Hasna masih bergelung dalam selimutnya. Keadaan wanita itu sedang tidak baik. Dua hari yang lalu dia nekat menembus hujan menggunakan sepeda motor, tanpa mengenakan mantel. Hasilnya, sesampai di rumah Indah mencak-mencak. Hasna tak membantah perkataan ibunya. Pikirannya sedang kalut memikirkan permintaan Mama Kenan. Harusnya dia tak memedulikan, tetapi nuraninya tak bisa bertindak sekejam itu. Apalagi Mama Kenan baru pulih, bisa saja kambuh kembali bila mendengar kebenaran itu."Ibu sudah bilang, kalau hujan mending tunggu sampe berhenti." Indah menempelkan kompresan ke dahi putrinya."Kelamaan, Bu. Hujan enggak bakalan berhenti juga." Hasna meraih tisu lalu mengeluarkan ingus yang menyumbat hidungnya."Kamu dibilangin. Tau dari mana hujan enggak bakal berhenti?" "Ya, nebak aja."Indah menepuk lengan Hasna dengan gemas. "Kebiasaan! Jawab suka asal. Kalau dibilangin itu dengar. Ini ngenyelnya ngelebihin cilok." Indah mulai mengeluarkan omelan khasnya, meanalogikan semua dengan makanan
Persiapan pernikahan Kenan dan Hasna dilakukan segera mungkin, semua atas permintaan Nuraida. Dia mengatur kapan acara pernikahan tersebut diadakan. Dia takut jika kedua orang itu berubah pikiran. Bagaimanapun dia tahu, keduanya tidak memiliki cinta di dada mereka, setidaknya belum. Nuraida yakin, bila terbiasa bersama, rasa akan tumbuh perlahan. Apalagi Hasna wanita yang sangat menyenangkan, akan sangat mudah menyukai wanita tersebut.Seperti hari ini, Nuraida bercermin, memastikan penampilannya sudah rapi. Wanita itu berencana ke kantor kelurahan untuk mengurus surat pengantar nikah untuk Kenan, sebelum diserahkan kepada pihak Hasna. Dia seolah-olah tak pernah sakit sebelumnya. Senyum tak berhenti terulas dari bibir wanita tersebut. Meski Kenan sudah menyarankan untuk membayar orang saja seperti pernikahan Salwa, tetapi Nuraida menolak. Dia ingin melakukan semua sendiri. Namun, baru saja hendak membuka pintu kamar, dadanya terasa amat sakit. Seperti ada yang menindih jantungnya di d
Hari ini awal November, minggu pertama di musim penghujan. Langit seolah-olah tak pernah lelah menumpahkan titik-titik air dari lambungnya. Seperti pagi ini, mendung tidak hanya menggelayuti nabastala, tetapi juga di keluarga besar Kenan. Sang mama tercinta akhirnya berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa menyusul almarhum Papa mereka. Rumah megah berlantai dua terlihat ramai oleh orang-orang yang hendak bertakziah. Sebelumnya, para tetangga terdekat telah mengeluarkan kursi-kursi sebagai tempat duduk para tamu. Pemuda-pemuda yang ada di sekitar sana juga mendirikan tenda dan menyiapkan keranda untuk mengusung jenazah Nuraida ke pemakaman. Tempat pemandian pun juga sudah disiapkan di belakang rumah dan ditutupi dengan tirai-tirai, agar jenazah tak terlihat auratnya saat dimandikan.Salwa tampak sangat terpukul dengan kepergian mamanya. Dia tak berhenti menangis di pelukan sang suami. Sementara Kenan terlihat lebih tabah. Tak setitik pun air mata jatuh di pipinya. Dia hanya diam sembar
Naya berkali-kali menelpon ayahnya. Dia tak sabar mendengar kabar baik. Pasti Kenan tak akan bisa menolak permintaan Mamaknya, karena hanya Mak Rusli satu-satunya keluarga dekat yang pria itu punya.Naya tak bisa menemani ayahnya ke Jakarta karena bertepatan dengan sidang skripsinya. Akan tetapi, sebelum sang ayah pergi, dia sudah meminta agar menikahkan dirinya dengan Kenan. Tentu dengan sedikit drama dan kebohongan. Gadis itu mengatakan, dia yakin sepupunya itu juga menyukainya, hanya saja segan kepada Mak Rusli yang membuat pria tersebut enggan mengutarakannya.Deru mobil yang memasuki pekarangan rumah, membuat Naya setengah berlari menyongsong. Dia tersenyum melihat sang ayah keluar dari mobil. Dia segera menghampiri Mak Rusli, mengambil alih tas kecil dari tangan pria tersebut, lalu mencium takzim tangannya."Baa telepon Ayah indak aktif?" tanya Naya lembut.(1)Mak Rusli merangkul bahu putrinya, seraya mengajak masuk ke dalam rumah. "Tadi Ayah matian. Lupo maaktifkan baliak."(2)
