Beberapa hari sebelumnya...
Matthias menjadi geram ketika sekretarisnya melaporkan padanya bahwa cuitan John telah menjadi trending topik bahkan akun resmi perusahannya ikut diberi tagar.Sungguh memalukan. Hal tersebut secara tidak langsung mencoreng dirinya serta seluruh perusahaan Kohlberg.
Sore itu, Matthias bermaksud menegur keras adiknya yang sudah keterlaluan. Sesampainya di rumah, ia segera naik ke lantai dua, mengabaikan para asisten rumah tangga yang menundukkan kepala saat Matthias melewati mereka mulai dari pintu masuk, tangga kembar, lorong panjang hingga pengujung ruangan dengan pintu yang tertempel poster besar berinisial JJ.
"John, tolong bersikaplah dewasa!" Dari nada suaranya seketika ia membuka pintu kamar JJ, Matthias nampak sangat jengkel mendapati tingkah John yang sedang asyik dengan komputernya dalam permainan daring bersama temannya setiap hari.
Matthias mendekatinya dan mencabut headset nirkabel adiknya. Tidak menyadari bahwa setiap tindakannya tersebut sebenarnya terekam oleh webcam adiknya.
"Anj*ng! Jangan ganggu gua lah!" Teriaknya tanpa pikir panjang dan merampas kembali headset tersebut dan memasangnya kembali. Melanjutkan permainan dengan mengetik sesuatu pada keyboard-nya untuk timnya.
Dengan santai Matthias mencabut kabel power yang tersambung pada komputer JJ, senyuman tipis nampak di wajahnya disertai lirikan mata pada adiknya seolah menyuarakan 'mampus' ketika ia melihat JJ mengernyitkan dahi dan membuka mulut.
"Bangs*t lah, mau lu apa sih?!" Erang JJ melepas headset dan menatap Matthias tajam. Bukan hanya merasa terganggu, namun posisinya sebagai salah satu pemain utama atau core dalam permainan tersebut pun tereliminasi.
"Mauku, kamu menghapus segala tulisan tidak berguna itu di Twister. Sekarang, banyak investor dapat melihat kebobrokanmu yang melekat pada nama baik perusahaan."
Matthias menatap mata John dengan ekspresi keras, datar, dan tegas sembari menunjukkan ponsel miliknya. Dengan posisi berdiri tegak bagaikan sikap seorang yang telah lama menjalani latihan militer, sebenarnya John tidak berani untuk melawannya secara fisik.
Akan tetapi John dalam posisi duduk, membanting tubuhnya ke kursi gaming bertuliskan 'JJGAMING' dan menghela nafas.
"Kalau gue ga mau, emang kenapa?"
Seolah menantang dengan jelas melalui sikap berengseknya, John sama sekali tidak peduli apabila kakaknya dalam keadaan kesal atau marah sekalipun. Karena ia merasa menjadi anak bungsu yang akan selalu disayang dan dibela ayahnya.
Itu semua karena John lahir setelah ibu mereka, Sissy Camelia Kohlberg meninggal akibat pendarahan hebat saat melahirkannya dan satu-satunya kalimat terakhir dari mendiang ibunya kepada Joseph, sang ayah dan Matthias ialah menjaga John sebaik-baiknya.
Usia Matthias saat itu sepuluh tahun, dengan berlinang air mata, Matthias juga berjanji.
"John, kakak mohon. Kamu tidak peduli sama sekali dengan kesehatan papa? Tidak cukupkah kamu diam saja di sosial media tanpa perlu mengungkit hal privacy dalam keluarga kita?"
Pernyataan Matthias diungkapkan dengan nada tenang mengingat rasa hormat akan kalimat terakhir yang diucapkan mendiang ibunya.
"Rating," John memutar kursi gaming miliknya, "hal yang menyangkut privacy seseorang itu sangat dibutuhkan masyarakat bodoh di luar sana."
Matthias mengernyitkan dahi karena baginya hal tersebut sama sekali tidak masuk akal, apa yang dikatakan adiknya tidak dapat ia cerna sama sekali.
"Maaf, rating? Dibutuhkan masyarakat?" Matthias berusaha memahami kalimat adiknya sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Well, bro.... Makanya jangan kerja melulu di kantor, ketemu bajin*an elit dan kurang pergaulan di era digital seperti ini." John yang sedang memutar kursi kemudian berhenti dan menatap Matthias dengan tatapan mengejek.
"Setidaknya, apa yang kulakukan di kantor yang telah membuatmu dengan nyaman duduk di kursi itu, John." Matthias menghela nafas, menantikan penjelasan John. "Ok, you lost me, J. Just explain."
"Lu sibuk mencari relasi, koneksi, dan semua lu lakukan demi uang, right?" John memulai. "Begitupula dengan gue. Kata atau kalimat yang kontroversi merupakan currency yang dibutuhkan di dunia maya."
Sembari memperhatikan, Matthias sebenarnya merasa John memang memiliki daya tarik yang unik baginya. Kaum milenial memiliki caranya sendiri untuk mendapatkan investasi melalui simpati, terutama memang harus diakui bahwa John cukup jenius memanfaatkan peluang, hanya saja kekurangannya: ia angkuh dan sembrono.
