Home / Romansa / His Dark Secrets / Tak Hanya Prasangka

Share

Tak Hanya Prasangka

Author: Kifa Ansu
last update Last Updated: 2021-05-03 06:18:24

Kecurigaanku  muncul di hari ketiga pernikahan kami. Saat itu aku baru memasuki rumah mertua. Setelah acara resepsi kedua, malamnya kami berbincang-bincang ringan. Sebagai anggota baru, aku lebih banyak mendengar. 

Kami memang pernah bertegur sapa saat tahap perkenalan. Tapi, rasanya masih canggung untuk langsung ikut menyahut saat pembicaraan santai begini. Perlu waktu untuk memahami dulu bagaimana selera perbincangan keluarga ini.

Rumah mertuaku tidak jauh dari Kantor Kepala Desa Oro Oro Ombo, sebuah daerah yang terletak di Kota Batu. Gedung sederhana dengan cat berwarna hijau muda. Dekat sini ada tempat wisata Batu Night Spectaculer. Dari rumah ibu, kita bisa melihat Gunung Panderman yang berwarna kehijauan. Meski tidak terlalu besar, tapi rumah ini cukup nyaman. 

Sultan anak kedua, kakaknya perempuan tinggal dekat dengan rumah ibu, hanya berbeda desa. Suamiku itu anak kesayangan. Dahulu anak laki-laki sangat diidam-idamkan. Karena itulah, Sultan menjadi cahaya bagi keluarganya. 

Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi. Kakak dan adiknya harus mengalah demi dia. Jadilah ia anak yang mendominasi keluarganya. Kakaknya, Mbak Widya, selalu mengalah untuknya sejak kecil. Sedangkan adiknya, Rara, karena hanya anak angkat tentu saja tak pernah menang darinya.

Malamnya mereka bercanda ria. Gelak menghiasi rumah mertuaku riuh renyah. Mereka tertawa memperbincangkan masa kecil Rara dan Sultan. Acara televisi di hadapan kami kalah menarik daripada perbincangan yang seru ini. Sayang, Mbak Widya sudah pulang, ia harus merawat ayah mertuanya yang sakit. 

Ah, rupanya itu hanya pendapatku saja. Paginya mereka bertengkar hebat. Ibu dan bapak mertua baru semalam mengatakan akan pergi, tapi Sultan melarangnya. Sayup-sayup terdengar pertengkaran mereka dari dalam kamar. 

Ingin rasanya keluar, tapi urung. Aku masih belum memahami apapun saat ini. Suara Sultan meninggi, ia sedang marah sekali sepertinya.

“Kalau sampai kalian pergi, jangan anggap aku anak lagi!”

Bapak mertua hendak menyampaikan penjelasan yang langsung disanggah oleh Sultan. Tapi aku tidak begitu mengerti, suara mereka seperti dengungan lebah. 

Ibu mertua yang setengah menangis terdengar berusaha melerai pertengkaran bapak dan anak itu. Sepertinya ini masalah besar.

“Harga diri apa? Dari dulu Bapak gak punya harga diri.”

Suara Sultan makin meninggi. Aku mendekat ke daun pintu, tapi tak berani keluar. Berusaha keras mencuri dengar apa yang tengah mereka ributkan. Sial. Telingaku tak bisa menangkap dengan jelas. 

Kubuka pintu perlahan, kebetulan adik iparku lewat. Dia berjalan masuk sambil menangis, tapi tetap berusaha tersenyum ketika melihatku. Nampak sekali wajahnya yang merasa sungkan, mungkin merasa tidak enak. Aku membalas senyumnya tipis.

Sultan masuk ke kamar kami. Ia melewati aku yang berdiri di tengah pintu begitu saja tanpa melihat atau berbicara apapun. Pria berhidung mancung itu berbaring membelangiku lalu menutup kepalanya dengan bantal. Bahunya berguncang, suara isak menyeruak tanpa sanggup ia tahan. 

Aku tidak berani mendekat. Kubiarkan ia menangis, lalu memicu nyali untuk perlahan memeluknya dari belakang. 

“Cepat bereskan pakaian, besok pagi kita pergi!”

Aku hanya mengangguk. 

Ibu dan bapak mertua masuk rumah. Suasana mendadak sepi. Hanya suara cicak yang berdecak terus menerus. Hewan melata itu seperti tengah meledek kami. Decakannnya sinis, seolah ia merasa puas melihat keluarga yang sedang berada dalam pertengakaran. 

