Anna tahu seluas apa koneksi pria di depannya. Anna juga tahu sebesar apa kekuasaannya di jagat perekonomian. Namun, yang paling tidak Anna ketahui adalah alasan dibalik perbuatan yang pria itu lakukan untuk keluarganya. Anna hanyalah wanita asing bagi pria itu dan begitu pula sebaliknya.
Anna masih berusaha mencerna serta memahami situasi yang terjadi saat ini. Dia berdiri membelakangi dua manusia tepat di belakangnya dengan tangan berpegang erat pada ujung meja sambil berpikir. Anna memaksa otaknya berpikir cepat, secepat yang dirinya bisa.
“Bisa Anda jelaskan alasannya, Tuan Lewis?” Anna memutar tubuhnya. “Saya paham niat baik Anda, tapi saya juga perlu tahu kenapa Anda berbuat sejauh ini untuk keluarga saya. Saya ….”
Anna bahkan tidak bisa meneruskan kata-katanya. Karena dipikir bagaimanapun semua yang dilakukan pria itu tidak akan pernah masuk akal. Mendadak Anna teringat akan pemberitaan mengenai pria itu di layar televisi tadi siang.
Andrew Lewis—keturunan generasi ketiga seorang pengusaha paling berpengaruh pada roda perekonomian. Nama Andrew Lewis seakan menjadi trademark tersendiri di pasar Asia. Tidak ada yang tidak mengenali sosok Andrew Lewis. Tidak hanya wajah tampannya yang selalu muncul di sampul terdepan semua majalah bisnis, untuk urusan pribadinya pun tidak lepas dari sorotan kamera paparazzi. Juga sifat angkuh setinggi langit itu terasa seperti tantangan tersendiri untuk kaum wanita di luar sana. Sampai suatu ketika munculah julukan baru untuk pria itu. Si Tampan Tak Tersentuh, begitulah yang mereka sematkan untuknya.
“Let’s make it simple, Tuan Lewis. Saya menolak, silakan Anda pulang.”
Anna mengakhiri obrolan itu dengan tegas. Dia memang membutuhkan uang, tapi jika seperti ini caranya tentu saja dia akan menolaknya mentah-mentah. Anna boleh miskin, tapi dia tidak akan membiarkan siapa pun merendahkan hidupnya hanya demi mengejar uang.
“Anna, kau salah paham, Sayang,” sahut Pamela menyela pembicaraan.
Pamela menarik Anna yang sejak tadi membelakanginya itu mendekat. Padahal dia sudah mengantongi persetujuan Anna sebelumnya, tapi tidak tahu kenapa putrinya itu mendadak berubah pikiran.
“Apa kau ingat suami istri Collin yang anaknya kuasuh selama ini? Mereka adalah teman dekat Andrew dan mereka juga yang merekomendasikanku untuk pekerjaan ini.”
Mata Anna tiba-tiba melebar. “Mom, kau bekerja di sana itu sebagai *nanny bukan *maid. Lagi pula, sejak kapan suami istri Collin memiliki panti asuhan?”
“Aku tahu, Anna,” kata Pamela sengaja memelankan suaranya. Namun, sejurus kemudian dia melanjutkan. “Semua itu terjadi kebetulan. Awalnya roti isi itu kusiapkan untuk diriku sendiri, tapi ternyata istri Collin malah menyukai roti lapis buatanku dan menurutmu apakah aku bisa menolak permintaan mereka? Kau tahu sendiri jawabannya.”
Anna memutar bola matanya. Pertama kalinya Anna merasa lelah. Lelah karena semua yang dia katakan seakan mental di telinga ibunya.
“Tapi, tetap saja tidak masuk akal, Mom. Roti isi vegemite bukan jenis roti kelas atas. Itu hanya roti lapis sederhana yang siapa pun bisa membuatnya. Harusnya kau perlu curiga.”
“Jadi, menurutmu aku harus menolak pekerjaan ini, begitu?”
Anna mengangguk. “Tentu saja.”
