Share

Pernikahan

Author: Kifa Ansu
last update Last Updated: 2021-05-03 06:14:49

Namaku Dinda Kayyisah, yang menikah dengan pria bernama Sultan Arya Pamungkas melalui perjodohan. Seorang pemuda dengan tubuh tidak terlalu tinggi sekitar 170cm. Aku paling suka bulu matanya yang lentik. Meski kami pernah bertemu sebelumnya beberapa kali, tapi tak begitu saling kenal. Darinya, ada banyak pelajaran mengenai hidup. Tentang beratnya perjuangan dan keikhlasan dalam cinta. Bersama Sultan membuatku mengerti sisi lain dunia. Jika pelangi itu ada tujuh, maka bersama Sultan menjadi tujuh ratus warna.

 

“Saya terima nikah dan kawinnya Dinda Kayyisah Binti Siddiq Abu Sofyan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

 

“Bagaimana para saksi, sah?”

 

“Sah.”

 

Do’a pun dilantunkan. Detik itu juga Sultan resmi menjadi suamiku. Setelah menandatangani dokumen dan menyerahkan mahar ia mengecup keningku untuk pertama kalinya. Rasa dingin menyergap jiwa. Aku telah ditautkan dalam ikatan terkuat, mitshaqon ghalidho. Hubungan suci yang dido’akan oleh para malaikat.

 

Dia tersenyum padaku saat kami duduk di pelaminan. Tanpa dikomado bibirku ikut tertarik juga. Kebahagiaan menyelimuti kami, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku. Meski tidak dimungkiri, aku merasa cemas. Ada sebuah kejadian yang seakan menjadi sebuah pertanda buruk. Malam sebelumnya, ada kecelakaan kecil menimpaku. Kata orang, setiap kali akan menikah maka akan ada saja hal-hal buruk kecil yang terjadi. 

 

Tanganku terluka. Saat dihiasi henna, tak sengaja aku malah menyenggol lilin yang ada disamping meja, malam itu listrik padam jadi sebagai penerangan ibu menyalakan lilin. Iseng ingin melihat riasan, aku kurang berhati-hati. Lilin itu jatuh karena salah gerakan. Apinya menjilat punggung tangan menciptakan suasana perih tak terkira. Kini aku duduk di kursi pelaminan dengan tangan kanan yang diperban.

 

Sultan menyentuh tanganku dan menciumnya dengan lembut. Aku tersentak. Ini pertama kalinya ada pria yang berlaku begitu manis. Telak, hal sederhana itu membuat degup tak beraturan di dadaku.

 

“Sakit ya?” tanyanya sambil mentapaku teduh. Tampak lingkar cokelat gelap yang berbinar, mempesona.

 

Aku hanya mengangguk.

 

“Kuharap ini tidak akan mengganggu kita nanti,” ia berujar sambil tersenyum nakal. 

 

Aku tertunduk malu. Tanpa kusadari bibirku menyungging senyum tipis. Menciptakan rasa getar yang belum pernah kualami. Inikah rasanya? Dalam hati seperti ada kupu-kupu yang menari-nari dengan indah.

 

Kami pun diminta masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Sayang sang penata rias belum juga datang. Katanya mereka juga harus merias pengantin lain di desa yang tidak jauh dari sini. Sultan berbaring di tempat tidur pengantin yang sudah dihias dengan berbagai macam bunga serta pita. Aku memilih duduk di depan meja rias. 

 

“Hei istriku ayo kemari,” suara Sultan memanggil.

 

Aku mendekat. Dengan tangan, ia memberi isyarat padaku agar berbaring di sampingnya. Seulas senyum ia lemparkan, rasanya seakan membuatku terbang ke angkasa. Dalam hatiku berharap semoga dia tidak melihat sepasang netra yang berbinar karena bahagia. Tiba-tiba ia memberi salam pada bibirku singkat. Mataku terbelalak.

 

“Kenapa? Sudah halal kan?” katanya sembari tesenyum.

 

“Iya sih...” jawabku pelan. Belum sempat aku melanjutkan kata-kata ia sudah lebih dahulu mendaratkan bibirnya lagi. Aku tertegun menatap matanya yang tajam berwarna kecoklatan. Terpejam menikmati setiap gerakan bibirnya. Tanpa aba-aba, tanganku menyentuh pipinya. Namun, pria itu melepaskan kehangatan dan mengedipkan matanya.

 

“Itu pemanasan,” katanya sambil tertawa nakal dengan semburat merah.

Aku kesal tapi menikmatinya. Tak dimungkiri, aku ingin lebih lama lagi. Sayang, ia hanya menggoda saja. 

