Kehamilan Zeliya mulai beranjang memasuki trimester ke dua, dimana moodnya mulai semakin membaik. Ia pun tidak lagi terkena morning sickness yang membuat ia dan suaminya kepayahan sendiri dengan keadaan yang berbeda setelah dinyatakan positif hamil.Hari ini, suami istri itu terlihat sudah rapi dan bersiap-siap untuk melakukan cek kehamilan serta untuk melakukan USG tentang jenis kelamin bayi mereka. Bryan yang sebenarnya memaksa ikut sang istri untuk cek kandungan."Kamu tahu sayang, Ibu-ibu diluar sana banyak yang mengeluh karena suami mereka nggak pernah sama sekali ikut pemeriksaan kandungan. Kalau aku seperti mereka diluar sana, kayaknya aku bener-bener jadi Ayah yang merasa sangat bersalah, bukan pada anakku, tapi pada istriku, Ibu dari anakku itu," ungkap Bryan sembari mengusap kerudung istrinya."Akhir-akhir ini kamu mahil menggombal Mas," komentar Zeliya yang merasa perkataan suaminya amat sangat manis terdengar ditelinga."Masa? bikin kamu makin cinta ya?" goda Bryan dengan
"Aku tidak memesan minuman ini,” gumam seorang wanita dengan cadar yang menutupi sebagian wajah. Jemari lentiknya membetulkan kacamata yang dikenakannya. Ia mencari pelayang café itu, namun trlihat para pegawai café berlalu lalang dan masing-masing sibuk melayani pelanggan yang lain. Tidak ingin menunggu lama karena ia begitu haus dan sepuluh menit lagi kelasnya akan mulai, Zeliya akhirnya memilih bertindak sendiri. Mengembalikan minuman yang tidak dipesannya.Tiga orang pria menginjakkan kaki di teras café. Di tengah hiruk pikuk orang yang berlalu lalang, mereka masih sempat tertawa-tawa sambil saling mengejek satu sama lain. Satu orang pria dengan tindik di telinganya, melangkah terbalik, karena ia sibuk berbincang sambil berjalan. Tanpa sengaja, punggungnya menubruk sesuatu.“Aw, panas!” erang pria itu. Ia segera melepas jaket denim yang telah tersimbur minuman dan melemparnya ke lantai.“Perhatikan jalan dengan baik, Mas,” ujar Zeliya setengah kesal, karena saat ia melangkah, pung
"Biar aku yang menggantikan Ibu. Pak Davidson sudah sangat baik pada keluarga kita Bu, kita nggak boleh korupsi, ada gaji ada jasa,” ucap Zeliya yang tidak setuju, sang Ibu melarangnya untuk bekerja ke rumah seorang pengusaha terkenal. Erick Davidson. Ibunya sudah dua hari mengalami sakit demam dan flu serta pegal-pegal di sekujur tubuhnya. Zeliya tidak bisa tinggal diam dan tega membiarkan sang Ibu terus bekerja. “Ibu hanya takut,” lirih Syifa yang mengkhawatirkan sesuatu. “Takut kenapa Bu?” tanya Zeliya tidak mengerti.“Ibu takut saja, Pak Davidson menyukaimu.”Mendengar pernyataan Ibunya yang tidak masuk akal itu Zeliya mengernyitkan dahi. Ia tertawa, memperlihatkan gigi gingsul yang manis, selalu tersimpan dibalik cadarnya itu. Kini, dihadapan sang Ibu, ia hanya memakai kerudung serut biasa. “Nggak mungkin lah Bu. Wong aku berpakaian seperti ini, lagian Pak Davidson sudah tua Bu. Bisa-bisanya ibu suuzon.”“Pak Davidson, sering bergonta-ganti wanita. Kami, para pembantu dirumahn
“Apa yang kamu lakukan?” geram Eric Davidson yang baru saja datang dari melakukan perjalanan bisnis keluar negeri.Melihat putranya yang menindihi seorang wanita, ia merasa geram. Segera saja, ia tarik jaket yang dikenakan Bryan dan membanting tubuh anaknya ke lantai. “Bodoh! Sudah ku bilang, jangan pernah melampiaskan amarahmu pada wanita!"Bryan mengusap wajahnya yang membentur keramik. “Apa kamu bilang? Nggak salah denger aku? Bukankah kamu yang mengajariku seperti itu hah? bajingan laknat?” hardik Bryan dengan suaranya yang keras. Zeliya segera bangkit, ia bingung sendiri apakah harus pergi atau tetap menyaksikan pertengkaran antara Bryan dan seorang pria paruh baya namun masih terlihat seperti anak muda itu. Pria itu mengenakan jas, rambutnya bergaya undercut, perawakannya masih kencang.“Kamu boleh pergi,” ujar Eric pada wanita bercadar yang terlihat ketakutan. Zeliya tidak membuang kesempatan, ia segera keluar dari kamar yang kini terlaknat menurutnya. Hampir saja ia ternodai,
