Bryan terkejut karena Alex mengatainya 'Bajingan' padahal dulu pria itu hampir tidak pernah melakukannya, walau mereka masih sama-sama satu geng motor. Sahabatnya yang satu itu merupakan satu-satunya yang memiliki kata-kata lembut. Berbeda dengan Angkasa dan Ferdinand. "Gue ke rumah lo sekarang," ucap Alex dengan nafas memburu. Walau badannya terasa lelah, karena pekerjaan kantor yang membabi buta, ia rela untuk lebih lelah lagi, semata demi sahabatnya yang bodoh itu. Bagaimana bisa, Bryan masih tidak mengambil pelajaran dari kisah di masa lalu? Bisa-bisanya pria itu mengusir istri solehahnya karena terprovokasi dan cemburu oleh pria lain yang pernah berhubungan dengan istrinya di masa lalu. Alex benar-benar harus mendisiplinkan Bryan. Pria itu masih saja kekanak-kanakkan, walau sudah menjadi seorang suami. "Mau ngapain lo ke rumah gue?" tanya Bryan seperti orang bego. Alex lebih memilih mematikan ponselnya, daripada Bryan terus menelponnya untuk meminta penjelasan. Buat apa ia ke
Zeliya beranjak dari sajadahnya karena mendengar suara ketukan pintu dan suara orang mengucap salam. Dahinya mengernyit, tumben malam-malam begini ada tamu laki-laki ke rumah Ibunya, kira-kira siapa? "Wa'alaikumussalam, iya sebentar," jawab Zeliya, ia memasang cadar, lalu membuka pintu. Matanya membulat melihat siapa yang datang. "M-mas, k-kenapa kamu ada di sini?" bisik Zeliya lirih. Ia hampir tidak percaya ada sang suami di depan matanya, pasalnya tadi sore Bryan terlihat muak sekali melihat dirinya. Tapi kenapa kini menemuinya? "Sayang, maafkan aku," lirih Bryan dengan raut menyesal. "Siapa tamunya Nak?" Ibu Zeliya bertanya sembali menyusul keluar dari kamar. "Loh, suamimu Nak, ayo ajak ke dalam, malah pada bengong di luar, gimana tho." Syifa tersenyum menyambut menantunya. Bryan segera bersalaman dan menciumi tanyan mertuanya. "Maafkan Bryan Bu, maaf." Wajah Bryan terlihat lesu dan merasa bersalah. Ia pikir istrinya sudah menferutakan keburukan dirinya kepada Iby mertua. "Eh
Kehamilan Zeliya mulai beranjang memasuki trimester ke dua, dimana moodnya mulai semakin membaik. Ia pun tidak lagi terkena morning sickness yang membuat ia dan suaminya kepayahan sendiri dengan keadaan yang berbeda setelah dinyatakan positif hamil.Hari ini, suami istri itu terlihat sudah rapi dan bersiap-siap untuk melakukan cek kehamilan serta untuk melakukan USG tentang jenis kelamin bayi mereka. Bryan yang sebenarnya memaksa ikut sang istri untuk cek kandungan."Kamu tahu sayang, Ibu-ibu diluar sana banyak yang mengeluh karena suami mereka nggak pernah sama sekali ikut pemeriksaan kandungan. Kalau aku seperti mereka diluar sana, kayaknya aku bener-bener jadi Ayah yang merasa sangat bersalah, bukan pada anakku, tapi pada istriku, Ibu dari anakku itu," ungkap Bryan sembari mengusap kerudung istrinya."Akhir-akhir ini kamu mahil menggombal Mas," komentar Zeliya yang merasa perkataan suaminya amat sangat manis terdengar ditelinga."Masa? bikin kamu makin cinta ya?" goda Bryan dengan
"Aku tidak memesan minuman ini,” gumam seorang wanita dengan cadar yang menutupi sebagian wajah. Jemari lentiknya membetulkan kacamata yang dikenakannya. Ia mencari pelayang café itu, namun trlihat para pegawai café berlalu lalang dan masing-masing sibuk melayani pelanggan yang lain. Tidak ingin menunggu lama karena ia begitu haus dan sepuluh menit lagi kelasnya akan mulai, Zeliya akhirnya memilih bertindak sendiri. Mengembalikan minuman yang tidak dipesannya.Tiga orang pria menginjakkan kaki di teras café. Di tengah hiruk pikuk orang yang berlalu lalang, mereka masih sempat tertawa-tawa sambil saling mengejek satu sama lain. Satu orang pria dengan tindik di telinganya, melangkah terbalik, karena ia sibuk berbincang sambil berjalan. Tanpa sengaja, punggungnya menubruk sesuatu.“Aw, panas!” erang pria itu. Ia segera melepas jaket denim yang telah tersimbur minuman dan melemparnya ke lantai.“Perhatikan jalan dengan baik, Mas,” ujar Zeliya setengah kesal, karena saat ia melangkah, pung
