Share

HMT 5 - TAK TERDUGA (1)

Email yang berisi kalau naskah yang dikirimkan Anna beberapa hari lalu akhirnya datang juga. Anna tentu merasa senang sekaligus khawatir. Senang karena recehan dolar akan mengalir sebentar lagi, khawatir karena Anna sendiri masih belum sepenuhnya yakin apakah dirinya sanggup atau tidak menulis adegan erotis nantinya.

Referensi saja masih belum Anna dapatkan, bagaimana dia menulisnya? Biar bagaimanapun Anna sungguh berterima kasih sekali karena telah diberikan kesempatan mencoba, mengasah kemampuan yang telah sejak lama dia tekuni. Oh Anna, sudah saatnya kau keluar dari zona ternyamanmu.

Anna menyimpan kembali ponsel ke dalam saku apron yang dikenakannya. Sore itu suasana kedai tidak terlalu ramai. Pelanggan yang berdatangan hanya bergantian silih berganti tidak seperti biasanya. Samantha mematung menatap tayangan yang ditampilkan layar televisi. Dia mengerjap sesaat diikuti dengan satu tangannya yang menopang dagu.

Mendadak Samantha berdecak—membuat Anna penasaran sekaligus terkejut dalam waktu bersamaan. Semua berita menampilkan pria yang pernah dia temui di Sydney Opera House.

“Dia sungguh tampan, Anna,” celetuk Samantha setengah bergumam.

“Kau benar, tapi apa benar dia seangkuh itu?” Anna balas bertanya sampai membuat Samantha menoleh. “Menurutku pemberitaannya terlalu berlebihan. Si Tampan Tak Tersentuh, lelucon terlucu yang pernah kudengar.”

“Kau berkata seolah-olah pernah bertemu dengannya saja, Anna. Image dari seorang Andrew Lewis adalah angkuh, angkuh, dan angkuh. Tidak pernah ada yang tahu bagaimana hubungan percintaannya. Justru misteri itu yang membuat popularitasnya meningkat.”

“Atau bisa saja mungkin dia gay. Tipe-tipe orang yang menutup kehidupan pribadi seperti ini jelas akan ada kejutan yang menanti di belakang. Sudah banyak fenomena public figure yang seperti ini dan membuat patah hati para penggemarnya,” celoteh Anna.

“Kau benar, Anna. Jangan pernah mempercayai pria berwajah tampan karena menurut artikel yang kubaca semalam, orientasi seks mereka lebih banyak menyimpang. Bahkan aku yang bodoh seperti ini pun menyayangkan perilaku mereka.”

Anna mendekati Samantha yang kembali memperhatikan layar televisi. Wanita itu tampaknya tidak menyadari jika perkataannya hari ini sungguh luar biasa.

“Kau tidak sedang keracunan makanan, kan? Kau seperti bukan Samantha yang kukenal.”

Kedua alis Samantha menyatu ketika menoleh ke arah Anna hingga akhirnya wanita itu mendadak terbahak tanpa terkendali. “Sepertinya kepintaranmu itu sedikit menular padaku, Anna.”

Giliran Anna yang ikut tertawa. “Artinya, keberadaanku membawa pengaruh yang baik dalam dirimu, Sam.”

“Well, berbanggalah hati jika memang seperti itu, Anna.”

Tidak lama kemudian pintu kedai pun terbuka. Pria mengenakan mantel tebal pun masuk dan seketika mencuri perhatian dua wanita penjaga counter pemesanan minuman. Anna menoleh ke arah Samantha, tapi wanita itu justru hanya mengangkat kedua bahu. Suasana kedai yang sepi seperti ini justru membuat siapa saja yang datang menjadi pusat perhatian.

“Anna.”

Betapa Anna terkejut ketika dia tahu siapa yang memanggilnya. Seorang Andrew Lewis berdiri dengan segaris senyuman hingga membuat Samantha yang ketika itu tengah berdiri di depan mesin kasir mematung.

Samantha beradu pandang dengan Anna seperti hendak memastikan pria tampan di depannya adalah pria yang baru saja dilihatnya di televisi, bukan sebuah ilusi. Jangankan memastikan, bahkan Anna sekalipun sulit untuk mempercayai matanya sendiri.

“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi di sini,” kata Andrew Lewis setelah mengawasi dua wanita di depannya bergantian. “Kalau kau tidak keberatan, bisa kita mengobrol sebentar di sana?” Andrew Lewis menunjuk sebuah meja yang terletak di area pojok. 

Samantha kembali menoleh. Kali ini kedua mata bulatnya melebar seolah-olah hendak keluar dari sana. Kemudian anggukan kepala pun menyertai—Anna spontan menghela napas.

***

“Aku tidak pernah melihatmu di kedai ini. Apakah kau pegawai baru?” tukas Andrew Lewis sambil menyesap hot latte.

Anna masih menatap Andrew Lewis dengan rasa tidak percaya. Bayangkan saja, billioner muda pengatur roda perekonomian di jagat Australia bisa duduk dengan santainya di depan seorang barista dari kelas biasa sepertinya. Anna mengira pertemuannya dengan Andrew Lewis di Sydney Opera House adalah suatu kebetulan, tapi ternyata takdir malah berkata sebaliknya.

