Hari ini awal November, minggu pertama di musim penghujan. Langit seolah-olah tak pernah lelah menumpahkan titik-titik air dari lambungnya. Seperti pagi ini, mendung tidak hanya menggelayuti nabastala, tetapi juga di keluarga besar Kenan. Sang mama tercinta akhirnya berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa menyusul almarhum Papa mereka. Rumah megah berlantai dua terlihat ramai oleh orang-orang yang hendak bertakziah. Sebelumnya, para tetangga terdekat telah mengeluarkan kursi-kursi sebagai tempat duduk para tamu. Pemuda-pemuda yang ada di sekitar sana juga mendirikan tenda dan menyiapkan keranda untuk mengusung jenazah Nuraida ke pemakaman. Tempat pemandian pun juga sudah disiapkan di belakang rumah dan ditutupi dengan tirai-tirai, agar jenazah tak terlihat auratnya saat dimandikan.Salwa tampak sangat terpukul dengan kepergian mamanya. Dia tak berhenti menangis di pelukan sang suami. Sementara Kenan terlihat lebih tabah. Tak setitik pun air mata jatuh di pipinya. Dia hanya diam sembar
Naya berkali-kali menelpon ayahnya. Dia tak sabar mendengar kabar baik. Pasti Kenan tak akan bisa menolak permintaan Mamaknya, karena hanya Mak Rusli satu-satunya keluarga dekat yang pria itu punya.Naya tak bisa menemani ayahnya ke Jakarta karena bertepatan dengan sidang skripsinya. Akan tetapi, sebelum sang ayah pergi, dia sudah meminta agar menikahkan dirinya dengan Kenan. Tentu dengan sedikit drama dan kebohongan. Gadis itu mengatakan, dia yakin sepupunya itu juga menyukainya, hanya saja segan kepada Mak Rusli yang membuat pria tersebut enggan mengutarakannya.Deru mobil yang memasuki pekarangan rumah, membuat Naya setengah berlari menyongsong. Dia tersenyum melihat sang ayah keluar dari mobil. Dia segera menghampiri Mak Rusli, mengambil alih tas kecil dari tangan pria tersebut, lalu mencium takzim tangannya."Baa telepon Ayah indak aktif?" tanya Naya lembut.(1)Mak Rusli merangkul bahu putrinya, seraya mengajak masuk ke dalam rumah. "Tadi Ayah matian. Lupo maaktifkan baliak."(2)
Kenan menyibak gorden putih yang menutupi jendela kamar Hasna. Dia mendorong kaca dan membiarkan udara pagi menyentuh tulang hidungnya. Aroma tanah basah dan kicauan burung ikut menyambut pagi. Sisa-sisa embun bergelantungan di ujung daun, menunggu jatuh ke tanah atau kering disapu angin. Hujan semalam masih menyisakan udara dingin, meski tidak terlalu menusuk. Kenan suka suasana seperti ini. Begitu tenang dan damai.Dia melirik ke arah pembaringan. Di mana Hasna sedang tertidur sangat nyenyak. Kenan tersenyum, seraya mendekat. Orang bilang, kalau ingin membuktikan seorang wanita memiliki kecantikan alami, lihatlah saat dia tertidur. Sepertinya ujaran itu benar. Hasna tampak seperti seorang putri. Wajah tanpa polesan make-up membuatnya terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Sayang sekali, pose tidurnya membuat Kenan terkekeh. Kaki kiri di barat, kanan di timur. "Pokoknya, kamu tidur di sofa!" Hasna berkacak pinggang menatap Kenan dengan wajah cemberut."Mana boleh." Kenan men
Hasna berulang kali menyembunyikan wajah di dada Kenan. Dia tak ingin para tamu di pesta ulang tahun salah satu relasi Kenan melihat rautnya yang kini memerah. Bagaimana tidak? Pria itu tanpa tahu malu menggendongnya ala bridal, hanya karena dia mengeluh pergelangan kakinya sakit sebab terlalu lama memakai sepatu hak tinggi. Hasna sudah berbisik minta diturunkan, alih-alih pria semakin merapatkan tubuh si wanita ke dadanya."Duduk di sini." Kenan menurunkan Hasna, lalu mendudukkannya di atas kursi. Dia lalu berjongkok melepas sepatu tinggi yang menjadi alas kaki si wanita."Eh, jangan. Aku bisa sendiri." Hasna bermaksud mencegah, tetapi urung melihat sorot mata Kenan yang tegas yang seakan melarangnya bergerak.Hasna kembali menegakkan tubuhnya dan membiarkan Kenan membuka tali sepatu hak tinggi miliknya. Dia sedikit mengenyit saat sepatu itu dilepas."Sakit?" tanya Kenan, seraya menengadah menatap Hasna.Hasna meringis. "Dikit."Kenan menganjur napas panjang. "Lain kali enggak usah p
