Share

Tak Hanya Prasangka

Kecurigaanku  muncul di hari ketiga pernikahan kami. Saat itu aku baru memasuki rumah mertua. Setelah acara resepsi kedua, malamnya kami berbincang-bincang ringan. Sebagai anggota baru, aku lebih banyak mendengar. 

Kami memang pernah bertegur sapa saat tahap perkenalan. Tapi, rasanya masih canggung untuk langsung ikut menyahut saat pembicaraan santai begini. Perlu waktu untuk memahami dulu bagaimana selera perbincangan keluarga ini.

Rumah mertuaku tidak jauh dari Kantor Kepala Desa Oro Oro Ombo, sebuah daerah yang terletak di Kota Batu. Gedung sederhana dengan cat berwarna hijau muda. Dekat sini ada tempat wisata Batu Night Spectaculer. Dari rumah ibu, kita bisa melihat Gunung Panderman yang berwarna kehijauan. Meski tidak terlalu besar, tapi rumah ini cukup nyaman. 

Sultan anak kedua, kakaknya perempuan tinggal dekat dengan rumah ibu, hanya berbeda desa. Suamiku itu anak kesayangan. Dahulu anak laki-laki sangat diidam-idamkan. Karena itulah, Sultan menjadi cahaya bagi keluarganya. 

Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi. Kakak dan adiknya harus mengalah demi dia. Jadilah ia anak yang mendominasi keluarganya. Kakaknya, Mbak Widya, selalu mengalah untuknya sejak kecil. Sedangkan adiknya, Rara, karena hanya anak angkat tentu saja tak pernah menang darinya.

Malamnya mereka bercanda ria. Gelak menghiasi rumah mertuaku riuh renyah. Mereka tertawa memperbincangkan masa kecil Rara dan Sultan. Acara televisi di hadapan kami kalah menarik daripada perbincangan yang seru ini. Sayang, Mbak Widya sudah pulang, ia harus merawat ayah mertuanya yang sakit. 

Ah, rupanya itu hanya pendapatku saja. Paginya mereka bertengkar hebat. Ibu dan bapak mertua baru semalam mengatakan akan pergi, tapi Sultan melarangnya. Sayup-sayup terdengar pertengkaran mereka dari dalam kamar. 

Ingin rasanya keluar, tapi urung. Aku masih belum memahami apapun saat ini. Suara Sultan meninggi, ia sedang marah sekali sepertinya.

“Kalau sampai kalian pergi, jangan anggap aku anak lagi!”

Bapak mertua hendak menyampaikan penjelasan yang langsung disanggah oleh Sultan. Tapi aku tidak begitu mengerti, suara mereka seperti dengungan lebah. 

Ibu mertua yang setengah menangis terdengar berusaha melerai pertengkaran bapak dan anak itu. Sepertinya ini masalah besar.

“Harga diri apa? Dari dulu Bapak gak punya harga diri.”

Suara Sultan makin meninggi. Aku mendekat ke daun pintu, tapi tak berani keluar. Berusaha keras mencuri dengar apa yang tengah mereka ributkan. Sial. Telingaku tak bisa menangkap dengan jelas. 

Kubuka pintu perlahan, kebetulan adik iparku lewat. Dia berjalan masuk sambil menangis, tapi tetap berusaha tersenyum ketika melihatku. Nampak sekali wajahnya yang merasa sungkan, mungkin merasa tidak enak. Aku membalas senyumnya tipis.

Sultan masuk ke kamar kami. Ia melewati aku yang berdiri di tengah pintu begitu saja tanpa melihat atau berbicara apapun. Pria berhidung mancung itu berbaring membelangiku lalu menutup kepalanya dengan bantal. Bahunya berguncang, suara isak menyeruak tanpa sanggup ia tahan. 

Aku tidak berani mendekat. Kubiarkan ia menangis, lalu memicu nyali untuk perlahan memeluknya dari belakang. 

“Cepat bereskan pakaian, besok pagi kita pergi!”

Aku hanya mengangguk. 

Ibu dan bapak mertua masuk rumah. Suasana mendadak sepi. Hanya suara cicak yang berdecak terus menerus. Hewan melata itu seperti tengah meledek kami. Decakannnya sinis, seolah ia merasa puas melihat keluarga yang sedang berada dalam pertengakaran. 

Cicak menjadi salah satu hewan yang halal dibunuh. Sebab ia bisa menyusupkan sihir-sihir di dalam rumah. Membuat penghuni rumah merasa tidak tenang. Mungkin pertengkaran besar ini juga ulahnya. 

Sultan masih mengurung diri di kamar, sesekali ia hanya keluar untuk shalat. Sejak pertengkaran tadi pagi, ia belum makan sesuap pun. Aku sudah mengajaknya makan, tapi pria itu tidak mau. Padahal perutku perih sekali. Rasanya ingin makan makanan lezat dengan aroma menggoda itu. 

Bagaimana bisa makan di depan orang yang sedang berwajah muram. Nafsu makan yang membuncah itu perlahan pergi, rasa perih juga lama-lama hilang sendiri.

“Kay, kamu gak makan?” suara ibu mertua memecahkan hening.

