"Aku ga ngelakuin apapun! Ya sudah aku minta maaf, Mbak. Habisnya kemarin kalian bikin curiga, aku tanya suamimu kerja apa, Mbaknya ga jawab." Kirana bersuara menyela ucapanku.Aku tahu betul ia sangat menutup aibnya itu rapat-rapat."Masa sih aku ga percaya, cerita dong Mbak Risti." Bu Sisca keukeuh ingin mengetahui."Iya cerita aja," timpal ibu-ibu yang lain."Sebenarnya, suaminya itu hasil nger ....""Cukup ya, Mbak. Kamu jangan ngomong macam-macam! Kenapa sih Mbak fitnah aku?!" Kirana berteriak menyela ucapanku.Orang-orang di sekitar sukses memperhatikan kami, bahkan suamiku sampai berlari menghampiri."Udah udah, yuk ikut Mas, jangan berantem di sini. Ini tempat umum." Mas Lutfi menarik paksa tubuh ini."Awas ya kalau Mbak berani buka rahasia aku maka aku juga akan buka rahasia Mbak!" Kirana mengancam.Karena geram, aku menepis tangan Mas Lutfi dan balik menyerangnya."Aku ga takut ya, bongkar saja silakan di depan umum kalau gitu aku juga bakal bongkar kebusukanmu!" teriakku sa
Kami pulang naik taxi, sedangkan mobil Pajero sport milik Mas Lutfi diurus anak buahnya."Siapa ya, Mas, yang ngempesin ban mobil kita?" tanyaku saat sudah sampai di rumah."Engga tahu, apa mungkin ...." Mas Lutfi tak meneruskan ucapannya."Kirana." Aku menyahut.Siapa lagi kalau bukan mereka, kalau memang kempes tak sengaja tak mungkin semua 'kan."Tapi kita ga ada bukti." Mas Lutfi membuka kancing baju atas dan melepas dasinya.Aku berdecak kesal, suamiku ini terlalu santai menghadapi Kirana, ia tak tahu saja sejahat dan senekat apa perempuan itu.Aku masih ingat dulu saat masih menjadi istri Mas Hanif, setelah ketahuan ada main di belakang, pasangan luknut itu terang-terangan berzina di rumah kami, membuatku jijik dan tentunya sakit hati.Luka yang digoreskan mereka membuatku trauma dalam jangka waktu lama, hampir tiga tahun lebih menjanda, hingga akhirnya emak dan bapak menjodohkanku dengan seseorang yang berasal dari desa sebrang.Seorang bujang lapuk yang berusia hampir kepala e
'Alhamdulilah, setelah sekian lama akhirnya kami diberi momongan juga, suatu kebanggaan bagi seorang wanita saat mengandung anak suaminya, sebagai seorang wanita belum sempurna kalau belum melahirkan anak'Status Kirana muncul di beranda efbe-ku pagi ini, aku menelan ludah, padahal sejak dulu mengandung adalah impian terbesar dalam hidup ini.Kenapa Kirana bisa hamil sedangkan aku belum? atau jangan-jangan benar kata Mas Hanif waktu itu kalau aku yang mandul?"Hasil pemeriksaan menyatakan kalau kamu itu ga bisa berikan keturunan, sangat kecil kemungkinannya,". ucap Mas Hanif tempo hari saat aku masih menjadi istrinya.Dahulu kami pernah mengecek kesuburan masing-masing ke dokter, tapi saat mengambil hasilnya aku tak ikut sebab harus pulang kampung.Saat itu jelas saja Mas Hanif kecewa, bisa jadi karena itu juga ia selingkuh dengan Kirana. Ah menyebalkan kalau ingat masa kelam itu.Kolom komentar Kirana dibanjiri ucapan selamat. Aku menengadah minta pada Tuhan agar menjauhkan hati ini
"Ah sudahlah, Mas." Aku hampir saja mau membuang benda pipih itu saking putus asanya."Eh jangan buang dulu, sini coba Mas lihat." Ia merebut benda itu dari tanganku.Dilihat bolak balik pun percuma garis merah melintang hanya ada satu yang nampak, kalau begini aku harus bagaimana? kasihan Mas Lutfi kalau sampai tak memiliki anak hingga akhir hayatnya."Yang, lihat deh. Ini tuh kaya garis tapi kok ...." Ia menunjuk-nunjuk benda pipih itu.Aku melirik, garis apaan orang itu samar ga jelas begitu."Sudahlah, Mas." Aku mendesah lelah."Mas yakin kamu hamil tapi belum terdeteksi karena masih dini, kita tunggu semingguan lagi ya." Mas Lutfi memelukku."Setiap wanita yang punya rahim insya Allah berpeluang memiliki keturunan, jangan pesimis gitu dong." Mas Lutfi mengelus punggungku.Kata-katanya memang menyejukkan, tapi kekecewaan ini tetap saja ada enggan sirna, apalagi kalau ingat hasil tes kesuburan waktu itu, semakin putus asa saja."Tapi umur kita ga muda lagi, Mas. Apa mungkin?" Aku m
