Lantunan suara azan dari Masjid yang tak jauh dari kontrakan tak mampu membangunkan Agung yang masih berdengkur ditambah orokannya yang keras. Ya, wajarlah masih terlelap, tidak ada yang membangunkannya, belum lagi semalam dia pulang sudah pukul 04.00 subuh.Usai makan sate mereka malah berkeliling batu aji, padahal Anggia sudah janji dengan adik sepupunya, diingkari demi memenuhi permintaan Agung seperti anak kecil merengek. Kalau pulang ke rumah jam segitu jalanan pasti sepi, otomatis tak akan mencurigakan sekalipun Bianca berboncengan dengan Agung sampai ke halaman kontrakan.Bianca sengaja tidak mengunci pintu rumah, agar tidurnya yang payah tidak terganggu. Dan juga, pagi tadi sebelum berangkat memilih bungkam, apakah sudah bulat tekadnya untuk berpisah dengan laki-laki yang belum genap dua bulan menjadi suaminya itu?***Kawan sejawat Maisaroh juga datang menjenguk ke rumah sakit. Sekalipun hanya kepala sekolah yang di dampingi keluarga yang masuk, melihat bagaimana kondisi Mais
Rumah yang menjadi saksi bisu selama ini sudah tinggal kenangan. Rumah yang sudah dia huni selama 6 tahun, berakhir dengan cara seperti ini. Untung sebelum rencana mau pindah, Bianca sudah membayar DP rumah kontrakan terbaru yang rencananya akan dia tempati bersama Agung. Untung dia belum memberi tahu apa-apa soal rumah kontrakan baru itu pada Agung. Jadi dia akan aman, karena Agung tidak akan bisa menemuinya di kota Batam yang lumayan luas ini."Lebih baik aku pergi dengan cara seperti ini, daripada harus mendengar rayuan busuk kamu, Mas! Hidup saja dengan jalangmu yang baru. Aku tidak sudi menderita terlalu jauh dengan kamu. Biarlah sendiri daripada hidup dengan manusia berbentuk buaya tak punya hati seperti kamu," gumamnya.Bianca sengaja membawa seluruh barang miliknya termasuk milik Agung bukan untuk kenangan. Namun, supaya Agung tidak punya baju ganti lagi. Kalaupun ada pasti dia akan pusing membeli yang baru. Bianca juga tidak mempermasalahkan motor yang dibawa Agung motor seco
Part 21Perut Bianca semakin besar, apalagi akan memasuki kandungan 7 bulan. Namun, seiringan dengan perut yang membesar, wajah Bianca pun tampak menjijikkan.Awalnya hanya muncul beberapa titik jerawat, kecil-kecil, lalu tanpa disadari jerawat yang muncul malah semakin besar dan berisi cairan putih."Ini jerawatnya makin hari makin banyak, teman-teman juga mulai geli jika berpapasan denganku," ucapnya saat mematut diri di depan cermin. Dia meraba wajahnya yang tak glowing dan cerah lagi."Apa karena aku berhenti memakai skincare selama hamil?" tanyanya berbisik.Saat bekerja, teman yang biasanya bertegur sapa, satu per satu menghindar. Apalagi saat menikmati makan siang."Heh kamu, jangan duduk di sini, sana pindah tempat, liat wajah kamu bikin kita j1j1k dan terasa mau muntah," usir salah satu karyawan yang tengah menyantap hidangan makan siangnya. Meja terlihat penuh, hanya satu kursi saja yang kosong. Dan, Bianca tak punya pilihan lain."Kalau nggak suka, cabut aja, pindah aja ke
"Hai, Sayang ...." sapa Agung ketika memasuki rumah istri barunya, Bianca. "Kok lama banget sih, Mas!" bentak Bianca, ku telpon daritadi nggak diangkat-angkat, raut wajahnya merah padam."Jangan marah gitu dong, Sayang. Tadi agak ribet pas mau pergi, kamu jangan marah gitu. Kan kamu udah lihat sendiri siapa yang mas pilih.""Gimana aku nggak marah. Kamu pasti kasian 'kan ninggalin istrimu yang udah keriput itu?! Makanya lama nyampe sini! Hayo, ngaku, Mas!""Duh ... duh ... ngapain juga kasian sama dia, Sayang. Kamu lebih segalanya dari Maisaroh."Agung berusaha merayu Bianca dengan membelai lembut tubuh wanita yang baru seminggu dia nikahi itu."Udah, ah, Mas. Aku masih marah.""Kalau pengantin baru itu nggak baik marahan terus, Sayang. Tiket ke Batamnya udah kamu beli?" tanya Agung mengalihkan pembicaraan."Udah.""Sayang ... udah, ya. Jangan ngambek. 'Kan kamu sendiri yang mau jual motor kemarin. Terpaksalah Mas pake angkutan umum, jarak rumah kita sama Maisaroh kan nggak dekat jug
