Email yang berisi kalau naskah yang dikirimkan Anna beberapa hari lalu akhirnya datang juga. Anna tentu merasa senang sekaligus khawatir. Senang karena recehan dolar akan mengalir sebentar lagi, khawatir karena Anna sendiri masih belum sepenuhnya yakin apakah dirinya sanggup atau tidak menulis adegan erotis nantinya.
Referensi saja masih belum Anna dapatkan, bagaimana dia menulisnya? Biar bagaimanapun Anna sungguh berterima kasih sekali karena telah diberikan kesempatan mencoba, mengasah kemampuan yang telah sejak lama dia tekuni. Oh Anna, sudah saatnya kau keluar dari zona ternyamanmu.
Anna menyimpan kembali ponsel ke dalam saku apron yang dikenakannya. Sore itu suasana kedai tidak terlalu ramai. Pelanggan yang berdatangan hanya bergantian silih berganti tidak seperti biasanya. Samantha mematung menatap tayangan yang ditampilkan layar televisi. Dia mengerjap sesaat diikuti dengan satu tangannya yang menopang dagu.
Mendadak Samantha berdecak—membuat Anna penasaran sekaligus terkejut dalam waktu bersamaan. Semua berita menampilkan pria yang pernah dia temui di Sydney Opera House.
“Dia sungguh tampan, Anna,” celetuk Samantha setengah bergumam.
“Kau benar, tapi apa benar dia seangkuh itu?” Anna balas bertanya sampai membuat Samantha menoleh. “Menurutku pemberitaannya terlalu berlebihan. Si Tampan Tak Tersentuh, lelucon terlucu yang pernah kudengar.”
“Kau berkata seolah-olah pernah bertemu dengannya saja, Anna. Image dari seorang Andrew Lewis adalah angkuh, angkuh, dan angkuh. Tidak pernah ada yang tahu bagaimana hubungan percintaannya. Justru misteri itu yang membuat popularitasnya meningkat.”
“Atau bisa saja mungkin dia gay. Tipe-tipe orang yang menutup kehidupan pribadi seperti ini jelas akan ada kejutan yang menanti di belakang. Sudah banyak fenomena public figure yang seperti ini dan membuat patah hati para penggemarnya,” celoteh Anna.
“Kau benar, Anna. Jangan pernah mempercayai pria berwajah tampan karena menurut artikel yang kubaca semalam, orientasi seks mereka lebih banyak menyimpang. Bahkan aku yang bodoh seperti ini pun menyayangkan perilaku mereka.”
Anna mendekati Samantha yang kembali memperhatikan layar televisi. Wanita itu tampaknya tidak menyadari jika perkataannya hari ini sungguh luar biasa.
“Kau tidak sedang keracunan makanan, kan? Kau seperti bukan Samantha yang kukenal.”
Kedua alis Samantha menyatu ketika menoleh ke arah Anna hingga akhirnya wanita itu mendadak terbahak tanpa terkendali. “Sepertinya kepintaranmu itu sedikit menular padaku, Anna.”
Giliran Anna yang ikut tertawa. “Artinya, keberadaanku membawa pengaruh yang baik dalam dirimu, Sam.”
“Well, berbanggalah hati jika memang seperti itu, Anna.”
Tidak lama kemudian pintu kedai pun terbuka. Pria mengenakan mantel tebal pun masuk dan seketika mencuri perhatian dua wanita penjaga counter pemesanan minuman. Anna menoleh ke arah Samantha, tapi wanita itu justru hanya mengangkat kedua bahu. Suasana kedai yang sepi seperti ini justru membuat siapa saja yang datang menjadi pusat perhatian.
“Anna.”
Betapa Anna terkejut ketika dia tahu siapa yang memanggilnya. Seorang Andrew Lewis berdiri dengan segaris senyuman hingga membuat Samantha yang ketika itu tengah berdiri di depan mesin kasir mematung.