"Ada yang mendapatkan fame yang berujung traffic, banyak orang menyukai cuitan, postingan, dan berbagai hal lainnya karena orang tersebut menghina dirinya sendiri, atau menghina orang lain di sosial media, Matt."
Berhenti sejenak, John bangkit dari kursinya dan menyalakan kembali komputer dengan mencolok kembali kabel yang dilepas Matthias sebelumnya. Komputer beserta seluruh perlengkapan mulai dari lampu, mouse, mousepad, sampai aksesoris warna-warni mulai memenuhi meja komputer John.
"Traffic means income, bro."
"Ok, aku sudah paham. Akan tetapi perlukah income tersebut diperoleh dengan cara rendahan seperti itu, John?" Matthias berjalan perlahan sambil memperhatikan adiknya. "Membawa martabat keluarga?"
"Martabat keluarga? Hah!" John melirik Matthias. "Apa yang keluarga ini hasilkan selain meninggalkan harta yang harus dihabiskan?!"
"Apa maksudmu, J?" Matthias mulai kembali terusik.
"Mama tiada karena papa sibuk kerja, kan?" Suara John terdengar sedikit lirih tapi ditutupinya dengan mengalihkan tatapannya ke monitor besar berbentuk kurva di hadapannya. "Untuk apa harta, jika mama ga bisa diselamatkan?"
"Ya aku mengerti kamu tumbuh tanpa mama, tapi—" Matthias menimpali, namun John tidak terima.
"LU TAU APA HAH?!" Tanpa menatap sedikitpun pada kakaknya, John hanya menatap logo JJGAMING buatannya di wallpaper monitor. Suasana di kamar John terasa berat dan hening, teguran yang seharusnya menjadi prioritas Matthias berubah menjadi rasa iba melihat kondisi adiknya.
Dalam hati Matthias, ia tersadar bahwa seluruh tindakan John memang berdasarkan rasa kesepiannya. John tidak pernah melihat secara langsung wajah mamanya, hanya foto besar yang terletak di tengah tangga kembar pada ruang utama rumah mereka.
Foto yang menjadi memento atau kenangan akan kehadirannya sebagai ibu yang telah melahirkannya—kemudian pergi meninggalkan mereka.
Ayah mereka 'melarutkan diri' dalam kesibukan mengurus 'gurita' perusahaan, menggalang dana dan pergi ke berbagai negara menandatangani kontrak kerja, sumbangan, atau memberikan dana hibah serta bantuan pada pemerintah hingga pada akhirnya ia harus rela menyerah dan terbaring di rumah karena kondisi fisiknya yang melemah.
Matthias berjalan menuju pintu, menghela nafas sejenak sambil berdeham.
"Baiklah, fine—" Matthias mengangkat kedua tangannya. "Lakukan sesukamu, Jo. Tapi coba renungkan, jika mama masih disini bersama kita; apa yang akan dikatakannya?"
Pintu kamar tertutup, John yang sedang terdiam meraih ponsel dan mengetuk layarnya dua kali.
Tidak terduga, background wallpaper John bukanlah seperti yang banyak dilakukan seseorang seusianya: wanita seksi, mobil sport, pemandangan wisata, lokasi terkenal lainnya, atau tulisan JJ yang sangat dibanggakannya.
Melainkan foto ibunya dengan editan yang bertuliskan #missyoumom di bagian bawahnya.
Setelah memberikan jam tangan emas miliknya, John kecil melihat gadis tersebut seakan menerima sesuatu yang sama sekali baru kali pertama dilihatnya. Dengan penuh antusias Lisa memeriksa setiap detail dari jam tangan kecil tersebut."Namamu siapa?" Lisa bertanya sambil tetap terfokus memperhatikan detik jam yang berjalan tanpa terhenti, tidak seperti detik pada jam tangan biasa. "Kamu orang kaya ya?""Aku John," dengan nada datar, John menjawabnya. "Aku bukan orang kaya, kenapa kamu bertanya begitu? Karena jam tangan emas itu?""Bukan," Lisa menatapnya. "Kamu sekolah di sana."Lisa menunjuk ke arah gedung berwarna sedikit kemerahan karena pantulan cahaya matahari siang. Udara saat itu lumayan sejuk, langit berawan, namun kedua anak kecil tersebut masih berada di balik semak rimbun dan pohon besar yang meneduhi mereka."Oh, tapi siapa pun juga bisa sekolah di sana, tidak harus orang kaya," John tersenyum, akan tetapi ia lupa sejenak dengan siapa ia
"Kehidupan ini bagai papan catur, jika tidak memiliki strategi tentu akan kalah. Siapa tidak berkawan tentu takkan pernah menemukan jalan keluar."Kalimat bijak di atas tertulis pada buku yang pernah dibaca oleh John ketika ia duduk di bangku sekolah dasar, namun ia tidak merasakan memiliki seorang pun teman karena ia sangat dijaga ketat oleh bodyguard ketika berada di sekolah.Teman-teman seusianya tidak ada yang berani mendekati karena melihat beberapa pria berjas hitam, berbadan besar, dengan tatapan mata tajam selalu mengawasi dan mengikuti kemana pun John pergi.Bel berdering, menandakan sudah waktunya untuk masuk kembali ke kelas. Saat itu John dan ketiga pengawalnya sedang berada di taman, John duduk di ukiran batu yang menjadi tempat duduknya dan kotak makanan berada di meja batu berbentuk bundar."Tuan Muda," salah satu pengawal berkata pada John kecil yang sedang memandangi buku tebal yang berada di tangannya. "Apakah Tuan tida