"Biar aku yang menggantikan Ibu. Pak Davidson sudah sangat baik pada keluarga kita Bu, kita nggak boleh korupsi, ada gaji ada jasa,” ucap Zeliya yang tidak setuju, sang Ibu melarangnya untuk bekerja ke rumah seorang pengusaha terkenal. Erick Davidson. Ibunya sudah dua hari mengalami sakit demam dan flu serta pegal-pegal di sekujur tubuhnya. Zeliya tidak bisa tinggal diam dan tega membiarkan sang Ibu terus bekerja. “Ibu hanya takut,” lirih Syifa yang mengkhawatirkan sesuatu. “Takut kenapa Bu?” tanya Zeliya tidak mengerti.“Ibu takut saja, Pak Davidson menyukaimu.”Mendengar pernyataan Ibunya yang tidak masuk akal itu Zeliya mengernyitkan dahi. Ia tertawa, memperlihatkan gigi gingsul yang manis, selalu tersimpan dibalik cadarnya itu. Kini, dihadapan sang Ibu, ia hanya memakai kerudung serut biasa. “Nggak mungkin lah Bu. Wong aku berpakaian seperti ini, lagian Pak Davidson sudah tua Bu. Bisa-bisanya ibu suuzon.”“Pak Davidson, sering bergonta-ganti wanita. Kami, para pembantu dirumahn
“Apa yang kamu lakukan?” geram Eric Davidson yang baru saja datang dari melakukan perjalanan bisnis keluar negeri.Melihat putranya yang menindihi seorang wanita, ia merasa geram. Segera saja, ia tarik jaket yang dikenakan Bryan dan membanting tubuh anaknya ke lantai. “Bodoh! Sudah ku bilang, jangan pernah melampiaskan amarahmu pada wanita!"Bryan mengusap wajahnya yang membentur keramik. “Apa kamu bilang? Nggak salah denger aku? Bukankah kamu yang mengajariku seperti itu hah? bajingan laknat?” hardik Bryan dengan suaranya yang keras. Zeliya segera bangkit, ia bingung sendiri apakah harus pergi atau tetap menyaksikan pertengkaran antara Bryan dan seorang pria paruh baya namun masih terlihat seperti anak muda itu. Pria itu mengenakan jas, rambutnya bergaya undercut, perawakannya masih kencang.“Kamu boleh pergi,” ujar Eric pada wanita bercadar yang terlihat ketakutan. Zeliya tidak membuang kesempatan, ia segera keluar dari kamar yang kini terlaknat menurutnya. Hampir saja ia ternodai,
"Kamu tahu, Ibumu biayain kuliahmu dengan uang siapa?” Pertanyaan itu terdengar dengan nada santai, namun mengandung suatu hal, seperti gertakan tidak langsung. Apa yang sebenernya tengah diinginkan pria bernama Eric itu. Sepertinya, bukan hanya bermaksud mengucapkan terimakasih semata, pria itu pasti memiliki rencana. Mendadak Zeliya menjadi takut, tapi ia harus tetap terlihat tenang.“Ibu kerap meminjam kepada Pak Eric. Tapi, Ibu bilang sudah terbayar dengan cara potong gaji,” jelas Zeliya, tidak berani menatap mata Eric Davidson yang terlihat intens dan dalam menatapnya.Lama, Zeliya tidak mendengar perkataan lagi dari pria paruh baya itu. Ia memberanikan diri mendongak, ternyata ketakutannya benar, Eric masih dengan matanya yang menatapnya. “Pak, ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Zeliya, karena selain takut ia juga harus kembali pada pekerjaannya, menggantikan sang Ibu.“Maaf jika ini tidak sopan buatmu Zeliya. Kamu tidak ingin menikah?Deg!Seketika bulu kuduk dibalik kerud
"Maksud lo apa?” Wajah Bryan terlihat murka. Ia tidak suka disamakan dengan Ayahnya, walau beberapa detik lalu ia sudah membanggakan kekuasaan sang Ayah atas hukum. Ya karena pria itu kaya, bisa membeli hukum sekali pun. Entah sudah berapa kali Bryan ditangkap karena menabrak pembatas jalan, ugal-ugalan dan party di tengah jalan. Tapi lagi-lagi Bryan hanya mendekam di sel tidak sampai satu hari, beberapa jam, ia langsung keluar lagi.Zeliya memutar bola mata, ia bergegas pergi sebelum Bryan memaki-makinya di café itu. Malam harinya, ia ingin mengatakan pada sang Ibu agar besok izin saja, tidak bekerja. Perasaannya tidak enak, jika besok masuk kerja, pasti Tuan Davidson akan mengancamnya lagi atau bahkan lebih parah, pria itu berbuat macam-macam dengannya.Diam-diam Bryan memikirkan kata-kata terakhie wanita bercadar tentang menyakan ia dan sang Ayah. "Apa dia kenal dengan bokap gue?" gumamnya.“Bu, sudah mendingan?” tanya Zeliya sembari mengusap tangan sang Ibu. Syifa mengangguk lem