“Tidak bisa, Anna karena aku telah menerima sebagian pembayarannya dari Andrew. Lagi pula, kita memang sedang memerlukan uang sebelum musim dingin tiba, kan.”
Anna sepertinya harus menyerah ketika melihat sikap sang ibu yang menunjukkan kalau dia tidak ingin mendengar alasan apa pun lagi. Perdebatannya dengan Pamela mungkin bukan yang pertama namun entah kenapa hal ini cukup membuat apartemen kecil mereka juga ikut merasakan ketegangan. Sampai kehadiran Andrew Lewis di tengah-tengah mereka pun sama sekali tidak mereka pedulikan.
Sungguh kekesalan Anna sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Dia capek dan Andrew Lewis dengan begitu mudah mencuci otak ibunya. Anna melirik sekilas ke arah pria itu sebelum akhirnya menghilang dalam kegelapan malam.
***
Tiga hari berlalu sejak saat itu. Pamela benar-benar melakukannya. Di pagi hari hingga menjelang sore, dia bekerja seperti biasanya. Malam harinya dia akan pergi ke grocery terdekat yang buka 24 jam, sementara saat subuh dia baru akan mengeksekusi semuanya dan mengirimkannya pukul tujuh.
Anna mengamati segala pergerakan yang dilakukan ibunya di dapur seorang diri. Jam di nakas telah menunjukkan pukul empat, dan wanita diseberang sana terlihat sibuk sambil menahan kantuk yang mendadak menyerangnya sejak satu jam yang lalu. Anna terus mengamati semua pergerakan Pamela. Anna ingin membahagiakan ibunya, tapi apa harus begini caranya? Anna menyandarkan diri di bibir pintu. Dia berpikir. Sungguh dia tidak bisa membiarkan hal seperti ini terus berkelanjutan.
“Mom ….” Langkah kaki Anna tiba-tiba mendekat. Wajah lelah itu menyambutnya. “Aku yang akan melanjutkannya. Kau sebaiknya tidur saja.”
“No, Anna. Ini sebagai bentuk komitmen yang telah kuambil. Aku tidak apa-apa,” kata Pamela tanpa mengalihkan fokusnya.
“Aku tahu, tapi paling tidak tidurlah sebentar selagi aku meneruskannya. Aku tahu kau belum tidur sejak sore.”
Pamela tiba-tiba menghentikan pekerjaannya. Dia berganti menatap ke arah Anna.
“Apa kau yakin?” Pamela membalas bertanya. “Sejujurnya daripada mengantuk, aku lebih takut jika pesanan ini tidak selesai tepat waktu. Aku sangat berterima kasih jika kau memang ingin membantu.”
Anna mengikat rambut panjangnya ke atas dan langsung ikut bergabung dengan ibunya. Dia memang tidak pandai untuk urusan dapur, tapi setidaknya bisa mempersingkat waktu. Anna mengikuti segala petunjuk yang Pamela berikan, menata dan membersihkan apa yang diperlukan hingga ke tahap pengemasan ke dalam wadah plastik ramah lingkungan.
Anna sempat mencicipi satu gigitan dengan ekspresi aneh saat Pamela menyuapinya. Anna tidak habis pikir kenapa di antara banyaknya selai yang ada justru malah vegemite yang mereka inginkan. Yuck!
Pukul tujuh tepat sebuah mobil box tiba di depan apartemen Anna. Lima kotak besar roti lapis isi vegemite telah siap di antar ke panti asuhan.
“Kau tidak harus ikut ke sana, kan?” tanya Anna ketika melihat Pamela sudah duduk di kursi depan penumpang.
“Memang benar, tapi aku ingin memberikan makanan ini dengan tanganku sendiri, Anna. Kau tidak ingin ikut denganku?”
Anna menggeleng. “Nanti siang aku harus ke kedai. Sekarang aku mengantuk.” Anna menguap lebar hingga airmatanya keluar. “Take care, Mom. Beritahu aku kalau kau sudah tiba di sana.”