 

Tak lama setelah itu, terdengar suara pintu diketuk. Ternyata, perias pengantin baru tiba, seorang wanita muda berusia kira-kira 30an tahun, ia memperbaiki penampilanku yang tampak berantakan. Terlihat senyum puas Sultan terpantul dicermin. Salah satu dari kedua matanya berkedip. Aku menahan senyum melihatnya berlalu lebih dulu menemui tamu undangan.

 

Duduk di pelaminan seharian membuatku seujur tubuhku pegal. Rasanya tulang-tulangku seperti tidak berada pada tempatnya. Tapi, terpaksa mandi meski sudah malam, supaya badan lebih segar. Begitu masuk ke dalam kamar, Sultan sudah menungguku. Ia sudah membersihkan diri terlebih dulu sejak selesai shalat Isya tadi. 

 

Aku masih belum membuka jilbab yang kukenakan, malu. Meski ia sudah meraup bibirku, tapi diri ini masih canggung jika harus terbuka di depannya.

 

Aku duduk di sampingnya tanpa berucap apa pun. Pria berkulit kuning langsat itu juga masih sibuk dengan ponselnya. Sampai tiba saatnya ia meraih tanganku, lalu mengecupnya. Sejenak kemudian berpindah ke ubun-ubun dan menciumnya seraya berdo’a.

 

“Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.” 

 

Kecupannya berpindah ke keningku lalu beralih ke mata dan turun lagi ke bibir. Ia memperdalam fasenya hingga terasa masuk ke dalam sanubari. Malam itu aku berserah atas segala keputusan Allah. Menghadirkan segala yang telah aku jaga kesuciannya selama ini untuk orang yang telah ia pilih menjadi imamku.

 

Malam terindah yang tak terlupakan sepanjang hidup. Dan akan terus kuingat sampai membuat bibir ini selalu tersenyum sendiri. Sultan pria yang baik, yang kulihat ia suka memberiku hadiah. Ringan tangan membantu pekerjaan rumah, apa saja. Dalam waktu singkat ia telah menempati ruang yang memang kupersiapkan di hati untuk orang yang halal bagiku. 

***

 

“Istikharah ya. Gimana caranya kita tahu jawaban terbaik dari Allah, Mbak?” tanyaku pada kakak sepupu, Mbak Nisa, yang tengah sibuk menyortir barang dagangannya.

 

Wanita berhidung bulat itu menghentikan aktifitasnya, lalu beralih menuju lemari buku. Setelah membacanya sebentar, ia menutupnya kembali.

 

“Hasil dari istikharah memang tidak ada standarnya. Bisa jadi melalui mimpi, kemudahan urusan, atau pertanda lain yang menunjukkan bahwa kamu memilih salah satunya dengan yakin. Iya atau tidak.”

 

Aku menghela nafas. Bagaimana sebenarnya istikharah itu? Baiklah, istikharah memang shalat dua rakaat untuk memilih sesuatu. Sewaktu dulu memilih jurusan kuliah, ada beberapa teman yang menyarankan untuk shalat istikharah. Ternyata, tak satupun pertanda yang bisa kumengerti.

 

“Gini loh Din. Sebaiknya kamu istikharah setiap malam. Kalau perlu sebulan atau lebih, sampai hari pernikahanmu tiba. Baru proses taaruf kan? Belum khitbah?”

 

“Sebenarnya… Aku kurang yakin, tapi gak tahu juga cara nolaknya gimana. Rasul melarang seorang perempuan menolak pinangan pria yang baik agamanya, kan?”

 

“Iya. Tapi apa kamu yakin, pria yang dijodohkan denganmu itu baik agamanya? Allah yang lebih tahu.”

 

Menurut informasi dari bapak, Sultan orang yang taat. Dia bahkan pernah menjadi aktivis dakwah. Sekarang pun masih sering ikut kajian. Padahal tempat mengajinya itu jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Rumah orang tuanya di Kota Batu, sedangkan kelompok yang ia ikuti mengadakan kegiatan mereka di Malang.

 

Hanya saja, aku merasa ada yang kurang. Tapi apa? Dilihat dari biodatanya, semua terlihat baik-baik saja. Pekerjaan dengan penghasilan yang cukup, pendidikan baik, aktif organisasi, dan seorang yang pernah berpetualang. Pemuda yang dipilih bapak ini, kelak bisa berbagi pengalaman denganku.

 

“Katakan saja padaku, pertanda apapun yang kamu dapat setelah istikharah. Gitu aja dulu?” ucap Mbak Nisa.