Cicak menjadi salah satu hewan yang halal dibunuh. Sebab ia bisa menyusupkan sihir-sihir di dalam rumah. Membuat penghuni rumah merasa tidak tenang. Mungkin pertengkaran besar ini juga ulahnya. 

Sultan masih mengurung diri di kamar, sesekali ia hanya keluar untuk shalat. Sejak pertengkaran tadi pagi, ia belum makan sesuap pun. Aku sudah mengajaknya makan, tapi pria itu tidak mau. Padahal perutku perih sekali. Rasanya ingin makan makanan lezat dengan aroma menggoda itu. 

Bagaimana bisa makan di depan orang yang sedang berwajah muram. Nafsu makan yang membuncah itu perlahan pergi, rasa perih juga lama-lama hilang sendiri.

“Kay, kamu gak makan?” suara ibu mertua memecahkan hening.

Aku bergegas membuka pintu kamar. Menyembulkan kepala sambil menyungging senyum yang dipaksakan. Entahlah, bagaimana ekspresiku. Pasti aneh. Biar saja. Setidaknya sudah ada setitik cahaya di tengah pekatnya susana sore ini. 

Setelah keluar kamar, aku lalu mendekati ibu mertua yang sedang menyusun makanan di meja. Sejak tadi pagi ia sibuk memasak di dapur. Ingin rasanya membantu, tapi aku tidak bisa memasak. Yah benar, urusan dapur memang bukan keahlianku sama sekali.

“Ibu gak jadi pergi?”

Sejak kecil aku terbiasa mengatakan apa adanya. Itulah kekuranganku. Tanpa mengenal situasi langsung saja bertanya. Bagiku, tak ada yang perlu ditutupi. Toh pertengakaran itu terdengar dengan sangat jelas. Bahkan, tetangga dekat rumah mungkin juga mendengarnya. 

Pertanyaanku ini hanya kalimat terbaik yang kupilih selain harus berujar langsung, “Ada masalah apa?” 

Wajah ibu memucat ada bulir bening menggenang di matanya yang keriput, tapi ia berusaha untuk bersikap biasa saja. Aku menangkap sedikit aroma kaget yang coba ia kendalikan.

“ Gak jadi, gak ada kendaraan. Teman-teman lain bawa mobil.”

Yah, ibu memang mengatakan akan pergi bersama temannya malam sebelumnya. Aku mengatakan hal itu kepada Sultan. Tak kusangka ternyata berbuah petaka. Niat ibu untuk pergi itulah yang menjadi tema pertengkaran kali ini. Ibu mengemukakan alasan yang menurutku hanya mengada-ada. Bukankah bisa menumpang mobil temannya, atau gunakan saja bis. 

Baiklah. Ternyata aku tidak berhasil mengorek informasi dari Ibu. Sebagai bagian dari keluarga ini aku merasa ingin tahu. Wajar kan? Bukankah keluarga itu harus saling berbagi suka dan duka. 

Rasa penasaran terus mengganggu pikiranku. Sultan juga diam saja. Dia memilih tidak membicarakan apapun. Sekarang malah pergi. Tadi, pria yang baru beberapa hari menjadi suamiku itu pamit akan pergi membeli makanan. 

Aku melihat ponsel Sultan di atas ranjang. Berbekal keyakinan milik suami adalah milik istri, kuambil ponsel itu. Mungkin dari sana bisa ada informasi tentang keributan yang terjadi kemarin. Setidaknya, supaya aku tidak berprasangka lagi. 

Kubuka ponselnya. Perlahan tanganku menelusuri pesan-pesan yang ada di layar benda segiempat itu. Aku menghela nafas, hanya pesan-pesan tentang pekerjaan saja dan ratusan pesan ucapan selamat bahagia. Tidak mungkin. Benarkah tidak ada apapun?

“Ting.”

Ada bunyi pesan pemberitahuan dari F******k yang tak sengaja tertekan olehku. Aduh…

Rockey, Joe Silas membalas komentar anda, “ML gitu rasanya sama gak?”

Hah? Rockey? Siapa Rockey? Akun siapa ini? Aku tahu betul akun Sultan. Kami membahas pernikahan melalui pesan dari F******k. Tapi, namanya Sultan Arya Pamungkas, bukan Rockey.