"Bang, kamu mau pergi ke mana? Kenapa semua pakaian di lemari dikemas?""Kamu tidak perlu tahu aku pergi ke mana Mai!"Sherin yang tengah tiduran di kamar kaget mendengar suara keras yang berasal dari kamar orang tuanya. Gegas dia beranjak dari pembaringan lalu mengintip dibalik pintu kamar Agung dan Maisaroh."Kenapa? Kenapa aku nggak boleh tahu? Apa kamu pergi dengan perempuan itu? Iya, Bang? Kenapa kamu diam, Bang?""Kalau iya, kenapa? Ada masalah?""Jadi kamu lebih milih perempuan itu, begitu, iya, Bang?""Kalau iya, kenapa? Toh Dia lebih cantik darimu. Dia lebih kaya darimu, Fatma! Lihatlah dirimu sekarang, keriput di mana-mana. Hutang berserakan di bank, dengan tetangga, dengan rekan kerjamu, dan siapa lagi? Banyak! Aku nggak sanggup hidup dengan penuh lilitaj hutang dan punya istri seperti kamu!""Tapi ... itukan karena kamu tidak mempunyai pekerjaan tetap, Bang. Coba kamu ingat, berapa kali aku modalin kamu untuk buka usaha. Kenyataannya apa? Gagal 'kan? Kamu minta motor aku b
Satu jam setelah Agung meninggalkan rumah, Maisaroh masih saja menangis duduk terpaku di ruang tamu. Sherin pun menghampirinya. Semakin Sherin melihat ibunya menangis, amarahnya Sherin semakin tak terbendung, dia semakin membenci ayahnya itu."Bu, udahlah, nggak usah tangisin Ayah yang ninggalin kita demi wanita itu. Apa Ibu lupa atas apa yang diperbuat Ayah selama ini? Jangankan menolong dari segi ekonomi. Malah dia hanya menghabiskan harta benda dan juga menggoreskan luka yang begitu dalam."Tak ada jawaban dari Maisaroh, dia terus saja menangis. "Kalau aku jadi ibu tak 'kan ku pertahankan lelaki yang sering berkhianat itu. Tak sekali dia berbuat seperti ini. Pernah sewaktu aku masih kecil, masih sekolah TK Ayah membawa teman perempuannya ke kedai kami. Kala itu Ayah menjual pakan ternak, saat itu aku tidak tahu hubungan gelap mereka."Sherin berusaha memberitahu hal menyakitkan yang pernah dia alami. Dan, puluhan tahun, tak jua sirna dalam ingatannya."Perempuan itu memberiku perm
"Mas, hari ini kita jadi 'kan pergi pamit sama Umi dan Abah kamu?""Jadi, tapi ... apa kamu yakin mau pamit sama Umi dan Abah. Mereka 'kan udah usir Mas dari rumah. Dan, kamu tahu sendiri mereka nggak merestui pernikahan kita.""Ya, itu 'kan pas awal kita mau minta izin nikah, Mas. Kali aja sekarang udah berubah pikiran.""Terserah, kamu. Mas mah ngikut aja.""Yaudah, nanti kita pergi sekitar jam 2, ya. Kamu ngojek dulu, sana. Lumayan buat tambah uang jajan di rantau nanti.""Okelah, Mas, pamit, ya. Minta uang buat bensin dong dek. Bensin sekarat.""Nih, aku kasih 30rb tapi jangan dihabisin!""Iya ... iya ...."Sementara Bianca mempacking barang-barang akan dibawanya ke perantauan, Mak Itunpun keluar dari kamarnya, menemui anak satu-satunya itu. Wanita sepuh yang ditinggal merantau oleh Bianca, dia tinggal sebatang kara di kampung karena suaminya sudah lama meninggal dunia."Bi, apa sebaiknya kamu bercerai saja dari Agung," pintanya lirih. Mak Itun sedari awal memang tidak merestui pe
"Mas, kamu di mana? Aku udah nungguin satu jam nih!" umpat Bianca lewat sambungan telepon."Iya, Sayang. Bentar. Ini masih narik, tadi pas abis nganterin penumpang, aku udah mau balik, eh di stop sama penumpang. Ya udah aku ambil sewanya, lumayan 'kan nambah duitnya.""Ya deh, awas kalau kamu boong ya, Mas.""Tenang, Sayang. Mas nggak akan pernah berbohong semenjak menjadi suami kamu."Bianca mematikan sambungan telepon dan lebih memilih untuk menonton televisi sembari menunggu Agung pulang ke rumah. Bianca berharap Agung benar berubah, setelah menikah dengannya. Meskipun suara sumbang sering Bianca dengar tentang Agung, tapi dia lebih menganggap itu angin lalu saja. Walaupun awalnya, tidak mudah bagi Bianca mengambil keputusan yang berat saat itu, saat diri ini lebih memilih bersama dengan suami orang ketimbang lelaki lajang. Hatinya seperti sudah terikat erat dengan Agung.Saat menonton televisi, Bianca tampak melamun teringat kenangan saat awal pertama bertemu dengan Agung."Mas, o