.“Sebagian besar berasal dari kaum muda dan pedagang. Mereka melihat perkembangan Kali Bening dan ingin turut serta.”Raka mengangguk pelan. “Tapi... tentu ini akan menimbulkan riak.”Dan benar saja, tidak lama setelah itu, surat penolakan datang dari tiga kepala desa: Anom dari Desa Petir, Gio dari Desa Kincir, dan Toro dari Desa Melati. Dalam

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status