***

 

“Mbak Nisa, keluraga Sultan akan datang untuk mengkhitbah besok. Alhamdulillah,” ujraku melalui sambungan telepon.

 

“Loh. Udah khtibah? Kok gak bilang sama Mbak dulu. Emang kamu sudah dapat jawaban dari istikharahmu?”

 

Jantungku melompat. Entahlah. Aku tidak tahu apakah lancaranya setiap proses menuju pernikahan ini menjadi pertanda baik. Namun, tidak mungkin membatalkannya begitu saja. Terlebih, tak ada satu alasan pun. Hanya saja, ada titik keraguan yang terus meliuk-liuk dalam pikiran.

 

Istikharah terus berlanjut. Setelah shalat, aku tertidur. Dalam mimipi, tampak Sultan yang tengah tersenyum sembari memasak menu makanan. Pemuda itu begitu menikmati kegiatan memasaknya. Sedangkan aku memandangnya dari jauh sembari tersenyum. 

Tahu-tahu, seekor ular mematuk tanganku.

 

Menurut mitos Orang Jawa, kalau kita bermimpi dipatuk atau digigit ular berarti akan ada orang yang melamar atau jatuh cinta. Aku tidak membaca referensi lain, lalu menyimpulkan sendiri makna mimpi itu. Seseorang akan datang untuk mencintaiku. Dialah Sultan Arya Pamungkas.

 

Saat itu hari Rabu. Sebuah monil bermerek yang kacanya masih mengkilap sempurna, berhenti di halaman rumahku. Beberapa orang berangsur-angsur turun dari dalamnya. Penampilan mereka membuat mata menyipit. Seorang ibu dengan kebaya berwarna keemasan, lalu dua orang perempuan muda berpakaian bak putri, seorang pria tua dengan jas berwarna gelap, dan satu lagi pria berpenampilan sederhana dengan koko serta celana dasar. Mereka kelurga Sultan. Dia sendiri tampil dengan tuxedo berwarna putih.

 

Setelah mengucap salam, rombongan itu masuk. Disambut oleh beberapa orang tetangga dan ketua RT. Hari lamaran atau khitbah, telah tiba. Prosenya berlangsung cepat. Hanya pembukaan dari uztad kampung kami, penyampaian lamaran, lalu penerimaan yang tak sampai satu jam prosesnya. Dalam hati aku berusaha yakin, bahwa lancarnya acara ini adalah pertanda bahwa Sultan memang benar-benar jodoh yang Allah pilih.

 

Aku tidak tahu. Bahwa ternyata, mimpi digigit ular setelah istikharah merupakan jawaban dari Allah. Bukan kebahagiaan berupa proposal cinta, tapi akan datangnya seorang fasik dalam hidupku. Salah prasangka, membawaku pada takdir tak terbayangkan. Kisah yang kuyakin tak ingin dialami oleh wanita manapun di bumi.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • His Dark Secrets   Hujan

    Mentari pagi bersinar cerah, musim semi memberi kehangatan di pagi hari menyapa hati yang dingin karena rindu. Udara segar berhembus mengisi paru-paru dengan energi baru. Sejak hari masih gelap, orang-orang sudah berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Munchen memang kota yang sibuk, penduduknya berjalan lebih cepat dua kali lipat dari pada orang-orang di kota Batu.Esok pernikahan Alvin dan Nirmala akan dilangsungkan. Ayana sedang menemani calon pengantin putri itu ke salon hari ini. Aku yang memaksa Nirmala. Dia harus melakukan perawatan terbaik agar besok terlihat cerah. Meski cantik Mala sama sekali tak paham tentang perawatan. Aku masih lebih baik darinya.Alvin berdiri menatap keramaian kota melalui balkon. Hanya dalam hitungan jam dia akan punya istri lagi. Dari sini kita bisa melihat halaman rumah Alvin yang amat luas. Konsep pernikahan ini nantinya pesta kebun. Panitia pesta sedang menghias berbagai sudut halaman dengan ornamen-ornamen ala aristokrat

