Share

Holiday to Wedding Day
Holiday to Wedding Day
Penulis: Humairah Samudera

Holiday ke Eropa

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mama menawarkan padaku sesuatu yang sangat menarik. Fantastis, malah. Bulan depan, Tante Ariane akan mengajakku jalan-jalan ke Eropa. Bayangkanlah, betapa gembiranya hatiku. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kungkungan duka dan kehilangan. Oh, meninggalnya Papa menjadi hal yang begitu menyakitkan bagiku. Seperti apa? Mustahil menggambarkannya dengan kata-kata. Terlalu sakit. Patah hati terberat, sungguh. 

"Haaa, Eropa?" refleks, aku bertanya sambil memindahkan tubuh ke samping Mama, "Serius, Ma? Mama nggak lagi ngusilin aku, kan?"

Dalam detik-detik yang begitu heroik, aku menelisik ke dalam bola mata Mama. Rasa-rasanya tak ada sesuatu yang ganjil. Bahkan, aku menemukan sesimpul senyum tulus di wajah senja Mama. Kalaupun Mama bersikap usil, apa ini tidak berlebihan? Eropa, lho. Lagi pula, apa Mama dan Tante Ariane tidak punya pekerjaan lain sehingga malah sibuk menyusun rencana usil untukku? Bodoh sekali bukan, kalau aku tetap pada pemikiran spontan beberapa menit yang lalu itu? 

"Iya, serius." tegas tapi lembut Mama menyahut, "Ya, itu kalau kamu mau, Hill. Kami nggak maksa, kok. Lagian kamu kan sudah selesai kuliah. Apa salahnya kalau ikut? Ya, siapa tahu, di sana nanti kamu bisa dapet banyak pengalaman? Tiga bulan kan, nggak lama, Hill?"

Apa, tiga bulan?

Wah kalau selama itu sih, sepertinya aku harus memikirkan dan mempertimbangkan lagi. Ya ampun, proyek perpustakaan keliling bersama Uta kan, baru saja berjalan? Masa, aku meninggalkannya begitu saja. Kalau seminggu atau dua minggu sih tidak masalah tapi kalau tiga bulan? 

OK!

Uta mungkin bisa menerima tapi kan, aku jadi tidak enak hati kalau seperti itu? Mati-matian kami merintis MMB (Mari Membaca Buku) sampai akhirnya memiliki banyak pelanggan. Apa bukan pengecut namanya kalau harus libur selama tiga bulan  full? Belum nanti kalau ada apa-apa, bagaimana? Misalnya,  waktu pulang nanti aku  mengalami jet lag parah. Apa tidak menambah level tak enak hatiku pada Uta? 

"Oh, tiga bulan ya, Ma?" 

"Iya, tiga bulan. Kenapa, Hill? Kamu sudah ada jadwal?"

Ditanya seperti itu oleh Mama, aku hanya bisa bergeming. Kalau yang dimaksud Mama itu jadwal kerja ya aku belum punya. Tapi bukankah mengembangkan MMB itu sebuah kewajiban yang paling hakiki dalam hidupku? Iya, kan? Duh, bisa jadi ribet nih, urusannya!

"Nggak sih, Ma. Hanya perpustakaan  keliling saja tapi kan ...?"

Aku baru mau melanjutkan kalau sebenarnya tak enak hati dengan  Uta tapi Mama sudah merangsek dengan full ekspresi kegembiraan. Seolah-olah, diajak Tante Ariane jalan-jalan ke Eropa itu sebuah prestasi yang luar biasa. Eh, hebatnya di bagian mana, sih? Oh, pasti Mama berharap akan mendapatkan banyak oleh-oleh dari sana. Apa lagi? Dua puluh dua tahun  menjadi anaknya, pasti tak meleset dugaanku tentang Mama. 

"Oh, itu?" Mama mengibaskan tangan sambil tersenyum lebar,  "Kalau soal itu kamu tenang saja, Hill. Mama bisa kok, gantiin kamu selama liburan. Swer!" 

Haaa, serius? 

Hahahaha, bukannya Mama takut dengan sinar ultraviolet, ya? Wah, jangan-jangan budget Mama untuk membeli krim wajah yang mengandung anti UV jadi membengkak. Terus, dia mengeluh siang dan malam di chat room yang akan membuat notifikasiku sederas arus lalu lintas kota-kota besar di Indonesia tercinta.

Oh, big no! 