Mobil yang membawa Kirana melesat dengan cepat."Kirana kenapa?" tanya salah satu tetanggaku, ia pun sama ingin tahu apa yang terjadi."Ga tahu tadi roknya banyak darah, masa iya keguguran?" Aku bergumam tapi tetanggaku ini mendengar."Wah kalau ada darah sih sudah pasti keguguran, dia 'kan lagi hamil muda." Ia menebak-nebak.Gosip tentang Kirana keguguran tak lama lagi pasti akan menyebar, aku memilih pulang masuk rumah ketimbang ikut ibu-ibu lain ngerumpi, selain ghibah itu dosa, Mas Lutfi juga akan marah kalau tahu.Waktu sore tiba, begitu Mas Lutfi pulang aku langsung pergi ke dokter kandungan, selama di jalan Mas Lutfi menghibur agar aku tak tegang."Kantung janinnya sudah terlihat ya, Bu. Wajar kalau di tespek belum jelas kelihatan," ucap dokter setengah baya yang bernama Diana itu.Aku melirik Mas Lutfi dengan raut bahagia."Jadi saya hamil?" tanyaku dengan mata berkaca."Iya, Bu, selamat ya. kayanya ini baru empat minggu. Masih sangat muda," jawabnya sambil tersenyum.Aku dan
"Aku sudah menyakiti kamu dengan selingkuh sama Kirana, aku udah usir kamu dari rumah, padahal rumah itu hadiah pernikahan kita, dan aku juga sudah membiarkan Kirana memakai semua baju dan perhiasanmu." Mas Hanif sesenggukan.Diingatkan masa lalu, hatiku tersayat lagi. Untung saja masa depanku bahagia, ada penggantinya yang lebih baik dan bisa menuntunku ke jalan yang benar.Hadirnya Mas Lutfi memang sangat mengobati luka hati ini."Aku sudah membiarkanmu pergi tanpa pernah mengembalikanmu pada kedua orang tuamu," lanjut Mas Hanif dengan mata berkaca.Rasanya aku pun ingin menangis jika ingat masa itu. "Kamu harus tahu diri kalau ga mau dimadu, pergilah dari sini, jangan bawa apapun! ATM, perhiasan semuanya dibeli pakai uangku dan sekarang akan menjadi milik istri baruku."Begitulah katanya dulu, aku pun pergi hanya dengan beberapa helai baju yang sudah dikemas di dalam tas, dan dengan selembar uang berwarna merah."Sekarang aku menerima karmanya, Ris, anakku meninggal padahal aku be
Siapakah dia? apakah Mas Lutfi memilik rahasia?Tanganku bergetar kala memegang ponsel pintar milik Mas Lutfi, segala prasangka buruk tentangnya melintas di kepala.Bisa jadi Mas Lutfi itu duda tapi mengaku bujangan saat menikah denganku, lalu bagaimana dengan orang tuanya? kenapa mereka tidak katakan saja yang sebenarnya, toh aku tak mempermasalahkan mau dia duda atau bujang.Aku menggigit bibir, menebak-nebak sambil sambil berfikir, kalau kutanyakan langsung ke orangnya bisa saja dia berbohong.Tapi 'kan selama ini Mas Lutfi selalu jujur, mungkin tak ada salahnya jika kucoba tanyakan. Sekarang yang penting aku tenang.[Ini dengan siapa maaf?] sendTak ingin larut dalam penasaran aku pun membalas pesan nomor kontak tak bernama itu.Sayangnya centang satu warna abu, di telpon pun percuma takkan nyambung."Makanannya enak, Yang, udah lama ga makan persambelan," ucap Mas Lutfi, ia sangat menikmati pecel ayam buatanku."Kok ga makan?" Ia bertanya heran.Aku menggaruk pipi yang tak gatal
"Terus Ibu sama Bapak ke sini naik apaan? kalau bilang dulu 'kan bisa dijemput sama Lutfi," sahut suamiku."Naik mobil rental, sudahlah Ibu sama Bapak punya uang kok buat bayarnya," jawab bapak."Oh ya, besok Ibu mau ke kontrakan Laila. Anak itu bulan ini ga pulang kampung, betah amat di kontrakan sendirian, Ibu jadi khawatir Lutfi, sama adikmu," ungkap ibu.Laila adik Mas Lutfi yang jutek itu memang tinggal sendiri di kota ini, pernah ditawari tinggal bersama di sini katanya ga mau dengan alasan tak enak sama aku.Pas aku yang menawari ia beralasan ingin mandiri dan sudah dewasa, bagaimana lagi kami tak bisa memaksa, yang penting ia bisa jaga diri dan sering-sering main ke sini.Gadis itu kini bekerja di sebuah perusahaan ternama, Ia menjabat sebagai CEO di perusahaan itu, maklum ia lulusan sarjana sedangkan suamiku lulusan SMA.Dulu, katanya Mas Lutfi mengalah putus sekolah demi adiknya yang pintar, sedangkan suamiku ini biasa saja nilai juga pas-pasan. Eh! Itu kata ibunya ya."Lai