  • His Dark Secrets   Sirotol Mustaqim

    Harusnya, hidup memberikan kebahagiaan setelah kita terkubur dalam luka. Nyatanya, takdir terlalu rumit untuk ditebak. Aku baru tahu, apa yang dialami Sultan setelah kembali dari menemui pembunuh Adnan. Sebuah cerita yang mengikis sanubari. Mataku tak sanggup menekan air yang tumpah sendiri mendengar kisah darinya.***“Rasakan pembalasanku Sultan. Anakmu mati sama seperti anak-anakku. Aku puas. Maaf, kau pasti kecewa.”Dodi tertawa di hadapan Sultan. Mereka hanya terpisah dengan meja kayu yang berwana cokelat tua. Mata Sultan menatap Dodi dengan kebencian. Giginya berbunyi gemerutuk menahan amarah. Setan apa yang ada di hadapannya ini?“Kau marah? Aku sudah minta tolong padamu. Tapi apa yang kau katakan. Atasi masalahku sendiri, begitu kan?”Tak tahan lagi. Tangan Sultan meninju wajah Dodi tepat mengenai pipi. Tak puas ia menambah pukulan pada dagu pria bertubuh tegap itu. Dodi terjengkang dari kursi. Petugas kepolisi

  • His Dark Secrets   Masih Mencari

    “Ya Allah Mbak Kay, cepetan dikit dong!” Seru Ayana.Dia mulai kesal sejak tadi aku tidak juga selesai mengepak barang-barang yang akan kubawa ke Jerman. Gadis ini sewot sekali, padahal penerbangan masih dua jam lagi. Nampaknya ia terlalu antusias. Aku maklum, ini pertama kalinya kami terbang keluar negeri. Gratis pula. Semua akomodasi sudah dibayar oleh Alvin.“Masih lama kan berangkatnya. Santai aja kali.”“Ih, Mbak Kay kita kan mau belanja oleh-oleh untuk Nirmala. Dia udah enam bulan sekolah di negeri yang gak ada Susu KUD atau Ketan Legendaris.”Ya tentu saja. Jangankan Jerman, rumah ibu di Klaten juga tidak menjual pemanja lidah itu. Ayana bersungut-sungut karena aku nampak tak bersemangat. Akhirnya dia sendiri yang pergi ke alun-alun kota membeli segala oleh-oleh. Aku duduk diam menunggu kendaraan online. Harusnya ini menyenangkan, ini perjalanan yang diimpikan banyak orang. Dulu semangatku menggebu, ketika kabar

  • His Dark Secrets   Keputusan

    Sultan meraih tanganku, aku masih enggan menatapnya. Sejak masalah ini terungkap, aku sudah terlanjur memasang tameng untuk mengacuhkannya. Tapi kini, rasa itu berbalik. Aku merasa tak ingin kehilangan dirinya.“Lihat aku, sebelum kujatuhkan talak. Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”Kepala ini terasa berat hanya sekadar untuk melihat wajahnya. Sungguh, aku tak tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Tanpa mendengar persetujuan dariku ia tetap memelukku erat, sambil terguncang. Wajahnya ia tenggelamkan di bahuku yang membuatnya harus terbungkuk.Aku balas memeluknya, dengan air mata yang sama derasnya. Lama sekali kami saling melepaskan kerinduan. Terkadang rindu bukan hanya karena kita berjauhan, tapi saat kita selalu dekat namun jiwa kita yang saling menjauh.Dia menatapku lekat-lekat. Aku bisa melihat ada harapan, tapi tertahan karena keputusasaan yang lebih menyeruak. Tangannya menyentuh wajahku. Aku tak kuat mengeluarkan sepatah

  • His Dark Secrets   Pembalasan

    Selama ini, tidak ada orang yang bermasalah dengan orang lain. Setahuku, dia bersikap baik kepada siapa saja. Terlepas tentang pengkhianatannya terhadapku. Ungkapan tentang siapa Dodi, membuat jantungku tertusuk. Lukanya masih belum sembuh. Cerita ini memperparah sakitnya. Luka jiwa yang akan selalu melekat dalam ingatan.***“Tan, bisa gak lo ke sini? Gue butuh bantuan lo. Istri gue tahu tentang dunia itu. Dia marah banget Tan?”Sebuah suara menghubungi Sultan yang tengah sibuk mempersiapkan makanan bagi pengunjung restonya. Siang ini ramai benar. Semua kursi penuh, bahkan beberapa orang harus menunggu di luar pintu untuk bisa menempati kursi mana yang baru ditinggalkan pengunjung. Pembicaraan ini sepertinya serius, Sultan beringsut mundur ke dalam ruangan pribadinya.“Terus gue harus apa? Nemuin istri lo berlutut minta maaf. Buat apa?”“Setidaknya lo ke sini, istri gue kabur entah ke mana Tan. Gue bingung,” jaw