Bisa-bisa liburanku malah jadi kacau balau. Hemmm, bagaimana, ya? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Yes or not? Ikut Tante Ariane berlibur ke Eropa dan menikmati setiap butir udara di sana atau tetap di sini, berjuang untuk MMB? Oh, mungkin aku juga harus mulai mencari pekerjaan? Maksudku memadatkan kegiatan sehari-hari agar bayang-bayang gelap tentang Papa ... Ah! Kenapa sih, semua itu harus terjadi pada Papa? Apa salah Papa? Oh, para perampok itu pasti tidak tahu kalau Papa adalah orang yang baik. Sangat baik, malah. Bukan hanya terhadap Mama dan aku, keluarganya tapi juga tetangga sekitar dan siapa saja yang membutuhkan. Siapapun pasti tahu kalau Papa adalah sosok yang sangat dermawan. Kenapa mereka tega menganiaya Papa, sih? Padahal, Papa sudah angkat tangan dan membiarkan  mereka menguras harta benda yang ada di rumah kami. Kata Mama sih, begitu. Hiks. 

Jahat. Jahat. Jahat. 

"Hill!" panggil Mama membuatku terkejut, "Kok, malah melamun?" 

Aku hanya nyengir, tak tahu harus berkata apa. Sekarang, yang ada dalam benakku hanya satu, menerima tawaran Tante Ariane atau menolaknya. Itu saja. Tak mungkin memilih semuanya, kan? Kecuali sambil liburan, aku masih bisa membantu Uta. 

Nah, itu dia ide yang cemerlang! 

"Mama, enggg, boleh nggak kalau aku pikir-pikir dulu?"

"Pikir apa? Kayak mama-mama aja kamu ini, Hill. Diajak liburan saja mikirinnya udah kayak mama-mama yang anaknya selusin. Udah, berangkat aja!"

"Nanti aku kasih tahu Mama lagi, ya?"

"Kasih tahu ...?"

"Pokoknya, begitu aku ambil keputusan, aku cepet-cepet kasih tahu Mama. Ya? Biar Tante Ariane pun nggak nunggu-nunggu. Nggak enak juga kita nanti kan, Mama?"

Satu-satunya hal yang aku syukuri adalah, Mama tersenyum tipis. Senyum misterius sih tapi aku tak memperdulikan itu. Sekarang aku harus menemui Uta dan mendiskusikan masalah ini dengannya. Siapa tahu, sahabatku yang baik hatinya itu malah langsung punya solusi. Ya ampun, dia kan motivator tunggal dalam hidupku? Terutama setelah Papa meninggal. Sungguh, tak tahu apa jadinya kalau tak ada Uta. Mungkin aku sudah terkena skizofrenia atau sejenisnya karena gagal move on. 

"Aku ke rumah Uta dulu ya, Ma?"

"Ya, hati-hati, Hill!"

"Oke, Mama. Aku jalan kaki kok, Ma. Sekalian jalan-jalan sore. Siapa tahu kan, ketiban langit eh lowongan pekerjaan  ramah pengangguran."

"Hehehehe  ... Hill, Hill. Iya deh, asal jangan meleng aja tuh, jalannya?"

"Siap, Boss!"

Eropa. MMB. Eropa. Cari kerja plus MMB. Eropa dulu sambil cari kerja plus MMB. Eropa. Eropa. Eropa. 

Wah, jelas otakku konslet! 

Belum pernah lho, aku separah ini dalam memikirkan sesuatu. Selama menyusun skripsi saja bisa senyum-senyum santai. Seolah-olah ujian akhir itu sama dengan penilaian akhir semester untuk anak TK B. Bukan karena super cerdas atau semacamnya sih tapi karena berprinsip easy going. Lah tapi begitu mendapatkan tawaran liburan ke Eropa itu tadi, seluruh hidupku jadi sekacau laut saat terguncang Tsunami. 

Bayangkanlah!

"Eh, kamu Hill?" sapa Uta saat mengetahui kedatanganku di rumahnya, "Duduk Hill, kelihatannya capek bener?"

Seperti yang ditawarkan Uta, aku duduk di kursi bambu di depannya, "Makasih, Ta. Iya nih, lagi pening kepalaku, Ta."

Aku selalu jujur dan terbuka pada Uta. Demikian juga Uta, tak ada yang ditutupinya dariku. Setidaknya, begitulah pengakuannya padaku beberapa waktu lalu. Kalau dia tak mengakui itu ya aku takkan pernah tahu. Asli, bukan cenayang yang bisa tembus pandang. Bisa melihat ke masa lalu atau pun masa depan. Sungguh.

"Walah, pening kenapa sih, Hill?" tanya Uta santai, sesantai orang-orang yang bermain pasir di tepi  pantai, "Dipikir karo turu wae!" (Dipikir sambil tidur saja!)

Aku mengikutinya tertawa lalu menceritakan semuanya dengan jujur apa adanya. Termasuk soal keinginan mencari pekerjaan yang belum pernah terpikir selama ini. Pokoknya, keinginan itu muncul setelah Mama menawarkan liburan tiga bulan di Eropa. Aneh, kan? Kuakui, kadang-kadang aku separah itu dalam hal mempertimbangkan sesuatu. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Laquisha Bay
Ceritanya menarik. Rapi sekali. Jatuh cinta dengan setiap chapter-nya. Tetap semangat berkarya. Ada banyak pembaca yang sedang menunggu kelanjutannya! ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status