Mobil box itu menghilang dalam radius pandang Anna. Wanita itu kembali menguap lagi. Rasa kantuknya seperti sudah diujung pelupuk mata. Dengan setengah berlari Anna kembali masuk ke apartemennya. Hari masih terlalu pagi, bergelung manja di bawah selimut adalah jawaban paling tepat untuk Anna saat ini.
“Anna.”
Sosok Andrew Lewis sudah berada di sana ketika Anna menoleh. Pria bertubuh jangkung itu melesat seperti tornado dan dalam sekejap mata dia sudah berada tepat di depan Anna.
“Katakan padaku, apakah ada Anna lain yang tinggal di apartemen ini?” Andrew Lewis tertawa melihat ekspresi lucu Anna yang tampak kebingungan.
Anna memang berbeda dari wanita yang pernah Andrew Lewis kenal. Anna seakan selalu dipenuhi misteri. “Boleh aku meminta waktumu sebentar?”
“Untuk?” sahut Anna juga tidak mau kalah.
“Akan aku jelaskan di sana.” Andrew Lewis menunjuk kedai kopi kecil yang hanya berjarak lima blok dari apartemen Anna. “Kita bisa mengobrol sambil sarapan.”
“Kalau begitu tidak. Terima kasih.”
Anna memutar tubuhnya hendak berbalik, tapi ajaibnya sudah ada tangan lain yang menahan lengannya. Anna terpaku sejenak melihat tangan Andrew Lewis di sana. Wanita lain mungkin akan berteriak histeris jika berada di posisi Anna, tapi c’mon. Anna tidak semurah itu. Harga dirinya bahkan lebih tinggi tanpa pria itu sadari.
“Saya tahu jika kekuasaan Anda tersebar di mana-mana. Saya juga tahu Anda tidak menerima penolakan dalam bentuk apa pun. Namun, ada satu hal yang perlu Anda tahu, saya tidak akan membiarkan siapa pun mengatur hidup saya.”
“Anna ….”
“Semoga hari Anda menyenangkan, Tuan Lewis.”
Anna seketika membuang muka dan menghilang meninggalkan pria itu. Kekesalan di hatinya saja belum sepenuhnya mereda namun pria itu bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Anna menghela napasnya—menatap ke luar jendela serta merapatkan sweater yang sedang dikenakannya. Andaikan saja tidak ada insiden sebelumnya, tentu saja Anna akan menerima ajakan sarapan Andrew Lewis yang sangat langka dengan senang hati.
***
*Nanny adalah pengasuh anak-anak yang biasanya akan datang sesuai dengan kesepakatan antara si pemberi kerja dan si penerima kerja.
*Maid adalah pembantu rumah tangga dan kerjanya jauh lebih berat daripada nanny.
“Jadi, kalian sudah pernah bertemu sebelumnya? Holy shit! Kau sungguh beruntung, Anna.” Belum selesai Anna menguap, pertanyaan paling ingin dia hindari mendadak muncul. Apalagi diikuti dengan umpatan. “Bagaimana mungkin, Anna? Bagaimana caramu bertemu dengan pria setenar dia?” Anna menghela napas beratnya. Dia melepaskan topi yang menutupi kepalanya dengan kasar kemudian berusaha menceritakan satu per satu kejadian yang dia alami saat di Sydney Opera House. Gelengan kepala Samantha mengundang pertanyaan tambahan untuknya. “Kenapa? Kau tidak memercayaiku?” Anna terlihat tersinggung. Tidak ada keuntungan untuk Anna melebih-lebihkan sesuatu hanya karena kedudukan pria itu. “Oh c’mon, Anna. Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa kalau kau cukup beruntung bisa bertemu langsung dengan Andrew Lewis. Kau tahu banyak wanita yang rela antri hanya demi berbicara dengannya, sedangkan kau hanya berdiri saja dan pria itu yang menghampirimu.” Anna memutar bola matanya. Sebetulnya, Anna tahu k