Samantha beradu pandang dengan Anna seperti hendak memastikan pria tampan di depannya adalah pria yang baru saja dilihatnya di televisi, bukan sebuah ilusi. Jangankan memastikan, bahkan Anna sekalipun sulit untuk mempercayai matanya sendiri.
“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi di sini,” kata Andrew Lewis setelah mengawasi dua wanita di depannya bergantian. “Kalau kau tidak keberatan, bisa kita mengobrol sebentar di sana?” Andrew Lewis menunjuk sebuah meja yang terletak di area pojok.
Samantha kembali menoleh. Kali ini kedua mata bulatnya melebar seolah-olah hendak keluar dari sana. Kemudian anggukan kepala pun menyertai—Anna spontan menghela napas.
***
“Aku tidak pernah melihatmu di kedai ini. Apakah kau pegawai baru?” tukas Andrew Lewis sambil menyesap hot latte.
Anna masih menatap Andrew Lewis dengan rasa tidak percaya. Bayangkan saja, billioner muda pengatur roda perekonomian di jagat Australia bisa duduk dengan santainya di depan seorang barista dari kelas biasa sepertinya. Anna mengira pertemuannya dengan Andrew Lewis di Sydney Opera House adalah suatu kebetulan, tapi ternyata takdir malah berkata sebaliknya.
Lebih mengejutkan lagi kedai ini ternyata juga berada di bawah naungan perusahaan raksasa miliknya. Apakah pria ini sengaja mencarinya? Oh Anna, kau terlalu sering menduga-duga.
“Ya, Tuan. Saya memang pegawai baru di sini,” jawab Anna.
Anna jelas tidak menikmati pembicaraan ini. Anna meremas kedua tangannya di bawah meja. Dia mendadak gugup. Kegugupan yang tidak bisa diartikan olehnya. Anna hanya tahu bahwa kegugupan ini tidak akan berlangsung lama kalau dirinya segera pergi dari sini.
“Maafkan saya, Tuan Lewis. Saya tidak bisa menemani Anda lebih lama lagi. Saya harus kembali bekerja.”
Setelah itu Anna langsung pergi tanpa kata kembali ke tempat di mana dia seharusnya. Anna sama sekali tidak menyadari bahwa ketika punggungnya berbalik ada senyuman milik Andrew Lewis yang menyertai setiap langkahnya. Pria itu terus menatap Anna sampai punggungnya hilang dibalik meja counter pemesanan. Tidak satu pun yang tahu arti dari senyumannya itu, kecuali Andrew Lewis sendiri.
***
Anna beruntung di saat jam kerjanya usai Samantha telah lebih dulu menghilang. Setidaknya Anna tidak harus menjawab pertanyaan yang sering diajukan Samantha ketika ada pria yang mencoba mendekatinya. Anna mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih. Cuaca hari ini terlalu panas hingga Anna jauh lebih berkeringat daripada biasanya. Apakah karena kedatangan Andrew Lewis ke kedai ataukah murni karena cuaca? Anna tidak tahu pasti. Pokoknya seharian ini Anna benar-benar merasa tidak nyaman. Semua serba salah.
Tiba di apartemen Anna kembali dikejutkan dengan berita tentang Pamela yang memutuskan menambah kerja paruh waktunya. Anna mendadak terduduk di sofa mereka yang sudah tidak empuk lagi. Siàlàn! Kenapa banyak sekali yang terjadi hari ini?
“Kenapa kau melakukannya, Mom?” tanya Anna. Terlihat sekali tatapan matanya penuh rasa kecewa. “Apakah artinya kau tidak mempercayaiku sama sekali? Apa dengan mengizinkanmu menjadi seorang nanny dua kali dalam seminggu tidaklah cukup?”
“Dengarkan aku, Anna. Penghasilan di sana tidaklah bisa membantu meringankan beban yang kau pikul. Berdua jauh lebih baik daripada sendirian, Sayang.”
Pamela benar. Masalahnya ada hal lain yang dikhawatirkan Anna, yaitu penyakit asma ibunya yang bisa saja kambuh setiap saat jika dia kelelahan. Dan Anna tidak ingin hal itu terjadi.