Grace merasa tertekan dengan kondisinya, baik fisik maupun mental. Terlebih setelah mengetahui bahwa dirinya berada di rumah sakit yang didirikan keluarga John, ia makin merasa berhutang. "GRACE!!!" Dari arah pintu, suara teriakan yang tidak asing bagi Grace bergema. Sheila, teman kuliahnya segera berlari menuju samping ranjang Grace, ia sempat meletakkan keranjang kecil buah di meja samping Grace dan menatapnya dengan penuh rasa iba. "Ya ampun, kamu kenapa bisa sampai begini, Grace?" Sheila, dengan rambut digerai dan dandanan yang nampak sedikit menonjol, menunjukkan wajah khawatir melihat keadaan Grace yang dibungkus rapi bagaikan mumi. "Yah, kecelakaan yang bodoh, Sheila," Grace menjawab sambil berusaha tetap tersenyum. "Aku lewat jalan pintas di bukit, eh malah jatuh ke jurang. Untungnya hanya beberapa meter." Sheila mengangguk dengan penuh antusias sementara Grace melirik ke arah buah-buahan yang masih rapi dibungkus plastik. "Ga
"Oke, ga ada masalah," John memberitahukan bahwa status Grace di kampus baik-baik saja karena mengalami kecelakaan. Ujian dapat ditunda dan akan dilaksanakan ujian ulang khusus dirinya di lain waktu setelah Grace pulih. "Kamu, bagaimana sih kamu bisa buat kampus itu 'ok' kalau aku kena musibah?" Grace bingung. "Karena biasanya mereka tidak mau dengar alasan apa pun." "Ga usah dipikirin," John menjawab dengan singkat. Kemudian ia keluar dari kamar tersebut, ingin mencari udara segar sembari melangkah pergi dan melihat ponselnya. "Gimana ga mikirin, biaya di sini mahal pastinya," Grace berbicara dalam hati, merenung, dan berpikir bahwa tabungannya akan habis mengganti semua biaya yang dibutuhkan. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa semua biaya telah ditanggung John untuk perawatan medis, terapi, bahkan segala operasi yang dibutuhkan Grace. Universitas tempat Grace mengambil mata kuliah farmasi tersebut bahkan dibeli oleh John sebab ia i
Tirai jendela kamar ditarik, sinar matahari memukul wajah Grace dengan kehangatannya. Pagi itu ia merasakan beberapa hal yang cukup mengganjal. Pertama, siapa gerangan sosok wanita berpakaian putih yang membuka jendela tersebut?Lalu, dimana dirinya sekarang? Sesaat setelah membuka mata, ia bahkan tidak dapat merasakan kakinya. Tangan kirinya diangkat dan ia samar-samar melihat semacam selang yang menempel di punggung tangannya.Grace mengalami rasa perih di bagian tangan, kaki, dan tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuhnya. Hal terakhir yang ia ingat ialah dirinya terjatuh ke jurang akibat mobil berwarna hijau yang menabrak bagian depan sepedanya di tikungan.Selain kehilangan kesempatan untuk ujian, Grace juga kehilangan kesadarannya hingga beberapa hari. Kenyataan tersebut membuat dirinya ingin menangis, marah, dan menyalahkan dirinya. Ia tidak terima dengan kondisinya sekarang yang terbaring tak berdaya."Wah, akhirnya Nona sadarkan diri juga!" Wanita be
Seluk-beluk pegunungan, perbukitan, dan juga aneka jalan kecil telah diketahui Grace sejak ia kecil. Bahkan semuanya itu sudah ia hafal di luar kepala, sehingga tidak diragukan lagi walau dalam keadaan gelapnya malam sekalipun, ia yakin dirinya tidak akan tersesat. Jika ia melakukan perjalanan mendaki dengan sepedanya dan melintasi beberapa area perbukitan dan pepohonan, maka Grace akan tiba sepuluh menit lebih cepat dari jalan raya dengan jalan pintas yang ia lalui selama beberapa waktu. Grace bersenandung, ia merasakan kedamaian semenjak dirinya tidak terlibat dengan John, ia juga merasa lega bahwa videonya tidak lagi menjadi bahan perbincangan teman-teman kampusnya karena sudah di hapus oleh John atas permohonannya. Matahari belum sepenuhnya tenggelam, maka Grace berusaha mengayuh sepedanya dengan penuh antusias agar dapat menempuh setidaknya separuh perjalanan. Ia sempat melihat adanya bulan yang masih samar-samar terlihat menggantung di langit karena cua