Baru saja aku hendak menekan pemberitahuan itu untuk melihat berandanya, Sultan tiba-tiba masuk. Jantungku berderu, tanganku gemetar. Mataku sedikit berair dan terasa panas. Beruntung, ada suara panggilan masuk.

“Ada yang telpon,” kataku sambil menunjukkan layar ponselnya.

Huh…! Keringat dingin membasahi dahi. Sultan menerima ponsel itu dari tanganku. Wajahnya memucat, netranya bergerak ke kanan dan kiri dengan cepat lalu menatapku dengan tajam. Bulu kudukku merinding, ini pertama kalinya kulihat ada sinar amarah dari matanya. Ia segera menjawab panggilan tadi. 

Wajahnya kutatap lekat-lekat. Terlihat kesenduan yang dalam, tapi ia berusaha tenang. 

Sejak itu aku menyadari ada yang berbeda dengan pria ini. Ia berasal dari keluarga yang menurut perkiraanku broken home. Terdapat banyak luka di jiwanya. Hal itu terpancar dari netra pemuda berwajah asli Jawa itu. Sayatan-sayatan yang masih menganga. Meski sudah tak lagi berdarah, namun sakitnya terus ada.

Aku ditakdirkan untuk menghadapi kehidupan yang berbeda. Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghelanya perlahan. Do’a-do’a panjang terlantun setelah shalat pengobat gundah yang mulai menggerogoti jiwa. Hanya Dia yang bertakhta dalam kerajaan hati manusia.

Ketika Dia terusir maka kehancuran kan melanda. Dia yang menggenggam hati, membolak-balikkannya, sekehendak-Nya. “Yaa Muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala dinik ”. 

Hujan terus turun, cuaca terasa sangat dingin yang membuat tulang-tulang seakan remuk. Di sini memang lebih dingin dari pada Klaten kampungku. Tapi hatiku panas, mungkin setan tengah menyalakan bara api di sana. Meniupnya hingga nyaris membakar jiwa. Kucoba terus menyebut asma-Nya. 

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • His Dark Secrets   Hujan

    Mentari pagi bersinar cerah, musim semi memberi kehangatan di pagi hari menyapa hati yang dingin karena rindu. Udara segar berhembus mengisi paru-paru dengan energi baru. Sejak hari masih gelap, orang-orang sudah berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Munchen memang kota yang sibuk, penduduknya berjalan lebih cepat dua kali lipat dari pada orang-orang di kota Batu.Esok pernikahan Alvin dan Nirmala akan dilangsungkan. Ayana sedang menemani calon pengantin putri itu ke salon hari ini. Aku yang memaksa Nirmala. Dia harus melakukan perawatan terbaik agar besok terlihat cerah. Meski cantik Mala sama sekali tak paham tentang perawatan. Aku masih lebih baik darinya.Alvin berdiri menatap keramaian kota melalui balkon. Hanya dalam hitungan jam dia akan punya istri lagi. Dari sini kita bisa melihat halaman rumah Alvin yang amat luas. Konsep pernikahan ini nantinya pesta kebun. Panitia pesta sedang menghias berbagai sudut halaman dengan ornamen-ornamen ala aristokrat

  • His Dark Secrets   Sirotol Mustaqim

    Harusnya, hidup memberikan kebahagiaan setelah kita terkubur dalam luka. Nyatanya, takdir terlalu rumit untuk ditebak. Aku baru tahu, apa yang dialami Sultan setelah kembali dari menemui pembunuh Adnan. Sebuah cerita yang mengikis sanubari. Mataku tak sanggup menekan air yang tumpah sendiri mendengar kisah darinya.***“Rasakan pembalasanku Sultan. Anakmu mati sama seperti anak-anakku. Aku puas. Maaf, kau pasti kecewa.”Dodi tertawa di hadapan Sultan. Mereka hanya terpisah dengan meja kayu yang berwana cokelat tua. Mata Sultan menatap Dodi dengan kebencian. Giginya berbunyi gemerutuk menahan amarah. Setan apa yang ada di hadapannya ini?“Kau marah? Aku sudah minta tolong padamu. Tapi apa yang kau katakan. Atasi masalahku sendiri, begitu kan?”Tak tahan lagi. Tangan Sultan meninju wajah Dodi tepat mengenai pipi. Tak puas ia menambah pukulan pada dagu pria bertubuh tegap itu. Dodi terjengkang dari kursi. Petugas kepolisi