“Kau mengkhawatirkan penyakit asmaku?” tembak Pamela pada Anna kemudian menarik putrinya itu ke dalam pelukannya.
Bukan kali ini saja Anna bersikap berlebihan mengkhawatirkan dirinya. Anna seolah menjelma menjadi orang berhati dingin jika sudah menyangkut masalah penyakit bawaannya. Terlebih sejak Richie meninggal. Fokus hidup Anna semakin bertambah parah seolah hanya dolar yang berputar dalam otaknya. Mendadak Pamela menyadari satu hal, dia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali melihat Anna tersenyum bahagia.
“Aku berjanji semua akan baik-baik saja, Sayang.” Pamela mengurai pelukannya, memegang kuat pundak Anna berusaha meyakinkan putrinya. “Pekerjaanku hanya membuat roti lapis isi *vegemite untuk sarapan di salah satu panti asuhan.”
“Vegemite? Yuck!” Spontan ekspresi wajah Anna berubah aneh. Dia tidak tahu kenapa banyak sekali yang menyukai roti selai bercita rasa aneh itu. “Bahkan daddy juga tidak menyukainya.”
Pamela tertawa dengan mengusap kepala Anna. “Ya. Kalian berdua memang mirip.”
Anna meraih tangan Pamela diatas kepalanya, lalu menggenggamnya. Anna tahu betapa besar kerinduan Pamela atas ayahnya, Richie. Anna juga tahu kalau ibunya terkadang masih duduk termenung menatap foto sang ayah di hari ulang tahunnya. Anna selalu tahu, hanya saja dia berpura-pura tidak pernah melihatnya.
Anggukan kepala Anna mengundang senyuman Pamela. Wanita itu kini tengah memeluknya sebagai ucapan terima kasih. Sesimpel itu ternyata membahagiakan orang terkasih. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Pria itu mengerjap, begitu pula dengan Anna. Pria itu tersenyum, tapi tidak dengan Anna. Anna lebih tertarik mendengar penjelasan ibunya.
“Jadi, Anna ….” Pamela menghampiri pria itu dengan senyuman. “Dia Andrew Lewis. Dia orang yang memberiku pekerjaan ini.”
Anna seketika tidak mampu kata-kata.
***
*Vegemite adalah selai khas Australia yang terbuat dari brewer yeast (sejenis ragi) berwarna hitam pekat. Rasanya asin dan sedikit pahit. Biasanya orang Australia menyantapnya diatas roti panggang yang telah diolesi butter sebagai teman sarapan.
Anna tahu seluas apa koneksi pria di depannya. Anna juga tahu sebesar apa kekuasaannya di jagat perekonomian. Namun, yang paling tidak Anna ketahui adalah alasan dibalik perbuatan yang pria itu lakukan untuk keluarganya. Anna hanyalah wanita asing bagi pria itu dan begitu pula sebaliknya. Anna masih berusaha mencerna serta memahami situasi yang terjadi saat ini. Dia berdiri membelakangi dua manusia tepat di belakangnya dengan tangan berpegang erat pada ujung meja sambil berpikir. Anna memaksa otaknya berpikir cepat, secepat yang dirinya bisa. “Bisa Anda jelaskan alasannya, Tuan Lewis?” Anna memutar tubuhnya. “Saya paham niat baik Anda, tapi saya juga perlu tahu kenapa Anda berbuat sejauh ini untuk keluarga saya. Saya ….” Anna bahkan tidak bisa meneruskan kata-katanya. Karena dipikir bagaimanapun semua yang dilakukan pria itu tidak akan pernah masuk akal. Mendadak Anna teringat akan pemberitaan mengenai pria itu di layar televisi tadi siang. Andrew Lewis—keturunan generasi ketiga se