“Kau baru bangun?” Anna tersentak ketika dia melihat Pamela yang masih terjaga di dapur. Anna menghampirinya dengan tatapan setengah mengantuk, tapi juga setengah menahan rasa pusing di kepala. “Kau belum tidur, Mom?” Anna melirik jam di nakas yang telah menunjukkan angka satu. “Aku akan tidur sebentar lagi setelah menyelesaikan ini. Kau tahu mereka menyukai roti lapis buatanku dan memesannya lagi untuk dua hari mendatang,” kata Pamela senang. “Aku ikut senang mendengarnya, Mom. Katakan padaku jika kau memerlukan bantuan.” Pamela mengangguk, lalu ikut bergabung dengan Anna merebahkan dirinya di sofabed. “Kau pulang dalam keadaan mabuk, Anna,” kata Pamela memulai obrolan, lalu menyingkirkan rambut-rambut halus yang menutupi mata Anna sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku tidak pernah melihatmu pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, Sayang. Ada apa sebenarnya?” “Tidak ada, Mom. Aku hanya salah menegak whiskey yang berkadar alkohol tinggi. Setelah itu aku tidak ing
Tidak tahu seluas apa kekuasaan yang dimiliki seorang Andrew Lewis. Pasalnya bahkan hanya untuk masuk ke bioskop pun mereka tidak melakukan seperti yang biasanya orang lakukan. Selimut ditiap kursi telah tersedia berikut dengan popcorn serta minuman. Anna mengunyah popcorn dengan perasaan kesal yang belum hilang. Dia benar-benar merasa dipermainkan oleh pria disampingnya. “Kau tidak suka filmnya?” bisik Andrew Lewis lirih di telinga Anna yang membuat wanita itu kaget setengah mati. Mata mereka saling beradu. Senyum pria itu kembali membuat Anna tidak bisa berkata-kata. Sepertinya seperti inilah cara pria itu menaklukkan hati wanita-wanita di sekitarnya. “Kalau kau merasa film ini membosankan, kita bisa tinggalkan tempat ini sekarang,” lanjutnya kemudian. Anna menelan ludahnya. “Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan Lewis?” Senyum Andrew Lewis kembali menghampiri. “Kau boleh memanggilku Andrew, Anna.” “Tidak bisa. Saya tidak memiliki wewenang memanggil nama Anda.” “W
“Jadi, namanya Anna Wijaya.” Andrew Lewis menoleh ketika melihat saudara kembarnya Andreas masuk tanpa permisi ke ruang pribadinya dengan ocehan yang sama sekali tidak dia pahami. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Terkejut?” sahut Andreas ketika melihat Andrew Lewis hendak memprotes perkataannya barusan. “Jangan salahkan aku, Andrew. Begitu banyak dokumen yang berada di atas meja Alex semuanya merujuk pada satu nama. Anna Wijaya, wanita yang mulai kau gilai diam-diam. Sudah sejauh apa kau menyelidiki wanita ini.” Andrew Lewis mendengus tanpa berniat menimpali. Karena sepertinya percuma saja dia menjawab rasa penasaran Andreas. Saudara kembarnya itu pasti selalu satu langkah di depannya dalam hal apa pun. “Hei, mau sampai kapan kau mengabaikanku? Ceritakan sedikit seperti apa wanita bernama Anna Wijaya itu. Bukankah sudah banyak yang kau lakukan untuk mendekatinya.” Kenyataannya Andrew Lewis sedikit terusik hingga menghentikan pekerjaannya. Dia memutar kursi meninggalkan singgasan
Pemandangan Sydney Opera House di malam hari membuat Anna berdecak kagum. Dia tidak mengalihkan pandangan sedikit pun saat kaca jendela mobil dibuka selebar-lebarnya oleh pria yang saat ini membawanya ke tempat yang mereka tuju. Anna bahkan tidak pernah bermimpi akan datang ke tempat ini lagi. “Tuan Lewis sudah menunggu Anda di dalam, Nona Anna.” “Thank you, Alex,” sahut Anna. Pria bernama Alex itu mengangguk. Sejujurnya Anna tidak mempunyai banyak gaun yang cocok selain gaun pemberian Chris Rowell. Gaun yang sama ternyata mengantarkannya ke tempat yang sama pula. Anna merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Menghadiri makan malam mewah di salah satu resto yang mungkin hanya orang beruang saja yang sanggup apalagi bersama dengan pria pengatur roda perekonomian. Ya, akan banyak sekali wanita di luar sana yang iri dengan Anna. Andrew Lewis sudah lebih dulu berada di sana. Di meja paling ujung serta paling privasi menunggu dirinya dengan gelas berisi anggu