  • His Dark Secrets   Pertengkaran

    Malam kian larut. Tidak ada satu orang pun yang beranjak tidur. Wajah-wajah tegang berkumpul di ruang keluarga. Televisi menyala terang menampilkan acara penuh gurau. Tidak ada muatan pendidikan atau nasihat sama sekali. Hanya canda tawa yang tidak lucu.Duduk di sana ibu, ibu mertua, Bapak dan Bapak mertua. Mbak Widya masih di sini bersama suaminya berbincang entah apa. Rara tenggelam dengan musik jaz yang ia dengarkan sendiri. Aku duduk membaca novel karangan ibu. Tak lama terdengar suara pintu diketuk dan seseorang mengucapkan salam. Jam 11 malam, mungkin itu Sultan.Benar. Sultan masuk dengan lunglai. Matanya menatap lantai berwarna merah bata yang licin mengkilap. Semua orang mengamatinya dengan arti yang berbeda. Bapak mertuaku berdiri mendekatinya. Tangannya langsung menghantam pipi kanan Sultan. Bunyinya bak petir. Tak cukup sekali, ada empat kali tamparan bahkan akan terus berlanjut jika saja Mas Salman tidak segera melerai. Ibu dan ibu mertua masing-mas

  • His Dark Secrets   Fakta Baru

    “Adnan, ayo Nak! Cepet! Sarapan, terus pakai sepatu kita berangkat sekolah sebentar lagi!”Kubuka pintu kamar Adnan. Ia tidak ada, mungkin sudah turun ke bawah untuk makan. Aku terus menyebut nama Adnan sambil berlari-lari kecil menuruni anak tangga.“Adnan.”Semua orang di hadapan meja makan menoleh. Ibu, Bapak, ibu dan Bapak mertua, Rara, Mbak Widya, Mas Salman. Mereka menatapku dengan sendu. Jantungku seperti berhenti berdetak. Baru kusadari Adnan tidak mungkin ada di ruang makan, dapur, taman, atau sekolah. Aku jatuh terduduk menutup wajah dengan kedua tangan agar tak nampak air mata yang menetes.Suasana ruang makan hening, hanya terdengar sesekali bunyi air yang diteguk. Tak ada yang bisa makan dengan lahap. Kepergian Adnan yang terlampau tiba-tiba membuat ruang kosong dalam di jiwa. Masing-masing sibuk dengan pikiran dan hanya menatap makanan dengan hampa.“Kalau terus begini sepertinya Adnan akan menyiram

  • His Dark Secrets   Kehilangan

    “Adnan ketemu,” suara berat Alvin seperti cahaya yang membuyarkan kegelapan hari ini. Setelah berjam-jam akhirnya terdengar juga kabar yang lebih terang. Adnan ditemukan.“Di mana anakku,” tanya Sultan.“Di rumah sakit. Ayo!”Alvin mengajakku, tapi Sultan sedang menggenggam erat tanganku.“Aku ikut Mas Sultan aja.”“Ya sudah aku bawa mobil kamu. Kalian ikuti aku.”Apa yang sebenarnya telah terjadi? Adnan ada di rumah sakit, artinya dia mengalami hal buruk. Pikiranku kacau sekali. Bayangan-bayangan perkataan tadi pagi terngiang terus mengisi kepalaku bergantian. Perjalanan ke rumah sakit yang hanya sekitar satu jam terasa seperti bertahun-tahun. Ulu hatiku nyeri membayangkan wajah Adnan yang entah seperti apa sekarang.Sampai di rumah sakit Alvin berjalan cepat. Kami tiba di sebuah ruangan di mana seorang anak kecil tengah terbaring lemah. Kepalanya diperban. Seluruh tub

  • His Dark Secrets   Ke mana Adnan?

    Pagi ini Adnan sibuk dengan peralatan sekolah barunya. Tak terasa dia sudah memasuki Sekolah Dasar. Adnan tumbuh begitu cepat. Dia makin tampan, banyak tetangga yang mendadak suka berfoto dengan Adnan sembari memamerkannya di media sosial. Sejak masih TK, Adnan bahkan sering mendapat hadiah dari teman-teman bermainnya. Dia seperti selebriti kecil di sekolah barunya.“Ibu, Adnan sayang sama Ibu. Ibu Jangan sering nangis ya!”Alisku berkerut. Memang, selama ini Adnan sering melihatku menangis dalam do’a. Kadang tak terasa bulir-bulir perih menetes tanpa sebab. Adnanlah yang selalu ada dan menghibur hati yang sudah tidak berbentuk lagi. Putraku ini kini sudah berusia 7 tahun. Ia berpikir dewasa. Mungkin karena terlalu sering bercakap-cakap dengan Pak Haryono.“Adnan tidak suka melihat Ibu menangis?”“Menangis tidak apa-apa ibu. Kata Kakek menangis akan membuat hati seorang perempuan lega. Tapi, nanti Adnan tidak bisa lagi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status