Share

Pernikahan

Namaku Dinda Kayyisah, yang menikah dengan pria bernama Sultan Arya Pamungkas melalui perjodohan. Seorang pemuda dengan tubuh tidak terlalu tinggi sekitar 170cm. Aku paling suka bulu matanya yang lentik. Meski kami pernah bertemu sebelumnya beberapa kali, tapi tak begitu saling kenal. Darinya, ada banyak pelajaran mengenai hidup. Tentang beratnya perjuangan dan keikhlasan dalam cinta. Bersama Sultan membuatku mengerti sisi lain dunia. Jika pelangi itu ada tujuh, maka bersama Sultan menjadi tujuh ratus warna.

 

“Saya terima nikah dan kawinnya Dinda Kayyisah Binti Siddiq Abu Sofyan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

 

“Bagaimana para saksi, sah?”

 

“Sah.”

 

Do’a pun dilantunkan. Detik itu juga Sultan resmi menjadi suamiku. Setelah menandatangani dokumen dan menyerahkan mahar ia mengecup keningku untuk pertama kalinya. Rasa dingin menyergap jiwa. Aku telah ditautkan dalam ikatan terkuat, mitshaqon ghalidho. Hubungan suci yang dido’akan oleh para malaikat.

 

Dia tersenyum padaku saat kami duduk di pelaminan. Tanpa dikomado bibirku ikut tertarik juga. Kebahagiaan menyelimuti kami, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku. Meski tidak dimungkiri, aku merasa cemas. Ada sebuah kejadian yang seakan menjadi sebuah pertanda buruk. Malam sebelumnya, ada kecelakaan kecil menimpaku. Kata orang, setiap kali akan menikah maka akan ada saja hal-hal buruk kecil yang terjadi. 

 

Tanganku terluka. Saat dihiasi henna, tak sengaja aku malah menyenggol lilin yang ada disamping meja, malam itu listrik padam jadi sebagai penerangan ibu menyalakan lilin. Iseng ingin melihat riasan, aku kurang berhati-hati. Lilin itu jatuh karena salah gerakan. Apinya menjilat punggung tangan menciptakan suasana perih tak terkira. Kini aku duduk di kursi pelaminan dengan tangan kanan yang diperban.

 

Sultan menyentuh tanganku dan menciumnya dengan lembut. Aku tersentak. Ini pertama kalinya ada pria yang berlaku begitu manis. Telak, hal sederhana itu membuat degup tak beraturan di dadaku.

 

“Sakit ya?” tanyanya sambil mentapaku teduh. Tampak lingkar cokelat gelap yang berbinar, mempesona.

 

Aku hanya mengangguk.

 

“Kuharap ini tidak akan mengganggu kita nanti,” ia berujar sambil tersenyum nakal. 

 

Aku tertunduk malu. Tanpa kusadari bibirku menyungging senyum tipis. Menciptakan rasa getar yang belum pernah kualami. Inikah rasanya? Dalam hati seperti ada kupu-kupu yang menari-nari dengan indah.

 

Kami pun diminta masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Sayang sang penata rias belum juga datang. Katanya mereka juga harus merias pengantin lain di desa yang tidak jauh dari sini. Sultan berbaring di tempat tidur pengantin yang sudah dihias dengan berbagai macam bunga serta pita. Aku memilih duduk di depan meja rias. 

 

“Hei istriku ayo kemari,” suara Sultan memanggil.

 

Aku mendekat. Dengan tangan, ia memberi isyarat padaku agar berbaring di sampingnya. Seulas senyum ia lemparkan, rasanya seakan membuatku terbang ke angkasa. Dalam hatiku berharap semoga dia tidak melihat sepasang netra yang berbinar karena bahagia. Tiba-tiba ia memberi salam pada bibirku singkat. Mataku terbelalak.

 

“Kenapa? Sudah halal kan?” katanya sembari tesenyum.