"Kamu tahu, Ibumu biayain kuliahmu dengan uang siapa?” Pertanyaan itu terdengar dengan nada santai, namun mengandung suatu hal, seperti gertakan tidak langsung. Apa yang sebenernya tengah diinginkan pria bernama Eric itu. Sepertinya, bukan hanya bermaksud mengucapkan terimakasih semata, pria itu pasti memiliki rencana. Mendadak Zeliya menjadi takut, tapi ia harus tetap terlihat tenang.“Ibu kerap meminjam kepada Pak Eric. Tapi, Ibu bilang sudah terbayar dengan cara potong gaji,” jelas Zeliya, tidak berani menatap mata Eric Davidson yang terlihat intens dan dalam menatapnya.Lama, Zeliya tidak mendengar perkataan lagi dari pria paruh baya itu. Ia memberanikan diri mendongak, ternyata ketakutannya benar, Eric masih dengan matanya yang menatapnya. “Pak, ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Zeliya, karena selain takut ia juga harus kembali pada pekerjaannya, menggantikan sang Ibu.“Maaf jika ini tidak sopan buatmu Zeliya. Kamu tidak ingin menikah?Deg!Seketika bulu kuduk dibalik kerud
"Maksud lo apa?” Wajah Bryan terlihat murka. Ia tidak suka disamakan dengan Ayahnya, walau beberapa detik lalu ia sudah membanggakan kekuasaan sang Ayah atas hukum. Ya karena pria itu kaya, bisa membeli hukum sekali pun. Entah sudah berapa kali Bryan ditangkap karena menabrak pembatas jalan, ugal-ugalan dan party di tengah jalan. Tapi lagi-lagi Bryan hanya mendekam di sel tidak sampai satu hari, beberapa jam, ia langsung keluar lagi.Zeliya memutar bola mata, ia bergegas pergi sebelum Bryan memaki-makinya di café itu. Malam harinya, ia ingin mengatakan pada sang Ibu agar besok izin saja, tidak bekerja. Perasaannya tidak enak, jika besok masuk kerja, pasti Tuan Davidson akan mengancamnya lagi atau bahkan lebih parah, pria itu berbuat macam-macam dengannya.Diam-diam Bryan memikirkan kata-kata terakhie wanita bercadar tentang menyakan ia dan sang Ayah. "Apa dia kenal dengan bokap gue?" gumamnya.“Bu, sudah mendingan?” tanya Zeliya sembari mengusap tangan sang Ibu. Syifa mengangguk lem
“Apa? hahaha... kamu ngancam aku sekarang? Tidak takut, aku yakin kamu tidak akan merampas itu dariku,” jelas Bryan angkuh. Ia sudah mendapat pekerjaan sebagai model dengan gaji gede, sebenarnya tidak mesti ia bergantung terus dengan Ayanya, walau ia butuh kekayaan pria itu untuk temeng hukum dan sekalian foya-foya.“Maka hidupmu, aku pastikan akan berakhir di penjara. Kali ini, aku tidak akan main-main dengan perkataanku Bryan Davidson.”“Sial!”Bryan menghentikan motornya mendadak, membuat rem sepeda motornya terdengar mencicit dan ban roda duanya itu menggesek keras diatas aspal.Teman-teman Bryan reflek melakukan hal yang sama.“Gue mau balik!” Bryan memutuskan sendiri. Rasanya ia tidak akan fokus balapan motor jika kepalanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran tentang pernikahan yang akan diaturkan sang Ayah untuknya.“Lo kenapa si Bry, uring-uringan begitu? Ada masalah?” tanya Alex yang mengerti gelagat sahabatnya. Walau kemarin ia teler dan tidak dapat berfikir jernih, kini kesadara
Alex mengikuti kemana Bryan pergi, namun hatinya lega ketika pria di depannya itu membelokkan sepeda motornya ke arah jalan menuju rumah Davidson. Untuk memastikannya, pria dengan kulit bersih itu tetap mengeker dibelakang.Ternyata, tujuan Bryan ke rumah hanya untuk mengganti tunggangannya menjadi roda empat. Ia tahu, jika mabuk, pasti dirinya tidak bisa pulang sendiri dengan mengenakan sepeda motornya, bisa-bisa ia mati konyol di tengah jalan akibat kecelakaan yang diperbuatnya sendiri. Belum, ia masih ingin hidup panjang dan berfoya foya bahkan jika bisa, sampai harta Davidson habis tak bersisa.Kebencian ia kepada sang Ayah bermula ketika pria itu terang-terangan membawa selingkuhan ke rumah. Mengetahui hal itu, Ibu Bryan membiarkannya dan semakin hari, kesehatannya semakin memburuk. Entah apa penyebab Ibunya