Kenan menyibak gorden putih yang menutupi jendela kamar Hasna. Dia mendorong kaca dan membiarkan udara pagi menyentuh tulang hidungnya. Aroma tanah basah dan kicauan burung ikut menyambut pagi. Sisa-sisa embun bergelantungan di ujung daun, menunggu jatuh ke tanah atau kering disapu angin. Hujan semalam masih menyisakan udara dingin, meski tidak terlalu menusuk. Kenan suka suasana seperti ini. Begitu tenang dan damai.Dia melirik ke arah pembaringan. Di mana Hasna sedang tertidur sangat nyenyak. Kenan tersenyum, seraya mendekat. Orang bilang, kalau ingin membuktikan seorang wanita memiliki kecantikan alami, lihatlah saat dia tertidur. Sepertinya ujaran itu benar. Hasna tampak seperti seorang putri. Wajah tanpa polesan make-up membuatnya terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Sayang sekali, pose tidurnya membuat Kenan terkekeh. Kaki kiri di barat, kanan di timur. "Pokoknya, kamu tidur di sofa!" Hasna berkacak pinggang menatap Kenan dengan wajah cemberut."Mana boleh." Kenan men
Hasna berulang kali menyembunyikan wajah di dada Kenan. Dia tak ingin para tamu di pesta ulang tahun salah satu relasi Kenan melihat rautnya yang kini memerah. Bagaimana tidak? Pria itu tanpa tahu malu menggendongnya ala bridal, hanya karena dia mengeluh pergelangan kakinya sakit sebab terlalu lama memakai sepatu hak tinggi. Hasna sudah berbisik minta diturunkan, alih-alih pria semakin merapatkan tubuh si wanita ke dadanya."Duduk di sini." Kenan menurunkan Hasna, lalu mendudukkannya di atas kursi. Dia lalu berjongkok melepas sepatu tinggi yang menjadi alas kaki si wanita."Eh, jangan. Aku bisa sendiri." Hasna bermaksud mencegah, tetapi urung melihat sorot mata Kenan yang tegas yang seakan melarangnya bergerak.Hasna kembali menegakkan tubuhnya dan membiarkan Kenan membuka tali sepatu hak tinggi miliknya. Dia sedikit mengenyit saat sepatu itu dilepas."Sakit?" tanya Kenan, seraya menengadah menatap Hasna.Hasna meringis. "Dikit."Kenan menganjur napas panjang. "Lain kali enggak usah p
Tidak semua angan-angan anak manusia harus berjalan sesuai keinginan, terkadang Tuhan membelokkan apa yang sudah direncanakan dengan matang. Kita wajib ikhtiar berjuang menggapai keinginan, tetapi ketetapan Yang Mahakuasa adalah mutlak tak tergugat. Hal itu yang coba diterima oleh Naya. Tiga bulan lebih berlalu, gadis itu terlihat baik-baik saja. Setidaknya itu yang tampak secara fisik. Bekas luka di wajah dan tubuh sudah berangsur mulai menghilang, kecuali di pergelangan tangan yang menjadi keloid. Namun, tidak ada yang tahu luka batinnya. Bila sepanjang hari tersenyum riang, saat gelap menyelimuti bumi, dia akan menangis sepanjang malam. Dadanya masih saja sakit mengenang cinta tak berbalas. Cinta yang sejak kecil telah dia tempatkan di relung hati paling dalam. Nama Kenan telah terukir indah di sanubarinya. Sejak Salwa mengatakan, si pria pernah memberi napas buatan agar Naya terselamatkan, gadis tersebut menisbatkan nama Kenan sebagai raja di hatinya. Hanya pria itu yang selalu d
Mak Rusli heran melihat perubahan yang terjadi pada Naya. Pulang berlibur, gadis itu bukan bertambah riang, tetapi makin sering mengurung diri di dalam kamar. Dia hanya keluar bila dipanggil untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Selebihnya dia akan menghabiskan waktu di dalam kamar. Entah apa yang dia pikirkan. Berkali-kali Mak Rusli bertanya, tetapi putrinya hanya diam seribu bahasa, seperti orang bisu dan tuli.Pria paruh baya itu mencoba menebak, apakah Naya masih terpengaruh dengan pupusnya harapan menikah dengan Kenan? Tetapi, dia sudah terlihat baik-baik saja, bahkan mulai sering berinteraksi dengan orang lain. Namun, sejak kepulangan dari Lembah Harau, Naya seolah-olah menghindar dari ayahnya. Setiap Mak Rusli mencoba membuka percakapan, gadis itu cepat-cepat naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar. Seperti hari ini, seharian Mak Rusli tidak melihat sang putri. Rasa cemas menggelayuti hatinya. Kejadian berapa bulan yang lalu terbayang-bayang di tempurung kepalanya.