 

“Iya sih...” jawabku pelan. Belum sempat aku melanjutkan kata-kata ia sudah lebih dahulu mendaratkan bibirnya lagi. Aku tertegun menatap matanya yang tajam berwarna kecoklatan. Terpejam menikmati setiap gerakan bibirnya. Tanpa aba-aba, tanganku menyentuh pipinya. Namun, pria itu melepaskan kehangatan dan mengedipkan matanya.

 

“Itu pemanasan,” katanya sambil tertawa nakal dengan semburat merah.

Aku kesal tapi menikmatinya. Tak dimungkiri, aku ingin lebih lama lagi. Sayang, ia hanya menggoda saja. 

 

Tak lama setelah itu, terdengar suara pintu diketuk. Ternyata, perias pengantin baru tiba, seorang wanita muda berusia kira-kira 30an tahun, ia memperbaiki penampilanku yang tampak berantakan. Terlihat senyum puas Sultan terpantul dicermin. Salah satu dari kedua matanya berkedip. Aku menahan senyum melihatnya berlalu lebih dulu menemui tamu undangan.

 

Duduk di pelaminan seharian membuatku seujur tubuhku pegal. Rasanya tulang-tulangku seperti tidak berada pada tempatnya. Tapi, terpaksa mandi meski sudah malam, supaya badan lebih segar. Begitu masuk ke dalam kamar, Sultan sudah menungguku. Ia sudah membersihkan diri terlebih dulu sejak selesai shalat Isya tadi. 

 

Aku masih belum membuka jilbab yang kukenakan, malu. Meski ia sudah meraup bibirku, tapi diri ini masih canggung jika harus terbuka di depannya.

 

Aku duduk di sampingnya tanpa berucap apa pun. Pria berkulit kuning langsat itu juga masih sibuk dengan ponselnya. Sampai tiba saatnya ia meraih tanganku, lalu mengecupnya. Sejenak kemudian berpindah ke ubun-ubun dan menciumnya seraya berdo’a.

 

“Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.” 

 

Kecupannya berpindah ke keningku lalu beralih ke mata dan turun lagi ke bibir. Ia memperdalam fasenya hingga terasa masuk ke dalam sanubari. Malam itu aku berserah atas segala keputusan Allah. Menghadirkan segala yang telah aku jaga kesuciannya selama ini untuk orang yang telah ia pilih menjadi imamku.

 

Malam terindah yang tak terlupakan sepanjang hidup. Dan akan terus kuingat sampai membuat bibir ini selalu tersenyum sendiri. Sultan pria yang baik, yang kulihat ia suka memberiku hadiah. Ringan tangan membantu pekerjaan rumah, apa saja. Dalam waktu singkat ia telah menempati ruang yang memang kupersiapkan di hati untuk orang yang halal bagiku. 

***

 

“Istikharah ya. Gimana caranya kita tahu jawaban terbaik dari Allah, Mbak?” tanyaku pada kakak sepupu, Mbak Nisa, yang tengah sibuk menyortir barang dagangannya.

 

Wanita berhidung bulat itu menghentikan aktifitasnya, lalu beralih menuju lemari buku. Setelah membacanya sebentar, ia menutupnya kembali.

 

“Hasil dari istikharah memang tidak ada standarnya. Bisa jadi melalui mimpi, kemudahan urusan, atau pertanda lain yang menunjukkan bahwa kamu memilih salah satunya dengan yakin. Iya atau tidak.”

 

Aku menghela nafas. Bagaimana sebenarnya istikharah itu? Baiklah, istikharah memang shalat dua rakaat untuk memilih sesuatu. Sewaktu dulu memilih jurusan kuliah, ada beberapa teman yang menyarankan untuk shalat istikharah. Ternyata, tak satupun pertanda yang bisa kumengerti.

 

“Gini loh Din. Sebaiknya kamu istikharah setiap malam. Kalau perlu sebulan atau lebih, sampai hari pernikahanmu tiba. Baru proses taaruf kan? Belum khitbah?”