  • His Dark Secrets   Masih Mencari

    “Ya Allah Mbak Kay, cepetan dikit dong!” Seru Ayana.Dia mulai kesal sejak tadi aku tidak juga selesai mengepak barang-barang yang akan kubawa ke Jerman. Gadis ini sewot sekali, padahal penerbangan masih dua jam lagi. Nampaknya ia terlalu antusias. Aku maklum, ini pertama kalinya kami terbang keluar negeri. Gratis pula. Semua akomodasi sudah dibayar oleh Alvin.“Masih lama kan berangkatnya. Santai aja kali.”“Ih, Mbak Kay kita kan mau belanja oleh-oleh untuk Nirmala. Dia udah enam bulan sekolah di negeri yang gak ada Susu KUD atau Ketan Legendaris.”Ya tentu saja. Jangankan Jerman, rumah ibu di Klaten juga tidak menjual pemanja lidah itu. Ayana bersungut-sungut karena aku nampak tak bersemangat. Akhirnya dia sendiri yang pergi ke alun-alun kota membeli segala oleh-oleh. Aku duduk diam menunggu kendaraan online. Harusnya ini menyenangkan, ini perjalanan yang diimpikan banyak orang. Dulu semangatku menggebu, ketika kabar

  • His Dark Secrets   Keputusan

    Sultan meraih tanganku, aku masih enggan menatapnya. Sejak masalah ini terungkap, aku sudah terlanjur memasang tameng untuk mengacuhkannya. Tapi kini, rasa itu berbalik. Aku merasa tak ingin kehilangan dirinya.“Lihat aku, sebelum kujatuhkan talak. Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”Kepala ini terasa berat hanya sekadar untuk melihat wajahnya. Sungguh, aku tak tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Tanpa mendengar persetujuan dariku ia tetap memelukku erat, sambil terguncang. Wajahnya ia tenggelamkan di bahuku yang membuatnya harus terbungkuk.Aku balas memeluknya, dengan air mata yang sama derasnya. Lama sekali kami saling melepaskan kerinduan. Terkadang rindu bukan hanya karena kita berjauhan, tapi saat kita selalu dekat namun jiwa kita yang saling menjauh.Dia menatapku lekat-lekat. Aku bisa melihat ada harapan, tapi tertahan karena keputusasaan yang lebih menyeruak. Tangannya menyentuh wajahku. Aku tak kuat mengeluarkan sepatah

  • His Dark Secrets   Pembalasan

    Selama ini, tidak ada orang yang bermasalah dengan orang lain. Setahuku, dia bersikap baik kepada siapa saja. Terlepas tentang pengkhianatannya terhadapku. Ungkapan tentang siapa Dodi, membuat jantungku tertusuk. Lukanya masih belum sembuh. Cerita ini memperparah sakitnya. Luka jiwa yang akan selalu melekat dalam ingatan.***“Tan, bisa gak lo ke sini? Gue butuh bantuan lo. Istri gue tahu tentang dunia itu. Dia marah banget Tan?”Sebuah suara menghubungi Sultan yang tengah sibuk mempersiapkan makanan bagi pengunjung restonya. Siang ini ramai benar. Semua kursi penuh, bahkan beberapa orang harus menunggu di luar pintu untuk bisa menempati kursi mana yang baru ditinggalkan pengunjung. Pembicaraan ini sepertinya serius, Sultan beringsut mundur ke dalam ruangan pribadinya.“Terus gue harus apa? Nemuin istri lo berlutut minta maaf. Buat apa?”“Setidaknya lo ke sini, istri gue kabur entah ke mana Tan. Gue bingung,” jaw