Anna mematung di depan kaca bernuansa vintage yang dibelinya di Paddy’s Market bersama Chris Rowell tiga tahun yang lalu. Bukan retakan pada pinggiran kaca yang membuat Anna terpaku, tapi tentang apa yang telah dilakukannya semalam sudah di luar batasan. Anna menyerahkan harta berharganya begitu saja tanpa perlawanan, tanpa negosiasi, bahkan tanpa kompensasi apa-apa. Anna meraup wajahnya kemudian terduduk di tepi ranjang. Anehnya bukan masalah itu yang membuat Anna gelisah. Hanya persoalan waktu saja harta berharga itu akan terenggut. Anna kembali meraup wajahnya, mendadak ingatan semalam bermunculan. Sydney Opera House seakan menjadi saksi bisu atas semua perlakuan manis seorang Andrew Lewis pada dirinya. Sentuhannya sungguh tidak bisa Anna abaikan begitu saja. Pria itu memperlakukan Anna begitu lembut dari satu sentuhan ke sentuhan lainnya. Mengajari Anna menikmati sesuatu yang baru saja dikenalnya. Bulu kuduk Anna terasa merinding. Betapa dia merasa malu karena membiarkan kewarasa
Andrew Lewis meraba sisi kiri ranjangnya. Pria itu tertegun sejenak ketika menemukan Anna sudah tidak ada di sebelahnya. Andrew Lewis tertidur teramat nyenyak sampai dia sendiri tidak merasakan adanya pergerakan apa pun dari sisi ranjangnya. Andrew Lewis meraih benda pipih di atas nakas, menggeser menunya, serta mencoba menghubungi Anna. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. Celana dalam masih melekat saat beranjak dari atas ranjang. Andrew Lewis merasa tubuhnya menjadi sedikit lebih bugar. Aktivitas bersama Anna semalam benar-benar membawa perubahan, terutama untuk tubuhnya. Andrew Lewis keluar dari kamar mandi dengan rambut masih setengah basah ketika petugas room service tengah merapikan segala sudut kamar. Sarapan menyehatkan pun telah tersaji di atas meja. “Sarapan Anda sudah siap, Tuan Lewis.” Meskipun terasa dingin, menyesap secangkir kopi cukup untuk mengawali pagi hari ini. Sesekali Andrew Lewis mengawasi segala pergerakan para petugas hotel yang hilir mudik melakuk
Satu minggu berlalu sejak insiden Sydney Opera House. Anna tidak pernah sekalipun bertemu lagi dengan Andrew Lewis. Pria itu seakan hilang dari muka bumi tanpa adanya komunikasi apa pun. Sebenarnya Anna cukup merasa lega tidak ada yang mengusiknya namun entah kenapa terasa berbeda. Setelah mengakui jika dirinya mencintai pria itu, justru membuat Anna semakin sulit terlelap di malam hari. Setiap malam Anna selalu terusik dengan kejadian panas yang telah mereka lakukan di malam itu. Seolah-olah kejadian itu baru saja mereka lakukan kemarin, terasa sangat nyata hingga menimbulkan gelenyar aneh di tubuh Anna. Anna mungkin gila, tapi seperti itulah yang dirasakannya. Sore itu Anna berjalan menuju apartemen dengan dua kantong belanjaan dalam pelukannya. Jalanan malam cukup sepi ditambah dengan udara dingin yang makin mencekam—membuat Anna semakin mempercepat langkahnya. Betapa terkejutnya Anna ketika melihat pintu apartemennya terbuka dengan pria tak dikenal berdiri di garis pintu bersama