 

“Sebenarnya… Aku kurang yakin, tapi gak tahu juga cara nolaknya gimana. Rasul melarang seorang perempuan menolak pinangan pria yang baik agamanya, kan?”

 

“Iya. Tapi apa kamu yakin, pria yang dijodohkan denganmu itu baik agamanya? Allah yang lebih tahu.”

 

Menurut informasi dari bapak, Sultan orang yang taat. Dia bahkan pernah menjadi aktivis dakwah. Sekarang pun masih sering ikut kajian. Padahal tempat mengajinya itu jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Rumah orang tuanya di Kota Batu, sedangkan kelompok yang ia ikuti mengadakan kegiatan mereka di Malang.

 

Hanya saja, aku merasa ada yang kurang. Tapi apa? Dilihat dari biodatanya, semua terlihat baik-baik saja. Pekerjaan dengan penghasilan yang cukup, pendidikan baik, aktif organisasi, dan seorang yang pernah berpetualang. Pemuda yang dipilih bapak ini, kelak bisa berbagi pengalaman denganku.

 

“Katakan saja padaku, pertanda apapun yang kamu dapat setelah istikharah. Gitu aja dulu?” ucap Mbak Nisa.

***

 

“Mbak Nisa, keluraga Sultan akan datang untuk mengkhitbah besok. Alhamdulillah,” ujraku melalui sambungan telepon.

 

“Loh. Udah khtibah? Kok gak bilang sama Mbak dulu. Emang kamu sudah dapat jawaban dari istikharahmu?”

 

Jantungku melompat. Entahlah. Aku tidak tahu apakah lancaranya setiap proses menuju pernikahan ini menjadi pertanda baik. Namun, tidak mungkin membatalkannya begitu saja. Terlebih, tak ada satu alasan pun. Hanya saja, ada titik keraguan yang terus meliuk-liuk dalam pikiran.

 

Istikharah terus berlanjut. Setelah shalat, aku tertidur. Dalam mimipi, tampak Sultan yang tengah tersenyum sembari memasak menu makanan. Pemuda itu begitu menikmati kegiatan memasaknya. Sedangkan aku memandangnya dari jauh sembari tersenyum. 

Tahu-tahu, seekor ular mematuk tanganku.

 

Menurut mitos Orang Jawa, kalau kita bermimpi dipatuk atau digigit ular berarti akan ada orang yang melamar atau jatuh cinta. Aku tidak membaca referensi lain, lalu menyimpulkan sendiri makna mimpi itu. Seseorang akan datang untuk mencintaiku. Dialah Sultan Arya Pamungkas.

 

Saat itu hari Rabu. Sebuah monil bermerek yang kacanya masih mengkilap sempurna, berhenti di halaman rumahku. Beberapa orang berangsur-angsur turun dari dalamnya. Penampilan mereka membuat mata menyipit. Seorang ibu dengan kebaya berwarna keemasan, lalu dua orang perempuan muda berpakaian bak putri, seorang pria tua dengan jas berwarna gelap, dan satu lagi pria berpenampilan sederhana dengan koko serta celana dasar. Mereka kelurga Sultan. Dia sendiri tampil dengan tuxedo berwarna putih.

 

Setelah mengucap salam, rombongan itu masuk. Disambut oleh beberapa orang tetangga dan ketua RT. Hari lamaran atau khitbah, telah tiba. Prosenya berlangsung cepat. Hanya pembukaan dari uztad kampung kami, penyampaian lamaran, lalu penerimaan yang tak sampai satu jam prosesnya. Dalam hati aku berusaha yakin, bahwa lancarnya acara ini adalah pertanda bahwa Sultan memang benar-benar jodoh yang Allah pilih.

 

Aku tidak tahu. Bahwa ternyata, mimpi digigit ular setelah istikharah merupakan jawaban dari Allah. Bukan kebahagiaan berupa proposal cinta, tapi akan datangnya seorang fasik dalam hidupku. Salah prasangka, membawaku pada takdir tak terbayangkan. Kisah yang kuyakin tak ingin dialami oleh wanita manapun di bumi.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status