Tidak semua angan-angan anak manusia harus berjalan sesuai keinginan, terkadang Tuhan membelokkan apa yang sudah direncanakan dengan matang. Kita wajib ikhtiar berjuang menggapai keinginan, tetapi ketetapan Yang Mahakuasa adalah mutlak tak tergugat. Hal itu yang coba diterima oleh Naya. Tiga bulan lebih berlalu, gadis itu terlihat baik-baik saja. Setidaknya itu yang tampak secara fisik. Bekas luka di wajah dan tubuh sudah berangsur mulai menghilang, kecuali di pergelangan tangan yang menjadi keloid. Namun, tidak ada yang tahu luka batinnya. Bila sepanjang hari tersenyum riang, saat gelap menyelimuti bumi, dia akan menangis sepanjang malam. Dadanya masih saja sakit mengenang cinta tak berbalas. Cinta yang sejak kecil telah dia tempatkan di relung hati paling dalam. Nama Kenan telah terukir indah di sanubarinya. Sejak Salwa mengatakan, si pria pernah memberi napas buatan agar Naya terselamatkan, gadis tersebut menisbatkan nama Kenan sebagai raja di hatinya. Hanya pria itu yang selalu d
Mak Rusli heran melihat perubahan yang terjadi pada Naya. Pulang berlibur, gadis itu bukan bertambah riang, tetapi makin sering mengurung diri di dalam kamar. Dia hanya keluar bila dipanggil untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Selebihnya dia akan menghabiskan waktu di dalam kamar. Entah apa yang dia pikirkan. Berkali-kali Mak Rusli bertanya, tetapi putrinya hanya diam seribu bahasa, seperti orang bisu dan tuli.Pria paruh baya itu mencoba menebak, apakah Naya masih terpengaruh dengan pupusnya harapan menikah dengan Kenan? Tetapi, dia sudah terlihat baik-baik saja, bahkan mulai sering berinteraksi dengan orang lain. Namun, sejak kepulangan dari Lembah Harau, Naya seolah-olah menghindar dari ayahnya. Setiap Mak Rusli mencoba membuka percakapan, gadis itu cepat-cepat naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar. Seperti hari ini, seharian Mak Rusli tidak melihat sang putri. Rasa cemas menggelayuti hatinya. Kejadian berapa bulan yang lalu terbayang-bayang di tempurung kepalanya.
Kenan tak habis pikir, apa yang membuat Mak Rusli bersikeras memintanya pulang ke Padang? Hal penting apa yang tak bisa dibicarakan lewat telepon? Bahkan, Kakak mamanya itu mengatakan, apa yang hendak disampaikan perihal hidup dan mati."Ngelamun apa?" Hasna meletakkan secangkir kopi panas ke meja makan.Kenan tak menjawab. Dia malah memperhatikan Hasna yang sudah berpakaian rapi, harus turun ke dapur membuatkan sarapan untuknya. Menggunakan celemek merah, dan sandal rumahan, wanita itu justru terlihat sangat cekatan. Tangannya lincah menggoreng telur mata sapi di atas kompor, sementara matanya juga awas memperhatikan toaster, menjaga agar roti tak gosong."Kamu enggak takut bau asep?" Kenan akhirnya tak tahan untuk bertanya.Hasna menoleh sebentar sembari melempar senyum. "Enggaklah. Kalau udah bawaannya cantik, pasti wangi aja kecium di hidung."Kenan tertawa pelan. Istrinya itu tidak saja aneh, tapi juga menderita sindrom narsis akut."Siapa bilang kamu cantik? Menurutku enggak sa
"Semua ini salah Uda!" Naya berteriak, seraya menuding Kenan dengan telunjuk. Wajahnya basah bersimbah air mata dengan sorot seakan hendak melubangi dada Kenan. Mulut gadis itu terus meracau menyalahkan pria tersebut. Walaupun sang supir sudah menjelaskan kalau Mak Rusli kecelakaan karena kurang berhati-hati saat menyeberang jalan.Akan tetapi, Naya tetap menyalahkan Kenan. Dia berkata, seandainya sang ayah tidak menjemput pria itu ke bandara, pasti ayahnya baik-baik saja. Naya seperti orang gila. Dia terus saja berteriak menyalahkan Kenan. Tak ada lagi si gadis lembut dan bertata krama, wajahnya garang dengan sinar mata mengandung bibit kebencian untuk Kenan. "Udah harus tanggung jawab! Cuma Ayah yang Naya punya. Kenapa Uda tega membuat Naya seperti ini? Udalah sumber masalah. Uda sumber penderitaanku" Susah payah keluarga Naya dari pihak almarhum ibunya menenangkan gadis itu. Meminta dia beristigfar, alih-alih Naya malah maju dengan cepat menyerang Kenan. Dia memukul-mukul dada