  • His Dark Secrets   Pertengkaran

    Malam kian larut. Tidak ada satu orang pun yang beranjak tidur. Wajah-wajah tegang berkumpul di ruang keluarga. Televisi menyala terang menampilkan acara penuh gurau. Tidak ada muatan pendidikan atau nasihat sama sekali. Hanya canda tawa yang tidak lucu.Duduk di sana ibu, ibu mertua, Bapak dan Bapak mertua. Mbak Widya masih di sini bersama suaminya berbincang entah apa. Rara tenggelam dengan musik jaz yang ia dengarkan sendiri. Aku duduk membaca novel karangan ibu. Tak lama terdengar suara pintu diketuk dan seseorang mengucapkan salam. Jam 11 malam, mungkin itu Sultan.Benar. Sultan masuk dengan lunglai. Matanya menatap lantai berwarna merah bata yang licin mengkilap. Semua orang mengamatinya dengan arti yang berbeda. Bapak mertuaku berdiri mendekatinya. Tangannya langsung menghantam pipi kanan Sultan. Bunyinya bak petir. Tak cukup sekali, ada empat kali tamparan bahkan akan terus berlanjut jika saja Mas Salman tidak segera melerai. Ibu dan ibu mertua masing-mas

  • His Dark Secrets   Fakta Baru

    “Adnan, ayo Nak! Cepet! Sarapan, terus pakai sepatu kita berangkat sekolah sebentar lagi!”Kubuka pintu kamar Adnan. Ia tidak ada, mungkin sudah turun ke bawah untuk makan. Aku terus menyebut nama Adnan sambil berlari-lari kecil menuruni anak tangga.“Adnan.”Semua orang di hadapan meja makan menoleh. Ibu, Bapak, ibu dan Bapak mertua, Rara, Mbak Widya, Mas Salman. Mereka menatapku dengan sendu. Jantungku seperti berhenti berdetak. Baru kusadari Adnan tidak mungkin ada di ruang makan, dapur, taman, atau sekolah. Aku jatuh terduduk menutup wajah dengan kedua tangan agar tak nampak air mata yang menetes.Suasana ruang makan hening, hanya terdengar sesekali bunyi air yang diteguk. Tak ada yang bisa makan dengan lahap. Kepergian Adnan yang terlampau tiba-tiba membuat ruang kosong dalam di jiwa. Masing-masing sibuk dengan pikiran dan hanya menatap makanan dengan hampa.“Kalau terus begini sepertinya Adnan akan menyiram

  • His Dark Secrets   Kehilangan

    “Adnan ketemu,” suara berat Alvin seperti cahaya yang membuyarkan kegelapan hari ini. Setelah berjam-jam akhirnya terdengar juga kabar yang lebih terang. Adnan ditemukan.“Di mana anakku,” tanya Sultan.“Di rumah sakit. Ayo!”Alvin mengajakku, tapi Sultan sedang menggenggam erat tanganku.“Aku ikut Mas Sultan aja.”“Ya sudah aku bawa mobil kamu. Kalian ikuti aku.”Apa yang sebenarnya telah terjadi? Adnan ada di rumah sakit, artinya dia mengalami hal buruk. Pikiranku kacau sekali. Bayangan-bayangan perkataan tadi pagi terngiang terus mengisi kepalaku bergantian. Perjalanan ke rumah sakit yang hanya sekitar satu jam terasa seperti bertahun-tahun. Ulu hatiku nyeri membayangkan wajah Adnan yang entah seperti apa sekarang.Sampai di rumah sakit Alvin berjalan cepat. Kami tiba di sebuah ruangan di mana seorang anak kecil tengah terbaring lemah. Kepalanya diperban. Seluruh tub

  • His Dark Secrets   Ke mana Adnan?

    Pagi ini Adnan sibuk dengan peralatan sekolah barunya. Tak terasa dia sudah memasuki Sekolah Dasar. Adnan tumbuh begitu cepat. Dia makin tampan, banyak tetangga yang mendadak suka berfoto dengan Adnan sembari memamerkannya di media sosial. Sejak masih TK, Adnan bahkan sering mendapat hadiah dari teman-teman bermainnya. Dia seperti selebriti kecil di sekolah barunya.“Ibu, Adnan sayang sama Ibu. Ibu Jangan sering nangis ya!”Alisku berkerut. Memang, selama ini Adnan sering melihatku menangis dalam do’a. Kadang tak terasa bulir-bulir perih menetes tanpa sebab. Adnanlah yang selalu ada dan menghibur hati yang sudah tidak berbentuk lagi. Putraku ini kini sudah berusia 7 tahun. Ia berpikir dewasa. Mungkin karena terlalu sering bercakap-cakap dengan Pak Haryono.“Adnan tidak suka melihat Ibu menangis?”“Menangis tidak apa-apa ibu. Kata Kakek menangis akan membuat hati seorang perempuan lega. Tapi, nanti Adnan tidak bisa lagi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status