“Jadi, kalian sudah pernah bertemu sebelumnya? Holy shit! Kau sungguh beruntung, Anna.” Belum selesai Anna menguap, pertanyaan paling ingin dia hindari mendadak muncul. Apalagi diikuti dengan umpatan. “Bagaimana mungkin, Anna? Bagaimana caramu bertemu dengan pria setenar dia?” Anna menghela napas beratnya. Dia melepaskan topi yang menutupi kepalanya dengan kasar kemudian berusaha menceritakan satu per satu kejadian yang dia alami saat di Sydney Opera House. Gelengan kepala Samantha mengundang pertanyaan tambahan untuknya. “Kenapa? Kau tidak memercayaiku?” Anna terlihat tersinggung. Tidak ada keuntungan untuk Anna melebih-lebihkan sesuatu hanya karena kedudukan pria itu. “Oh c’mon, Anna. Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa kalau kau cukup beruntung bisa bertemu langsung dengan Andrew Lewis. Kau tahu banyak wanita yang rela antri hanya demi berbicara dengannya, sedangkan kau hanya berdiri saja dan pria itu yang menghampirimu.” Anna memutar bola matanya. Sebetulnya, Anna tahu k
“Kau baru bangun?” Anna tersentak ketika dia melihat Pamela yang masih terjaga di dapur. Anna menghampirinya dengan tatapan setengah mengantuk, tapi juga setengah menahan rasa pusing di kepala. “Kau belum tidur, Mom?” Anna melirik jam di nakas yang telah menunjukkan angka satu. “Aku akan tidur sebentar lagi setelah menyelesaikan ini. Kau tahu mereka menyukai roti lapis buatanku dan memesannya lagi untuk dua hari mendatang,” kata Pamela senang. “Aku ikut senang mendengarnya, Mom. Katakan padaku jika kau memerlukan bantuan.” Pamela mengangguk, lalu ikut bergabung dengan Anna merebahkan dirinya di sofabed. “Kau pulang dalam keadaan mabuk, Anna,” kata Pamela memulai obrolan, lalu menyingkirkan rambut-rambut halus yang menutupi mata Anna sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku tidak pernah melihatmu pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, Sayang. Ada apa sebenarnya?” “Tidak ada, Mom. Aku hanya salah menegak whiskey yang berkadar alkohol tinggi. Setelah itu aku tidak ing
Tidak tahu seluas apa kekuasaan yang dimiliki seorang Andrew Lewis. Pasalnya bahkan hanya untuk masuk ke bioskop pun mereka tidak melakukan seperti yang biasanya orang lakukan. Selimut ditiap kursi telah tersedia berikut dengan popcorn serta minuman. Anna mengunyah popcorn dengan perasaan kesal yang belum hilang. Dia benar-benar merasa dipermainkan oleh pria disampingnya. “Kau tidak suka filmnya?” bisik Andrew Lewis lirih di telinga Anna yang membuat wanita itu kaget setengah mati. Mata mereka saling beradu. Senyum pria itu kembali membuat Anna tidak bisa berkata-kata. Sepertinya seperti inilah cara pria itu menaklukkan hati wanita-wanita di sekitarnya. “Kalau kau merasa film ini membosankan, kita bisa tinggalkan tempat ini sekarang,” lanjutnya kemudian. Anna menelan ludahnya. “Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan Lewis?” Senyum Andrew Lewis kembali menghampiri. “Kau boleh memanggilku Andrew, Anna.” “Tidak bisa. Saya tidak memiliki wewenang memanggil nama Anda.” “W
“Jadi, namanya Anna Wijaya.” Andrew Lewis menoleh ketika melihat saudara kembarnya Andreas masuk tanpa permisi ke ruang pribadinya dengan ocehan yang sama sekali tidak dia pahami. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Terkejut?” sahut Andreas ketika melihat Andrew Lewis hendak memprotes perkataannya barusan. “Jangan salahkan aku, Andrew. Begitu banyak dokumen yang berada di atas meja Alex semuanya merujuk pada satu nama. Anna Wijaya, wanita yang mulai kau gilai diam-diam. Sudah sejauh apa kau menyelidiki wanita ini.” Andrew Lewis mendengus tanpa berniat menimpali. Karena sepertinya percuma saja dia menjawab rasa penasaran Andreas. Saudara kembarnya itu pasti selalu satu langkah di depannya dalam hal apa pun. “Hei, mau sampai kapan kau mengabaikanku? Ceritakan sedikit seperti apa wanita bernama Anna Wijaya itu. Bukankah sudah banyak yang kau lakukan untuk mendekatinya.” Kenyataannya Andrew Lewis sedikit terusik hingga menghentikan pekerjaannya. Dia memutar kursi meninggalkan singgasan