Aku bergegas membuka pintu kamar. Menyembulkan kepala sambil menyungging senyum yang dipaksakan. Entahlah, bagaimana ekspresiku. Pasti aneh. Biar saja. Setidaknya sudah ada setitik cahaya di tengah pekatnya susana sore ini. 

Setelah keluar kamar, aku lalu mendekati ibu mertua yang sedang menyusun makanan di meja. Sejak tadi pagi ia sibuk memasak di dapur. Ingin rasanya membantu, tapi aku tidak bisa memasak. Yah benar, urusan dapur memang bukan keahlianku sama sekali.

“Ibu gak jadi pergi?”

Sejak kecil aku terbiasa mengatakan apa adanya. Itulah kekuranganku. Tanpa mengenal situasi langsung saja bertanya. Bagiku, tak ada yang perlu ditutupi. Toh pertengakaran itu terdengar dengan sangat jelas. Bahkan, tetangga dekat rumah mungkin juga mendengarnya. 

Pertanyaanku ini hanya kalimat terbaik yang kupilih selain harus berujar langsung, “Ada masalah apa?” 

Wajah ibu memucat ada bulir bening menggenang di matanya yang keriput, tapi ia berusaha untuk bersikap biasa saja. Aku menangkap sedikit aroma kaget yang coba ia kendalikan.

“ Gak jadi, gak ada kendaraan. Teman-teman lain bawa mobil.”

Yah, ibu memang mengatakan akan pergi bersama temannya malam sebelumnya. Aku mengatakan hal itu kepada Sultan. Tak kusangka ternyata berbuah petaka. Niat ibu untuk pergi itulah yang menjadi tema pertengkaran kali ini. Ibu mengemukakan alasan yang menurutku hanya mengada-ada. Bukankah bisa menumpang mobil temannya, atau gunakan saja bis. 

Baiklah. Ternyata aku tidak berhasil mengorek informasi dari Ibu. Sebagai bagian dari keluarga ini aku merasa ingin tahu. Wajar kan? Bukankah keluarga itu harus saling berbagi suka dan duka. 

Rasa penasaran terus mengganggu pikiranku. Sultan juga diam saja. Dia memilih tidak membicarakan apapun. Sekarang malah pergi. Tadi, pria yang baru beberapa hari menjadi suamiku itu pamit akan pergi membeli makanan. 

Aku melihat ponsel Sultan di atas ranjang. Berbekal keyakinan milik suami adalah milik istri, kuambil ponsel itu. Mungkin dari sana bisa ada informasi tentang keributan yang terjadi kemarin. Setidaknya, supaya aku tidak berprasangka lagi. 

Kubuka ponselnya. Perlahan tanganku menelusuri pesan-pesan yang ada di layar benda segiempat itu. Aku menghela nafas, hanya pesan-pesan tentang pekerjaan saja dan ratusan pesan ucapan selamat bahagia. Tidak mungkin. Benarkah tidak ada apapun?

“Ting.”

Ada bunyi pesan pemberitahuan dari F******k yang tak sengaja tertekan olehku. Aduh…

Rockey, Joe Silas membalas komentar anda, “ML gitu rasanya sama gak?”

Hah? Rockey? Siapa Rockey? Akun siapa ini? Aku tahu betul akun Sultan. Kami membahas pernikahan melalui pesan dari F******k. Tapi, namanya Sultan Arya Pamungkas, bukan Rockey.

Baru saja aku hendak menekan pemberitahuan itu untuk melihat berandanya, Sultan tiba-tiba masuk. Jantungku berderu, tanganku gemetar. Mataku sedikit berair dan terasa panas. Beruntung, ada suara panggilan masuk.

“Ada yang telpon,” kataku sambil menunjukkan layar ponselnya.

Huh…! Keringat dingin membasahi dahi. Sultan menerima ponsel itu dari tanganku. Wajahnya memucat, netranya bergerak ke kanan dan kiri dengan cepat lalu menatapku dengan tajam. Bulu kudukku merinding, ini pertama kalinya kulihat ada sinar amarah dari matanya. Ia segera menjawab panggilan tadi. 

Wajahnya kutatap lekat-lekat. Terlihat kesenduan yang dalam, tapi ia berusaha tenang. 

Sejak itu aku menyadari ada yang berbeda dengan pria ini. Ia berasal dari keluarga yang menurut perkiraanku broken home. Terdapat banyak luka di jiwanya. Hal itu terpancar dari netra pemuda berwajah asli Jawa itu. Sayatan-sayatan yang masih menganga. Meski sudah tak lagi berdarah, namun sakitnya terus ada.

Aku ditakdirkan untuk menghadapi kehidupan yang berbeda. Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghelanya perlahan. Do’a-do’a panjang terlantun setelah shalat pengobat gundah yang mulai menggerogoti jiwa. Hanya Dia yang bertakhta dalam kerajaan hati manusia.

Ketika Dia terusir maka kehancuran kan melanda. Dia yang menggenggam hati, membolak-balikkannya, sekehendak-Nya. “Yaa Muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala dinik ”. 

Hujan terus turun, cuaca terasa sangat dingin yang membuat tulang-tulang seakan remuk. Di sini memang lebih dingin dari pada Klaten kampungku. Tapi hatiku panas, mungkin setan tengah menyalakan bara api di sana. Meniupnya hingga nyaris membakar jiwa. Kucoba terus menyebut asma-Nya. 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status