Lebih mengejutkan lagi kedai ini ternyata juga berada di bawah naungan perusahaan raksasa miliknya. Apakah pria ini sengaja mencarinya? Oh Anna, kau terlalu sering menduga-duga.

“Ya, Tuan. Saya memang pegawai baru di sini,” jawab Anna.

Anna jelas tidak menikmati pembicaraan ini. Anna meremas kedua tangannya di bawah meja. Dia mendadak gugup. Kegugupan yang tidak bisa diartikan olehnya. Anna hanya tahu bahwa kegugupan ini tidak akan berlangsung lama kalau dirinya segera pergi dari sini.

“Maafkan saya, Tuan Lewis. Saya tidak bisa menemani Anda lebih lama lagi. Saya harus kembali bekerja.”

Setelah itu Anna langsung pergi tanpa kata kembali ke tempat di mana dia seharusnya. Anna sama sekali tidak menyadari bahwa ketika punggungnya berbalik ada senyuman milik Andrew Lewis yang menyertai setiap langkahnya. Pria itu terus menatap Anna sampai punggungnya hilang dibalik meja counter pemesanan. Tidak satu pun yang tahu arti dari senyumannya itu, kecuali Andrew Lewis sendiri.

***

Anna beruntung di saat jam kerjanya usai Samantha telah lebih dulu menghilang. Setidaknya Anna tidak harus menjawab pertanyaan yang sering diajukan Samantha ketika ada pria yang mencoba mendekatinya. Anna mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih. Cuaca hari ini terlalu panas hingga Anna jauh lebih berkeringat daripada biasanya. Apakah karena kedatangan Andrew Lewis ke kedai ataukah murni karena cuaca? Anna tidak tahu pasti. Pokoknya seharian ini Anna benar-benar merasa tidak nyaman. Semua serba salah.

Tiba di apartemen Anna kembali dikejutkan dengan berita tentang Pamela yang memutuskan menambah kerja paruh waktunya. Anna mendadak terduduk di sofa mereka yang sudah tidak empuk lagi. Siàlàn! Kenapa banyak sekali yang terjadi hari ini?

“Kenapa kau melakukannya, Mom?” tanya Anna. Terlihat sekali tatapan matanya penuh rasa kecewa. “Apakah artinya kau tidak mempercayaiku sama sekali? Apa dengan mengizinkanmu menjadi seorang nanny dua kali dalam seminggu tidaklah cukup?”

“Dengarkan aku, Anna. Penghasilan di sana tidaklah bisa membantu meringankan beban yang kau pikul. Berdua jauh lebih baik daripada sendirian, Sayang.”

Pamela benar. Masalahnya ada hal lain yang dikhawatirkan Anna, yaitu penyakit asma ibunya yang bisa saja kambuh setiap saat jika dia kelelahan. Dan Anna tidak ingin hal itu terjadi.

“Kau mengkhawatirkan penyakit asmaku?” tembak Pamela pada Anna kemudian menarik putrinya itu ke dalam pelukannya.

Bukan kali ini saja Anna bersikap berlebihan mengkhawatirkan dirinya. Anna seolah menjelma menjadi orang berhati dingin jika sudah menyangkut masalah penyakit bawaannya. Terlebih sejak Richie meninggal. Fokus hidup Anna semakin bertambah parah seolah hanya dolar yang berputar dalam otaknya. Mendadak Pamela menyadari satu hal, dia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali melihat Anna tersenyum bahagia.

“Aku berjanji semua akan baik-baik saja, Sayang.” Pamela mengurai pelukannya, memegang kuat pundak Anna berusaha meyakinkan putrinya. “Pekerjaanku hanya membuat roti lapis isi *vegemite untuk sarapan di salah satu panti asuhan.”

“Vegemite? Yuck!” Spontan ekspresi wajah Anna berubah aneh. Dia tidak tahu kenapa banyak sekali yang menyukai roti selai bercita rasa aneh itu. “Bahkan daddy juga tidak menyukainya.”

Pamela tertawa dengan mengusap kepala Anna. “Ya. Kalian berdua memang mirip.”

Anna meraih tangan Pamela diatas kepalanya, lalu menggenggamnya. Anna tahu betapa besar kerinduan Pamela atas ayahnya, Richie. Anna juga tahu kalau ibunya terkadang masih duduk termenung menatap foto sang ayah di hari ulang tahunnya. Anna selalu tahu, hanya saja dia berpura-pura tidak pernah melihatnya.

Anggukan kepala Anna mengundang senyuman Pamela. Wanita itu kini tengah memeluknya sebagai ucapan terima kasih. Sesimpel itu ternyata membahagiakan orang terkasih. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Pria itu mengerjap, begitu pula dengan Anna. Pria itu tersenyum, tapi tidak dengan Anna. Anna lebih tertarik mendengar penjelasan ibunya.

“Jadi, Anna ….” Pamela menghampiri pria itu dengan senyuman. “Dia Andrew Lewis. Dia orang yang memberiku pekerjaan ini.”

Anna seketika tidak mampu kata-kata.

***

*Vegemite adalah selai khas Australia yang terbuat dari brewer yeast (sejenis ragi) berwarna hitam pekat. Rasanya asin dan sedikit pahit. Biasanya orang Australia menyantapnya diatas roti panggang yang telah diolesi butter sebagai teman sarapan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status