Pemandangan Sydney Opera House di malam hari membuat Anna berdecak kagum. Dia tidak mengalihkan pandangan sedikit pun saat kaca jendela mobil dibuka selebar-lebarnya oleh pria yang saat ini membawanya ke tempat yang mereka tuju. Anna bahkan tidak pernah bermimpi akan datang ke tempat ini lagi. “Tuan Lewis sudah menunggu Anda di dalam, Nona Anna.” “Thank you, Alex,” sahut Anna. Pria bernama Alex itu mengangguk. Sejujurnya Anna tidak mempunyai banyak gaun yang cocok selain gaun pemberian Chris Rowell. Gaun yang sama ternyata mengantarkannya ke tempat yang sama pula. Anna merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Menghadiri makan malam mewah di salah satu resto yang mungkin hanya orang beruang saja yang sanggup apalagi bersama dengan pria pengatur roda perekonomian. Ya, akan banyak sekali wanita di luar sana yang iri dengan Anna. Andrew Lewis sudah lebih dulu berada di sana. Di meja paling ujung serta paling privasi menunggu dirinya dengan gelas berisi anggu
Anna mematung di depan kaca bernuansa vintage yang dibelinya di Paddy’s Market bersama Chris Rowell tiga tahun yang lalu. Bukan retakan pada pinggiran kaca yang membuat Anna terpaku, tapi tentang apa yang telah dilakukannya semalam sudah di luar batasan. Anna menyerahkan harta berharganya begitu saja tanpa perlawanan, tanpa negosiasi, bahkan tanpa kompensasi apa-apa. Anna meraup wajahnya kemudian terduduk di tepi ranjang. Anehnya bukan masalah itu yang membuat Anna gelisah. Hanya persoalan waktu saja harta berharga itu akan terenggut. Anna kembali meraup wajahnya, mendadak ingatan semalam bermunculan. Sydney Opera House seakan menjadi saksi bisu atas semua perlakuan manis seorang Andrew Lewis pada dirinya. Sentuhannya sungguh tidak bisa Anna abaikan begitu saja. Pria itu memperlakukan Anna begitu lembut dari satu sentuhan ke sentuhan lainnya. Mengajari Anna menikmati sesuatu yang baru saja dikenalnya. Bulu kuduk Anna terasa merinding. Betapa dia merasa malu karena membiarkan kewarasa
Andrew Lewis meraba sisi kiri ranjangnya. Pria itu tertegun sejenak ketika menemukan Anna sudah tidak ada di sebelahnya. Andrew Lewis tertidur teramat nyenyak sampai dia sendiri tidak merasakan adanya pergerakan apa pun dari sisi ranjangnya. Andrew Lewis meraih benda pipih di atas nakas, menggeser menunya, serta mencoba menghubungi Anna. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. Celana dalam masih melekat saat beranjak dari atas ranjang. Andrew Lewis merasa tubuhnya menjadi sedikit lebih bugar. Aktivitas bersama Anna semalam benar-benar membawa perubahan, terutama untuk tubuhnya. Andrew Lewis keluar dari kamar mandi dengan rambut masih setengah basah ketika petugas room service tengah merapikan segala sudut kamar. Sarapan menyehatkan pun telah tersaji di atas meja. “Sarapan Anda sudah siap, Tuan Lewis.” Meskipun terasa dingin, menyesap secangkir kopi cukup untuk mengawali pagi hari ini. Sesekali Andrew Lewis mengawasi segala pergerakan para petugas hotel yang hilir mudik melakuk